PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA:
MADRASAH, PESANTREN, DAN SEKOLAH
Oleh:
Tulisan ini telah direvisi (ditambahi dan dikurangi) untuk dijadikan ke dalam salah satu BAB dalam buku terbaru (buku ke-2) karya A. Rifqi Amin yang bertema Pendidikan Agama Islam berbasis Interdisipliner. Untuk mengetahui isi buku silakan klik [di sini].
1. Latar Belakang
Masalah
Kajian
tentang perbandingan madrasah, pondok pesantren, dan sekolah –sebagai tiga
“bentuk pendidikan” yang terbesar di Indonesia– khususnya terkait dengan
implementasi Pendidikan Agama Islam bukan sebuah hal baru. Diskusi tentang itu
sesungguhnya telah ada sejak pemerintah Indonesia meresmikan “madrasah” melalui
SKB Tiga Menteri Tahun 1975 sebagai lembaga pendidikan yang diakui sebagaimana
sekolah umum. Lalu pada akhir-akhir inipun pesantren –sebagai corak pendidikan
asli milik masyarakat Indonesia– pasca disahkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 juga
telah mendapat tempat yang “sejajar” dengan lembaga pendidikan lainnya di mata
pemerintah. Mesikipun keberadaan pesantren “murni” di mata pemerintah
diletakkan pada jalur pendidikan nonformal.
Oleh sebab itu wajar bila setelahnya terjadi penilaian, perbandingan, dan
pembaharuan terhadap masing-masing (tiga) bentuk pendidikan tersebut.
Diakui
atau tidak, perkembangan yang dilakukan secara terencana maupun secara “alami”
oleh ketiga bentuk pendidikan tersebut tidak lepas dar fenomena di luar. Di antaranya semakin bertambahnya jumlah penduduk, semakin
kritisnya orang tua murid, dan semakin kompleksnya permasalahan (konteks
sosial) masyarakat. Tentu intervensi pemerintah juga memiliki peranan, melalui
peraturan (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dll). Dari keadaan tersebut mulai
muncul kesadaran, bahwa pendidikan nonformal saja terlebih lagi informal dipandang
tidak cukup. Hal ini bisa dilihat ketika ada seseorang yang punya keahlian
tertentu yang tidak diragukan, tapi bila tidak memiliki ijazah maka ia tidak
bisa “melamar” atau berkarir pada bidang pekerjaan formal. Misalnya menjadi
PNS, menjadi bupati, melamar caleg, dan bahkan untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, formalisasi pendidikan Islam,
khususnya di pesantren pada akhir-akhir ini merupakan sebuah keniscayaan. Salah
satunya dengan cara mendirikan pesantren formal, mendirikan madrasah atau
sekolah “umum” yang berada di bawah naungan pesantren. Bisa juga dengan melaui
program paket A, B, dan C terlebih dahulu untuk mendapatkan ijazah formal.
Oleh
sebab itu, kajian ini dipandang masih tetap layak untuk dibahas, terutama dalam
menghadapai dinamika masyarakat yang senantiasa terus berjalan cepat.
Dengan demikian, idealnya mempelajari dan mendalami dunia pendidikan berarti
juga harus mempelajari ilmu lain, yakni ilmu politik, sosiologi, antropologi,
psikologi, ilmu informasi, dan yang relevan. Di mana, dalam konteks ini kajian
ilmu tersebut sangat penting untuk digunakan. Yakni, sebagai dasar analisis
keadaan sosio-psikologis masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan. Oleh
karena itu, sebagai sebuah konsep dasar,
maka “mengkritisi” bentuk pendidikan –madrasah, pondok pesantren, dan sekolah– secara
detail merupakan modal awal yang sangat
penting.
Apabila
melihat pada keadaan sebelum lahirnya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003,
sesungguhnya posisi pesantren diasingkan dan terdiskriminasi dari sistem
pendidikan Nasional. Pada waktu itu pesantren dipandang bukanlah sebagai lembaga
pendidikan yang “pantas” untuk disandingkan dengan lembaga sekolah umum. Meski demikian,
peran pesantren dalam pembangunan bangsa Indonesia sangat besar, utamanya dalam
mendidik moral anak bangsa yang sebagian besar dari kalangan “miskin” dan
termarjinalkan. Dari sudut pandang itu dapat dirasakan jasa mencolok pesantren selama
ini adalah meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Adapun
dari sudut perbandingan, secara istilah (terminologi), antara madrasah dan
pesantren tidak memiliki perbedaan. Artinya, keduanya sama-sama sebagai lembaga
pendidikan yang ciri utamanya adalah untuk mendalami dan mengamalkan
nilai-nilai Islam. Namun demikian, sesungguhnya tetap ada perbedaan. Utamanya
dari tinjauan historis, bahwa awal berdirinya madrasah di Indonesia ditengarai
banyak keinginan untuk mengadakan pembaruan (transformasi) sistem pendidikan Islam
yang lama, yaitu pesantren. Pada akhirnya, tujuan secara terperinci dan metode
pengelolaan (manajemen) dari kedua bentuk lembaga pendidikan Islam tersebut
benar-benar berbeda.
Lebih
rinci, sesungguhnya pesantren secara formal diposisikan ke dalam jenis
pendidikan
keagamaan.
Sedangkan madrasah dan sekolah (MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA) diposisikan sebagai
jenis pendidikan umum, serta (MAK/SMK) masuk dalam jenis pendidikan kejuruan.
Dari situ dapat dikatakan bahwa pesantren hanya memfokuskan diri pada
pembelajaran keagamaan Islam saja, sedangkan madrasah selain mempelajari ilmu
agama Islam juga memberikan ilmu umum. Implikasinya, pesantren cenderung
diminati oleh masyarakat yang ingin mendalami agama Islam saja tanpa ilmu lain.
Serta Madrasah diminati oleh masyarakat yang mendambakan keterpaduan di antara
dua ilmu tersebut.
Berangkat
dari semua asumsi penulis di atas, maka pembahasan ini seoptimal mungkin bisa terbebas
dari kesubjektifitasan. Yakni, adanya pengaruh “emosional” dan keterikatan
batin penulis dengan bentuk lembaga pendidikan tertentu. Hal ini ditekankan
karena biasanya kalangan dari lulusan (alumni) atau yang peduli terhadap madrasah
akan mengunggulkan bentuk pendidikan madrasah dalam setiap pengkajian dengan
berbagai argumennya. Sebaliknya pula pada bentuk pendidikan pesantren maupun sekolah.
