DESAIN PRODUK UNTUK
R&D:
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BERBASIS KECERDASAN BERAGAM (MULTIPLE
INTELLIGENCES)
Oleh: A. RIFQI AMIN
Tulisan ini telah direvisi (ditambahi dan dikurangi) untuk dijadikan ke dalam salah satu BAB dalam buku terbaru A. Rifqi Amin Berjudul "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner"
BAB I
Pendahuluan
baca juga:
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS KECERDASAN BERAGAM (MULTIPLE INTELLIGENCES)
1.
Latar Belakang
Masalah
Kajian
tentang “kecerdasan beragam”[1]
atau yang sering disebut dengan multiple
intelegences[2]
tidak akan pernah lepas dari pencetusnya, yaitu Howard Earl Garnder.[3]
Berkat teori tersebut paradigma baru pada bidang pendidikan dan psikologi tentang
kecerdasan telah bersemi (mendapat pengakuan). Pada akhirnya revolusi paradigma
tentang teori kecerdasan telah
terjadi. Teori ini ciri utamanya adalah mendudukan semua peserta didik
berdasarkan jenis kecerdasan yang dikuasainya adalah sama derajatnya satu sama
lain. Asumsinya, setiap siswa punya bidang kecerdasan masing-masing dan guru
tidak boleh mengarahkan siswa hanya pada satu bidang kecerdasan saja. Oleh
karena itu, klasifikasi murid berdasarkan tes kecerdasan IQ sebagai
satu-satunya tolok ukur tidaklah tepat.
Anggapan
yang selama ini terjadi adalah manusia (peserta didik) dikatakan hanya memiliki
satu jenis “kecerdasan” dan yang dapat diukur melalui tes standar saja. Namun, Howard
memperkirakan pada manusia punya 7 hingga 10 kecerdasan utama yang berbeda
antara satu individu satu dengan yang lain.[4]
Ini artinya, tidak ada dalam lingkungan manapun bahwa peserta didik yang satu
lebih cerdas dari peserta didik lainnya. Namun, yang ada adalah peserta didik
mana yang sudah menemukan bidang kecerdasannya serta mana yang belum menemukan.
Bahkan dimungkinkan ada peserta didik yang menemukan atau cenderung punya lebih
dari satu bidang kecerdasan yang ia kuasai.
Masalahnya, sebagaimana yang telah umum diketahui dalam beberapa dekade para pakar “kecerdasan” utamanya dalam dunia pendidikan hanya menggunakan tes inteligence quotient (IQ) sebagai pijakan satu-satunya dalam “menilai” kemampuan (kecerdasan) anak. Bahkan juga digunakan sebagai bahan
utama dan rujukan satu-satunya dalam memprediksi masa depan anak. Padahal, utamanya untuk zaman yang serba kompleks sekarang ini, faktor-faktor (kecerdesan) lain sebenarnya
juga bisa menjadi andil bagi penentu dasar masa depan anak kelak. Dengan kata lain, di zaman yang serba
butuh aspek “kompleksitas” ini, IQ saja tidak akan pernah bisa menjadi solusi masalah kehidupan bagi pribadi maupun kehidupan masyarakat.
Dunia sekarang ini utamanya pada negara miskin dan berkembang dilanda
ledakan jumlah penduduk. Hal tersebut berakibat pada minimanya lapangan kerja, bertambahnya polusi
udara, rawan penyakit menular, dan perkembangan IPTEK yang tak terkontrol
menyebabkan masyarakat tidak hanya membutuhkan atau diharuskan mengembangkan satu
jenis kecerdasan saja. Artinya, semakin
beragamnya potensi kecerdasan yang dimiliki lingkungan masyarakat maka kemungkinan
besar segala aspek kehidupan masyarakat tersebut akan terpenuhi. Asumsinya,
apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat maka generasi-generasi yang punya kecerdasan
beragam mampu untuk memenuhi dan mengatasinya sesuai dengan bidang kecerdasan
masing-masing. Misalkan, dengan kecerdasan naturalnya seseorang akan mampu
mengatasi pencemaran udara dengan mengadakn program penghijauan dan bisa juga
menciptakan vaksin bagi penyakit tertentu untuk mencegah penularan. Dengan
kecerdasan musikalnya seseorang akan mampu menciptakan dan memainkan lirik lagu
yang menginspirasi dan menggugah emosi pendengarnya untuk semangat menjalani
hidup.
