Tiga Tantangan
Kepemimpinan Jokowi-Kalla
Prolog
Pasca
pilpres 2014, masalah yang dihadapi bangsa Indonesia beberapa tahun berikutnya
tidaklah gampang, hingga bisa disepelekan begitu saja. Bukan hanya ranah
ekonomi, salah satunya terjadi kesenjangan atau tidak meratanya kesejahteraan
hidup antar anak bangsa. Namun juga masalah-masalah lainnya seperti moral,
mental, dan karakter dari mayoritas masyarakat yang masih jauh tertinggal
dibandingkan dengan negara maju.
Tanpa
kita sadari, selama ini pembangunan masyarakat Indonesia yang dilakukan oleh
elite politik hanya pada sektor fisik (materi) semata. Padahal pembangunan non
fisik, misalnya pembangunan moral, mental, dan karakter bangsa merupakan unsur paling
penting. Asumsinya, bila pembangunan fisik digalakan tanpa disertai pembangunan
karakter maka yang memperoleh manfaatnya hanya anak bangsa yang sudah
berkarakter unggul saja.
Bila
dianalogikan sebuah handphone, selama
ini pemimpin Indonesia hanya fokus pada misi pengadaan infastukturnya saja, casing, asesoris, optimalisasi performa
mesin, dan hanya membuat aturan standarisasi dalam menciptakannya. Tanpa
memberikan sebuah “petunjuk” atau tata aturan secara teknis maupun etika saat
menggunakannya. Ditambah lagi tidak ada pengarahan tentang sebab atau akibat selanjutnya
bila ditemui masalah, misalkan terjadi error.
Hal
yang lebih parah, karena alat komunikasi tersebut tidak disertai adanya “pendidikan
karakter” maka tak heran bila disalahgunakan. Misalnya, untuk meneror, berbuat
kejahatan, berbuat asosial, dan handphone
akan dirusak (disia-siakan) seenak perutnya. Dalam benak mereka toh yang memfasilitasi dan memperbaiki
itu semua adalah “hanya” tugas negara. Semuanya dibebankan dan menjadi tanggung
jawab pemerintah, tanpa ada kesedaran diri untuk merasa memiliki dan
merawatnya.
Itulah
kenyataannya, untuk tahun-tahun berikutnya bangsa Indonesia masih rentan
terkena krisis multidemensial. Tidak hanya rawan mengalami krisis ekonomi,
krisis demokrasi, dan krisis kesejahteraan tapi bangsa ini juga terancam masuk
jurang krisis spiritualitas. Yakni mengalami degradasi karakter dan bermental
buruk.
Salah
satu ciri dari mental tersebut yaitu kelompok masyarakat kita masih ada yang
merasa paling benar dan paling berhak mendapat atau merusak sesuatu. Mereka gemar
menyelesaikan masalah yang dihadapi menggunakan berbagai cara, walaupun itu
tidak etis. Selain itu demi menunjukkan kekuatan pada kalangan lain digunakan
jalan kekerasan yang dilakukan secara fisik, verbal, dan non verbal.[1]
Bisa
dikatakan tugas Presiden dan Wakil Presiden terpilih nanti tidak enteng. Jangankan untuk menikmati
kemenangan, bernafas pun rasanya tidak akan pernah sempat, terutama untuk tahun
pertama kepemimpinan mereka. Bahkan pasangan tersebut pada awal kepemimpinannya
harus membuat gebrakan dan kebijakan yang terbukti manjur sehingga bisa membuat
masyarakat puas, “terbungkam” kagum, dan terpukau. Dapat dikatakan, mereka
tidak akan punya waktu luang untuk sekedar duduk berlama-lama di kursi empuk Istana
dengan hanya memerintah anak buahnya saja.
<< selanjutnya>>
<< selanjutnya>>
[1]Kekerasan fisik misalnya memukul, membakar, dan merusak. Kekerasan verbal
misalnya memfitnah secara lisan maupun tulisan. Kekerasan non-verbal misalnya
memelototi, cuek, dan melecehkan dengan bahasa isyarat.