Atas dasar itu, maka faktor “kefanatikan” tersebut dalam pembahasan ini akan
dikesampingkan oleh penulis. Oleh karena itu penulis akan mengumpulkan
referensi sebanyak dan seheterogen mungkin untuk menemukan sebuah kesimpulan
“asumsi” yang terpercaya. Dengan harapan agar bisa ditemukan konsep bentuk
pendidikan yang ideal dan bisa menjadi solusi terbaik bagi umat Islam dan
bangsa.
2.
Batasan
Masalah dan Topik Pembahasan
Agar
pembahasan makalah ini konsisten pada fokus persoalannya, maka diperlukan suatu
batasan masalah. Oleh karena itu penulis merumuskan batasan topik pembahasan
yang dikerucutkan sebagai berikut:
a. Konsep dasar tentang bentuk
pendidikan di Indonesia yang meliputi Madrasah, Pesantren, dan Sekolah.
b. Kencenderungan masyarakat dalam
memilih bentuk Pendidikan.
c. Konsep bentuk pendidikan Islam
yang ideal.
a.
BAB II
Pembahasan
A.
Konsep Dasar
1.
Bentuk
Pendidikan Agama Islam di Indonesia
Sebenarnya
bentuk dan penyebutan lembaga Pendidikan di Indonesia sangat banyak. Namun,
secara garis besar –salah satunya yang mempunyai siswa terbanyak-- adalah
lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah, pesantren, dan sekolah. Menurut
Mohammad Ali Pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk. Pertama, pendidikan agama
diselenggarakan dalam bentuk Pendidikan Agama Islam (PAI) di satuan pendidikan
pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Itu artinya dalam pemahaman penulis,
pendidikan Islam hanya berwujud alokasi mata pelajaran saja pada sekolah umum,
yang wajib diberikan pada muridnya. Kedua,
pendidikan umum yang berciri khas Islam pada satuan pendidikan di semua jenjang
dan jalur pendidikan. Menurut penulis, baik Madrasah maupun Sekolah umum yang
bercirikan Islam (sekolah islam)
misalnya SMP Islam atau SMP Maarif masuk ke dalam bentuk nomer dua ini. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada
berbagai satuan pendidikan diniyah dan pesantren yang diselenggarakan pada
semua jalur pendidikan (tidak ada penjelasan tentang jenjang pendidikannya).
Dari
pernyataan tersebut, pemahaman yang ada pada penulis tentang pesantren adalah
pendidikan keagamaan secara “kejenjangan” pendidikan tidak bisa disetarakan dengan
pendidikan Madrasah dan sekolah. Implikasinya, peserta didik dari pesantren
murni (tanpa terlebih dahulu berproses di madrasah atau sekolah umum) atau
diniyah tidak bisa berpindah (utamanya) ke jenjang pendidikan dasar dan
menengah pada sekolah umum. Di sisi lain, apabila didasarkan pada UU Sisdiknas
2003 (pasal 26 ayat 6 dan pasal 27) digambarkan bahwa pendidikan keagamaan
(termasuk pesantren dan diniyah) masuk dan diakui keberadaannya sederajat dan
setera (sesudah diadakan penilaian penyetaraan yang mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan) dengan pendidikan formal lain (Madrasah dan sekolah umum).
Implikasinya adalah seluruh bentuk pendidikan yang dikatakan sederajat bisa
saling menerima pindahan atau pendidikan lanjutan, tanpa mempersoalkan latar
belakang jenis pendidikan sebelumnya.
Dari
pembahasan di atas, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan istilah madrasah,
pesantren, dan sekolah secara lebih konkrit yang didasarkan konteks kekinian.
Hal ini untuk membatasi pengertian dan adanya dasar pijakan jelas agar
terhindar dari kerancuan atau multi tafsir. Oleh karena itu perlu dirumuskan
penjelasan istilah sebagai berikut:
a.
Madrasah
Madrasah adalah sekolah atau perguruan yang didasarkan pada agama Islam.
Sedangkan jenjangnya ada Madrasah Ibtidaiyah yaitu sekolah agama Islam tingkat
dasar (SD), Madrasah Sanawiyah yaitu sekolah agama (Islam) pada tingkat
menengah pertama (SMP) , dan Madrasah Aliah yaitu sekolah agama (Islam) pada
tingkat menengah atas (SMA).
Sedang bila ditinjau dari aspek sejarah, setidaknya ada dua faktor penting yang
melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama,
adanya penggugatan atas sistem pendidikan Islam tradisional yang kurang bisa
memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua,
adanya kekhawatiran atas cepatnya perkembangan lembaga “sekolah” yang
dipelopori oleh Belanda, sehingga bisa menimbulkan pemikiran yang sekuler di
Masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut masyarakat Muslim
(utamanya modernis) berusaha melakukan reformasi melalui upaya pengembangan
pendidikan dan pemberdayaan madrasah.
Dapat disimpulkan madrasah adalah lembaga pendidikan yang diakui secara
hukum yang orientasi utamanya untuk mengadakan pembaharuan pendidikan Islam. Baik
dari segi keilmuan, manajemen, sistem pembelajaran, dan pasca terbitnya SKB 3
Menteri 1975 yaitu untuk memenuhi formalitas (ijazah dll). Dengan maksud bisa
tercapainya generasi umat islam yang mampu menguasai ilmu pengetahuan agama
sekaligus ilmu pengetahuan umum secara seimbang. Madrasah juga bisa dimaksudkan
sebagai bentuk eksistensi sekaligus identitas kultur keagamaan umat Islam dalam
dunia pendidikan Modern. Artinya, dengan memberikan label atau istilah “madrasah”
pada lembaga pendidikan maka terkesan memiliki nilai kelebihan
sendiri.
b.
Pesantren
Kata pesantren berasal dari
kata dasar “santri,” sehingga bisa menjadi kata pesantrian atau yang lebih dikenal dengan pesantren. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata pesantren berarti “asrama tempat santri atau tempat
murid-murid belajar mengaji” atau bisa diartikan sebagai “pondok.” Sedangkan
kata pondok punya arti pertama “bangunan untuk tempat sementara”
(seperti yang didirikan di ladang, di hutan), kedua “rumah (sebutan untuk merendahkan diri),” ketiga bangunan tempat tinggal yang
berpetak-petak dan berdinding bilik dan beratap rumbai (tempat tinggal beberapa
keluarga), empat “madrasah dan asrama
(tempat mengaji, belajar agama Islam).”