Dapat dikatakan bahwa teori milik Gardner telah merangsang dunia pendidikan
di berbagai negara untuk melakukan inovasi. Baik yang dilakukan secara utuh
(totalitas) maupun diadakan filter dan pengembangan-pengembangan yang
disesuikan dengan nilai di negera masing-masing (invention). Inovasi dilakukan biasanya untuk memenuhi “kerinduan”
masyarakat dalam merasakan sesuatu yang baru sehingga bisa meninggalkan model (paradigma)
lama. Dengan kata lain, dalam setiap inovasi pasti akan mendapat respon
berbeda-beda dari masyarakat. Ada yang menolak secara mutlak, ada yang
mendukung secara mutlak, ada yang memfilter dengan ketat, dan ada yang
menanggapinya secara biasa-biasa saja.
Bila
diacu pada keadaan beberapa lembaga pendidikan di Indonesia ini akhir-akhir ini
–utamanya untuk lembaga pendidikan berbentuk madrasah yang mulai mendapat
tempat di masyarakat-- tidak sedikit yang memiliki jumlah peserta didik banyak.
Namun, kenyataannya jumlah peserta didik tersebut tidak diimbangi dengan sarana
dan prasarana yang memadai. Hal ini tentu menyebabkan pengelola lembaga harus
ekstra keras mengerahkan otak untuk mengoptimalkan kegiatan pembelajaran.
Dengan kata lain jumlah peserta didik yang banyak merupakan sebuah potensi
sekaligus menjadi masalah di tengah minimnya anggaran, sarana, dan prasarana.
Adapun nilai potensinya adalah dengan jumlah yang banyak maka kemungkinan
tingkat beragamnya jenis kecerdasan peserta didik yang diterima di lembaga
pendidikan pun juga semakin tinggi. Artinya, pada materi serta strategi
pembelajaran tertentu peserta didik dapat dipilah (dikelompokkan) berdasarkan
jenis kecerdasan tertentu[5]
dengan jumlah (populasi) yang cukup ideal untuk pembelajaran.
Dalam
mengahadapi keadaan tersebut, maka dipandang perlu untuk mengadakan sebuah
pengembangan produk pembelajaran yang mampu memberikan konstribusi positif.
Diharapkan dengan pengembangan tersebut –khususnya bagi pembelajaran PAI—mampu
menjadi daya tarik siswa untuk lebih termotivasi dalam mengkaji ajaran Islam.
Tidak hanya ajaran simbolis, ibadah (ritual), dan hafalannya saja namun juga
terjadi internalisasi nilai-nilai esensialnya. Dengan demikian, PAI tidak hanya
dipahami dan difungsikan sebagai mata pelajaran keilmuan. Namun lebih dari itu,
PAI mampu memberikan “kesadaran” psikologis peserta didiknya supaya lebih
semangat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Selain itu desain
produk yang ditawarkan tersebut juga harus lebih efektif dan efisien dari pada
produk lama, sehingga bisa dijadikan dasar untuk melakukan penelitian tindak
lanjut melalui research and devolopment.
Kenyataannya, selama ini pembelajaran PAI pada umumnya masih didasarkan
pada dua jenis kecerdasan saja yaitu linguistik-verbal dan intrapersonal.
Yakni, peserta didik diasumsikan “pasti” semuanya menguasai bidang kecerdasan
linguistik-verbal dan intrapersonal.[6]
Walaupun sering kali –utamanya pada kelas yang jumlah peserta didiknya banyak– pada
hakikatnnya tidak demikian. Di dalam kelas terdapat kecerdasan beragam yang masing-masing
dimiliki oleh mereka. Akibatnya peserta didik yang tidak memiliki jenis kecerdasan
tersebut akan merasa tertekan. Hal tersebut bisa jadi karena ia tidak punya
“kecerdasan” tertentu seperti teman lainnya yang mampu menguasai materi
tertentu dengan cepat. Dengan kata lain, untuk memahami materi tertentu seorang
peserta didik kadangkala butuh strategi pembelajaran khusus. Misalnya ketika ia
merasa lemah dan tak menguasi materi dalam menghafal dan membaca al Qur’an,
praktik ibadah, memahami materi sejarah Islam, dan memahami materi-materi yang
terlalu dogmatis.
Padahal seharusnya, pola pembelajaran PAI harus mengakomodasi semua jenis
kecerdasan tersebut. Hal ini dilakukan selain untuk “memanusiakan” dan
memberikan “hak” kepada peserta didik untuk berkembang dengan optimal sesuai
bidang kecerdasannya juga untuk mengoptimalkan misi dakwah Islam. Asumsinya,
bila peserta didik mampu “berprofesi” sesuai dengan kecerdasan dominannya misalnya
menjadi wartawan (linguistik), penemu teknologi baru komputer
(logis-matematis), penyanyi (musik), pelukis (spasial-visual), politikus
(interpersonal), motivator atau psikolog (intrapersonal), dan ahli lingkungan
hidup (naturalis) maka semuanya dilakukan atas dasar atau dimasukkan misi
dakwah Islam di dalamnya. Dengan kata lain, PAI harus memberikan ruang aktualisasi
diri[7]
peserta didik untuk “melampiaskan” jenis kecerdasan peserta didik. Pada
akhirnya, nilai-nilai Islam tidak hanya dipersempit pada jenis kecerdasan
linguistik-verbal dan intrapersonal akan tetapi pada semua jenis kecerdasan.
