Tantangan Kepemimpinan Jokowi-Kalla
Tulisan ini dibuat pada tanggal 10 september 2014.
Tantangan
yang akan dihadapi oleh Jokowi-Kalla ketika menjadi pasangan Presiden-Wakil
Presiden nanti sangat banyak dan berat. Tidak semua orang mampu menyelesaikan
masalah-masalah tersebut secara tuntas, adil, merata, dan komperhesif.
Kebanyakan hanya memberikan solusi bagi masalah tertentu dalam satu kasus, tapi
menimbulkan masalah lain yang tidak bisa diantisipasi dan dikontrol.
Bisa
dikatakan masalah yang dihadapi oleh bangsa ini saling terkait satu sama lain. Apabila
salah satu diberlakukan aturan tertentu untuk menyelesaikan masalah, maka
masalah lain bisa muncul menyertainya. Artinya, dalam sebuah kepimpinan yang masih
umum terjadi sekarang ini adalah ketika membuat kebijakan maka ada golongan
masyarakat yang harus dijadikan tumbal (dirugikan).
Lebih
rincinya, bila sebuah kebijakan dipandang hanya menguntungkan masyarakat bawah
maka masyarakat atas akan merasa tidak diperhatikan. Bila kebijakan tersebut
dianggap merugikan produsen, maka konsumen akan ikut terkena imbasnya. Bila kebijakan
itu lebih memihak buruh, maka pihak “penggaji” buruh merasa terancam
eksistensinya. Serta masalah-masalah dalam membuat kebijakan lainnya yang determinasinya
tak dapat dikontrol dengan mudah.
Namun, hal itu tidak pernah terjadi pada
sosok Jokowi-Kalla selama mereka menjabat di dunia pemerintahan. Bagaimanapun
mereka telah berkomitmen dan bertanggung jawab atas segala hal terkait dari
kebijakan yang mereka putuskan. Bahkan karena komitmen dan kesungguhan dari
pelaksanaan kebijakan yang dianggap tidak populer itu, masyarakat mala menjadi
puas setelah merasakan hasilnya.
Di
sisi lian, harus kita akui bahwa Jokowi-Kalla adalah manusia biasa yang secara
pribadi punya kelemahan. Walaupun kenyataannya selama ini kelemahan dari
Jokowi-Kalla sangatlah minim, hingga bisa dikatakan tidak menjadi ancaman bagi
bangsa. Oleh karena itu, dapat dikatakan tantangan secara pasif yang dihadapi
Jokowi-Kalla nanti tida dapat mereka atasi dengan jalan mudah. Namun untuk
tantangan aktif, yakni pihak yang senantiasa “menggoyang” kepemerintah
Jokowi-Kalla secara dimanis dapat mereka atasi dengan mudah. Tentu setelah
meraka melakukan kerja, presati, dan bukti yang nyata sehingga dirasakan
masyarakat.
Berangkat
dari hal tersebut serta agar pembahasan dalam artikel ini lebih rinci dan
fokus, maka penulis akan memaparkan beberapa bidang penting di Indonesia yang
harus diatasi oleh Jokowi-Kalla ketika menjadi presiden, di antarnya adalah:
1.
Bidang Mental
Kata mental memiliki arti “bersangkutan
dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badani atau tenaga.” Sedang kata mentalis berarti “keadaan dan aktivitas
jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan.” Dapat dikatakan
bahwa mental adalah sesuatu yang dimiliki individu sebagai komponen penting
kehidupan yang tidak berwujud (abstrak), bisa dirasakan adanya, dan sebagai
ciri khas pribadi. Dengan demikian “mental” bisa dikondisikan dalam segala
aspek dan turunannya. Baik secara paksa misalnya dengan dibuat kebijakan atau
aturan tegas dari pemimpin, maupun dibentuk dalam dunia pendidikan, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan bangsa.
Dalam struktur
kepemimpinan, semangat “mental” antara bawahan dengan atasan harus selaras. Bila
atasannya bermental melayani masyarakat tapi bawahannya punya mental pemeras
rakyat, maka tidak ada sinergi di antara mereka sehingga menjadi beban
pemimpin. Oleh karena itu, tantangan yang yang dihadapi Jokowi-Kalla saat
menjadi presiden nanti adalah berani membuat aturan dan kebijakan yang tegas.
