UPAYA KRITIK TERHADAP GAGASAN JOHN F. HAUGHT TENTANG RELASI ANTARA AGAMA-SAINS
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Masalah
Kajian
tentang hubungan antara agama dengan sains merupakan tema terhangat pada satu
dasawarsa terakhir ini. Bagaimana tidak, selama berapa ratus tahun hubungan
antara sains dengan agama merenggang, utamanya setelah tragedi Galileo yang
dihukum mati oleh para tokoh teologi. Terlebih, setelah sains mampu menunjukkan
taring dengan berbagai karya “revolusi industrinya,” sehingga berani mengklaim
bahwa sains merupakan satu-satunya solusi bagi semua permasalahan kehidupan
manusia. Di sisi lain, agama sebagai “otoritas” tidak mau kalah, teks wahyu
diklaim sebagai kebenaran tunggal dan mutlak, harus diikuti tanpa boleh
dikritik sedikitpun. Pada akhirnya tibalah pada titik puncak, hingga seolah
terjadi kerinduan mendalam dari sebagian kalangan untuk menyatukan agama dengan
sains. Namun, dalam masalah ini timbul perdebatan, penyatuan seperti apakah
yang dikehendaki? Di sinilah banyak aroma kritis terhadap berbagai upaya
integrasi yang dilakukan siapapun.
Permasalahan
tersebut menjadikan inspirasi penulis untuk merumuskan fokus pembahasan pada makalah
ini. Di mana dikhususkan pada salah satu tokoh teolog Katolik Roma, yang ahli dalam bidang teologi sistematis
dari Universitas Georgetown di Amerika,
yaitu John F. Haught.
Penulis berusaha mengkritisi peran Haught terkait gagasannya yang paling
“orisinil” yaitu perjumpaan antara agama dan sains melalui pendekatan
konfirmasi. Pendalaman
mengenai permasalahan tersebut dirasa sangat penting. Mengingat, selama ini
perjumpaan antara agama dan sains hanya bersifat basa-basi (perjumpaan semu).
Di mana meski dikatakan saling mendukung tapi pada kenyataannya dukungan
tersebut karena faktor keterpaksaan. Yakni, sebagai dalih pembenaran bahwa
sains dan agama bisa saling berkerjasama. Kenyataannya, di antara keduanya
ternyata masih ada saling kecurigaan satu sama lain.
Terkait
hal tersebut, maka dipandang sangat penting untuk merumuskan perjumpaan yang
idealis antara agama dan sains. Bukan didadasarkan pada kepalsuan belaka,
dengan maksud menenangkan “permusuhan” antara masyarakat ilmiah dengan
masyarakat agama. Namun, sesungguhnya didambakan perjumpaan yang benar-benar
menciptakan kesatuan epistemologi antara agama dengan sains. Lebih gamblangnya,
konsep Haught tentang empat tingkatan model relasi sains dan agama memungkinkan
bagi masyarakat pengikut keduanya untuk saling intropeksi. Dengan itu, lambat
laun keduanya akan menemukan jati diri masing-masing, yang mana sesungguhnya
dalam jati diri antara keduanya pada intinya tidak ada perbedaan. Di sinilah
kesalingmengertian, memahami, dan “manjaga” akan terjadi satu sama lain.
Salah
satu yang mendasari pemikiran Haught, sehingga dimungkinkan terjadi saling
konfirmasi antara keduanya adalah teologi itu bersifat adaptif.
Asumsinya, bila ada teologi yang statis sesungguhnya bukan teologinya yang
statis tapi pemahaman manusia terhadap ajaran agamalah yang “menstatiskan”
teologi. Dengan dasar pemikiran itu, para teolog ataupun pengikut agama tidak
akan cemas (curiga) bila sains telah menemukan hal-hal baru. Sebaliknya, mereka
akan memperhatikan bahkan menunggu perkembangan sains dengan seksama, tapi pada
saat yang sama tetap kritis (ilmiah) dan menjadi manusia yang religius.
