Ilustrasi Budaya Religius di Sekolah (Sumber gambar formula suela) |
PENGEMBANGAN BUDAYA AGAMA DALAM KOMUNITAS SEKOLAH
oleh: Jadid
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Budaya religius merupakan
salah satu aspek
yang holistik dalam dunia pendidikan. Karena dalam perwujudannya
terdapat pemberian teladan dan penyiapan generasi muda
agar dapat mandiri dengan mengajarkan moral secara bertanggung
jawab dan
ketrampilan hidup
yang lain[1]. Oleh karena itu, mewujudkan budaya religius di sekolah
merupakan salah satu upaya untuk
menginternalisasikan nilai keagamaan ke
dalam diri siswa.
Selain itu, juga
menunjukkan fungsi sekolah sebagai lembaga yang berfungsi mentransmisikan budaya[2]. Sekolah merupakan tempat internalisasi budaya religius kepada
siswa agar memiliki pertahanan
yang kokoh dalam membentuk karakter yang luhur.
Sedangkan karakter yang
luhur merupakan pondasi dasar untuk memperbaiki sumber
daya manusia yang semakin
hari kian terkikis.
Budaya religius tidaklah sama dengan suasana religius. Kalau suasana religius berarti suasana yang
bernuansa religius, seperti sistem absensi dalam sholat berjama’ah dan membaca doa
setiap akan
memulai pelajaran, yang
biasa diciptakan untuk menginternalisasikan nilai-nilai religius ke dalam diri siswa.
Akan tetapi budaya religius yaitu
suasana religius yang telah menjadi kebiasaan (habit)
dalam aktifitas sehari-hari.
Budaya religius merupakan
upaya pengembangan pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Karena dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional
(UUSPN) No. 20 tahun 2003 pasal 1 dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar
dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
siswa
secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara[3]. Dan secara terperinci tujuan pendidikan Nasional dijelaskan dalam pasal 3 UUSPN No 20 tahun 2003, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab[4].
Oleh
karena itu, penulis menganggap
perlu untuk menyusun
sebuah makalah
dengan mengambil topik "Penciptaan Budaya
Religius di Sekolah”.
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Konsep
Budaya Religius
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
budaya diartikan sebagai pikiran,
adat
istiadat, sesuatu yang
sudah berkembang, sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar
diubah[5]. Istilah budaya, menurut Kotter dan Heskett, dapat diartikan sebagai totalitas pola
perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan
pemikiran manusia yang
mencirikan kondisi suatu
masyarakat atau penduduk
yang ditransmisikan
bersama[6]. Budaya atau culture merupakan istilah yang datang dari disiplin
antropologi sosial.
Dalam
dunia pendidikan budaya dapat digunakan sebagai salah satu transmisi
pengetahuan, karena sebenarnya yang tercakup dalam budaya sangat luas. Budaya
ibarat perangkat yang berada dalam otak manusia dan menuntun persepsi, mengidentifikasi apa yang
dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta menghindar
dari yang lain.
Berdasarkan
konsep diatas, penulis
memahami kebudayaan merupakan suatu prestasi
hasil kreasi manusia yang bersifat immaterial. artinya berupa bentuk-bentuk prestasi
psikologis seperti ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni dan
lain sebagainya. Agar budaya tersebut menjadi nilai-nilai yang
langgeng, maka harus ada proses internalisasi budaya. Internalisasi adalah
proses menanamkan
dan menumbuhkembangkan suatu
nilai atau budaya menjadi bagian diri (self)
orang yang
bersangkutan.
Penanaman
dan penumbuhkembangan nilai
tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran[7].
Proses pembentukan budaya terdiri dari sub-proses yang saling
berhubungan antara lain: kontak budaya, penggalian
budaya, seleksi budaya, pemantapan budaya, sosialisasi budaya, internalisasi budaya, perubahan budaya, pewarisan
budaya yang terjadi
dalam
hubungannya dengan
lingkungannya secara terus menerus dan
berkesinambungan[8].