Dari pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan
secara kebahasaan, istilah “Pondok Pesantren” merupakan bentuk istilah
pemborosan kata. Terutama bila hal ini digunakan sebagai tema kajian dalam
tulisan ilmiah. Selain itu kata “pondok,” sebagaimana penjelasan di atas bisa
bermakna luas.
Salah satunya bisa kepada konotasi negatif yaitu sebagai istilah pengganti kata
“rumah” yang diungkapkan untuk merendahkan diri. Adapun menurut Mujamil Qomar
istilah pondok bisa menjadi pembeda dengan pesantren tatkala di dalamnya
terdapat asrama. Makna pondok sebagai asrama itu pada kenyataannya telah
mengalami pergeseran “fungsi.” Awalnya
untuk memperlancar proses belajar dan adanya keterjalinan hubungan peserta
didik dengan ustad atau Kiai, pada akhirnya hanya sebagai tempat tidur semata
bagi pelajar atau mahasiswa yang belajar di lembaga (umum) lain. Oleh
karena itu penggunaan istilah pesantren menurut penulis pada pembahasan
selanjutnya lebih tepat untuk digunakan secara konsisten.
Dalam kajian hukum kenegaraan,
pesantren merupakan jenis pendidikan keagamaan, dimana menurut Undang-undang
bahwa “Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama.”
Dari situ dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga yang menfungsikan
diri sebagai lembaga yang hanya memfokusikan diri pada hal-hal yang terkait dengan
ajaran agama Islam. Artinya, pada pesantren bisa terndapat pondok (asrama)
untuk menginap santri atau bisa juga tidak ada sehingga santri pulang pergi
dari rumah.
Dengan demikian, pesantren
merupakan lembaga yang tumbuh dari bawah, yaitu karena dikehendaki dan dibangun
oleh masyarakat bahkan oleh perangkat pemerintahan desa. Namun demikian, peran
Kiai sebagai sosok utama dalam pendirian dan pengembangannya sangat dominan.
Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling
otonom. Artinya lembaga yang tidak bisa diintervensi dari sudut pandang apapun
oleh pihak-pihak luar kecuali atas izin Kiai.
Dari sini dapat dilihat bahwa Kiai merupakan sosok pemimpin yang menentukan
kebijakan secara mutlak, sebagai pusat kurikulum, dan sebagai “pemilik” pondok
pesantren.
c.
Sekolah
Kata “sekolah” salah satunya memiliki
arti “bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima
dan memberi pelajaran.” Serta salah satu dari beberapa arti lainnya yaitu
“usaha menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan); pelajaran; pengajaran.”
Sedangkan secara khusus sekolah agama diartikan sebagai sekolah yang memberikan
pendidikan dalam bidang keagamaan.
Dari pengertian tersebut apat diartikan bahwa pendidikan sekolah
diselenggarakan tidak hanya dikhususkan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum
saja. Akan tetapi sebuah usaha untuk menuntu kepandaian dan pembelajaran pada
semua aspek ilmu pengetahuan, termasuk agama.
Menurut
H. A. R Tilaar yang dikutip oleh Agus Sholeh dalam sejarahnya, sekolah
merupakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kolonial Belanda. Oleh sebab
itu wajar bila lembaga sekolah diposisikan secara istimewa, sehingga tidak
memberikan ruang yang proposional bagi umat Islam untuk mngembangkan
potensinya. Dapat
disimpulkan bahwa “sekolah” bukan merupakan produk sistem pendidikan asli
Nusantara. Tidak seperti halnya pesantren yang secara kultur merupakan asli
Indonesia.
2.
Karakteristik
Pendidikan Agama Islam pada Madrasah, Pesantren, dan Sekolah
Menurut
banyak kalangan, proses pendidikan banyak dipengaruhi atau malah ditentukan
oleh dinamika politik (kekuasaan), budaya, dan dinamika masyarakat luas. Dengan
demikian corak atau karakteristik pendidikan juga pasti mengalami perubahan
sesuai dengan keadaan zaman. Meskipun ada nilai-nilai serta identitas (simbol)
tertentu yang tidak bisa digerus zaman dengan mudah, bahkan bisa dikatakan
sangat sulit dirubah bahkan oleh kekuasaan politik sekalipun. Lembaga seperti
ini biasanya memiliki basis pendukung (utamanya masyarakat) yang kuat sehingga
bisa mempertahkan diri dari intervensi luar. Meski pada sudut lainnya dengan
terpaksa harus mengikuti perkembangan zaman.
Fenomena
seperti di atas yang akan menjadi titik tekan penulis. Yakni, karakteristik Pendidikan Agama Islam
seperti apakah yang sedang “terjadi” sekarang ini pada Madrasah, Pesantren, dan
Sekolah. Apakah masing-masing dari mereka benar-benar kehilangan karakter atau
corak (identitas) yang sejak awal telah melekat kuat. Atau malah masing-masing
malah semakin menjauh satu sama lain
lalu saling bertolak belakang dan saling bertentangan. Kemungkinan lain bisa
jadi dari ketiga bentuk pendidikan tersebut melakukan “akulturasi” sistem
pendidikan. Yakni, melakukan tambal sulam dengan mengambil sistem pendidikan lain
yang dipandang cocok diterapkan dengan karakteristik awal. Namun tetap
mempertahankan dengan kuat semangat dan tujuan awal dari didirikannya lembaga
tersebut.
Sebagai kasus sebagai dasar analisis fenomena di atas, telah ditemukan
hasil pada sebuah penelitian pada
sebuah pesantren di Pekanbaru.
Di mana tiap pola dan sistem
pendidikan yang diterapkan antara pesantren tradisional dan modern
masing-masing memberikan keunggulan (dampak positif) dan kelemahan (dampak
negatif) yang berbeda satu sama lain.
Pertama, keunggulan
pola pesantren tradisional adalah fokus perhatian sekaligus penghafalan al
Quran dan upaya penggalian “kitab kuning” bisa terlestarikan. Adapun
kelemahannya adalah sulit bersaing dengan lembaga lain yang berbentuk sekolah
umum dan dalam pengembangan Ilmu pengetahuan teknologi. Sedangkan yang kedua
keunggulan pola pesantren modern adalah mampu bersaing dengan lulusan sekolah
unggulan umum. Akan tetapi kelemahan dalam bidang bahasa dan kajian kitab
kuning (kitab klasik) tidak optimal. Namun demikian adanya keberagaman pola
pendidikan pesantren tersebut membuat kekayaan khazanah pendidikan Islam
semakin nampak.