Impian
seperti itu bukan tanpa kendala sama sekali, bagi kaum
“pesimistis,” menyatukan antara dua hal yang “berbeda” merupakan sebuah
kesulitan (sebagai ganti dari kemustahilan). Ajaran agama didominasi oleh
keimanan (faith), di sisi lain sains
didominasi oleh materialsime, empiris, dan rasional-objektif. Di mana paradigma
keimanan merupakan sesuatu yang tidak bisa disentuh (diurai) dengan paradigma
(metode) sains. Dari dua paradigma tersebut bila dipertemukan maka bisa terjadi
sebuah resistensi.
Dari
kenyataan tersebut, Haught mencoba menawarkan paradigma baru, yaitu upaya
perjumpaan secara konfirmatif. Tujuannya adalah mengupayakan agar semakin
banyak studi tentang teologi yang menghasilkan cara-cara lebih mendalam tentang
bagaimana agama (teologi) melandasi dan memelihara seluruh kegiatan ilmiah.
Dengan demikian, secara tidak langsung dia ingin mengajak (memaksa) kaum
agamawan untuk merangkul sains. Namun, di sisi lain membiarkan ilmuwan
(saintis) tetap bekerja secara “liar”
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Alasannya, Haught tidak pernah secara
tegas mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai.
Yakni, paradigma apapun tidak boleh mempengharuhi ilmu pengetahuan dalam
menciptakan atau mengembangkan sesuatu, terkecuali “paradigma” agama
saja.
Dari
semua pembahasan di atas, penulis berasumsi bahwa ada konsep-konsep dari Haught
yang masih perlu dikrititisi. Bagaimanapun, latar belakang keilmuan maupun
teologi yang melekat padanya senantiasa mempengaruhi ide-idenya. Kendati
demikian, terlepas dari beberapa kelemahan yang dimilikinya maka pembahasan
makalah tentang konsep Haught tetap menjadi daya tarik. Mengingat, keberaniannya
dalam mengajak kaum agamawan bertindak realistis untuk “mengilmiahkan” pemahaman
(tafsir) tentang teologi. Hal itulah yang menjadi inspirasi bagi siapapun untuk
mengintegrasikan agama dengan sains.
B.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep Dasar yang meliputi:
pengertian relasi (hubungan) sains dengan agama, identifikasi empat model
perjuapaan sains dengan agama, dan kritik terhadap gagasan Haught
b. Gagasan John F. Haught tentang
rekonstruksi hubungan sains dengan agama
c. Implementasi Paradigma baru relasi
sains dengan agama dalam dunia PAI
BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian
Relasi Sains dengan Agama
Supaya
terjadi pemahaman utuh tentang permasalahan yang dibahas dalam makalah ini,
maka dipandang perlu menkonstruk definsi tema yang dibahas secara utuh. Upaya
itu dimaksudkan untuk mengkaitkan antara nomenklatur yang digunakan pada makalah
ini dengan gagasan yang dibangun oleh John F. Haught. Salah satu contohnya yang
paling mencolok yaitu digunakannya istilah “sains” bukan istilah lain, semisal
“ilmu pengetahuan.” Alasannya kata “sains” yang dibangun dan diarahkan oleh
Haught kebanyakan tertuju pada “sains alam” atau ilmu pengetahuan alam.
Misalnya membahas masalah teori evolusi (biologi), alam semesta (kosmologi),
dan ekologi.
Kenyataannya,
sangat sedikit sekali Haught mengangkat “sains sosial” atau ilmu pengetahuan
sosial sebagai “sains” yang diperjumpakan dengan agama. Bilapun ada, ternyata
“sains sosial” itu tidak lain adalah sosok “agama” itu sendiri yang
dipertemukan dengan “sains alam.” Dengan kata lain, sains dalam prespektif
Haught di sini adalah hanya menyentuh pada yang empiris/kebendaan (alam), bukan
masalah kejiwaan (psikologi), budaya (antropologi), maupun etika (sosial). Oleh
karena itu, penulis memutuskan menggunakan kata “sains,” karena kata tersebut
secara “definisi” memang lebih condong pada “sains alam.”
