2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar tentang Desain
Produk untuk R&D
b. Produk Pengembangan
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis kecerdasan beragam (multiple intelligences)
3.
Tujuan
Pembahasan
Bertolak
pada pembahasan di latar belakang serta adanya pembatasan masalah maka dapat
dirumuskan tujuan penulisan makalah sebagai berikut:
a. Menguraikan konsep dasar
tentang Desain Produk untuk R&D
b. Merancang Produk Pengembangan
Pembelajaran PAI berbasis kecerdasan beraga (multiple intelligences)
4.
Kata Kunci
Dari
semua pemaparan di atas maka penulis dapat merumuskan kata kunci (keyword) dari makalah ini. Maanfaat kata
kunci adalah sebagai dasar untuk pengembangan masalah yang diulas di bab
selanjutnya. Oleh karena itu, kata kunci makalah ini adalah:
Produk Pengembangan, Research
and Development, Pendidikan Agama Islam, dan Kecerdasan Beragam (Multiple Intelligences).
BAB II
Pembahasan
A.
Konsep Dasar
1.
Pengertian
Desain Produk
Berdasarkan Kamus Besar Bahasan
Indonesia kata “desian” punya arti pertama
“kerangkan bentuk; rancangan,” kedua “motif;
pola; corak.” Sedangkan kata “produk” salah satunya berarti pertama “barang atau jasa yg dibuat dan ditambah gunanya atau nilainya dl proses
produksi dan menjadi hasil akhir dr proses produksi itu.” Kedua hasil atau hasil
kerja.
Secara aplikatif menurut Sugiyono sebagaimana dikutip Putra, Desain produk
adalah “hasil akhir dari serangkaian penelitian awal, dapat berupa rancangan
kerja baru, atau produk baru.”
Dengan demikian desain produk merupakan rancangan yang bisa berupa gambar atau
bagan serta bentuk lainnya yang menjadi hipotesis, sehingga masih butuh
pembuktian keefektifannya melalui pengujian (eksperimen) di lapangan.
2.
Tentang Research and Development
Menurut Borg & Gall
sebagaimana dikutip Setyosari menjelaskan bahwa penelitian pengembangan adalah
“suatu proses yang dipakai untuk mengembangkan dan mevalidasi produk
pendidikan.” Dengan
demikian, R&D bertujuan menghasilkan produk, sehingga perlu diadakan
analisis kebutuhan secara mendasar dan menyeluruh. Hal ini berarti pembelajaran
yang diampu oleh guru di kelas tidak hanya terpatok pada “juklak” dan “juknis”
semata tapi juga ada pengembangan “produk” pendidikan yang jauh lebih efektif.
Bila dikaitkan dengan “desain produk” maka dapat dipahami bahwa penelitian
pengembangan merupakan proses “penyempurnaan” desain produk yang ditawarkan. Adapaun
langkah-langkah untuk mencapi kesempurnaan tersebut adalah sebagai berikut:
Adapun langkah-langkah R&D
menurut Sugiyono sebagaimana dikutip oleh Putra adalah sebagai berikut:
Dari kedua bagan tersebut dapat
dipahami bahwa dalam melakukan penelitian pengembangan dari awal hingga akhir
membutuhkan langkah-langkah yang cukup spesifik. Di mana untuk gambar di atas
lebih cenderung bersifat prosedural. Artinya, langkah-langkah tersebut harus
dilakukan bertahap dari yang bersifat sederhana ke arah yang lebih kompleks.
Dapat dikatakan bahwa R&D merupakan penelitian yang sangat berbeda dengan
jenis penelitian lainnya. Secara detail putra mengidentifikasi beberapa
identitas utama yang ada pada R&D yaitu:
a. Penelitian yang punya ciri dan
tujuan spesifik, yakni menggunakan metode campuran, bersifat multi atau
interdisipliner, bertujuan inovasi, dan mencaritemukan kebaruan, efektifitas,
produktifitas, dan kualitas.
b. Penelitian yang dilakukan
secara bertahap, berkelanjutan, terstruktur, dan terukur. Terdapat beberapa
tahapan panjang dalam merumuskan, menguji, dan menyebarluaskan temuan baru.
c. Penelitian yang berbeda dengan
“penelitian dasar” dan “penelitian terapan/praktik.” Akan tetapi tidak dapat
dipisahkan karena R&D adalah pengembangan lebih lanjut dari hasil dua jenis
penelitian tersebut.
d. Penelitian yang dimaksudkan
untuk tujuan praktis yang memiliki kegunaan langsung dan bersifat operasional.