Dari penjelasan di atas
tersebut dapat disimpulkan bahwa corak atau model pesantren modern dengan
pesantren tradisional juga akan menghasilkan kompetensi (corak) peserta didik
yang berbeda pula. Walaupun resikonya adalah akan tercipta kader-kader umat
Islam yang beranekaragam kemampuannya. Dengan
adanya dialog antar “keragaman” tersebut, diharapkan akan terjadi
pengembangan-pengembangan terbaru.
Yakni, yang bisa menemukan solusi permasalahan
yang tepat bagi kebutuhan masyarakat.
Lebih
nyata, fenomena unik pada dunia pendidikan telah terjadi di kehidupan
masyarakat. Salah satu faktornya adalah terdapat adaptasi yang berlebihan
(diluar pakem) oleh lembaga pendidikan. Dilakukan agar lembaga tersebut tetap
diminati dan bisa diterima oleh masyarakat. Implikasinya, secara simbol
(identitas) atau corak terjadi pengkaburan batas antara mana yang madrasah,
mana yang pesantren, dan mana yang sekolah umum. Adanya difusi yang ekstrem
tersebut menyebabkan sulit membedakan bentuk pendidikan seperti apa yang
disuguhkan tersebut, kecuali hanya rohnya –yang menjadi ciri khas (hakikat)
perjuangan masing-masing lembaga–, nama (label), dan kurikulum tersembunyi (hidden curiculum) secara detail-operasional. Sebagai gambaran detail dari
penjelasan di atas, maka penulis bisa rumuskan ke dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kasus tertentu:
terjadi kelunturan identitas/karakteristik
Dari
tabel di atas dapat dijelaskan bahwa proses “akulturasi” lembaga dari bentuk
lembaga “lama” dengan bentuk lembaga yang lain dilakukan karena dipengaruhi
oleh konteks atau latar belakang masyarakat di sekitar lembaga. Hal itu
dilakukan agar eksistensi lembaga tetap terjaga karena lembaga tersebut
benar-benar bermanfaat bagi kehidupan jangka panjang masyarakat. Penggunaan nama
hanya sebagai label (bungkus) untuk formalitas supaya masyarakat dan bahkan
pemerintah mau menerima lembaga tersebut seperti halnya lembaga lain yang
senama (selabel). Dengan kata lain, apa yang dibutuhkan oleh masyarakat secara
umum maka produk pembelajaran itulah yang harus “dijual” oleh lembaga
pendidikan. Walaupun sebenarnya juga ada faktor lain yang lebih kompleks tentang
alasan seseorang memilih sebuah lembaga atau bentuk pendidikan tertentu. Untuk
lebih detailnya masalah ini penulis paparkan pada halaman selantunya.
Dapat
disimpulkan, meskipun merupakan “kasus” akhir-akhir ini telah terjadi yang
namanya “fenomena unik.” Yakni, banyak lulusan dari madrasah, pesantren, dan
sekolah yang sangat sulit dibedakan kemampuannya. Artinya, ada lulusan
pesantren yang menguasai ilmu umum serta di sisi lain banyak sekolah yang
menguasai dan menerapakan nilai-nilai Islam dengan baik.
Bila itu terjadi, masyarakat akan sulit membedakan mana lulusan dari madrasah,
mana yang dari pesantren, dan mana yang dari sekolah. Secara kasat mata
(kulitnya) semua seakan sama saja.
Berangkat
dari semua penjalasan di atas maka penulis menganggap perlu diadakan pembedahan
pada tiga bentuk pendidikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan
karakteristik masing-masing. Dengan itu diharapkan bisa ditemukan kelebihan dan
kelemahan masing-masing. Oleh karena itu, penulis memaparkan secara detail
terkait hal itu sebagai berikut:
a. Madrasah
Sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa Madrasah
merupakan lembaga pendidikan pembaharuan dari pola pendidikan pesantren. Walaupun
menurut Arief Furchan pembaharuan pada awalnya hanya sekedar mekanisme dan
tampilan saja. Sedangkan kurikulumnya 100% masih berisi pelajaran agama.
Perbedaannya dengan pesantren adalah di Madrasah terdapat bangku, papan tulis,
ulangan, ujian, dan adminstrasi lainnya. Akibatnya, karena kurikulumnya berbeda
maka lulusan atau siswa dari madrasah pada masa itu tidak dapat melanjutkan
atau pindah ke sekolah umum. Adapun orang tua yang ingin anaknya mendapat ilmu
agama sekaligus ilmu umum harus menyekolahkan anaknya di dua tempat, di sekolah
umum dan di madrasah.
Dengan kata lain madrasah seperti itu hakikatnya adalah pesantren tapi berlabel
madrasah.
Menurut Maksum, “Dibandingkan dengan pesantren,
madrasah relatif terorganisasi secara baik, dalam hal tujuan, kurikulum,
kepemimpinan, dan proses belajar mengajarnya.” Contoh konkrit dari lembaga
pendidikan madrasah adalah Madarasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs),
dan Madrasah Aliyah (MA).
Dengan kata lain, sesungguhnya Madrasah secara konsep merupakan bentuk pendidikan
yang lebih “mapan” dari pada bentuk pendidikan di pesantren.
Padak perkembangan selanjutnya, pembaharuan pada
madrasah selanjutnya dilakukan dengan cara pengkombinasian pemikiran, konsep,
kurikulum, dan manajemen dari lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga
sekolah. Bisa dikatakan, bahwa masyarakat (khususnya masyarakat Islam) seiring
dengan perkembangan zaman tidak hanya membutuhkan pengkaderan umat dalam bidang
keagamaan saja (menjadi ahli agama, ulama, dan kia). Namun, di sisi lain umat
Islam juga butuh pengkaderan umat dalam bidang ilmu umum. Dapat disimpulkan,
pendidikan pesantren saja dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat, begitu pula hanya pendidikan sekolah umum juga tidak akan cukup. Di
sinilah peran madrasah dimunculkan sehingga bisa menjadi daya tarik tersendiri,
utamanya bagi masyarakat santri modern.
b. Pesantren
Membicarakan
pesantren tidak akan pernah lepas dari sosok seorang Kyai. Menurut Imam Bawani
posisi Kyai dalam pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas
peran Kyai yang begitu kuat dalam membina pesantren disebabkan karena merekalah
yang umumnya menjadi perintis, pendiri, dan bahkan juga pemilik tunggal dari
pesantren. Oleh
karena itu wajar bila pola kepemimpinan pesantren didasarkan pada keturunan
dari pendiri pesantren tersebut karena pesantren merupakan “hak” pribadi.