Sebagaimana
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa kata “sains” punya arti pertama ilmu
pengetahuan pada umumnya, kedua pengetahuan
sistematis tentang alam dan dunia fisik, temasuk ilmu tentang makhluk hidup dan
benda mati secara detail (ilmu pengetahuan alam), ketiga pengetahuan sistematis yang diperoleh dari observasi,
penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip
sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari dan sebagainya.
Dari definisi tersebut, kandungan arti pada umumnya mengarah pada sains alam
(ilmu pengetahuan alam). Dengan demikian, penggunakan nomenklatur “sains” pada
makalah ini dipandang tepat bila dikaitkan dengan gagasan Haught yang juga
cenderung ke arah tersebut.
Adapun kata “relasi” berarti pertama “hubungan; perhubungan;
pertalian:” kedua “kenalan:” ketiga “pelanggan.” Sedangkan kata
“agama” punya arti “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan)
dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.”
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa kata “relasi” bermakna menjalin
hubungan, pertemanan, atau kerjasama yang saling menguntungkan. Selanjutnya,
kata “agama” bermakna ajaran dogmatis dan transendental yang terkait dengan
pergaulan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Dari semua pembahasan di
atas, dapat disimpulkan definisi tentang relasi antara agama dengan sains dalam
makalah ini adalah kerjasama saling menguntungkan antara “dogma” agama yang
diajarkan dan
tersistem di seluruh komponen mayarakat (manusia dan lingkungan) dengan ilmu
pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik.
B.
Identifikasi
Empat Model Relasi Sains dengan Agama
Sesuai
dengan penjelasan di Bab I latar belakang masalah, gagasan Haught tentang empat
model relasi sains dengan agama sesungguhnya bukan murni hasil pemikirannya
sendiri. Barbour punya andil besar dalam pengklasifikasian empat tipe
pendekatan tersebut. Haught menyebutkan istilah konflik,
kontras,
kontak,
dan konfirmasi.
Adapun Barbour mengemukakan istilah konflik, independensi,
dialog,
dan integrasi. Bila
digambarkan maka perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut:
Dari
gambar tersebut, dari sudut pandang
gagasan Haught, menurut paradigma kaum yang mendukung pendekatan konflik mengatakan antara agama itu saling “bermusuhan.”
Di mana agama menentang sains dan sains membatalkan konsep agama. Di antaranya
keduanya mustahil bisa dirujukkan. Untuk para pendukung pendekatan kontras (Barbour menamakan pendekatan independensi) lebih longgar pernyataannya. Mereka
mengatakan, silakan yang mau percaya gereja (agama) dan silakan yang mau
percaya Galileo (sains). Masing-masing punya wewenang untuk memberi tanggapan
terhadap masalah yang sangat berbeda. Gereja mengurusi masalah imateri, di sisi
lain “Galileo” mengurusi masalah materi (kebendaan). Keduanya memiliki batas
wilayah masing-masing dan tidak dapat disatukan. Adapun para pengusung Pendekatan kontak (gabungan gagasan
Barbour, antara pendekatan dialog dengan pendekatan integrasi) menggagas usaha
agar kedunya saling “berkenalan.” Caranya adalah dengan dialog, interaksi,
penyesuaian, dan saling memahami. Utamanya, bagaimana sains ikut mempengaruhi
pemahaman teologis dan religius. Terkhir, pendekatan
konfirmasi menyatakan bahwa antara keduanya saling mengonfirmasi atau
menguatkan. Telah terjadi titik temu, tapi bukan pada bidang metode dan tidak
terjadi peleburan. Kedudukan agama
sebagai dasar dan sumber inspirasi dalam “menghidupkan” pengembangan ilmu.
Sedangkan menurut gagasan
Barbour, para pendukung pendekatan
independensi mengangkat isu eksistensi masing-masing di antara keduanya. Di
mana, masing-masing mengakui keabsahan “kebenaran” yang lain serta menyatakan
bahwa antara sains dengan agama tak ada irisan satu sama lainnya. Selanjutnya,
para pengusung pendekatan dialog
mengatakan di antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan
antara ilmuwan dan agamawan, bahkan kemungkinan bisa saling mendukung. Dari
empat pendekatan yang dikemukaan, Barbour memilih (mengunggulkan) hubungan yang
keempat, yaitu pendekatan integrasi.
Dari gabungan antara sains dan agama tersebut, ia mengemukakan dua varian
integrasi. Pertama, teologi natural (natural theology) yaitu teologi yang
mencari dukungan (pembenaran) pada penemuan-penemuan ilmiah. Kedua, teologi alam (theoloy of nature) yaitu teologi yang
sangat dimungkinkan merubah pandangan (pemahaman teks) teologis tentang alam, disesuaikan dengan
penemuan-penemuan sains yang mutakhir tentang alam.
Dari semua penjelasan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa empat model relasi antara sains dengan ilmu itu secara
historis bukanlah suatu sifat pentahapan. Yakni, yang awalnya berkutat pada
persoalan konflik kemudian lambat laun seiring dengan perjalanan sejarah menuju
pendekatan konfirmasi. Meski demikian, secara epistemologi empat model ini merupakan
suatu tahapan (perjalanan) dari yang awalnya mempertentangkan antara keduanya
menuju hubungan “pengonfirmasian.” Dengan kata lain terjadi penyatuan
epistemologis.
Pada fase tersebut, masing-masing pengusung tipe pendekatan punya argumen yang
meyakinkan. Seakan semua argumen tersebut dapat diterima secara rasional,
sehingga berhak menjadi kebenaran. Namun, Haught lebih “membela” pendekatan
kontak dan pendekatan konfirmasi
yang dinilai jauh lebih “rasional” daripada yang lainnya.
C.
Kritik
Terhadap Gagasan Haught
Haught
sebagai individu
yang “beragama” hampir bisa dipastikan setiap pikiran yang
“ditelurkan” dipengaruhi oleh agamanya. Hal ini terindikasi dalam hasil
wawancara yang dilakukan Jon M. Sweeney terhadap Haught. Salah satu pernyataan
Haught adalah:
Anyway, if the God of Christian faith is a God of love then God would not
overpower the world and force it to conform too closely to a rigid
design. A God of love would not compel the world to follow a stiffly
prefabricated itinerary. Otherwise freedom would not exist.
Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Tuhannya iman Kristen
ialah Tuhan yang Pengasih. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memaksa dunia agar sesuai “desain’’ yang
kaku. Dengan kata lain Tuhan harus memberikan kebebabasn kepada alam untuk
menyesuaikan diri. Lebih detail, dari wawancara selanjutnya,
ia mengemukakan:
Furthermore, God, we may now assert with the Bible, is not exclusively “up
above,” but also “up ahead.” In some sense God is the world’s future just
as God was Abraham’s and Jesus’s future. Reflecting on the evolutionary
process allows theology to retrieve a deeply biblical sense of God as One who
makes promises and thus always opens up a new future not just for us but for
the whole universe. God is the “One who makes all things new.” This is not
so much a qualitative change in our understanding of God as a radical recovery
of forgotten biblical insights. The epic of evolution expands our sense of God
by making us realize that divine care embraces the destiny of the whole cosmos.
Pernyataan Haught tersebut lebih banyak menekankan kata Alkitab,
Yesus, dan Biblikal. Di mana kata biblikal sering muncul atau
disebutkan dalam bukunya. Kendati demikian penulis juga menyadari bahwa usaha dia
dalam menyatukan epistemologi Agama “salibis” dengan Sains “alam” menjadi
inspirasi bagi siapapun yang ingin mendamaikan dua entitas sains secara umum
dan agama secara terperinci. Termasuk bagi tokoh-tokoh Islam sekalipun, dengan
mengkonversikan gagasan Haught tersebut ke dalam epistemologi Islam secara
utuh. Bagaimanapun Haught ikut andil besar dalam meramaikan tren integrasi di
era posmodern ini. Oleh karena itu, “panggilan” integrasi Haught harus
direspon dengan positif.