Budaya itu paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan
sebagai 1) suatu
kompleks ide-ide, gagasan nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya, 2) suatu kompleks aktivitas kelakukan dari manusia dalam masyarakat,
dan 3) sebagai
benda-benda karya manusia[9].
Jadi yang dinamakan budaya adalah totalitas pola kehidupan manusia yang lahir
dari pemikiran dan
pembiasaan yang
mencirikan suatu
masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama. Budaya merupakan hasil cipta, karya
dan
karsa manusia yang
lahir atau terwujud setelah diterima
oleh masyarakat atau komunitas tertentu serta
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran tanpa pemaksaan dan
ditransmisikan pada generasi selanjutnya secara bersama.
Religius biasa diartikan dengan kata agama. Agama
menurut Frazer, sebagaimana dikutip Nuruddin,
adalah sistem kepercayaan yang
senantiasa mengalami
perubahan dan
perkembangan sesuai
dengan
tingkat kognisi
seseorang[10]. Sementara
menurut Clifford Geertz, sebagaimana dikutip Roibin,
agama bukan hanya masalah spirit, melainkan telah terjadi hubungan intens antara agama sebagai sumber
nilai dan agama sebagai sumber kognitif. Pertama, agama merupakan pola bagi tindakan manusia (pattern for behaviour).
Dalam hal ini agama menjadi pedoman yang mengarahkan
tindakan manusia. Kedua, agama merupakan pola dari tindakan manusia (pattern of
behaviour). Dalam hal ini agama dianggap sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman manusia yang tidak
jarang telah melembaga menjadi
kekuatan mistis[11].
Agama dalam perspektif yang kedua ini sering dipahami sebagai bagian dari sistem
kebudayaan[12], yang tingkat efektifitas
fungsi ajarannya
kadang
tidak kalah dengan agama formal. Namun agama merupakan sumber nilai yang
tetap harus
dipertahankan aspek otentitasnya. Jadi di satu sisi, agama
dipahami sebagai hasil
menghasilkan dan berinteraksi dengan budaya. Pada sisi lain, agama juga tampil sebagai sistem nilai yang mengarahkan bagaimana manusia berperilaku.
Dengan demikian, budaya religius sekolah adalah upaya terwujudnya nilai-nilai ajaran agama
sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti
oleh seluruh warga di sekolah tersebut. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah maka
secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang
telah tertanam
tersebut sebenarnya warga sekolah sudah
melakukan ajaran agama. Pembudayaan
nilai-nilai keberagamaan
(religius) dapat
dilakukan dengan
beberapa cara, antara
lain melalui: kebijakan pimpinan sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
di kelas,
kegiatan
ekstra
kurikuler,
serta tradisi dan
perilaku warga
sekolah secara konsisten, sehingga tercipta
religious culture dalam
lingkungan lembaga pendidikan.
B. Landasan
Penciptaan Budaya Religius
1. Landasan Religius
Penciptaan budaya religius yang
dilakukan di sekolah semata-mata karena merupakan pengembangan dari potensi manusia yang ada sejak lahir atau fitrah. Ajaran
Islam yang
diturunkan Allah melalui rasul-Nya merupakan agama yang
memperhatikan fitrah manusia, maka dari
itu pendidikan Islam
juga harus sesuai dengan fitrah manusia
dan bertugas
mengembangkan fitrah
tersebut. Secara etimologis, kata fiţrah yang berasal
dari berarti "ciptaan" atau "penciptaan". Disamping itu, kata fiţrah juga berarti sebagai
"sifat dasar
atau
pembawaan",
berarti pula potensi dasar yang
alami
atau
natural
disposition. Dengan demikian fiţrah adalah sifat dasar atau potensi pembawaan yang diciptaan oleh
Allah sebagai dasar dari suatu
proses penciptaan.