Meskipun demikian, Kiai dengan kharismanya juga mampu menggandeng masyarakat
dan tentunya untuk ikut membangun dan mengembangkan pesantren menjadi lebih
besar.
Pesantren
juga erat kaitannya dengan paradigma dikotomi dalam memandang sebuah ilmu.
Yakni, memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Keduanya diyakini
memiliki derajat, hukum, dan fungsi yang berbeda. Menurut Muhammad Kholid
Fathoni paradigma tersebut bisa terjadi karena dilandasi oleh pola fikir
semacam ini:
1) Pesantren merupakan benteng
terakhir bagi “keutuhan” agama dan budaya Islam di Indonesia.
2) Pengaruh politik penjajahan
yang menyemai perlawanan di kalangan rakyat sehinga berujung pada penolakan
atas corak pendidikan umum (sekolah) yang notabene produk atau dibawa oleh
Belanda.
3) Doktrin-doktrin dari kita
klasik di pesantren yang mengutamakan ilmu agama (Wajib) dari pada ilmu umum (fardu
kifayah). Termasuk di dalamnya terdapat acara anti “cinta dunia” secara
berlebihan.
Karakteristik
pesantren yang terkesan kaku tersebut bukan berarti sepenuhnya tak memiliki
makna (nilai positif) sama sekali. Bahkan, berdasarkan fakta-kongkrit di
masyarakat menunjukkan bahwa pesantren bisa memajukan mutu pendidikan dengan
cara mereka sendiri. Tentunya dengan kadar kompetensi lulusan yang mereka
bangun sendiri (sesuai dengan ciri khas pesantren masing-masing). Kepatuhan
lembaga pendidikan terhadap aturan dari pemerintah mereka nilai berdampak pada
fenomena pendidikan yang terkooptasi oleh birokrasi. Dampaknya, visi dan misi
yang dibangun sejak awal dapat dihilangkan sehingga terjadi penumpulan
pandangan pesantren dalam membaca arah kebutuhan (bukan kemauan atau keinginan)
masyarakat yang sebenarnya.
Disamping
itu, selama ini pesantren telah menawarkan budaya tersendiri. Yakni, adanya
nilai-nilai tauhid, kesederhanaan, kemanusiaan,, keadilan, kejujuran,
kepedulian, kemandirian, dan sebagainya. Bagi pesantren, ukuran keberhasilan
bukan semata-mata dilihat dari seberapa banyak harta terkumpul dan pekerjaan
atau karir apa yang tercapai. Akan tetapi dijangkau dari seberepa dekat diri
manusia kepada Tuhan. Dengan demikian, pesantren harus dilihat sebagai
pesantren, bukan yang lainnya. Pesantren memiliki orientasi hidup tersendiri
dalam pengertian seluas-luasnya. Pesantren tidak perlu ditarik-tarik ke dalam
budaya hidup hedonis, materialis, dan kapitalis yang cenderung menindas rakyat
kecil yang menjadi mayoritas.
Dapat
disimpulkan, bahwa selama ini pesantren dikesankan hanya melatih siswa (santri)
untuk bertirakat sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah hanya dengan jalan
“ibadah.” Sedangkan “tarikat” dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan umum
(kecuali praktik ilmu sosial: komunikasi, antropoligi dan sosiologi untuk
kepentingan dakwah agama) belum pernah ada. Padahal dengan menyingkap alam
beserta fenomenanya (sebagai ayat kauniyah) secara komperhensif bisa
menghantarkan manusia dekat kepada Tuhannya. Serta tentu pada akhirnya juga
bisa mewujudkan pengembangan IPTEK secara produktif sehingga bermanfaat bagi
umat Islam. Peran inilah yang selanjutnya bisa diambil oleh Madrasah secara
utuh.
c. Sekolah
Sekolah
dalam pendidikan Islam memiliki kewajiban untuk membimbing peserta didiknya
dalam mendalami Pendidikan Agama Islam. Di mana menurut Haidar Putra Daulay,
bahwa peran trilogi pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Di mana
pendidikan agama Islam di sekolah hanya sebagian dari upaya pendidikan. Oleh
karena itu, penyelenggaraan pendidikan agama harus ada jaringan kerja sama
antar tiga wilayah tersebut. Setidaknya sejauh mana hubungan antara sekolah
dengan keluarga (rumah tangga).
Sekolah
yang “murni” dari warisan budaya Belanda, sekaligus warisan kebijakan dan ideologi
pendidikan kolonialismenya yang diskriminatif belum sepenuhnya hilang.
Buktinya, ada kesan seakan-akan kebijakan pemerintah lebih mengutamakan dan
mensuperiorkan sekolah dari pada bentuk pendidikan lain. Sebab secara tersirat,
pemisahan antara sekolah yang menjadi anak emas pemerintah dengan madrasah dan
pesantren yang didukung oleh masyarakat masih terus berlanjut.
Dapat
disimpulkan bahwa keberadaan “istilah” sekolah sekarang ini merupakan produk
dari Belanda. Akan tetapi diharapkan semangat dan tujuan pendidikannya tidak
mengacu pada “sekolah” di zaman Belanda. Bagaimanapun Indonesai bukanlah
Belanda. Oleh karena itu sistem pendidikan nasionalnya hendaknya juga
didasarkan pada konteks masyarakat Indonesia.
3.
Tujuan Pendidikan Agama Islam
di Madrasah, Pesantren, dan Sekolah
Negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan sebuah nilai yang tidak bisa dielakkan. Setiap elemen warga negara
wajib mengimplimentasikan perilaku, aturan, dan termasuk juga pendidikan yang
didasarkan pada Ketuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, semua yang bersangkut
paut pada dunia pendidikan dimuarakan pada satu dasar utama yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa. Baru kemudian diturunkan ke dasar-dasar yang lain. Untuk cara
pelaksanaannya lebih rinci tergantung pada masing-masing bentuk pendidikan.
Hal
tersebut sesuai dengan pembahasan halaman sebelumnya, yaitu tentang UUD 1945
amandemen ke-4 Pasal 31 ayat 3. Serta menurut amanat UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 bahwa “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.”
Lebih rinci berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan
Agama dan Keagamaan disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan
pesantren adalah untuk menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT,
akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan,
pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam
seta menjadi muslim yang memiliki keterampilan atau keahlianan sebagai
penunjang pembangunan kehidupan yang Islami di masyarakat.