Adapun
Mohsen Miri dalam “pengantar” mengkritisi (perlu diadakan telaah secara
seksama) beberapa gagasan Haught yang terurai sebagai berikut:
a. Perspektif teologi (agama)
secara mutlak harus direvisi, untuk disesuaikan dengan perpsektif “teori
evolusi.”
b. Teologi itu bersifat dinamis,
tidak mutlak. Oleh karena itu, konsep (pemahaman) manusia tentang Tuhan juga
harus dinamis. Misalnya, pemahaman Tuhan tentang Kemahakasihsayangan diartikan
Tuhan “rela” membagi kekuasaannya (memberi izin) kepada alam (termasuk manusia)
untuk menata diri mereka sendiri (konsep evolusi).
c. Kemahakuasaan dan Kemahatahuan
Tuhan terancam menjadi terbatas, karena Ia tidak menguasai (merancang) dan
mengetahui kejadian di masa datang. Alam dibiarkan berevolusi menuju puncak
“seleksi” alamnya sendiri. Bila konsep itu ada, maka teori evolusi dapat
diterima oleh Agama. Dengan kata lain, Haught berpandangan bahwa Tuhan
menurunkan (mengejawantahkan) sifatnya (utamanya Kemahakuasaan) kepada alam.
Artinya, prinsip evolusi adalah proses Tuhan dalam menjalankan sifat
Kemahakuasaan yang “diberikan” terwujud dalam bentuk proses alam.
d. Tujuan alam, termasuk tujuan
penciptaannya, tidak dapat dicari pada wilayah sains. Begitu pula juga tidak
akan tersingkap oleh agama. Oleh karena itu, biarkan itu tetap menjadi rahasia
dan harus tetap menjadi rahasia selamanya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Haught
seakan menghalalkan segala cara. Tidak lain, tujuannya agar “penggabungan”
antara sains dengan agama bisa tercapai. Selain itu dapat digambarkan bahwa Haught
sesungguhnya lebih menekankan penggabungan antaran sains dengan agama untuk
mencari kebenaran ilmu tertinggi. Akibatnya, segala apa yang dilontarkannya
seakan bersifat terburu-buru. Hanya mencari jalan pintas dengan berbagai dalih,
demi mengandalkan rasionalitas dan keobjektifan. Padahal menurut Thomas Kuhn,
pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan
bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk tujuan puzzle-solving.
Dengan konsep Kuhn ini, “kebenaran” dari paradigma tertentu, misalnya agama,
tidak boleh menghakimi kebenaran paradigma lain, misalnya sains. Asumsinya,
setiap kebenaran tersebut sifatnya tidak kekal, karena akan ada kebenaran lain
yang lebih kuat setelah ditemukan melalui proses ilmiah di kemudian hari.
Dari
pemaparan tersebut, bila dikaitkan dengan gagasan Haught tentang pemahaman
(tafsir) teks harus dirubah untuk disesuaikan dengan “kebenaran” ilmiah -yang
bisa jadi sifatnya sementara- maka akan terjadi ketidak konsistenan dalam
(memahami) beragama. Asumsinya, ketika suatu saat ditemukan kebenaran
(paradigma) baru apakah pemaham teks tersebut harus disesuaikan lagi?
Selanjutnya, penulis merumuskan analisis sebagai kritik gagasan Haught, utamanya pertanyaan mendasar “Seberapa lama
eksistensi sains ilmiah (teori evolusi) akan bertahan dari hantaman teori
penentangnya di kemudian hari?” permasalahan inilah yang tidak disentuh Haught,
seakan teori evolusi sudah menjadi harga mati dan kebenaran satu-satunya dalam
ilmu alam maupun ilmu sosial, sehingga agama harus dipaksa menyesuaikan diri
dengannya.
Implikasi
lain dari gagasan Haught adalah teori evolusi memberikan ruang bagi pemahaman
tentang Rahmat Ilahi yang tak terbatas. Hal tersebut ditekankan karena Tuhan
membuka lebar kesempatan, proses kebetulan (ketidak sengajaan), dan
“kecelakaan” bagi mekanisme alam semesta. Dengan kata lain Tuhan memberikan hak
independen (otonom) kepada alam semesta untuk menata diri sebagai wujud
karunia-Nya. Bila pandangan itu disetujui, akibatnya secara tidak langsung akan
meniadakan nilai kewibaaan Tuhan. Tuhan hanya direpresentasikan sebagai Yang
Maha Kasih, tidak lebih dari itu. Dengan kata lain, nilai-nilai kemahatahuan,
kemahajeniusan, kemahamengaturan, dan kemaha-lainya dihapuskan begitu saja demi
untuk menyamakan antara agama dengan sains.
Permasalahan
lainnya adalah dalam gagasan Haught seakan sains itu bisa memberikan
“pencerahan” berjangka sangat panjang
kepada manusia seperti halnya agama. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan
disejajarkan dengan agama untuk dijadikan patokan dalam mendapatkan kebenaran.
Meskipun dalam beberapa pernyataanya secara serta-merta ia menolak saintisme.
Asumsi itu berbanding terbalik dengan pemahaman (khususnya Islam) bahwa teks
kitab suci (ayat kauliyah) itu abadi. Sedangkan “teks alam” (salah satu
komponen ayat kauniyah) sebagai sumber ilmu pengetahuan murni, baik secara
fisik maupun pemahamannya (tafsir) senantiasa dinamis. Meski penulis juga
sepakat bahwa pemahaman (tafsir) terhadap kedua teks tersebut juga senantiasi
dinamis.
Artinya,
secara “keabadian” atau masa waktunya, Haught menganggap bahwa antara kedua
teks memiliki sifat keabadian yang sama. Padahal alam hanyalah materi (benda)
yang sangat multi makna, lebih multi makna dari pada teks (bahasa). Selain itu
“alam” adalah benda mati yang menjadi objek bagi budaya, sedangkan teks “wahyu”
bisa wujud tidak bisa lepas dari manusia.
Akhirnya,
sebagai penutup penulis akan meangalisis secara “nakal” tentang semesta. Di mana, dulu tata surya dianggap jumlahnya hanya satu yaitu
tata surya “Matahari.” Ternyata keyakinan itu kemudian terbantahkan, tata surya
berjumlah banyak. Bahkan penemuan selanjutnya, galaksi (kumpulan berjuta tata
surya) jumlahnya pun ternyata juga banyak. Dan ternyata alam semesta (kumpulan
galaksi) ini hakikatnya tidak statis (diam) tapi senantiasa bergerak mengembang
akibat dari kelanjutnya teori “big bang.” Pertanyaan menggelitik selanjutnya
adalah jangan-jangan alam semesta ini tidak tunggal tapi banyak? Inilah
kelemahan dari sains yang mempunyai keterbatasan jangkauan waktu dan kebenaran
yang tidak “permanen.”
Di
sisi lain, agama memiliki modal teks (wahyu) yang belum tentu bisa dipahami
dengan sebenarnya dan seutuhnya oleh pemeluknya. Bisa jadi, apa yang dikemukakan di dalam teks
(wahyu) tentang kosmos memang sesuai dengan kenyataan di lapangan. Akan tetapi
faktor kelemahan manusialah yang belum mampu memahami hakikat teks secara
sesungguhnya. Menemukan jawaban atas “apa maksud” teks tersebut di turunkan
oleh Allah kepada manusia adalah sesuatu yang sulit didapatkan. Dengan kata lain, teks wahyu (ayat kauliyah) dengan
teks alam dan teks sosial (ayat kauniyah) adalah sesuatu hal yang tidak dapat
terpisahkan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, gagasan Haught
tidak boleh serta-merta ditelan mentah oleh umat Islam. perlu konsep lain yang
mampu menghadirkan gagasan dari pandanang Islam. Wallahu a’lam bishawab.