Dari semua pemaparan di atas maka penulis mengasumsikan bahwa teori Gardner
cukup relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran PAI meski ada beberapa hal
yang masih perlu dikritisi. Teori ini akan sangat membantu peserta didik,
membantu guru, membantu sekolah, dan membantu misi dakwah Islam untuk membentuk
generasi Islam yang unggul sesuai dengan bidang kecerdasannya. Asumsinya, bila
seseorang berprofesi atau mendalami sesuatu yang terkait dengan bidang
kecerdasan yang ia punyai maka ia akan cenderung bisa menikmati. Bahkan sangat
dimungkinkan mampu menghasilkan nilai yang jauh lebih “berharga” apabila ia
harus berada pada “zona” profesi di luar bidang kecerdasannya. Oleh karena itu, dalam pengembangan
pembelajaran PAI berbasis multiple intelligences
ini penulis tidak membuat gagasan baru (discovery)
tetapi melakukan pengembangan dari teori Gardner (invention).
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar tentang Desain
Produk untuk R&D
b. Produk Pengembangan
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences)
3.
Tujuan
Pembahasan
Bertolak
pada pembahasan di latar belakang serta adanya pembatasan masalah maka dapat
dirumuskan tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
a. Menguraikan konsep dasar
tentang Desain Produk untuk R&D
b. Merancang Produk Pengembangan
Pembelajaran PAI berbasis kecerdasan beraga (multiple intelligences)
4.
Kata Kunci
Dari
semua pemaparan di atas maka penulis dapat merumuskan kata kunci (keyword) dari makalah ini. Maanfaat kata
kunci adalah sebagai dasar untuk pengembangan masalah yang diulas di bab
selanjutnya. Oleh karena itu, kata kunci makalah ini adalah:
Produk Pengembangan, Research
and Development, Pendidikan Agama Islam, dan Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences).
BAB II
Pembahasan
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian
Desain Produk
Berdasarkan Kamus Besar Bahasan
Indonesia kata “desian” punya arti pertama
“kerangkan bentuk; rancangan,” kedua “motif;
pola; corak.” Sedangkan kata “produk” salah satunya berarti pertama “barang atau jasa yg dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dl proses
produksi dan menjadi hasil akhir dr proses produksi itu.” Kedua hasil atau hasil
kerja.[8]
Secara aplikatif menurut Sugiyono sebagaimana dikutip Putra, Desain produk
adalah “hasil akhir dari serangkaian penelitian awal, dapat berupa rancangan
kerja baru, atau produk baru.”[9]
Dengan demikian desain produk merupakan rancangan yang bisa berupa gambar atau
bagan serta bentuk lainnya yang menjadi hipotesis, sehingga masih butuh
pembuktian keefektifannya melalui pengujian (eksperimen) di lapangan.
2.
Tentang Research and Development
Menurut Borg & Gall
sebagaimana dikutip Setyosari menjelaskan bahwa penelitian pengembangan adalah
“suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan mevalidasi produk
pendidikan.”[10] Dengan
demikian, R&D bertujuan menghasilkan produk, sehingga perlu diadakan
analisis kebutuhan secara mendasar dan menyeluruh. Hal ini berarti pembelajaran
yang diampu oleh guru di kelas tidak hanya terpatok pada “juklak” dan “juknis”
semata tapi juga ada pengembangan “produk” pendidikan yang jauh lebih efektif.[11]
Bila dikaitkan dengan “desain produk” maka dapat dipahami bahwa penelitian
pengembangan merupakan proses “penyempurnaan” desain produk yang ditawarkan. Adapaun
langkah-langkah untuk mencapi kesempurnaan tersebut adalah sebagai berikut:[12]
Adapun langkah-langkah R&D
menurut Sugiyono sebagaimana dikutip oleh Putra adalah sebagai berikut:[13]
|
||||||||||
Dari kedua bagan tersebut dapat
dipahami bahwa dalam melakukan penelitian pengembangan dari awal hingga akhir
membutuhkan langkah-langkah yang cukup spesifik. Di mana untuk gambar di atas
lebih cenderung bersifat prosedural. Artinya, langkah-langkah tersebut harus
dilakukan bertahap dari yang bersifat sederhana ke arah yang lebih kompleks.