Dari pemaparan di atas menurut penulis ada beberapa
implikasi yang harus dilaksanakan oleh seluruh elemen bangsa, yaitu:
a. Tidak ada
pandang bulu atau pengecualian bahwa semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
harus bermuatan nilai-nilai ”ketuhanan.”
b. Pendidikan
“berketuhanan” lebih diutamakan, baru kemudian pendidikan ilmu lain.
Dapat disimpulkan, dari tiga bentuk pendidikan dalam
pembahasan ini maka tujuan pendidikan Islamnya tidak serta merta secara detail
harus disamakan. Harus diadakan assessment
outcome, yaitu menelaah terlebih
dahulu tolak ukur “kesuksesan” seperti apa yang ingin dicapai atau diutamakan.
Hal itu sekaligus dikaitkan dengan pengetahuan pendidik tentang sejauh mana
kemampuan peserta didik. Misalnya, tolak ukurnya adalah bisa mengerjakan sholat
dhuha secara rutin, bisa membaca bacaan sholat dengan benar, membaca kitab
kuning, bisa memimpin tahlilan, atau bisa menghafal ayat al Quran dan
sebagainya. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan harus memperhatikan
hasil pendidikan Islam yang berupa produk,
output, dan outcome seperti apa yang ingin dicapai. Hal tersebut bisa
digambarkan oleh penulis dari Adaptasi penjelasan Khusnuridho:
Masih
menurut Khusnuridho dari skema itu dapat disimpulkan, bahwa pendidikan
sesungguhnya bisa menghasilkan kebudayaan baru. Di mana kebudayaan di sini bisa
berwujud kepercayaan, perilaku, dan produk (benda). Oleh karena itu menurut
penulis, bila hal tersebut dikontekskan dengan Pendidikan Islam sesungguhnya
pendidikan Islam tidak hanya melahirkan kepercayaan (nilai) dan perilaku saja.
Akan tetapi juga bisa menghasilkan produk budaya yang berupa benda (artifact). Hal inilah yang menjadi
tantangan pendidikan Islam, selama ini pendidikan Islam masih sangat minim
produktifitasnya dalam menciptakan artifact.
B.
Kecenderungan
Masyarakat dalam memilih bentuk Pendidikan Islam
Dalam
menghadapi masa (pasca) transisi pendidikan Islam sekarang ini, sikap orang tua
dalam memilih sekolah untuk anaknya dapat di bagi dalam tiga kecenderungan
garis beras:
1. Menjadikan agama sebagai hal
yang lebih penting dari pada sekolah. Kendati terpaksa harus dimasukan pada
sekolah umum, maka akan diselingi dengan pendidikan agama di pesantren.
2. Menjadikan sekolah umum
(utamanya favorit) sebagai tujuan utama. Dengan pertimbangan pendidikan agama
bisa dikesampingkan karena bisa dipelajari lewat media atau jalur pendidikan
lain.
3. Menjadikan sekolah dan agama
sebagai pilihan yang sama-sama penting. Orang tua seperti ini sebisa mungkin
akan menghindari sekolah yang berbasis non muslim.
Sedangkan Menurut Malik Fajar
yang dikutip oleh Agus Sholeh mengemukakan ada tiga alasan yang menjadi
pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama),
status sosial, dan cita-cita. Masyarakat yang terpelajar akan semakin beragam
pertimbangannya dalam memilih pendidikan untuk anak-anaknya.
Dari penjelasan tersebut, dapat
penulis simpulkan bahwa madrasah, pesantren, dan sekolah memiliki pangsa pasar
tersendiri yang fanatik. Meski keadaan madrasah dan pesantren serba minim, akan
tetapi masih tetap ada yang meminatinya. Lebih lanjut dari pernyataan tersebut
dapat digambarkan secara detail sebagai berikut:
Gambar 2.1 Konsumen fanatik
bentuk pendidikan Madrasah, Pesantren dan
Sekolah
Dari
gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa kondisi sosial masyarakat (sebagai
konsumen) sangat menentukan ke bentuk pendididikan seperti apa yang dipilih
masyarakat. Misalnya masyarakat dari latar belakang abangan, nasioanalis, dan
pragmatis akan cenderung memilih bentuk pendidikan sekolah. Akan tetapi bisa
dalam keadaan mendesak dimungkinkan bisa juga memilih bentuk pendidikan
Madrasah atau pesantren. Hal itu dilakukan bila faktor-faktor lain yang juga
menentukan ternyata intesitasnya lebih banyak dan lebih kuat. Menurut penulis faktor-faktor
lain yang menjadikan pandangan masyarakat dalam memilih bentuk pendidikan
adalah sebagai berikut:
a. Visi dan misi lembaga; arah
pendidikannya ke kultur mana, bidang apa, keahlian apa, dan ingin dibentuk
menjadi apa.
b. Kualitas pendidikan; biasanya
ukuran yang digunakan adalah lulus UN, juara lomba (sains), bisa diterima
kampus favorit, dan memiliki keunggulan khusus (nahwu saraf dan hafal al Quran).
c. Outcome; bisa ikut peran serta dalam kehidupan masyarakat, berkarir, bekerja,
dan berkarya.
d. Fasilitas lembaga; kondisi dan
kelengkapan sarana maupun prasarana (fasilitas dan label yang bonafit).
e. Biaya non operasional; jarak
jauh atau dekatnya (untuk biaya kost, transportasi, dll), biaya tambahan dari
sekolah, dan biaya lain.
f. Ijazah; bisa mendapatkan ijazah
atau bisa bersekolah untuk martabat dan harga diri.
C.
Konsep Bentuk Pendidikan
Islam yang Ideal
1.
Konsep PAI di
Madrasah
Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin menyatakan bahwa pesantren dan madrasah kini mampu tampil percaya
diri dalam melakukan perubahan-perubahan. Bahkan bisa dikatakan madrasah
menjadi pengendali “model” bukan sekedar sebagai “pengikut” arus model
pendidikan di Indonesia.
Dengan pengertian itu, sesungguhnya upaya pembaharuan Madrasah harus terus
dilakukan. Baik terkait dengan kurikulum, sarana-prasarana, akuntabilitas,
pelayanan, dan sebagainya. Pada akhirnya Madrasah bisa menjadi madrasah yang
sesungguhnya dan sesuai dengan semangat awal berdirinya, yaitu semangat
pembaharuan.
Selain itu menurut Nur Kholis
Setiawan, madrasah juga diklaim telah berhasil mendidik anak bangsa dalam dua
hal secara sekaligus. Yakni, ilmu (intelektual) dan moral (akhlakul karimah).