Dengan itu diharapkan membuat anak buahnya akan berpikir dua kali untuk
mempermainkan, menyepelekan, dan menyia-nyiakan rakyatnya.
Selain dalam birokrasi
tersebut di atas, masalah mental juga masih melekat pada sebagian masyarakat
Indonesia. Di mana kelakuan mereka yang cenderung negatif seperti menghalalkan
segala cara untuk mencapai sesuatu, melakukan kekerasan (fisik, verbal, dan non
verbal), dan bersifat egois. Mental
mereka tidak menandakan cinta pada Indonesia, yakni tidak merasa memiliki
aset-aset negara beserta rakyatnya sehingga tangan mereka merasa ringan untuk
merusak atau menyia-nyiakannya.
Dapat dikatakan tanggung
jawab pemimpin bangsa ini sesungguhnya tidak hanya pada ranah pembangunan fisik
dan badani (kesehatan) semata. Namun lebih utamanya adalah melakukan
pembangunan mental. Bagaimanapun faktor mental merupakan aspek penentu dalam
pembangunan. Dari usaha itu diharapkan mentalitas anak bangsa dengan secepatnya
bisa sejajar dengan bangsa yang lebih maju.
Itulah tantangan utama
pada bidang mental yang harus diselesaikan oleh Jokowi-Kalla. Mereka harus bisa
merevolusi mental para birokrat yang masih mengalami aleniasi (gangguan) mental,
sekaligus mental sebagian masyarakat Indonesia yang masih perlu diubah. Hal tersebut agar pembangunan di segala
bidang bisa berjalan dengan lancar, terjaga, dan cepat.
2.
Bidang pemberantasan
KKN
Masalah
akut dan sangat mengerikan akibatnya bagi bangsa Indonesia tercinta ini adalah
maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Disenangi atau tidak praktek persekongkolan,
menyuap, dan perampokan aset negara masih merajalela, sehingga menjadi tantangan
berat bagi Jokowi-Kalla yang berkarakter jujur, memihak rakyat, dan berkomitmen
untuk memberantasnya. Oleh karena itu, pembahasan bidang pemberantasan KKN ini penulis
sendirikan kajiannya, mengingat kasus ini merupakan cermin kerusakan mental
yang sangat akut.
KKN
tidak hanya akan memperlambat dan merusak sistem birokrasi bangsa ini. Namun
juga menjadi biang kerok kesenjangan antara si kaya dengan yang miskin.
Bagaimana tidak, bagi rakyat yang tidak punya uang untuk menyuap akan semakin
tersingkir dari kesempatan untuk hidup sejahtera. Sedang bagi rakyat yang tak
punya “jaringan” untuk bersekongkol akan disingkirkan dari sistem kehidupan
yang layak. Serta bagi rakyat yang tidak punya jabatan untuk korupsi atau memeras
akan semakin teraniaya.
Ironisnya,
praktek KKN di Indonesia terjadi secara merata, tidak hanya dalam birokrasi
pemerintahan tapi juga dalam birokrasi suasta. Bahkan bisa dikatakan di semua
lini dan sudut kehidupan, termasuk dalam dunia Pendidikan sekalipun. Mulai dari
jajaran atasan hingga di kalangan “pionnya” sudah terbiasa dan mafhum (sikap
permisif) untuk melakukan jurus sesat ini.
3.
Bidang Pertahanan dan
Keamanan
Selama ini Presiden
dari kalangan militer dikesankan lebih handal dalam menjaga keamanan dan
pertahanan negara ini. Dalam konteks negeri ini ancaman terorisme, separatisme,
dan premanisme masih menghantui sehingga suatu saat rawan untuk “meledak” lagi.
Seolah-olah semua permasalahan itu hanya bisa diatasi dengan senjata saja, yang
dilakukan oleh petugas keamanan seperti Polri dan TNI.