Dapat dikatakan bahwa R&D merupakan penelitian yang sangat berbeda dengan
jenis penelitian lainnya. Secara detail putra mengidentifikasi beberapa
identitas utama yang ada pada R&D yaitu:
a. Penelitian yang punya ciri dan
tujuan spesifik, yakni menggunakan metode campuran, bersifat multi atau
interdisipliner, bertujuan inovasi, dan mencaritemukan kebaruan, efektifitas,
produktifitas, dan kualitas.
b. Penelitian yang dilakukan
secara bertahap, berkelanjutan, terstruktur, dan terukur. Terdapat beberapa
tahapan panjang dalam merumuskan, menguji, dan menyebarluaskan temuan baru.
c. Penelitian yang berbeda dengan
“penelitian dasar” dan “penelitian terapan/praktik.” Akan tetapi tidak dapat
dipisahkan karena R&D adalah pengembangan lebih lanjut dari hasil dua jenis
penelitian tersebut.
d. Penelitian yang dimaksudkan
untuk tujuan praktis yang memiliki kegunaan langsung dan bersifat operasional.
Oleh karena itu, R&D fokus pada masalah, tantangan, tuntutan, potensi, dan
kebutuhan nyata masyarakat.
e. Penelitian yang perlu waktu
cukup lama disebabkan proses dan tahapan yang panjang. Implikasinya, R&D
butuh banyak dana, perhatian, dan kesabaran.[14]
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa research and development
adalah penelitian yang terfokus pada inovasi produk yang dilakukan dengan
prosuder tepat dengan harapan diperoleh kualitas dan efektifitas yang tinggi
dalam memecahkan permasalah. Hal ini berarti produk baru atau produk dari hasil
pengembangan tersebut harus memiliki kemanfaatan yang jauh lebih baik. Salah
satu cirinya adalah produk tersebut memiliki “efek samping” negatif jauh lebih
sedikit dari pada produk yang lama. Dalam konteks dunia PAI, penelitian
pengembangan bukan untuk tujuan komersial atau industri.[15]
Akan tetapi pengembangan pembelajaran PAI dilakukan untuk memperoleh generasi
Islam yang unggul. Asumsinya, dengan dana dan prasarana yang sama tapi bisa
menghasilkan kualitas muslim yang brilian dengan menggunakan produk baru yang
ditemukan atau yang telah dikembangkan.
3.
Pengertian
Pembelajaran PAI
Sedangkan arti
pembelajaran adalah proses mental dan emosional, serta berfikir dan merasakan.
Seseorang pembelajar dikatakan melakukan pembelajaranan apabila pikiran dan
perasaannya aktif.[16]
Berbeda menurut Ahmad Sabri disampaikan tentang
orang yang sudah aktif terlibat pada proses pembelajaran diharapkan akan bisa
merasa lebih bahagia, dan lebih pantas untuk pemanfaatan alam sekitar. Selain
itu juga peserta didik juga aktif dalam penjagaan kesehatan, peningkatan
pengabdian untuk ketrampilan, dan berhasil dalam pengimplementasian pembedaan
(terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan proses
pembelajaran).[17] Dengan
demikian dalam pembelajaran peserta didik ditekankan punya kesadaran, motivasi,
dan kondisi yang dimungkinkan untuk terjadinya interaksi antara peserta didik
terhadap sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.[18]
Lebih jauh peserta didik diharapkan terlatih pada pembiasaan diri untuk
pemecahan masalah dan mampu terbiasa pada penggunaan empati beserta logikanya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan pembelajaran bisa terjadi di mana saja, tidak
hanya di dalam kelas yang sangat formal, terbatasi waktu maupun tempat, dan
kaku.
Selanjutnya untuk pendalaman tentang makna PAI, bahwasanya
secara terminologi kata Pendidikan Agama Islam dimiliki pengertian sebuah
kajian ilmu yang menjadi materi ajar serta bertujuan agar peserta didik mampu
dalam penerapan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan dari orang lain).
Penerapan tersebut meliputi penerapan nilai ibadah, nilai humanisme,
keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme), nilai semangat
dalam pengembangan diri maupun masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian di
kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik
aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar
dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam secara
konsisten dengan segenap logika atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya.
Analisis tentang Pendidikan Agama Islam di atas didasarkan pada pendapat Syukri
Fathuddin disampaikan bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran
Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”[19]
Didasarkan pada semua rangkaian penjelasan di atas
maka dapat disimpulkan sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebuah
tatanan dari beberapa komponen pembelajaran yang terorganisir, saling terkait,
dan isinya termuat nilai-nilai agama Islam secara universal sebagai pedoman
berperilaku, berfikir, dan berkehendak dalam perjalanan hidup sampai mati.