Kata fiţrah tersebut diisyaratkan dalam
firman Allah SWT,
sebagai berikut:
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah[13] Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus tetapi kebanyakan
manusia tidak
mengetahui. (Q.S.Al-Rum/30:30).
Oleh karena itu fitrah manusia
dapat dikembangkan melalui budaya
religius yang diciptakan di sekolah. Sehingga
penciptaan budaya religius yang
ada
di sekolah sesuai dengan
pengembangan fitrah
manusia.
2. Landasan Filosofis
Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan
tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah,
bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan
kegagahan[14] atau mendapatkan kedudukan yang
menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan
mendekatkan diri
pada Allah, akan
dapat
menimbulkan kedengkian,
kebencian
dan permusuhan[15]. Di samping
itu, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Pendidikan itu tidak hanya bertujuan untuk memperoleh dunia saja, dan juga tidak hanya bertujuan
untuk memperoleh akhirat saja,
namun untuk memperoleh keduanya.
Berpijak dari pemikiran bahwa tujuan dari pendidikan agama Islam adalah untuk mensucikan jiwa, membentuk akhlak, menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, bahkan membentuk insan
yang kamil, maka diperlukan pengembangan
lebih lanjut dalam pembelajaran pendidikan agama Islam sampai menyentuh pada aspek afektif
dan psikomotorik melalui
penciptaan budaya religius di sekolah, karena rata-rata pembelajaran pendidikan agama di sekolah hanya berpijak pada aspek kognitif
saja dan kurang memperhatikan
aspek
afektif dan psikomotorik.
3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis dari penciptaan budaya religius adalah merujuk
pada
landasan
keberadaan PAI dalam kurikulum sekolah, yaitu UU No. 20 tahun 2003, tentang Sisdiknas, Bab V pasal 12 ayat 1 point a, bahwasanya “Setiap siswa pada setiap
satuan pendidikan
berhak: mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak yang mulia juga disebutkan dalam UU
no 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X pasal 36 ayat 3, bahwasanya “Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan
peningkatan
iman
dan takwa, peningkatan akhlak
mulia”. Dan pasal 37 ayat
1, menyatakan
bahwa “Kurikulum
pendidikan dasar dan
menengah wajib memuat: pendidikan agama”. Dalam
PP 19
tahun 2005 pasal 6 ayat 1 juga
dijelaskan Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak
mulia;
kelompok
mata
pelajaran
kewarganegaraan
dan kepribadian; kelompok mata
pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; kelompok
mata pelajaran
estetika; kelompok
mata pelajaran
jasmani, olah
raga, dan
kesehatan.
Dari landasan yuridis tersebut
sangat jelas bahwa
pendidikan
agama Islam
merupakan salah
satu mata
pelajaran yang
wajib
ada di semua
jenjang dan jalur
pendidikan. Dengan
demikian
eksistensinya sangat strategis dalam usaha
mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum.
Maka dari itu, penciptaan budaya religius sebagai upaya pengembangan
pembelajaran pendidikan
agama harus dilakukan.
4. Landasan Historis
Landasan historis ini diambil dari historisitas masuknya PAI di sekolah, karena budaya religius merupakan pengembangan dari pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah. Ketika pemerintah Sjahrir menyetujui pendirian Kementerian agama pada 3
Januari 1946,
elit Muslim menempatkan agenda pendidikan menjadi salah satu
agenda
utama kementrian agama. Elit muslim melaksanakan dua upaya utama. Pertama,
mengembangkan pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolah umum yang sejak
proklamasi berada di bawah pembinaan Kementrian PPK. Upaya ini meliputi: 1) memperjuangkan status pendidikan agama
di sekolah-sekolah umum dan pendidikan tinggi,
2) mengembangkan
kurikulum agama, 3)
menyiapkan guru-guru agama yang berkualitas, 4) menyiapkan buku-buku pelajaran agama. Kedua, peningkatan kualitas atau modernisasi lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini telah memberi perhatian pada
pendidikan agama Islam dan pengetahuan umum modern sekaligus. Strateginya adalah: 1) dengan cara memperbaharui kurikulum yang ada dan memperkuat porsi kurikulum pengajaran umum modern sehingga
tak terlalu ketinggalan
dari sekolah-
sekolah umum, 2) mengembangkan kualitas dan kuantitas guru-guru bidang
studi umum, 3) menyediakan fasilitas belajar,
seperti
buku-buku
bidang studi umum,
dan 4) mendirikan
sekolah kementrian
agama di berbagai
daerah sebagai percontohan.