Di sisi lain, ancaman
kedaulatan bangsa ini secara fisik maupun non fisik masih terlihat jelas. Kedaulatan
bangsa ini masih sangat rentan dilecehkan dan direbut oleh individu,
organisasi, dan bangsa lain. Dengan demikian, sesungguhnya alat kemananan
negara ini bukan hanya soal jumlah tentara dan canggihnya senjata. Namun yang
lebih penting adalah aspek mentalitas anak bangsa yang cinta tanah air untuk
menjadi instrumen penjaga kedaulatan bangsa. Asumsinya, seluruh anak bangsa ini
harus berlomba-lomba dalam kebaikan, yaitu menjadi insan yang paling cinta
tanah air.
Untuk pertahanan dan
keamanan secara fisik penanggung jawab pertama adalah kalangan Polri dan TNI.
Akan tetapi untuk pertahanan dan keamanan non fisik seperti pada bidang ekonomi
dan politik penanggung jawab pertamanya bukanlah sebuah orgnaisasi atau satuan,
yaitu para pelaku ekonomi dan politikus. Sedang untuk semua hal itu penanggung
jawab utamanya adalah Presiden. Dengan demikian, tantangan Jokowi-Kalla saat
menjadi Pemimpin bangsa ini adalah mampu menjaga pertahanan dan keamanan bangsa
ini baik dari ancaman pihak luar maupun dari ancaman dari dalam negeri sendiri.
Dari
ketiga tantangan di atas bila dibandingkan dengan tantangan lainnya, sesungguhnya
tantangan terberat Jokowi-Kalla ketika menjadi Presiden dan Wakil Presiden
nanti adalah diri mereka sendiri. Yakni, sanggupkah mereka tetap menjadi diri
mereka sendiri tidak terganggu oleh “goyangan” atau diinterfensi oleh pihak
lain. Serta masihkah mereka tetap berkomitmen memihak rakyat dan tetap fokus
pada komitmen-komitmen lainnya seperti saat mereka menjabat di pemerintahan
yang dahulu.
Satu-satunya
peluang Jokowi-Kalla untuk meredam potensi negatif tersebut adalah segera
membuat kebijakan yang bisa memuaskan rakyat. Meskipun itu bukan kebijakan yang
populer, akan tetapi bila berdampak positif bagi kehidupan rakyat maka tak
mustahil rakyat semakin tambah simpati atas kepemimpinan mereka. Bila itu
terjadi lagi, maka siapapun yang ingin “menggoyang” pemerintahan mereka akan
segera mengurungkan diri. Asumsinya, pihak yang memusuhi pemerintahan
Jokowi-Kalla berarti memusuhi rakyat dan tidak menginginkan rakyat hidup sejahtera.
Dengan
kemampuan dan potensi seperti itu, diyakini prestasi yang akan diraih Jokowi-Kalla
saat menjadi pasangan Presiden dan Wakil Presiden grafiknya akan jauh lebih
tinggi dari Presiden SBY. Terlebih bila mereka mewujudkan program-program baru dan
program pemerintahan lama yang hasilnya belum optimal. Oleh karena itu, dengan
perstasi tersebut bukan kemustahilan bila Jokowi-Kalla kelak menjadi tokoh yang
selalu dikenang oleh sejarah gemilang bangsa ini.
Implikasi
Mencoblos
Jokowi-Kalla dalam pilpres 2014 ini adalah satu-satunya jalan untuk melanjutkan
pembangunan segala bidang di negeri ini guna menuju Indonesia hebat. Mereka
adalah tokoh pemimpin yang memberi solusi praktis dari berbagai hambatan yang
dihadapi negeri ini. Dengan terpilihnya mereka menjadi pasangan Presiden dan
Wakil Presiden dapat dipatikan negeri ini mengalami sebuh lompatan besar hampir
di segala bidang dalam tempo singkat.
Mereka adalah sosok yang bisa mengubah tantangan
yang bagi orang lain menjadi momok
(hantu) serta ditakuti menjadi sesuatu yang “menyenangkan” dan mudah untuk
dipecahkan. Perpaduan keduanya merupakan rumus untuk menemukan jawaban bagi
masalah-masalah yang kelak akan dihadapi oleh negeri ini. Dengan demikian,
siapapun yang meragukan mereka dalam mengatasi ke tiga tantangan tersebut di
atas merupakan sebuah sikap yang tidak didasarkan pada rasionalitas dan
kecerdasan berfikir.(Banjirembun).