Meninjau dari definisi tersebut maka materi dan tujuan pada sistem pembelajaran
Pendidikan Agama Islam sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan sistem
pembelajaran bidang ilmu yang lain. Di mana salah satunya Pendidikan Agama
Islam diajarkan sebagai pedoman hidup secara mendalam dan luas. Sedangkan
kebanyakan bidang ilmu lain dipelajari sebatas untuk bagaimana cara
mempertahankan kehidupan, mengembangkan kehidupan, cara menyelesaikan masalah
kehidupan, dan semacamnya tanpa melibatkan aspek ‘ketuhanan’ sama sekali.[20]
4.
Pengertian Kecerdasan
Beragam (Multiple Intelligences)
Kata
ragam salah satu diantaranya memiliki arti pertama
“tingkah; laku; ulah” kedua “macam;
jenis” dan ketiga “warna; corak;.”
Sedangkan kecerdasan berasal dari kata dasar “cerdas” yang artinya “sempurna
perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran;” atau
bisa juga berarti “sempurna pertumbungan tubuhnya (sehat, kuat).” Secara
terpisah kecerdasan spiritual mempunyai arti tersendiri yaitu “kecerdasan yang
berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan
keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.”[21]
Sebagai penggagas teori multiple
intelligences, Garnder mendifinisikan
kecerdasan dengan singkat dan fungsional, yaitu “kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi
budaya tertentu.” Adapaun Alfred Binet dan Theodore Simon, membagi kecerdasan
menjadi tiga komponen: pertama
“kemampuan mengarahkan pikiran dan atau tindakan,” kedua “kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut
telah dilakukan,” dan ketiga
“kemampuan mengkriti diri sendiri.”[22]
Garder juga mengatakan bahwa kecerdasan yang “utama” itu berdasarkan faktor
keturunan (gen) sehingga tidak dapat dilatih. Misalkan kecerdasan musikal,
menurutnya ada pengaruh gen yang menyebabkan seseorang pintar memainkan musik. Bahkan, menurutnya perbedaan dalam lingkungan
seseorang tidak memberikan kontribusi material terhadap perbedaan dalam kapasitas untuk membedakan irama maupun melodi.[23]
Lebih spesifik Widayati dan Widijati
mengungkapkan bahwa kecerdasan itu tidak dapat diamati secara langsung. Diperlukan
kesimpulan dari pengamatan berberapa perilaku nyata yang merupakan perwujudan
dari proses berpikir rasional.[24]
Dengan
demikian, penilain terhadap kecerdasan tidak harus dilakukan dengan tes tulis.
Hal ini utamanya untuk menilai kecerdasan anak kecil (balita) yang belum bisa baca
tulis.
Dari pembahasan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa arti
kecerdasan beragam adalah beberapa jenis kemampuan dasar yang salah satunya
atau beberapa diantaranya bisa menjadi ciri khas (dimiliki) masing-masing
manusia untuk berbudaya dan menjalankan kehidupan bersama. Selain itu,
Widayati dan Widijati mengklasifikasikan sifat-sifat
dari kecerdasan sebagai berikut:
1.
Adaptif; adanya respon
yang fleksibel bila ada stimulus
dalam berbagai situasi dan masalah, sehingga tahu pemecahannya dan tidak merasa
sulit setiap kali menghadapi permasalahan.
2.
Kemampuan belajar;
kemampuan belajar pada sesuatu yang baru, tergantung pada setiap anak sejauh
mana ia mampu menyerap dan menyimpan sesuatu yang baru itu.
3.
Belajar dari pengalaman
luar dan dalam dirinya; menggunakan pengetahuan sebelumnya sebagai analisis dan
pemahaman situasi yang baru,
sehingga senantiasa menunjukkan kreativitas.[25]
Penggunaaan
istilah “kecerdasan beragam”[26]
dalam tulisan ini dimaksudkan oleh penulis sebagai pengganti istilah multiple intelligences. Alasannya, kata
ragam secara arti (makna) lebih cocok digunakan dari pada kata lainnya. Misalkan,
kata majemuk memiliki dua arti yang satupun tidak cocok sebagai pengganti
istilah teori Gardner tersebut yaitu “terdiri atas beberapa bagian yang
merupakan kesatuan” dan “mengenai penambahan bunga kepada pokok berdasarkan
waktu dengan tujuan mendapatkan dasar baru untuk menghitung bunga berikutnya:.”[27]
Padahal menurut teori Gardner, satu jenis kecerdasan itu bisa berdiri sendiri
dan bukan terdiri atas beberapa bagian yang saling menyatukan, walaupun kadang
kala antara jenis kecerdasan satu dengan yang lain saling mendukung (terkait).
Bilapun
menggunakan istilah kecerdasan ganda, maka kata “ganda” memiliki tiga arti
yaitu pertama “(tentang hitungan)
kali; lipat,” kedua “berbayang
(seakan-akan ada dua),” ketiga
“berpasangan (terdiri atas dua); berpasangan dua-dua (dalam bulu tangkis,
tenis, dsb).”[28] dari
sudut pandang teori Gardner penggunaan istilah “ganda” kurang cocok karena
jenis kecerdasan menurut garder itu tak terbatas (tidak terhitung).