Dari sejarah di atas, dapat dipahami bahwa
salah satu perjuangan elit Muslim Indonesia
di awal kemerdekaan adalah memperkokoh posisi pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum sampai perguruan tinggi. Maka dari itu, hendaknya di era globalisasi sekarang ini, para praktisi pendidikan Islam hendaknya meningkatkan mutu pendidikan agama Islam dengan
menciptakan dan
mengembangkan budaya religius
di sekolah.
5. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis penciptaan budaya religius adalah terdapatnya 2 macam tipe
masyarakat. Pada
dasarnya
masyarakat dibagi menjadi masyarakat orde moral dan
kerabat sentris. Pada tipe
masyarakat orde moral komunitas kehidupan dan
mekanismenya masih amat terikat oleh berbagai norma baik buruk yang
bersumber dari tradisi sehingga disana banyak dijumpai pantangan yang dapat mengganggu penciptaan budaya religius. Sedangkan pada tipe masyarakat kerabat sentris, titik
tekannya pada kekerabatan. Adat istiadat memang
diwarisi secara turun temurun, namun ada kalanya
adat-istiadatnya diganti
dengan
yang lebih
modernis[16]. Masyarakat ini mendukung penciptaan
budaya religius. Dari
hal
tersebut dapat
dipahami bahwa budaya religius
diciptakan di sekolah sebagai alat penggantian adat istiadat lama dengan adat istiadat modernis.
Di samping
itu, penciptaan budaya religius
di sekolah dapat
mengakibatkan perubahan sikap sosial pada
diri anak didik. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya
budaya religius
di sekolah
anak menjadi terinternalisasi nilai-nilai religius dan berusaha mengimplementasikannya dengan akhlak
terpuji di kehidupan sehari-hari.
6. Landasan Psikologis
Menurut penelitian
Muhaimin,
dalam
bukunya, kegiatan
keagamaan seperti khatmil al-Qur’an dan istighatsah dapat menciptakan suasana
ketenangan dan kedamaian di kalangan civitas akademika lembaga pendidikan[17]. Maka dari itu, suatu lembaga pendidikan harus dan wajib mengembangkan budaya religius untuk menciptakan
ketenangan
dan
ketentraman
bagi
orang yang
ada
di dalamnya.
Di samping
itu, budaya religius juga merupakan sarana penyeimbangan kerja
otak yang
terbagi menjadi dua, kanan dan kiri. otak merupakan sekumpulan jaringan
syaraf yang terdiri dari dua bagian yaitu otak kecil dan otak besar. Pada otak besar
terdapat belahan yang
memisahkan antara belahan kiri dan belahan otak kanan. Belahan ini dihubungkan dengan serabut saraf. Belahan kiri berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berbicara, menulis,
dan berhitung.
Belahan kiri
mengontrol kemampuan untuk menganilisis, sehingga berkembang
kemampuan untuk berpikir secara sistimatis. Artinya dalam menyelesaikan sebuah persoalaan, belahan otak kiri akan bekerja berdasarkan fakta
dan uraian yang
sistimatis dan logis. Otak kiri
berfungsi sebagai pengendali kecerdasan
intelektual
(IQ). Daya ingat otak kiri lebih bersifat jangka
pendek (short
term memory).
Secara lebih luas otak
kiri identik dengan
rapi,
perbedaan, angka, urutan,
tulisan, bahasa,
hitungan, logika, terstruktur, analitis,
matematis, sistematis, linear, dan tahap demi tahap.
Apabila
terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi
gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa,
dan matematika.
Sedangkan
belahan
otak kanan berfungsi untuk
mengembangkan
visual dan
spasial (pemahaman ruang). Belahan ini bekerja berdasarkan data-data yang ada dalam
pikiran baik berupa
bentuk, suara atau gerakan. Belahan kanan lebih peka terhadap hal yang bersifat estetis dan emosi. Intinya otak kanan bekerja
dengan lebih menekankan pada cara berpikir sintetis yaitu menyatukan bagian-bagian informasi yang
ada untuk membentuk konsep utuh tanpa terikat pada langkah
dan berstruktur[18]. Otak kanan mengarah pada cara berpikir menyebar yang
berfungsi dalam perkembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient, EQ)
dan identik
dengan
kreativitas, persamaan, khayalan, bentuk atau ruang, emosi, musik, warna, berpikir
lateral, tidak terstruktur,
dan
cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail.
Ketika otak kanan sedang
bekerja maka otak kiri
cenderung lebih tenang, demikian pula sebaliknya. Daya
ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Bila terjadi penyakit stroke atau
tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan
visual dan emosi.
Berpijak dari teori belahan otak di atas, budaya religius dapat digunakan sebagai media
pembelajaran
PAI yang prinsipnya
bisa
langsung aplikasi
atau
dalam
ranah
afektif dan psikomotorik, sehingga hal tersebut bisa
mempekerjakan otak kanan. Maka, dengan adanya budaya religius di sekolah, otak kanan dan otak kiri mampu bekerja
secara bersama-sama, sehingga pada akhirnya perkembangannya menjadi baik.
7. Landasan Kultural
Para ahli pendidikan dan
antropologi sepakat bahwa
budaya
adalah dasar terbentuknya kepribadian manusia. Dari budaya dapat terbentuk identitas seseorang, identitas masyarakat bahkan identitas lembaga pendidikan.
Di lembaga
pendidikan
secara umum terlihat adanya budaya yang
sangat melekat dalam tatanan pelaksanaan pendidikan yang menjadikan inovasi pendidikan
sangat cepat, budaya tersebut berupa nilai-
nilai religius, filsafat, etika dan
estetika yang
terus dilakukan.
Budaya sekolah dapat berupa suatu kompleks ide-ide, gagasan nilai-nilai, norma- norma, peraturan dan
sebagainya, aktivitas kelakukan dari manusia dalam
lembaga pendidikan, dan benda-benda karya manusia. Budaya yang
terjadi
di lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya adalah budaya religius, merupakan bidang budaya organisasi
(organizational culture).
Robbins menegaskan bahwa
budaya organisasi adalah
suatu
persepsi bersama
yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu sistem dari makna bersama[19]. Dari pengertian budaya dan organisasi baik secara
umum maupun secara khusus
dan begitu juga dari definisi budaya organisasi di atas, maka
penulis menyimpulkan bahwa
budaya organisasi
ialah, sistem
nilai, norma, atau aturan, falsafah, kepercayan dan sikap
(perilaku) yang dianut bersama para anggota yang berpengaruh terhadap pola kerja serta
pola manajemen
organisasi.
8. Landasan Ekonomi
Dari segi ekonomi, penciptaan
budaya religius
di sekolah akan menambah kompetensi siswa dalam mengimplementasikan agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari. Tentu saja hal ini menimbulkan dampak positif dalam segi
ekonomi siswa. Dalam arti jika ia mampu
untuk mengembangkan apa yang
telah
dilakukan terlebih dahulu di sekolah, maka
ia akan menjadi dai yang mampu untuk diandalkan
dan hal itu bisa menambah
segi ekonomi tersendiri.
Selain itu, lembaga
pun juga terkena
dampak dalam aspek ekonomi ini. Yaitu apabila lembaga mengembangkan kewirausahaan yang
sesuai dengan budaya serta nilai yang dikembangkan, maka lembaga pendidikan tersebut akan mendapat untung yang
cukup menggembirakan.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Proses Penciptaan dan Budaya
Religius
Kegiatan-kegiatan yang
dapat
menumbuhkan budaya religius (religious culture) di
lingkungan sangat
variatif. Melakukan kegiatan rutin, yaitu upaya pengembangan kebudayaan religius secara rutin berlangsung
pada hari-hari belajar biasa di lembaga pendidikan. Kegiatan rutin ini dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi
dengan kegiatan
yang telah
diprogramkan, sehingga
tidak memerlukan
waktu khusus. Pendidikan agama tidak
hanya terbatas
pada aspek pengetahuan, tetapi juga
meliputi pembentukan sikap, perilaku, dan pengalaman
keagamaan.
Untuk itu pembentukan sikap,
perilaku, dan
pengalaman keagamaan
pun tidak hanya
dilakukan oleh guru agama, tetapi perlu didukung
oleh guru-guru bidang studi lainnya.
Guru dapat memberikan pendidikan agama
secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku
peserta didik yang
tidak sesuai dengan ajaran agama. Manfaat
pendidikan secara
spontan ini menjadikan siswa langsung mengetahui dan menyadari kesalahan
yang dilakukannya dan langsung pula mampu memperbaikinya. Manfaat lainnya dapat
dijadikan pelajaran atau hikmah oleh siswa lainnya, jika perbuatan salah jangan ditiru,
sebaliknya jika ada perbuatan yang baik
harus ditiru.
Menciptakan lingkungan
dan situasi religius. Tujuannya untuk mengenalkan kepada siswa tentang
pengertian agama dan tata cara pelaksanaan agama
tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menunjukkan
pengembangan kehidupan religius di lembaga pendidikan yang
tergambar dari perilaku
sehari-hari dari berbagai kegiatan yang
dilakukan oleh guru dan siswa. Selain itu dengan menciptakan suasana
kehidupan keagamaan di sekolah antara
sesama guru, guru dengan siswa, atau siswa dengan siswa lainnya. Misalnya, dengan
mengucapkan kata-kata yang baik
ketika bertemu atau berpisah, mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan, mengajukan pendapatan atau pertanyaan dengan cara yang baik, sopan, santun tidak merendahkan
siswa lainnya, dan sebagainya.
Memberikan kesempatan kepada
siswa
sekolah/madrasah untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan kreativitas pendidikan agama
dalam keterampilan dan seni, seperti membaca al-Quran, adzan, sari tilawah, serta untuk mendorong siswa sekolah mencintai kitab suci, dan meningkatkan minat siswa untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan al-Quran. Dalam membahas suatu materi pelajaran agar lebih jelas guru hendaknya
selalu diperkuat oleh
nas-nas keagamaan yang
sesuai berlandaskan
pada al-Quran
dan
Hadits Rasulullah SAW.
Tidak hanya
ketika mengajar saja tetapi dalam setiap kesempatan guru harus mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa keberagamaan yang
benar. Guru
memperhatikan minat keberagaman
siswa. Untuk itu guru
harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana
keberagamaan dengan menciptakan suasana
dalam
peribadatan
seperti
shalat, puasa dan
lain-lain.
B. Strategi Penciptaan Budaya
Religius di Sekolah
Langkah nyata
untuk mewujudkan budaya religius
di lembaga pendidikan, menurut Koentjaraningrat, ialah upaya pengembangan dalam tiga
tataran, yaitu 1) tataran nilai yang dianut,
2) tataran praktik
keseharian, 3) dan
tataran simbol-simbol budaya[20]. Pada tataran nilai
yang dianut,
perlu dirumuskan
secara bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di lembaga pendidikan, untuk
selanjutnya membangun komitmen dan loyalitas bersama diantara
semua anggota lembaga pendidikan terhadap nilai yang disepakati. Pada tahap ini diperlukan juga
konsistensi untuk menjalankan nilai-nilai yang
telah disepakati tersebut dan membutuhkan kompetensi orang yang
merumuskan nilai guna memberikan contoh
bagaimana mengaplikasikan dan
memanifestasikan
nilai dalam kegiatan
sehari-hari.
Dalam
tataran
praktik keseharian, nilai-nilai religius yang telah
disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses
pengembangan tersebut dapat
dilakukan
melalui tiga
tahap,
yaitu: pertama,
sosialisasi nilai-nilai religius yang disepakati sebagai sikap dan perilaku ideal yang
ingin dicapai pada masa mendatang di lembaga pendidikan. Kedua, penetapan
action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh
semua pihak di lembaga pendidikan yang mewujudkan nilai-nilai
religius yang
telah disepakati
tersebut. Ketiga, pemberian penghargaan terhadap prestasi
warga
lembaga pendidikan, seperti guru, tenaga kependidikan, dan siswa sebagai usaha pembiasaan (habit
formation) yang
menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap ajaran dan nilai-nilai religius yang disepakati. Penghargaan tidak selalu berarti materi (ekonomik), melainkan juga dalam arti sosial, cultural, psikologis ataupun lainnya.
Dalam tataran simbol-simbol
budaya, pengembangan
yang perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang kurang
sejalan dengan ajaran dan nilai-
nilai agama dengan simbol budaya yang agamis. Perubahan simbol dapat dilakukan dengan mengubah
model berpakaian dengan
prinsip menutup
aurat, pemasangan hasil karya siswa, foto-foto dan motto yang mengandung pesan-pesan nilai keagamaan.
Strategi untuk membudayakan nilai-nilai religius di lembaga pendidikan dapat dilakukan melalui: (1) power strategi, yakni strategi pembudayaan agama di lembaga pendidikan dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power, dalam
hal
ini peran kepala
lembaga pendidikan dengan segala kekuasaannya sangat dominan
dalam melakukan perubahan; (2) persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga lembaga pendidikan; (3) normative re educative. Norma
adalah aturan yang berlaku di masyarakat. norma termasyarakatkan
lewat pendidikan norma digandengkan dengan
pendidikan ulang
untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir
masyarakat lembaga yang lama
dengan yang baru.
Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan
larangan atau
reward and punishment. Sedangkan
pada strategi
kedua
dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif
atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa aksi
positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yakni membuat aksi atas inisiatif
sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah pada perkembangan. Bisa pula berupa antipasti,
yakni
tindakan
aktif menciptakan situasi
dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.
Secara sederhana,
penciptaan budaya religius dapat dilihat melalui bagan sebagai berikut :
|
|
||||
|
||||
|
|
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas,
maka dapat disimpulkan :
1. Budaya religius sekolah adalah upaya terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai
tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang
diikuti oleh seluruh warga di
sekolah.
2. Ada
delapan landasan yang mendasari penciptaan budaya religius
di sekolah.
3. Budaya religius merupakan hal yang
sangat penting dan harus diciptakan di lembaga pendidikan, karena
lembaga pendidikan merupakan salah satu lembaga yang mentransformasikan nilai atau
melakukan
pendidikan
nilai. Terdapat
empat bentuk kegiatan yang
dapat
digunakan sebagai aplikasi penciptaan budaya religius.
Sedangkan strategi membudayakan nilai-nilai religius
di lembaga pendidikan dapat dilakukan melalui:
(1) power strategi, (2) persuasive
strategy, (3) normative re educative.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Latif, Pendidikan Berbasis Nilai
Kemasyarakatan, Bandung: Refika Aditama, 2005, hlm. 30
Ahmad Tanzeh, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosof Muslim, dalam Meniti Jalan Pendidikan
Islam, ed, Akhyak, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 117
Al-Ghazali,
Bidayah al-Hidayah ....,
hlm. 3. Bandingkan dengan Nuryani, "Wawasan Keilmuan Islam
Al-Ghazali:
Studi Analisa Pemikiran al-Ghazali dalam Kitab Bidayah al-Hidayah", dalam Ta'allum Jurnal Pendidikan Islam,Vol. 28, No.1, 37-38.
Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah: Upaya Mengembangkan PAI dari teori ke
Aksi, Malang: UIN Maliki Press, 2010,
hlm. 72
Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi,
Jakarta: Bumi Aksara, 2008, hlm. 36
Departemen Pendidikan
dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1991, hlm. 149.
J.P.Kotter &
J.L.Heskett, Dampak Budaya
Perusahaan Terhadap Kinerja, terj.
Benyamin Molan, Jakarta: Prenhallindo, 1992, hlm. 4.
Koentjaraningrat, “Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan” dalam Muhaimin,
Nuansa Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 157
______________, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1989, hlm.
74.
Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multi Kasus di
SMAN 1,
SMA
Regina Pacis, dan SMA al-Islam 01 Surakarta, Sukoharjo: UNIVET Bantara Press, 2003, hlm. 10
Muhaimin.et.all, Paradigma Pendidikan…,
hlm. 288-289
_____________, Paradigma Pendidikan…, hlm. 299-300
Nursyam, Islam Pesisir,
Yogyakarta: LKIS, 2005, hlm. 1
Nuruddin,
dkk,
Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup
Masyarakat
Samin dan
Tengger,
Yogyakarta: LKIS, 2003, hlm. 126
Roibin, Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN Maliki Press, 2009, hlm. 75
Stephen P. Robbins, Organisasi theory, Structure Design, And Aplication, (Inc Rangeewood Cliff: Prentice Hall, 1990, hlm.289
Talizhidu Ndraha, Budaya Organisasi, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hlm. 82
UUSPN No. 20 Tahun 2003. Pasal 1
UUSPN
NO.20 Tahun 2003 Pasal 3
Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Siswa Usia Dini, Jakarta: Indeks, 2009), hlm. 182
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 36
[4] UUSPN NO.20 Tahun 2003 Pasal 3
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1991), hlm. 149.
[6] J.P.Kotter &
J.L.Heskett, Dampak Budaya
Perusahaan Terhadap Kinerja, terj. Benyamin Molan,
(Jakarta: Prenhallindo, 1992),
hlm. 4.
[8] Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah: Upaya Mengembangkan PAI dari teori ke Aksi, (Malang: UIN Maliki Press, 2010),hlm. 72
[9] Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai: Studi Multi Kasus di
SMAN 1, SMA Regina Pacis, dan SMA al-Islam 01 Surakarta, (Sukoharjo: UNIVET Bantara Press, 2003), hlm. 10
[10] Nuruddin, dkk, Agama
Tradisional:
Potret
Kearifan
Hidup Masyarakat Samin
dan Tengger, (Yogyakarta: LKIS, 2003),
hlm. 126
[13] Fitrah Allah: maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantaran pengaruh lingkungan
[14] Lihat Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah
...., hlm. 3. Bandingkan dengan Nuryani, "Wawasan Keilmuan Islam Al-Ghazali: Studi Analisa Pemikiran al-Ghazali
dalam Kitab Bidayah al-Hidayah", dalam Ta'allum Jurnal Pendidikan Islam,Vol. 28, No.1, 37-38.
[15] Ahmad Tanzeh, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosof Muslim, dalam Meniti Jalan Pendidikan Islam, ed, Akhyak, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),hlm.
117
[18] Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Siswa Usia Dini ( Jakarta: Indeks, 2009),
hlm. 182
[19] Stephen P. Robbins, Organisasi theory, Structure Design, And Aplication, (Inc Rangeewood Cliff:
Prentice Hall, 1990), 289
[20] Koentjaraningrat
“Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan” dalam Muhaimin,
Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 157
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Pengembangan Budaya Agama dalam Komunitas Sekolah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*