Link
Terkait buku A. Rifqi Amin:
Buku pertama A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun)
berjudul:
BUKU-BUKU
KARYA A. RIFQI AMIN TERBEBAS DARI KEJAHATAN ILMIAH (UTAMANYA PLAGIASI)!!!
REVIEW JURNAL
Berjudul: “KONSEP
EPISTIMOLOGI PARADIGMA THOMAS KUHN”
Oleh:
Nurkhalis
Fakultas Ushuluddin
IAIN Ar-Raniry
Kopelma Darussalam Kota
Banda Aceh
Email:
nurchalis@yahoo.com
Alamat website jurnal: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=265995&val=7080&title=KONSEP%20EPISTIMOLOGI%20PARADIGMA%20THOMAS%20KUHN
Pengertian Review
Review adalah tinjauan, timbangan buku, resensi, dan pemeriksaan.
Langkah-langkah Review yang telah dilakukan terhadap jurnal di atas:
1. Membaca dan memahami seluruh isi jurnal.
2. Menandai istilah, pernyataan, dan gagasan
yang penting.
3. Mengkritisi isi jurnal dari segi penulisan,
kelengkapan isi, dan sistematika penulisan.
4. Merangkum prinsip dasar teori yang terkait
dengan pengembangan pendidikan Agama Islam.
5. Menerapkan prinsip dasar teori tersebut untuk
digunakan dalam pengembangan Pendidikan Agama Islam
A. UPAYA
MENGKRITISI ISI JURNAL
1. Penulisan
Kalimat yang digunakan sulit dipahami, antara
kata satu dengan kata lain, kalimat satu dengan kalimat lain, dan paragraf satu
dengan paragraf selanjutnya cukup sulit dihapami secara berkesinambungan. Hal
ini menjadi kendala pembaca dalam menemukan pokok pikiran inti dari sebuah
paragraf. Referensi yang digunakan sebagian besar berbahasa asing, termasuk
buku Primer Thomas Kuhn.
2. Kelengkapan
Isi
Pokok-pokok pemikiran Kuhn tentang
“paradigma” disampaikan secara mendalam. Konsep tentang paradigma diuraikan
secara detail dari berbagai tokoh-tokoh luar negeri. Akan tetapi tidak
dilengkapi dengan skema, gambar, bagan, atau ilustrasi lainnya yang memudahkan
pembaca dalam memahami konsep praktis dari teori Kuhn.
3. Sistematika
penulisan
Penyampaian dilakukan secara sistematis, akan
tetapi ada point tertentu yang seakan masih belum dijelaskan sehingga terkesan
masih ada yang kurang (terjadi lompatan bahasan). Misalnya, tidak dijelaskan
secara gamblang (contoh konkrit) tentang bagaimana sebuah paradigma itu bisa
terbangun dan “terjaga” dari ancaman “anomali” untuk beberapa waktu. Kekurangan
lainnya adalah tidak dijelaskan bagiaman suatu paradigma lama yang “digoyang”
anomali bisa bertahan.
Secara detail sistematika penulisan jurnal
tersebut meliputi sub-sub bahasan sebagai berikut:
Pendahuluan (hlm. 210), Paradigma Identik
sebagai Wordview (hlm. 212),
Paradigma Bersifat Shifting (hlm.
214), Paradigma Menjawab Puzzle Solving
(hlm. 215), Paradigma Dipahami sebagai
Revolusi Ilmiyah (hlm. 217), Hirarki Paradigma (hlm 219), Kesimpulan (hlm.
221), dan Daftar Kepustakaan (hlm. 223)
B. Rangkuman
Teori-teori Penting dalam Jurnal
Pengertian paradigma menurut berbagai tokoh
adalah keyakinan (asumsi) yang dibangun sesuai standar universal dan
worldview (cara pandang) ilmiah yang
diperoleh dari realitas yang dipahami secara individual (subjektif) sebagai
proses kreatif dan berkebebasan dalam mendapatkan pengetahuan idealis,
pragmatis, dan hedonis. Dengan demikian sains sebenarnya tidak bebas
nilai, tapi penuh dengan “nilai kepentingan.” Misalnya, penemuan-penemuan sains
tidak terjadi secara alami untuk “menemukan kebenaran” tapi memiliki tujuan
tertentu yaitu untuk mengekspoitasi alam demi kepentingan pribadi. Dalam kasus
ini paradigma “kepentingan” inilah yang terasa menonjol dari pada paradigma
“idealis”
Menurut Khun, perkembangan ilmu tidak terjadi
secara evolutif (bertahap), kumulatif (continuitas),
dan hasil dari proses penyempurnaan. Baginya kebenaran ilmu berkembang secara
revolutif, yaitu proses perubahan teori (ilmu) senantiasa berpotensi berubah
sewaktu-waktu.
Karekateristik dari konsep “paradigma” Kuhn:
1. Memberikan cara baru yang lebih menarik sehingga para ilmuwan ingin/mau
“keluar” dari zona kekakuan persaingan metode dan kegiatan ilmiah sebelumnya,
2. Memberikan permasalahan-permasalahan baru serta lebih menarik yang masih
terbuka dan belum terselesaikan.
Epestimologi paradigma: 1. Mengkritik
epistemologi sains modern yang hanya dilandaskan (direpresentasikan) pada
realitas (empiris) dan rasionalitas oleh kaum posotifistik, 2. Membuka
kesempatan lebar bahkan mendorong terjadinya revolusi perkembangan sains dengan
sebebasnya. Artinya, tidak mengakui epistemologi sains yang punya ruang otonom,
kaku, dan mengisolasi dalam pencarian kebenaran.
Bila sains pra-modern bersifat lebih alami
dan pularalis, maka sains modern bersifat bebas nilai, humanistik, dan
individualistik. Di mana kedua jenis sains tersebut selalu bertalian dengan
dinamika sejarah, perkembangan alam, dan komunitas (masyarakat) ilmuwan yang
menemukan fakta-fakta baru secara terus-menerus. Perkembangan sains tidak hanya
ditandai oelh akumulasi fakta, tetapi oleh berkembangnya metode ilmiah dan
sikap ilmiah para pengembangnya.
Menurut Kuhn, kebenaran sains bisa bertahan
tergantung pada pertama ketepatan
(ketelitian) pendapat yang dipegang teguh bersama-sama komunitas sains. Kedua, terjadinya kesepakatan antar
komunitas ilmuwan dalam mekanisme menguatkan teori lama ketika terjadi
perbedaan ilmiah terhadap teori baru. Dengan demikian, masyarakat ilmiah
merupakan instrumen yang efisien dalam mengoptimalkan dan menyelesaikan masalah
sehingga bila berhasil menyelesaikannya bisa terjadi pergeseran paradigma.
Paradigma lama ditinggalkan karena sudah
tidak dapat lagi mampu memecahkan masalah (Puzzle
Solving) dari pada paradigma baru yang lebih bermutu dalam memecahkan
masalah.
Khun menyatakan bahwa setiap penemuan (invention) selalau disertai dengan
perubahan paradigma lama yang pernah berlaku. Oleh karena itu, bila yang
dilakukan hanya pembaruan (discovery)
maka disebut revolusi kecil. Alasannya, semua hal baru berupa fakta (penemuan)
atau teori mengarah pada puncak sains normal. Serta sains normal tidak
bertujuan untuk memperbarui diri sendiri melainkan menghendaki adanya revolusi
sains.
Dalam pemahaman Kuhn, sains bukan suatu
aktifitas menemukan kebenaran di alam, karena manusia selamnya terpisah dari
kebenaran. implikasinya, kebenaran tidak memberi petunjuk terhadap sains,
akhirnya menjadikan sains mencapai kebenaran dalam target teologis. Yakni, suatu
pengungkapan bahwa kebenaran itu disebabkan karena adanya penyebab akhir (final cause).
Struktur
perkembangan sains menurut Kuhn adalah sebagai berikut:
pra paradigma -> pra science -> paradigma normal science ->
normal science -> anomaly -> krisis revolusi -> paradigma baru ->
ekstra ordinary science -> revolusi.
Keterangan:
Pra paradigma : belum ada sesuatu penemuan yang berarti
sehingga bisa dianggap ilmu.
Pra
science
: belum ada kesepakatan dari masyaraka ilmiah, perkembangan ilmu
terjadi secara individualis, tidak diorganisir, dipublikasikan secara luas, dan
belum terlegitimasi secara terbuka.
Paradigma
normal sains: suatu keadaaan ilmu yang eksis dengan cara tegas melegitimasi
sebagai kebenaran tunggal, sehingga harus terlindungi dari kritik dan
falsifikasi.
Normal
sains: kondisi di mana paradigma menjadi sangat dominan sehingga bisa digunakan
menjadi tolok ukur utama dan umum. Pada akhirnya pada masyarakat ilmuwan
terjadi kesepakatan umum.
Anomali : terjadi penyerangan terhadap
paradigma lama secara fundamenal, karena ia tidak lagi mampu menjadi harapan
bagi terjadinya discovery (pembaruan).
Akibatnya, terjadi ketidak sepakatan antar para ilmuwan dalam menanggapi
fenomena tersebut.
Krisis
evolusi: adanya gejala baru dan tidak terduga yang muncul berulangkali disertai
dengan teori-teori baru. Bila teori baru tersebut mampu menyelesaikan masalah
dari pada paradigma lama maka muncullah paradigma baru.
Paradigma
baru: ditemukannya paradigma baru yang
didasarkan pada studi ilmiah baru yang dilahirkan dari pembaruan (discovery) sehingga melahirkan teori
baru dengan metode yang lebih baik dalam memecahkan masalah.
Extra
ordinary science: Masyarakat ilmuwan sangat mendukung sains baru yang telah ada
serta meyakinkan para pendukung paradigma lama bahwa sains baru tersebut jauh
lebih memadai dari pada sebelumnya. Asumsinya, mereka mengajak para pendukung
paradigma lama untuk berpindah secara keseluruhan atau tidak sama sekali.
Revolusi:
terjadinya pergeseran paradigma karena terdapat paradigma yang lebih unggul.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada paradigma yang sempurna
dan terbebas dari anomali-anomali. Konsekuensinya, suatu teori harus mencari
jalan keluar (pemecahan masalah) dari satu paradigma ke paradigma lain yang
lebih baik, inilah fungsi revolusi tersebut.
C.
Paralesasi Konsep Epistimologi Paradigma
Thomas Kuhn Dalam Pengembangan Pendidikan Agama Islam
Pembaruan
Paradigma Pendidikan Islam harus dilakukan diawali dengan menemukan
anomali-anomali (kegagalan-kegagalan) paradigma Pendidikan Agama Islam. Setelah
itu, dilanjutkan dengan menemukan konsep-konsep baru PAI yang jauh lebih
canggih dalam menyelesaikan masalah. Kemudian konsep canggih tersebut
disebarluaskan keberbagai pihak (utamanya komunitas ilmuwan) melalui buku,
pelatihan, dan sebagainya. Bila konsep tersebut disepakati bersama maka
timbullah paradigma baru yang bisa digunakan bersama dalam kegiatan PAI.
Dari segi fungsi
praktis, PAI juga bisa digunakan untuk menyebarkan paradigma baru tentang
pemahaman tentang ajaran Islam. Bagaimana suatu ajaran itu bisa dipahami
sedemikian rupa sehingga mampu menyelesaikan masalah kontemporer. Dengan
demikian, PAI sebenarnya bukan untuk mengkultuskan pemahaman ajaran yang telah
ada. Bukan pula mencari kebenaran yang berasal dari intrepretasi manusia.
Namun, PAI berfungsi sebagai puzzle
solving (pemecah masalah) yang akan terus selalu ada dan berkembang
bentuknya. Lebih rinci berikut uraian tentang pemanfaatan konsep Kuhn dalam
pengembangan PAI:
1.
Aspek Proses Pembelajaran PAI
Dalam pelaksanaan proses
pembelajaran perlu adanya desain ulang. Di mana bila dikaitkan dengan konsep
Kuhn, salah satu contohnya guru dapat merangsang muridnya dengan menunjukkan
data-data “anomali.” Dari data tersebut diharapkan guru mampu mengubah
paradigma (nilai kehidupan, mental, dan kognisi) peserta didik ke arah yang
lebih baik. Asumsinya, selama peserta didik tidak mau merubah paradigmanya
(merevolusi) ke arah yang lebih unggul, maka tingkat pengetahuannya akan tetap
seperti semula, tidak terjadi perkembangan.
Dengan demikian, “paradigma”
lama peserta didik diguncang bukan dengan cara pendoktrinan secara langsung.
Namun, dengan cara menggunggah peserta didik bisa menemukan sendiri solusi dari
anomali yang diajukan. Khawatirnya, bila diguncang dengan cara pendoktrinan
secara langsung bisa jadi perseta didik atau orang tuanya akan menentang
“doktrin” tersebut. Kendati demikian, tidak serta merta peserta didik diberi
kebebasan untuk menemukan “kebenaran” secara liberal. Bagaimanapun otoritas
guru untuk mendoktrin harus tetap ada. Tergantung pada jenjang pendidikannya
dan latar belakang kehidupan peserta didik.
2.
Aspek Reintrepretasi Ayat Kauliyah
dalam Pembelajaran PAI
Agama Islam merupakan agama
yang benar dan sempurna. Oleh sebab itu, tak seorangpun bisa mengadakan
pembaruan terhadap ajaran (teks) Islam. Akan tetapi yang perlu diperbarui
adalah “paradigma” manusia terhadap agama. Serta bukan dinamika al Quran yang
harus digugat untuk menghadapi perkembangan zaman. Namun dinamika umat Islam
dalam memahami teks al Quranlah yang harus dimulai dan terus-menerus dilakukan
sepanjang zaman.
Hal tersebut hampir sama
maksudnya dengan pandangan Kuhn, bahwa “kunci utama perubahan revolusioner ini
ada pada metodologi. Alam tidak terlalu berubah namun metode pencarian
penjelasan akan gejala alam kadang-kadang revolutif.” Dengan kata lain bukan teks al Qurannya yang
dirubah. Namun metodologi dalam memahami teksnya yang harus dirubah
(direvolusi).
Berdasarkan pemaparan di atas,
ketika dalam proses pembelajaran ditemukan “anomali” (keganjilan) dari
paradigma manusia tentang isi al Quran maka perlu diadakan reintrepretasi
terhadap teksnya. Bagaimanapun, tafsir merupakan ilmu, sebagaimana dengan ilmu
lainnya. Walaupun tak dapat dinafikkan bahwa
konteks dan kualitas “perumusnya” tentu berbeda. Proses tersebut
dilakukan agar pembelajaran PAI bisa kontekstual dan memiliki nilai praktis
bagi masyarakat. Serta tentunya agar PAI tidak dicap bertentangan dengan ilmu
pengetahuan lain.
3.
Aspek Penggunaan Ayat Kauniyah
dalam Pembelajaran PAI
Ayat Kauniyah adalah ayat-ayat
di luar teks al Quran sebagai tanda Kemaha Besaran Allah SWT sekaligus pembenar
kandungan al Quran yang sebagiannya bersifat mungkin untuk dikembangkan. Bisa
berbentuk benda (zat/materi), peristiwa, dan mekanisme. Manusia wajib bertafakur terhadap sebagiannya dengan
akal. Dengan demikian, materi pembelajaran PAI
sebenarnya tidak hanya berhenti pada aspek normatif dan doktrin ajaran agamanya
saja. Namun, bagaimana menjadikan peserta didik mampu memahami, menghayati, dan
memanfaatkan alam ini menjadi lebih baik. Yakni, dengan cara pengembangan ilmu
pengetahuan yang muaranya bisa terciptanya produk yang berguna bagi kehidupan
manusia.
Sebagaimana menurut “paradigma”
Kuhn seperti pembahasan sebelumnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu
tidak pernah bisa lepas dari nilai. Termasuk di dalamnya nilai-nilai agama,
sosial, dan kemanusiaan. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak bisa berdiri
sendiri. Nilai tersebut memiliki peran yang sangat signifikan dalam menentukan
arah perkembangan ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan, tanpa adanya unsur nilai
maka kehadiran ilmu pengetahuan akan hampa tanpa makna. Adanya hanya kepuasaan,
kesenangan, dan kehidupan yang semu. Bahkan bila terus-menerus dibiarkan akan
berujung pada bencana kehidupan manusia.
Pernyataan tersebut diperkuat
oleh pemaparan Nurcholis Madjid bahwa penggunaan ayat-ayat Allah yang kauliyah
beserta kauniyah perlu dipahami dan diberi intrepretasi sesuai dengan kenyataan
terkini. Dengan intrepretasi beserta reintrpretasi tersebut menjadikan agama
mampu dan sejajar atau bahkan posisinya lebih tinggi dan teratas dalam
berdialog dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
D. Kesimpulan
Dari semua pembahasan sebelumnya dapat simpulkan
bahwa gagasan “paradigma” juga “revolusi” ilmu pengetahuannya telah membuka
jalan lebar bagi segala macam ilmu untuk ikut serta dalam pengembangan diri.
Bagaimanapun, Allah SWT telah memberikan dan menunjukkan berbagai “fenomena”
kehidupan, sehingga tugas ilmuwan adalah “membuat” teorinya. Termasuk di dalamnya
“ilmu” Pendidikan Agama Islam yang selama ini dianggap sebagai ilmu dogmatis
yang tidak dapat dianggap (tidak memenuhi syarat) sebagai ilmu pengetahuan.
Ilmu Pendidikan Agama Islam
sebagai salah satu “alat” agama Islam untuk mengembangkan ajarannya perlu
diinovasi dan diperbarui. Yakni, dengan cara reintrepasi atau penafsiran ulang
terhadap sebagian “paradigma” lama yang dipandang sudah tidak mampu lagi
memecahkan masalah kekinian. Dengan kata lain, bila melihat konteks kehidupan
masyarakat sekarang ini kebutuhan terhadap revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan Pendidikan Agama Islam merupakan kebutuhan.
Ide-ide Kuhn tersebut memang di satu sisi oleh
kalangan positivistik tidak bisa dikatan ilmiah. Namun, berkat ide-ide yang
cermelangnya tersebut, Khunian bisa menyentuh konteks masyarakat yang tidak
bisa dijangkau oleh kaum positivistik. Misalnya, apakah kaum positivistik bisa
menyentuh aspek sosiologis, psikologis, dan kepercayaan yang menancap kuat pada
suatu fenomena secara tepat dan mendalam. Selain itu dari gagasan Khun
tersebut, sebenarnya ilmuwan diajak untuk berfikir kritis. Di mana dengan sikap
kritis itu kemungkinanan besar intesites perkembangan ilmu pengetahuan akan
berjalan dinamis sesuai zamannya.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Contoh Review Jurnal"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*