5.
Kegunaan
Produk
Penerapan
mutlitple intelligences dalam lingkup
satu lembaga secara konsisten, optimal, dan sungguh-sungguh mampu menciptakan
iklim sekolah yang hidup. Sekolah yang awalnya tampak mencekam dan serba kaku
menjadi lebih menggembirakan dan memuaskan hasrat peserta didik untuk belajar. Sekolah
yang awalnya muridnya sedikit menjadi lebih banyak. Sekolah yang awalnya minim
prestasi menjadi lebih banyak menelurkan prestasi. Adapun dalam lingkup mata
pelajaran dengan teori multiple
intelligences banyak guru yang terbantu memecahkan masalah murid yang tidak
mampu dan tidak termotivasi untuk melakukan pembelajaran. Dengan strategi yang
tepat banyak murid yang awalnya tidak mampu dan tidak termotivasi untuk belajar
matetimatika atau mata pelajaran lainnya akhirnya mereka bisa tergugah
“kesadarannya” untuk belajar.[29]
Lebih
dari itu, teori multiple intelligences yang
terkait erat dengan perkembangan otak bisa mengoptimalkan penggunaan (fungsi)
otak. Artinya, peserta didik dibekali dan diajak “mengelola” otaknya sehingga
segala potensinya dapat berkembang dengan optimal. Dengan kata lain, peserta
didik yang berhasil bukanlah peserta didik yang harus menguasai kecerdasan
tertentu misalnya IQ. Namun, peserta didik yang mampu mengoptimalkan potensi
kecerdasan yang ia miliki untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Hal ini juga
terkait dengan keberagaman sosio-kultur dan geograsif (termasuk potensi alam)
daerah di Indonesia yang mengharuskan generasi mudanya mampu memenuhi berbagai
macam kebutuhan yang kompleks tersebut. Oleh karena itu, untuk memenuhinya
diperlukan suatu sistem pendidikan yang bisa melahirkan generasi yang satu
dengan lainnya punya kemampuan beragam (tidak homogen).
Selanjutnya,
berdasarkan hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebagaimana
dikutip Septiani, dkk. terdeskripsi sebagai berikut:
Hasil
penelitian Temur (2007) pada pembelajaran matematika kelas IV SD di Gazi
University Foundation Private Primary School menunjukkan bahwa hasil belajar
siswa dengan penerapan multiple intelligences lebih tinggi dibanding
menggunakan pembelajaran tradisional. Penelitian yang dilakukan Bas dan Beyhan
(2010) terhadap 50 siswa kelas V SD di Turkey menunjukkan bahwa penerapan multiple
intelligences didukung pembelajaran berbasis proyek lebih unggul dibanding
metode pengajaran tradisional ditinjau dari sikap dan motivasi belajar siswa.
Hasil penelitian Xie dan Lin (2009) menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada kelas
yang menerapkan multiple intelligences lebih unggul dibanding
menggunakan pembelajaran tradisional dilihat dari kemampuan mahasiswa dalam
mengerjakan proyek-proyek desain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat
diketahui bahwa penerapan multiple intelligences dapat memberikan hasil
yang efektif dalam proses pembelajaran. Rizal
dan Wasis (2012) mengemukakan apabila kecerdasan majemuk ditumbuhkan,
dikembangkan dan dilibatkan dalam proses pembelajaran akan meningkatkan
efektivitas dan hasil pembelajaran.[30]
Selain
itu, menurut
pendapat Hernowo sebagaiman dikutip Nurani
menyatakan teori multiple intelligences menjadi sistem pendidikan baru pada lembaga
sekolah.
Secara detail identifikasinya adalah sebagai berikut:
Pertama,
dulu, sekolah tepatnya para guru, memisahkan atau memberikan identifikasi
kepada peserta didiknya sebagai anak yang pandai disatu sisi dan anak yang
bodoh disisi lainnya. Sekarang, melalui penerapan kecerdasan jamak, ternyata
tidak ada anak yang bodoh, setiap anak hampir dapat dipastikan memiliki satu
atau dua jenis kecerdasan yang menonjol. Kedua, dulu, suasana kelas
cenderung monoton dan membosankan karena guru biasanya hanya bertumpu pada satu
atau dua jenis kecerdasan saja dalam mengajar, yaitu kecerdasan bahasa dan
logika matematika saja. Sekarang, melalui pembelajaran yang berbasis pada
delapan jenis kecerdasan, seorang guru dapat membuat variasi metode dan gaya
mengajarnya. Ketiga, dulu, sebagian guru seringkali agak kesulitan dalam
membangkitkan minat atau gairah belajar peserta didiknya. Sekarang, melalui
teori kecerdasan jamak, guru dapat memunculkan berbagai media dan sumber
belajar yang terdapat di lingkungan sekitar melalui contoh-contoh yang kongkrit
dan nyata sehingga mudah dipahami oleh anak. [31]
Berangkat dari kenyataan di
atas, maka “produk” yang ditawarkan dalam makalah ini yaitu terkait teori multiple intelligences diharapkan nanti mempunyai nilai guna yang cukup
signifikan bagi proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Sejalan dengan itu,
produk ini semoga bisa menjadi acuan dasar bagi guru dalam melaksanakan
pembelajaran PAI. Harapan selanjutnya adalah produk ini bisa membangun
paradigma positif PAI bagi siswa, guru, dan masyarakat. Lantas pada akhirnya
PAI tidak lagi dipandang sebagai kegiatan pembelajaran “sampingan.” Namun
merupakan kegiatan pembelajaran inspiratif, penyemangat, dan fungsional.