Teologi adalah bagian dari pemahan
manusiawi yang senantiasa bergerak, sehingga ketika teologi ditemukan dengan
“perubahan” sains maka pemahaman manusia tersebut dimungkina juga terjadi
perubahan (menyesuaikan diri). Lihat,
Muhammad Thoyib, Model Integrasi Sains dan Agama dalam Perspektif J.F Haught
dan M. Golshani: Landasan Filosofis Bagi Penguatan PTAI di Indonesia (STAIN Ponorogo,
email: thoyibmuhammad99@yahoo.co.id).
Haught lebih cenderung mengatakan
ilmu pengetahuan dimaknai sebagai hasil proses pencarian kebenaran dari pada
untuk mencari “makna” atau “nilai,” terlebih untuk mencari jalan keluar atas
permasalahan hidup. Di sinilah tugas agama berkewajiban “membimbing” sains
sehingga sains bisa bermakna. Sebagaimana menurut Thoyib, bahwa “dalam
pandangan Haught sains tidak bisa memenuhi dirinya sendiri (self sufficient)
dalam melakukan upaya-upaya ilmiah. Sains selalu merujuk atau mengakar pada
keimanan (faith)... Oleh karena itu sains tidak bisa berdiri sendiri,
namun ia bergantung pada entitas yang sifatnya permanen tersebut. Haught
mendefinisikan nilai permanen tersebut sebagai sumber inspirasi yang akhirnya
menghidupkan dan mengembangkan lebih jauh eksplorasi ilmiah. Hal yang bersifat
tetap dan selalu mendasari sains tersebut adalah “iman” (faith) bahwa
alam semesta bersifat teratur (beserta hukum yang menyertainya) dan rasional. Lihat, Thoyib, Model Integrasi Sains,
(STAIN Ponorogo, email: thoyibmuhammad99@yahoo.co.id).
Kontak artinya hubungan yang dekat
(tersembung dan bertemu) satu pihak dengan yang lainnya. Lihat, Ibid.
Menurut A. Khudori Soleh, Haught
(termasuk Barbour) berusaha memecahkan permasalahan dan kelemahan dari
epistemologi yang tidak utuh. Yaitu, yang hanya mengunggulkan nalar empirisime
sehingga terjadi reduksionisme yang menyebabkan penggambaran tentang dunia dan
realitas tidak dilakukan dengan tepat. Selain itu, “rasionalisme dan empirisme
yang lepas dari ajaran wahyu dan agama telah menyebabkan terjadinya kekeringan
spiritual dan hilangnya jati diri manusia dan kemanusiaan.” Intinya, Haught
ingin mengisi kekurang-kekurangan dari epistemogi tersebut dengan mengisinya
dengan epistemologi lain (agama) sehingga menjadi epistemologi baru yang utuh. Lihat, A. Khudori Soleh, Integrasi Agama dan Filsafat (Malang:
Uin Maliki, 2010), hlm. 8.
Every science leaves something out
that future generations may partially uncover. And every religious symbol or
teaching leaves something out too. The depth beneath the surface is
inexhaustible. For that reason we can say that both science and religion
have an indefinitely long future ahead of them. Lihat, Sweeney , “The New Atheists’,” diakses tanggal 19 November
2014.
Sain“Unfortunately, scientific naturalists and the
new atheists believe that science can in psrinciple capture everything that
exists beneath the surface. They have lost all sense of the limitations of
science. As a result they
present us with a world from which God, purpose and values are inherently
missing. This is what scientism, belief in the unlimited range of
science, leads to: a shallow, dimensionless world. Lihat, Ibid.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "UPAYA KRITIK TERHADAP GAGASAN JOHN F. HAUGHT TENTANG RELASI ANTARA AGAMA-SAINS"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*