Oleh karena itu, R&D fokus pada masalah, tantangan, tuntutan, potensi, dan
kebutuhan nyata masyarakat.
e. Penelitian yang perlu waktu
cukup lama disebabkan proses dan tahapan yang panjang. Implikasinya, R&D
butuh banyak dana, perhatian, dan kesabaran.
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa research and development
adalah penelitian yang terfokus pada inovasi produk yang dilakukan dengan
prosuder tepat dengan harapan diperoleh kualitas dan efektifitas yang tinggi
dalam memecahkan permasalah. Hal ini berarti produk baru atau produk dari hasil
pengembangan tersebut harus memiliki kemanfaatan yang jauh lebih baik. Salah
satu cirinya adalah produk tersebut memiliki “efek samping” negatif jauh lebih
sedikit dari pada produk yang lama. Dalam konteks dunia PAI, penelitian
pengembangan bukan untuk tujuan komersial atau industri.
Akan tetapi pengembangan pembelajaran PAI dilakukan untuk memperoleh generasi
Islam yang unggul. Asumsinya, dengan dana dan prasarana yang sama tapi bisa
menghasilkan kualitas muslim yang brilian dengan menggunakan produk baru yang
ditemukan atau yang telah dikembangkan.
3.
Pengertian
Pembelajaran PAI
Sedangkan arti
pembelajaran adalah proses mental dan emosional, serta berfikir dan merasakan.
Seseorang pembelajar dikatakan melakukan pembelajaranan apabila pikiran dan
perasaannya aktif.
Berbeda menurut Ahmad Sabri disampaikan tentang
orang yang sudah aktif terlibat pada proses pembelajaran diharapkan akan bisa
merasa lebih bahagia, dan lebih pantas untuk pemanfaatan alam sekitar. Selain
itu juga peserta didik juga aktif dalam penjagaan kesehatan, peningkatan
pengabdian untuk ketrampilan, dan berhasil dalam pengimplementasian pembedaan
(terdapat perbedaan keadaan antara sebelum dan sesudah melakukan proses
pembelajaran). Dengan
demikian dalam pembelajaran peserta didik ditekankan punya kesadaran, motivasi,
dan kondisi yang dimungkinkan untuk terjadinya interaksi antara peserta didik
terhadap sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Lebih jauh peserta didik diharapkan terlatih pada pembiasaan diri untuk
pemecahan masalah dan mampu terbiasa pada penggunaan empati beserta logikanya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan pembelajaran bisa terjadi di mana saja, tidak
hanya di dalam kelas yang sangat formal, terbatasi waktu maupun tempat, dan
kaku.
Selanjutnya untuk pendalaman tentang makna PAI, bahwasanya
secara terminologi kata Pendidikan Agama Islam dimiliki pengertian sebuah
kajian ilmu yang menjadi materi ajar serta bertujuan agar peserta didik mampu
dalam penerapan nilai-nilai Islam secara sadar (tanpa paksaan dari orang lain).
Penerapan tersebut meliputi penerapan nilai ibadah, nilai humanisme,
keselamatan (kemaslahatan), nilai patriotisme (nasionalisme), nilai semangat
dalam pengembangan diri maupun masyarakat, dan nilai-nilai kedamaian di
kehidupan sehari-hari secara konsisten. Hal ini berarti setelah peserta didik
aktif pada pembelajaran PAI diharapkan bisa termotivasi, tergugah, dan sadar
dalam pengimplementasian nilai-nilai universalisme ajaran Islam secara
konsisten dengan segenap logika atau alam pikirnya serta alam spiritualitasnya.
Analisis tentang Pendidikan Agama Islam di atas didasarkan pada pendapat Syukri
Fathuddin disampaikan bahwa hendaknya “... Pendidikan Agama Islam atau ajaran
Islam dan nilai-nilainya, agar menjadi jiwa, motivasi bahkan dapat dikatakan way of life seseorang.”
Didasarkan pada semua rangkaian penjelasan di atas
maka dapat disimpulkan sistem pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah sebuah
tatanan dari beberapa komponen pembelajaran yang terorganisir, saling terkait,
dan isinya termuat nilai-nilai agama Islam secara universal sebagai pedoman
berperilaku, berfikir, dan berkehendak dalam perjalanan hidup sampai mati.
Meninjau dari definisi tersebut maka materi dan tujuan pada sistem pembelajaran
Pendidikan Agama Islam sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan sistem
pembelajaran bidang ilmu yang lain. Di mana salah satunya Pendidikan Agama
Islam diajarkan sebagai pedoman hidup secara mendalam dan luas. Sedangkan
kebanyakan bidang ilmu lain dipelajari sebatas untuk bagaimana cara
mempertahankan kehidupan, mengembangkan kehidupan, cara menyelesaikan masalah
kehidupan, dan semacamnya tanpa melibatkan aspek ‘ketuhanan’ sama sekali.
4.
Pengertian Kecerdasan
Beragam (Multiple Intelligences)
Kata
ragam salah satu diantaranya memiliki arti pertama
“tingkah; laku; ulah” kedua “macam;
jenis” dan ketiga “warna; corak;.”
Sedangkan kecerdasan berasal dari kata dasar “cerdas” yang artinya “sempurna
perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dsb); tajam pikiran;” atau
bisa juga berarti “sempurna pertumbungan tubuhnya (sehat, kuat).” Secara
terpisah kecerdasan spiritual mempunyai arti tersendiri yaitu “kecerdasan yang
berkenaan dengan hati dan kepedulian antarsesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar berdasarkan
keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa.”
Sebagai penggagas teori multiple
intelligences, Garnder mendifinisikan
kecerdasan dengan singkat dan fungsional, yaitu “kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi
budaya tertentu.” Adapaun Alfred Binet dan Theodore Simon, membagi kecerdasan
menjadi tiga komponen: pertama
“kemampuan mengarahkan pikiran dan atau tindakan,” kedua “kemampuan mengubah arah tindakan jika tindakan tersebut
telah dilakukan,” dan ketiga
“kemampuan mengkriti diri sendiri.”
Garder juga mengatakan bahwa kecerdasan yang “utama” itu berdasarkan faktor
keturunan (gen) sehingga tidak dapat dilatih. Misalkan kecerdasan musikal,
menurutnya ada pengaruh gen yang menyebabkan seseorang pintar memainkan musik. Bahkan, menurutnya perbedaan dalam lingkungan
seseorang tidak memberikan kontribusi material terhadap perbedaan dalam kapasitas untuk membedakan irama maupun melodi.
Lebih spesifik Widayati dan Widijati
mengungkapkan bahwa kecerdasan itu tidak dapat diamati secara langsung. Diperlukan
kesimpulan dari pengamatan berberapa perilaku nyata yang merupakan perwujudan
dari proses berpikir rasional.
Dengan
demikian, penilain terhadap kecerdasan tidak harus dilakukan dengan tes tulis.
Hal ini utamanya untuk menilai kecerdasan anak kecil (balita) yang belum bisa baca
tulis.
Dari pembahasan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa arti
kecerdasan beragam adalah beberapa jenis kemampuan dasar yang salah satunya
atau beberapa diantaranya bisa menjadi ciri khas (dimiliki) masing-masing
manusia untuk berbudaya dan menjalankan kehidupan bersama. Selain itu,
Widayati dan Widijati mengklasifikasikan sifat-sifat
dari kecerdasan sebagai berikut:
1.
Adaptif; adanya respon
yang fleksibel bila ada stimulus
dalam berbagai situasi dan masalah, sehingga tahu pemecahannya dan tidak merasa
sulit setiap kali menghadapi permasalahan.
2.
Kemampuan belajar;
kemampuan belajar pada sesuatu yang baru, tergantung pada setiap anak sejauh
mana ia mampu menyerap dan menyimpan sesuatu yang baru itu.
3.
Belajar dari pengalaman
luar dan dalam dirinya; menggunakan pengetahuan sebelumnya sebagai analisis dan
pemahaman situasi yang baru,
sehingga senantiasa menunjukkan kreativitas.
Penggunaaan
istilah “kecerdasan beragam”
dalam tulisan ini dimaksudkan oleh penulis sebagai pengganti istilah multiple intelligences. Alasannya, kata
ragam secara arti (makna) lebih cocok digunakan dari pada kata lainnya. Misalkan,
kata majemuk memiliki dua arti yang satupun tidak cocok sebagai pengganti
istilah teori Gardner tersebut yaitu “terdiri atas beberapa bagian yang
merupakan kesatuan” dan “mengenai penambahan bunga kepada pokok berdasarkan
waktu dengan tujuan mendapatkan dasar baru untuk menghitung bunga berikutnya:.”
Padahal menurut teori Gardner, satu jenis kecerdasan itu bisa berdiri sendiri
dan bukan terdiri atas beberapa bagian yang saling menyatukan, walaupun kadang
kala antara jenis kecerdasan satu dengan yang lain saling mendukung (terkait).
Bilapun
menggunakan istilah kecerdasan ganda, maka kata “ganda” memiliki tiga arti
yaitu pertama “(tentang hitungan)
kali; lipat,” kedua “berbayang
(seakan-akan ada dua),” ketiga
“berpasangan (terdiri atas dua); berpasangan dua-dua (dalam bulu tangkis,
tenis, dsb).” dari
sudut pandang teori Gardner penggunaan istilah “ganda” kurang cocok karena
jenis kecerdasan menurut garder itu tak terbatas (tidak terhitung).
5.
Kegunaan
Produk
Penerapan
mutlitple intelligences dalam lingkup
satu lembaga secara konsisten, optimal, dan sungguh-sungguh mampu menciptakan
iklim sekolah yang hidup. Sekolah yang awalnya tampak mencekam dan serba kaku
menjadi lebih menggembirakan dan memuaskan hasrat peserta didik untuk belajar. Sekolah
yang awalnya muridnya sedikit menjadi lebih banyak. Sekolah yang awalnya minim
prestasi menjadi lebih banyak menelurkan prestasi. Adapun dalam lingkup mata
pelajaran dengan teori multiple
intelligences banyak guru yang terbantu memecahkan masalah murid yang tidak
mampu dan tidak termotivasi untuk melakukan pembelajaran. Dengan strategi yang
tepat banyak murid yang awalnya tidak mampu dan tidak termotivasi untuk belajar
matetimatika atau mata pelajaran lainnya akhirnya mereka bisa tergugah
“kesadarannya” untuk belajar.
Lebih
dari itu, teori multiple intelligences yang
terkait erat dengan perkembangan otak bisa mengoptimalkan penggunaan (fungsi)
otak. Artinya, peserta didik dibekali dan diajak “mengelola” otaknya sehingga
segala potensinya dapat berkembang dengan optimal. Dengan kata lain, peserta
didik yang berhasil bukanlah peserta didik yang harus menguasai kecerdasan
tertentu misalnya IQ. Namun, peserta didik yang mampu mengoptimalkan potensi
kecerdasan yang ia miliki untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Hal ini juga
terkait dengan keberagaman sosio-kultur dan geograsif (termasuk potensi alam)
daerah di Indonesia yang mengharuskan generasi mudanya mampu memenuhi berbagai
macam kebutuhan yang kompleks tersebut. Oleh karena itu, untuk memenuhinya
diperlukan suatu sistem pendidikan yang bisa melahirkan generasi yang satu
dengan lainnya punya kemampuan beragam (tidak homogen).
Selanjutnya,
berdasarkan hasil beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebagaimana
dikutip Septiani, dkk. terdeskripsi sebagai berikut:
Hasil
penelitian Temur (2007) pada pembelajaran matematika kelas IV SD di Gazi
University Foundation Private Primary School menunjukkan bahwa hasil belajar
siswa dengan penerapan multiple intelligences lebih tinggi dibanding
menggunakan pembelajaran tradisional. Penelitian yang dilakukan Bas dan Beyhan
(2010) terhadap 50 siswa kelas V SD di Turkey menunjukkan bahwa penerapan multiple
intelligences didukung pembelajaran berbasis proyek lebih unggul dibanding
metode pengajaran tradisional ditinjau dari sikap dan motivasi belajar siswa.
Hasil penelitian Xie dan Lin (2009) menunjukkan bahwa hasil evaluasi pada kelas
yang menerapkan multiple intelligences lebih unggul dibanding
menggunakan pembelajaran tradisional dilihat dari kemampuan mahasiswa dalam
mengerjakan proyek-proyek desain. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat
diketahui bahwa penerapan multiple intelligences dapat memberikan hasil
yang efektif dalam proses pembelajaran. Rizal
dan Wasis (2012) mengemukakan apabila kecerdasan majemuk ditumbuhkan,
dikembangkan dan dilibatkan dalam proses pembelajaran akan meningkatkan
efektivitas dan hasil pembelajaran.
Selain
itu, menurut
pendapat Hernowo sebagaiman dikutip Nurani
menyatakan teori multiple intelligences menjadi sistem pendidikan baru pada lembaga
sekolah.
Secara detail identifikasinya adalah sebagai berikut:
Pertama,
dulu, sekolah tepatnya para guru, memisahkan atau memberikan identifikasi
kepada peserta didiknya sebagai anak yang pandai disatu sisi dan anak yang
bodoh disisi lainnya. Sekarang, melalui penerapan kecerdasan jamak, ternyata
tidak ada anak yang bodoh, setiap anak hampir dapat dipastikan memiliki satu
atau dua jenis kecerdasan yang menonjol. Kedua, dulu, suasana kelas
cenderung monoton dan membosankan karena guru biasanya hanya bertumpu pada satu
atau dua jenis kecerdasan saja dalam mengajar, yaitu kecerdasan bahasa dan
logika matematika saja. Sekarang, melalui pembelajaran yang berbasis pada
delapan jenis kecerdasan, seorang guru dapat membuat variasi metode dan gaya
mengajarnya. Ketiga, dulu, sebagian guru seringkali agak kesulitan dalam
membangkitkan minat atau gairah belajar peserta didiknya. Sekarang, melalui
teori kecerdasan jamak, guru dapat memunculkan berbagai media dan sumber
belajar yang terdapat di lingkungan sekitar melalui contoh-contoh yang kongkrit
dan nyata sehingga mudah dipahami oleh anak.
Berangkat dari kenyataan di
atas, maka “produk” yang ditawarkan dalam makalah ini yaitu terkait teori multiple intelligences diharapkan nanti mempunyai nilai guna yang cukup
signifikan bagi proses Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Sejalan dengan itu,
produk ini semoga bisa menjadi acuan dasar bagi guru dalam melaksanakan
pembelajaran PAI. Harapan selanjutnya adalah produk ini bisa membangun
paradigma positif PAI bagi siswa, guru, dan masyarakat. Lantas pada akhirnya
PAI tidak lagi dipandang sebagai kegiatan pembelajaran “sampingan.” Namun
merupakan kegiatan pembelajaran inspiratif, penyemangat, dan fungsional.
B.
Produk Pengembangan Pembelajaran
PAI Berbasis Multiple Intelligence
1.
Tujuan Pengembangan
Pengembangan ini diharapkan
menghasilkan strategi pembelajaran PAI yang lebih fleskibel, kontekstual, dan
menumbuhkan empati peserta didik.
2.
Asumsi Pengembangan
Seluruh peserta didik
dilibatkan secara optimal, totalitas, detail, dan konsisten (sungguh-sungguh)
dalam pembelajaran berbasis mulitple intelleginces. Di mana guru mengakomodir
potensi kecerdasan masing-masing peserta didik dalam satu kegiatan pembelajaran.
3.
Spesifikasi produk
Produk ini digunakan untuk
peserta didik pada jenjang Pendidikan Menengah (SMA). Di mana diharapkan bisa
menghasilkan rancang bangun strategi pembelajaran yang lebih efektif dalam
lingkup tujuan intruksional atau tujuan pembelajaran. Secara detail spesifikasi
produk strategi pembelajaran ini adalah:
a. Penyeleksian (identifikasi)
pesert didik untuk menemukan jenis kecerdasan paling dominan yang dimiliki oleh
individu.
b. Orientasi pembelajaran PAI
diawali dengan merangsang dan menumbuhkan kecerdasan yang sesuai dengan
potensinya. Serta berupaya menemukan kemungkinan kecerdasan lain yang dimiliki
individu selain kecerdasan utama (dominan).
c. Strategi pembelajaran, siswa
mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi kecerdasan yang dimiliki.
Misalnya dalam materi zakat, diadakan simulasi (metode bermain peran/role play),
bentuk penugasan mengarang,
atau dipraktekan secara nyata dengan pembentukan lembaga (organisasi) zakat
yang berlokasi di sekolah. Lebih detailnya maka penulis membuat produk
pembagian tugas berdasarkan jenis kecerdasan masing-masing peserta didik
sebagai berikut:
NO.
|
JENIS
KECERDASAN UTAMA (DOMINAN)
|
JABATAN
|
TUGAS
|
ALAT
|
TEMPAT KERJA
|
1.
|
Linguistik-verbal
(dibutuhakn
kecerdasan spasial untuk mendesain gambar iklan)
|
Tim manajer
pemasaran
|
Membuat proposal, selebaran/pamflet
(iklan) untuk masyarakat
|
Komputer
|
Ruangan
|
2.
|
Matematis-logis-numerikal
(dibutuhkan
kecerdasan spasial untuk memetakan masyarakat berdasarkan tingkat ekonominya)
|
Tim manajer
keuangan
|
Membuat daftar prioritas penerima
zakat serta prioritas warga paling dermawan dan menghitung pengeluaran dan
pemasukan)
|
Komputer
|
Ruangan
|
3.
|
Spasial-visual
(dibutuhkan
kecerdasan interpersonal untuk mengadakan pendekatan dengan pejabat terkait)
|
Tim manajer
perencanaan
|
Memetakan warga mana saja di sekitar
sekolah yang berstatus mustahiq dan warga dermawan
|
Kertas
gambar, pensil, dan spidol berwarna
|
Lapangan
dan ruangan
|
4.
|
Kinestetik-jasmaniah
(dibutuhkan
kecerdasan matematis-logis untuk menganalisis data stastitik)
|
Tim manajer
pengelolaan barang atau perlengkapan
|
Mengambil zakat dari warga dermawan
(muzakki) disetorkan ke “panitia zakat” lalu didistribusikan kemustahiq.
|
Kendaraan,
timbangan,
|
Lapangan
|
5.
|
Musikal
(dibutuhkan
kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi teman-temannya agar mau mengikuti
komando lirik lagu yang dibuatnya)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Menggubah lirik lagu-lagu terkini
dengan lirik lagu Islami tentang zakat,
kemudian dia disuruh memimpin teman-temannya agar bersemangat dalam
menjalankan misi panitia zakat.
|
Sound,
kertas, kaset,
|
Ruangan
|
6.
|
Interpersonal
(dibutuhkan
kecerdasan linguistik-verbal untuk mengenalkan zakat kepada calon muzakki)
|
Tim manajer
humas
|
Menjadi pimpinan panitia zakat atau
ditugaskan untuk mengadakan pendekatan dengan warga dermawan (muzakki) dan
para mustahiq.
|
Kendaraan,
data statistik, materi zakat,
|
Lapangan
dan ruangan
|
7.
|
Intrapersonal
(butuh
kecerdasan interpersonal untuk mempengaruhi teman-temannya)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Memotivator teman-temannya,
meluruskan niat, dan menentukan (merumuskan) hukum dan jumlah zakat dari
semua jenis zakat
|
Kertas
|
Ruangan
dan lapangan
|
8.
|
Natural
(butuh
kecerdasan spasial untuk menyeting ruangan)
|
Tim manajer
kesegaran jiwa/mental (SDM)
|
Menata keindahan dan kenyamanan
ruangan rapat/kelas untuk konsolidasi “panitia zakat” menggunakan tanaman.
|
Pot,
tanaman, poster flora atau fauna,
|
Ruangan
|
Dari dua tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila guru hendak menerapkan
pembelajaran PAI berbasis multiple
intelligences dalam arti gaya belajarnya, maka guru harus mempunyai
kemampuan delapan jenis kecerdasan untuk mengajar peserta didik. Namun, bila
hendak menerapkannya dalam arti esensinya, maka guru harus mengakomodasi
perbedaan dan mengakui adanya kecerdasan beragam yang dimiliki masing-masing
peserta didik. Konsekuensinya, guru memberikan kesempatan pada peserta didik
untuk mengekspresikan muatan PAI sesuai dengan bidang kecerdasannya. Misalnya
dalam satu tema/materi pelajaran PAI, satu siswa ditugaskan untuk memeragakan
materi yang sesuai dengan bidang kecerdasannya (kinestetik). Sedangkan siswa
lainnya ditugaskan untuk membuat gambar terkait materi sesui dengan bidang
kecerdasannya (spasial-visual). Dengan demikian, karena tersalurkannya
potensi masing-masing kecerdasan siswa secara layak serta semuanya didasarkan
pada nilai-nilai Islam, maka diharapkan siswa akan benar-benar menjadi orang
sukses.
d. Sistem evaluasi berbasis multiple intellegences.
Peserta didik difokuskan pada bidang kecerdasannya
|
|
Revisi strategi pembelajaran
|
|
Memutuskan strategi pembelajaran
|
|
Seleksi atau identifikasi siswa
|
|
Peran PAI dalam memotivasi siswa supaya berprestasi
sesuai bidang kecerdasannya
Daftar
Rujukan
Amin, A. Rifqi. Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta:
Deepublish, 2014.
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis
Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung: Kaifa, 2010.
Conny R. Semiawan. Catatan Kecil Tentang Penelitian dan
Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Kencana, 2008.
Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ & Successful
Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta, 2005.
Fathuddin, Syukri.
“Pendidikan Islam,” dalam Din al-Islam:
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, ed. Yudiati Rahman.
Yogyakarta: UNY Press, 2008.
Howard Gardner,
“Practice Does Not Make Perfect,” http://multipleintelligencesoasis.org/practice-does-not-make-perfect/, diakses tanggal 23 Oktober 2014.
Ibrahim, R.dkk. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta:
Rajawal, 2011.
Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi.
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Penjelasan ibu Sutiah
tentang langkah-langkah R&D menurut Dick & Carey saat memberikan tugas
UAS pada mahasiswa S3 PAI semester I tahun 2014.
Putra, Nusa. Research & Development Penelitian dan
Pengembangan: Suatu Pengantar.
Jakarta: Rajawali, 2012.
Sabri, Ahmad. Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching.
Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Septiana, Dwi. dkk.
“Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Multiple
Intelligences pada Materi Pertumbuhan dan Perkembangan,” Unnes Journal of Biology Education dalam
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujeb,
diaskes tanggal 31 Desember 2014.
Setyosari, Punaji. Metode Penelitian Pendidikan dan
Pengembangan. Jakarta: Kencana,
2012.
Undang-undang Republik Indonesia No.
20 Tahun 2003, Pasal 1 ayat 20.
Widayati,
Sri dan Utami Widijati, Mengoptimalkan 9
Zona Kecerdasan Majemuk Anak. Yogyakarta: Luna, 2008.