B.
Produk Pengembangan Pembelajaran
PAI Berbasis Multiple Intelligence
1.
Tujuan Pengembangan
Pengembangan ini diharapkan
menghasilkan strategi pembelajaran PAI yang lebih fleskibel, kontekstual, dan
menumbuhkan empati peserta didik.
2.
Asumsi Pengembangan
Seluruh peserta didik
dilibatkan secara optimal, totalitas, detail, dan konsisten (sungguh-sungguh)
dalam pembelajaran berbasis mulitple intelleginces. Di mana guru mengakomodir
potensi kecerdasan masing-masing peserta didik dalam satu kegiatan pembelajaran.
3.
Spesifikasi produk
Produk ini digunakan untuk
peserta didik pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA). Di mana diharapkan bisa
menghasilkan rancang bangun strategi pembelajaran yang lebih efektif dalam
lingkup tujuan intruksional atau tujuan pembelajaran. Secara detail spesifikasi
produk strategi pembelajaran ini adalah:
a. Penyeleksian (identifikasi)
pesert didik untuk menemukan jenis kecerdasan paling dominan yang dimiliki oleh
individu.
b. Orientasi pembelajaran PAI
diawali dengan merangsang dan menumbuhkan kecerdasan yang sesuai dengan
potensinya. Serta berupaya menemukan kemungkinan kecerdasan lain yang dimiliki
individu selain kecerdasan utama (dominan).
c. Strategi pembelajaran, siswa
mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimiliki.
Misalnya dalam materi zakat, diadakan simulasi (metode bermain peran/role play),
bentuk penugasan mengarang[32],
atau dipraktekan secara nyata dengan pembentukan lembaga (organisasi) zakat
yang berlokasi di sekolah. Lebih detailnya maka penulis membuat produk
pembagian tugas berdasarkan jenis kecerdasan masing-masing peserta didik
sebagai berikut:
NO.
|
JENIS
KECERDASAN UTAMA (DOMINAN)
|
JABATAN
|
TUGAS
|
ALAT
|
TEMPAT KERJA
|
1.
|
Linguistik-verbal
(dibutuhakn
kecerdasan spasial untuk mendesain gambar iklan)
|
Tim manajer
pemasaran
|
Membuat proposal, selebaran/pamflet
(iklan) untuk masyarakat
|
Komputer
|
Ruangan
|
2.
|
Matematis-logis-numerikal
(dibutuhkan
kecerdasan spasial untuk memetakan masyarakat berdasarkan tingkat ekonominya)
|
Tim manajer
keuangan
|
Membuat daftar prioritas penerima
zakat serta prioritas warga paling dermawan dan menghitung pengeluaran dan
pemasukan)
|
Komputer
|
Ruangan
|
3.
|
Spasial-visual
(dibutuhkan
kecerdasan interpersonal untuk mengadakan pendekatan dengan pejabat terkait)
|
Tim manajer
perencanaan
|
Memetakan warga mana saja di sekitar
sekolah yang berstatus mustahiq dan warga dermawan
|
Kertas
gambar, pensil, dan spidol berwarna
|
Lapangan
dan ruangan
|
4.
|
Kinestetik-jasmaniah
(dibutuhkan
kecerdasan matematis-logis untuk menganalisis data stastitik)
|
Tim manajer
pengelolaan barang atau perlengkapan
|
Mengambil zakat dari warga dermawan
(muzakki) disetorkan ke “panitia zakat” lalu didistribusikan kemustahiq.
|
Kendaraan,
timbangan,
|
Lapangan
|
5.
|
Musikal
(dibutuhkan
kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi teman-temannya agar mau mengikuti
komando lirik lagu yang dibuatnya)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Menggubah lirik lagu-lagu terkini
dengan lirik lagu Islami tentang zakat,
kemudian dia disuruh memimpin teman-temannya agar bersemangat dalam
menjalankan misi panitia zakat.