Jarang sekali atau bahkan tidak pernah ditemukan siswa dari madrasah melakukan
tawuran. Hal inilah yang menjadi keunggulan sekaligus kekuatan madrasah. Lebih
lanjut indikator keberhasilan pendidikan di Madrasah adalah ketika mampu
mencetak siswa dengan penguasaan ilmu pengetahuan sekaligus mampu
mempertanggungjawabkan atas ilmunya. Oleh karena itu semua guru diharapkan
selalu menggali dan mengkaji sekaligus menerapkan teori-teori pengetahun Islam
untuk mengembangkan mutu madrasah. Diharapkan adanya penguasaan mata pelajaran
umum harus diimbangi dengan penguasaan ilmu agama.
Sebagaimana pembahasan
sebelumnya, sesungguhnya Madrasah berdiri, tumbuh, dan berkembang karena adanya
keterlibatan masyarakat. Dengan demikian, sesungguhnya Madrasah telah lebih
dulu menerapkan konsep pendidikan berbasis masyarakat.
Masyarakat sebagai individu maupun organisasi telah membangun madrasah untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan agama sekaligus pendidikan “formal” untuk mereka.
Di mana hal itu sesuai dengan isi Undang-undang Sisdiknas 2003 Pasal 55 ayat 1 yang
menyatakan bahwa “Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan
nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat.”
Adapun menurut Muhaimin Kurikulum madrasah perlu dikembangkan secara terpadu, dengan memposisikan
nilai-nilai Islam sebagai petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan
berbagai mata pelajaran umum. Secara operasional, guru mata pelajaran umum
berkerja sama dengan guru PAI untuk menyusun disain pembelajaran secara konkret
dan detail. Dengan kata lain, dalam madrasah perlu dilakukan upaya spirtualisasi
pendidikan atau menginternalisasikan nilai-nilai agam Islam melalui proses
pendidikan ke dalam seluruh aspek pendidikan Madrasah. Hal ini untuk
mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan umum dan seni dengan keimanan dan
kesalehan dalam diri siswa.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk
pendidikan madrasah sesungguhnya memiliki nilai potensial yang lebih besar dari
pada yang lainnya. Hal itu dengan artian bahwa madrasah harus mampu mengadakan
pengintragasian antara ilmu umum dengan ilmu agama. Bukan hanya mengadakan
penambahan (penjumlahan) antara jam di pendidikan sekolah dengan jam pendidikan
di pesantren tanpa diadakan integrasi.
2.
Konsep PAI di
Pesantren
Pesantren
merupakan sistem pendidikan tertua di Indonesia. Sampai sekarangpun sistem
pendidikan –yang murni- pesantren masih ada tak tergerus dengan dinamika zaman.
Salah satu yang menjadi ciri menarik dan tak tergerus zaman adalah sistem
pendidikan di pesantren terdapat keintegrasian antara keislamaan dengan
keindonesiaan (budaya), kesederhaan, dan hubungan kyai dengan santri yang
begitu emosional.
Meskipun
pada sebagian pesantren tertentu telah mengadakan keterbukaan, penyerapan,
bahkan melakukan pembaharuan pada sistem pendidikannya. Mulai yang paling
ringan adalah membolehkan santri untuk mengikuti pendidikan umum di luar
lingkungan pesantren, karena pesantren tidak memfasitilasi pembelajaran ilmu
umum. Adapun yang paling berani adalah pesantren (utamanya yang baru/mulai
didirikan) telah merubah sistem pendidikan pesantren lama, dari tradisional
menjadi benar-benar baru (modern).
Keungulan
pesantren dalam karekter kehidupan adalah melatih peserta didik untuk istiqomah
(disiplin), beradab unggul (berkarakter), dan adanya keberkahan (penuh makna).
Selama ini pesantren sebagai lembaga pendidikan dikesankan sebagai lembaga yang
tradisional, tak tersentuh dinamika masyarakat,
dan terselimuti oleh bentuk pembelajaran yang monoton. Dalam konteks
sistem pendidikan Nasional sekarang ini, pernyataan itu tidak sepenuhnya benar.
Pada masa sekarang ini, banyak pesantren yang sudah melakukan transformasi
diri. Baik dari segi kurikulum, manajeman serta pengelolaan (kepemimpinan),
metode pengajaran, dan metode pendekatan terhadap zaman.
3.
Konsep PAI di
Sekolah berbasis Pesantren
Dalam
bentuk pendidikan “sekolah,” penulis memandang ada dua persepsi yang bisa
dibangun. Pertama, sekolah didudukan
sebagai sekolah umum yang menyelenggerakan pembelajaran ilmu umum dan juga
diwajibkan untuk memberikan sedikit sekali mata pelajaran PAI, misalnya
SDN/SMPN/SMAN. Kedua, sekolah
didudukan sebagai sebuah lembaga Pendidikan Islam. Yakni, lembaga sekolah yang
bercirikan atau bernafaskan nilai-nilai Islam secara penuh. Misalkan Sekolah
berbasis Pesantrean seperti ar Risalah Lirboyo Kediri, sekolah berbasis atau
berciri khas agama Islam SD/SMP/SMA al Maarif atau al Falah, dan SD/SMP/SMA
Muhammadiyah. Khusus untuk persepsi yang kedua, yaitu sekolah umum berbasi
pesantren menurut Mujamil Qomar ada dua latar belakang timbulnya sekolah umum
di pesantren:
a. Bentuk adaptasi pesantren terhadap
perkembangan sistem pendidikan nasional, atau menurut Mastuhu karena dampak
global dari pembangunan nasional serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Kepentingan menyelamatkan
“nyawa” pesantren dari kematian selamanya. Bentuk penyelematan pesantren ini
merupakan tindakan yang strategis dan spontan.
Dengan
adanya sekolah yang berbasis pesantren tersebut para Kiai bisa menempuh
kebijakan dua jalur. Pertama, Santri
dilibatkan dalam pendidikan umum (sekolah) agar bisa melanutkan pendidikan ke
jenjang berikutnya (mendapat ijazah/pengakuan). Kedua, Siswa pada pendidikan umum (sekolah) diwajibkan mengikuti
kekgiatan pesantren. Kedua jalur tersebut memadukan antara kelebihan dan
kekurangan masing-masing, sehingga bisa saling melengkapi. Santri dari
pesantren bisa menyerap ilmu pengetahuan umum sedangkan siswa SD, SMP, dan SMA
dapat menyerap ilmu agama yang cukup mendalam dari pesantren.
Secara
terperinci dengan adanya sekolah berbasis pesantren ini bisa menghasilkan
peserta didik bisa memperoleh nilai-nilai yang berciri khas pesantren. Beberapa
diantaranya adalah nilai keberkahan, keikhlasan, ketawadhu’an, do’a Kiai atau
ustad, menutup aurat, dan terpisahnya antara peserta didik putra. dengan putri.
Nilai-nilai tersebut merupakan kurikulum tersembunyi yang ada pada pesantren.
Sehingga apabila dibuat tabel akan tergambar sebagai berikut:
Nilai Dasar
|
Nilai Personal
|
Nilai Sosial
|
Moderat
|
Keamanan
|
Kemampuan baik dalam kinerja
|
Seimbang
|
Ketakwaan
|
Sopan-santun
|
Toleran
|
Kemampuan baik
|
Menghormati guru
|
Adil
|
Disiplin
|
Memuliakan kitab
|
|
Kepatuhan
|
Menyayangi teman
|
|
Kemandirian
|
Uswah hasanah
|
|
Cinta Ilmu
|
Tawadhu’
|
|
Ikhlas
|
Do’a guru
|
|
Menutup aurat
|
Berkah
|
|
|
Pisah antara siswa-siswi
|
Tabel.
2.2 Nilai-nilai Karakter pada sekolah berbasis Pesantren (SMK Salafiyah Pati
Jawa Tengah
BAB
III
PENUTUP
Dari
semua pembahasan dapat disimpulkan pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia
secara “kurikulum” tidak pernah bisa lepas dari pengaruh tokoh agama (kiai dan
ulama). Sedangkan pengembangan dan pembangunannya tidak bisa lepas dari peran
serta masyarakat dan kekuasaan (pemerintah). Kedudukan madrasah dan pesantren
tidak hanya sebagai identitas (simbol) keislaman, tapi juga sebagai tempat
untuk indoktrinasi nilai-nilai Islam. Sedangkan sekolah umum belum tentu akan
mau menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap aktivitasnya. Bila sekolah “umum”
itu berbasis pesantren maka nilai-nilai Islam akan ditanamkan. Namun, bila
sekolah itu berbasis “nasional” dan “dikendalikan” pemerintah maka akan
menanamkan nilai-nilai keindonesaan. Tentunya itu juga akan tergantung Stakeholders dan otoritas dari sekolah
tersebut.
Dengan
kata lain, Kemandirian (idependensi) madrasah dan pesantren ditentukan oleh
masyarakat bukan pemerintah. Asumsinya, masyarakat “dapat” merubah madrasah dan
pesantren, serta sebaliknya madrasah dan pesantrenlah yang merubah masyarakat.
Dengan kata lain dinamika madrasah tidak lepas dari arah dinamika masyarakat,
begitu juga sebaliknya. Sedangkan untuk
pendidikan berbentuk sekolah (utamanya manajemen) lebih banyak yang tunduk pada
aturan “kaku” pemerintah. Pada kenyataannya, harus diakui pada akhir-akhir ini
bahwa teori semacam itu sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat yang
mulai kritis dalam memilih pendidikan bagi generasi mudanya.
Dengan
demikian, sebagai dasar konsistensi dan standar maka konsep pendidikan Islam
yang ideal adalah pendidikan Madrasah yang benar-benar menjadi “Madrasah”
sesungguhnya. Yakni, yang melakukan integrasi ilmu secara konsisten. Bukan
madrasah “kamuflase” yang hanya menggabungkan jam pelajaran antara jam
pelajaran agama di pesantren dengan jam pelajaran di sekolah umum. Sedangkan
pilihan lainnya adalah konsep pendidikan berbentuk sekolah yang berbasis
pesantren. Yakni, pengintegrasian nilai-nilai luhur atau budaya (ciri khas)
pesantren serta nilai Islam disertai dengan mempelajari ilmu pengetahuan umum.
Daftar Rujukan
An-Nahidl, Nunu Ahmad
dkk. Posisi Madrasah dalam Pandangan
Masyarakat. Jakarta: Gaung
Persada, 2007.
Bakhtiar, Nurhasanah. “Pola
Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota Pekanbaru,” ftk.uin-suska.ac.id/attachments/article/12/nurhasanah_pola.pdf, diakses tanggal 08 Oktober
2014.
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Fathoni, Muhammad
Kholid. Pendidikan Islam dan Pendidikan
Nasional [Paradigma Baru]. Jakarta: Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama
Islam, 2005.
Furchan, Arief.
“Pemberdayaan Madrasah dan Tantangan Globalisasi,” http://www.pendidikanislam.net/index.php/makalah/41-makalah-tertulis/293-pemberdayaan-madrasah-, 14 November 2009, diakses tanggal
08 Oktober 2014.
Hamid, Abdulloh dan Putu Sudira, “Penanaman Nilai-nilai
Karakter Siswa SMK Salafiyah Program Keahlian Tekni Komputer dan Jaringan (TKJ)
Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,” email: doelhamid07@gmail.com, file didownload tanggal 08 Oktober 2014.
Hanafy, Muh. Sain.
“Paradigma Baru Pendidikan Islam dalam Upaya Menjawab Tantangan Global,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No.2
(Desember, 2009), 174.
Haningsih, Sri. “Peran
Strategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di Indonesia,” el-Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam No. 1
Vol. 1 2008, 27-39.
Khusnuridho, Pemaparan
dalam perkuliahan Program Pascasarjana STAIN Kediri pada Mahasiswa angakatan
ke-2.
Maksum, Madrasah;
Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo, 2005.
Peraturan Pemerintah RI
No. 55 tahun 2007 Pasal 26 ayat 1.
Qomar, Mujamil. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta:
Erlangga, Tanpa Tahun.
Sholeh, Agus. “Posisi
Madrasah di Tengah Tuntutan Kualtas,” dalam Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, ed. Suwito dan Fauzan. Jakarta: Kencana, 2005.
Suprayogo, Imam. Pendidikan Berparadigma al-Qur’an:
Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang, 2004.
Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Republik Indonesia No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya (Jakarta: Cemerlang, 2003), hlm. 4, 13.
Nurhasanah Bakhtiar, “Pola Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap
Pesantren se-Kota Pekanbaru,” ftk.uin-suska.ac.id/attachments/article/12/nurhasanah_pola.pdf, diakses tanggal 08 Oktober 2014.
Abdulloh Hamid
dan Putu Sudira, “Penanaman
Nilai-nilai Karakter Siswa SMK Salafiyah Program Keahlian Tekni Komputer dan
Jaringan (TKJ) Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,” email: doelhamid07@gmail.com, file didownload
tanggal 08 Oktober 2014.