Problematika Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Oleh:
Edi Priyanto
Foto Edi Priyanto, sumber foto facebook
E. Problematika Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Masalah penilaian pendidikan adalah masalah yang
selalu implisit dalam pekerjaan pendidikan, oleh karena itu sudah seharusnya
menjadi bagian penting dalam kelengkapan keahlian seorang pendidik. Problematika
konseptual penilaian ranah afektif antara lain:
1.
Belum adanya draft formal penilaian
afektif dari pemerintah
Selama
ini proses pendidikan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku cenderung
diarahkan pada penguasaan pemahaman (kognitif). Akibatnya, upaya dilakukan guru
diarahkan bagaimana agar siswa dapat menguasai sejumlah pengetahuan sesuai
dengan standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual
identik dengan penguasaan materi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam
bentuk penilaian yang dilakukan, baik Tingkat sekolah, tingkat wilayah, maupun
evaluasi nasional diarahkan kepada kemampuan siswa meguasai mata pelajaran.[1] Dari
pemerintah sendiri tidak ada rambu-rambu tentang aspek apa saja yang harus
dievaluasi dan untuk aspek afektif tidak dijelaskan dalam kurikulaum maupaun
dalam bentuk tesnya.
2.
Penilaian afektif sangat sulit,
karena berkaitan dengan perasaan siswa
Banyak
pakar pendidikan yang mengatakan bahwa penilaian terhadap aspek afektif paling
sulit dilakukan. Hasil belajar afektif tidak dapat dilihat atau bahkan diukur
seperti halnya dalam bidang kognitif dan psikomotorik. Guru tidak dapat
langsung mengetahui apa yang bergejolak dalam hati peserta didik, apa yang ia
rasakannya atau dipercayainya.[2]
3.
Instrument penilaian afektif sulit
dikembangkan
Kurangnya pengetahuan dan penguasaan guru terhadap
teknik-teknik penilaian
afektif, membuat guru dalam penilaian afektif yaitu dengan melaksanakan
pengamatan yang hanya mencatat dalam ingatan guru sejauh mana siswa mencapai
tujuan belajar afektifnya, karena menganggap bahwa instrumen penilaian afektif
sulit untuk dikembangkan.
4.
Guru kurang menguasai dan memahami
teknik penilaian afektif
Banyak
guru yang telah memiliki kemampuan yang memadai tentang bagaimana cara merumuskan
tujuan, bahan pelajaran, memilih dan menentukan metode pembelajaran, tetapi
masih belum memiliki penguasaan terhadap teknik penilaian, khususnya penilaian
afektif. Sudah seharusnya sebagai guru profesional memiliki penguasaan terhadap
teknik penilaian afektif ini.[3]
Selain problematika konseptual, ada juga problem
operasional, secara khusus problematika operasional yang dihadapi guru dalam
pelaksanaan penilaian afektif. Ada tiga hal yang bisa dikemukakan untuk
membuktikan kekurang-tepatan orientasi pendidikan agama dimaksud, yaitu:
1.
Pendidikan agama saat ini lebih
berorientasi pada belajar tentang agama.
2.
Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan
materi-materi pendidikan agama sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil
yang seharusnya dipelajari lebih awal, justru terlewatkan, misalnya pelajaran
keimanan.
3.
Kurangnya penjelasan yang luas dan
mendalam alas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga
sering ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan berbeda dari makna,
spirit dan konteksnya.[4]
Struktur ranah afektif cukup rumit. Artinya struktur
afektif ini unsur-unsurnya cukup kompleks. Tidak semua karakteristik afektif
harus dievaluasi di sekolah. Beberapa karakteristik afektif yang perlu
diperhatikan (diukur dan dinilai) terkait dengan mata pelajaran PAI di sekolah
adalah sikap, minat, konsep diri, dan nilai. Sikap berhubungan dengan
intensitas perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek psikologik (misal
kegiatan pembelajaran, atau mata pelajaran). Minat berhubungan dengan
keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek psikologik, atau pilihan
terhadap suatu kegiatan. Konsep diri berhubungan dengan pernyataan sendiri
tentang keadaan diri sendiri, tentang kemampuan diri terkait objek
psikologiknya.
[1] Wina Sanjaya, Strategi
Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), 286.
[2] S. Nasution, Kurikulum
dan Pengajaran, 69.
[3]Roestiyah N. K, Masalah
Pengajaran, (Jakarta: Renika Cipta, 1994), 80-81.
[4]Asmaun Sahlan, Mewujudkan
Budaya Religius di Sekolah upaya mengembangkan PAI dari teori ke aksi (Malang: UIN Maliki Press, 201,) 26-27.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Problematika Pembelajaran Pendidikan Agama Islam"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*