|
Sound,
kertas, kaset,
|
Ruangan
|
6.
|
Interpersonal
(dibutuhkan
kecerdasan linguistik-verbal untuk mengenalkan zakat kepada calon muzakki)
|
Tim manajer
humas
|
Menjadi pimpinan panitia zakat atau
ditugaskan untuk mengadakan pendekatan dengan warga dermawan (muzakki) dan
para mustahiq.
|
Kendaraan,
data statistik, materi zakat,
|
Lapangan
dan ruangan
|
7.
|
Intrapersonal
(butuh
kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi teman-temannya)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Memotivator teman-temannya,
meluruskan niat, dan menentukan (merumuskan) hukum dan jumlah zakat dari
semua jenis zakat
|
Kertas
|
Ruangan
dan lapangan
|
8.
|
Natural
(butuh
kecerdasan spasial untuk menyeting ruangan)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Menata keindahan dan kenyamanan
ruangan rapat/kelas untuk konsolidasi “panitia zakat” menggunakan tanaman.
|
Pot,
tanaman, poster flora atau fauna,
|
Ruangan
|
Dari dua tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila guru hendak menerapkan
pembelajaran PAI berbasis multiple
intelligences dalam arti gaya belajarnya, maka guru harus mempunyai
kemampuan delapan jenis kecerdasan untuk mengajar peserta didik. Namun, bila
hendak menerapkannya dalam arti esensinya, maka guru harus mengakomodasi
perbedaan dan mengakui adanya kecerdasan beragam yang dimiliki masing-masing
peserta didik. Konsekuensinya, guru memberikan kesempatan pada peserta didik
untuk mengekspresikan muatan PAI sesuai dengan bidang kecerdasannya. Misalnya
dalam satu tema/materi pelajaran PAI, satu siswa ditugaskan untuk memeragakan
materi yang sesuai dengan bidang kecerdasannya (kinestetik). Sedangkan siswa
lainnya ditugaskan untuk membuat gambar terkait materi sesui dengan bidang
kecerdasannya (spasial-visual). Dengan demikian, karena tersalurkannya[33]
potensi masing-masing kecerdasan siswa secara layak serta semuanya didasarkan
pada nilai-nilai Islam, maka diharapkan siswa akan benar-benar menjadi orang
sukses.
d. Sistem evaluasi berbasis multiple intellegences.
4.
|
|
|
|
|
Daftar
Rujukan
“Kamus Besar Bahasa
Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI
Offline Versi 1.5, http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip, didownload tanggal 21 April 2014.
Amin, A. Rifqi. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta:
Deepublish, 2014.
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis
Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung: Kaifa, 2010.
Conny R. Semiawan. Catatan Kecil Tentang Penelitian dan
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Kencana, 2008.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful
Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
Fathuddin, Syukri.
“Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam:
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman.
Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Howard Gardner,
“Practice Does Not Make Perfect,” http://multipleintelligencesoasis.org/practice-does-not-make-perfect/, diakses tanggal 23 Oktober 2014.
Ibrahim, R.dkk. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Rajawal, 2011.
Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi.
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Nurani, Yuliani.
“Sinopsis Disertasi Pengembangan Model Program Kegiatan Bermain Berbasis
Kecerdasan Jamak dalam Rangka Peningkatan Kreativitas Anak usia Dini,” Pascasarjana Universitas Jakarta 2008,
dalam http://yebefo.com/wp-content/uploads/2013/04/Sinopsis-Disertasi.pdf, diakses 06 Januari 2014.
Penjelasan ibu Sutiah
tentang langkah-langkah R&D menurut Dick & Carey saat memberikan tugas
UAS pada mahasiswa S3 PAI semester I tahun 2014.
Putra, Nusa. Research & Development Penelitian dan
Pengembangan: Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali, 2012.
Sabri, Ahmad. Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching.
Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Septiana, Dwi. dkk.
“Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Multiple
Intelligences pada Materi Pertumbuhan dan Perkembangan,” Unnes Journal of Biology Education dalam
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujeb,
diaskes tanggal 31 Desember 2014.
Setyosari, Punaji. Metode Penelitian Pendidikan dan
Pengembangan. Jakarta: Kencana,
2012.
Strauss, Valeria.
“Howard Gardner: ‘Multiple Intelligences’ are not ‘Learning Styles’,” http://www.washingtonpost.com/blogs/answer-sheet/wp/2013/10/16/howard-gardner-multiple-intelligences-are-not-learning-styles/?tid=auto_complete, 16 Oktober 2013, diakses 23
Oktober 2014.
Undang-undang Republik Indonesia No.
20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat 20.
Untuk Mengetahui Footnote silakan beli buku "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner"