Sebelum kalian melihat isi dari halaman ini. Alangkah lebih baik baca dulu pengumuman penting berikut ini:
ISI LENGKAP DUA BUKU "PENDIDIKAN ISLAM" TERBITAN TAHUN 2014 & 2015. GRATIS.
NO CLICKBAIT!
Bagi yang belum tahu apa itu clickbait silakan klik judul Clickbait: Arti, Cara Kerja, dan Contohnya
Menu lengkap buku SISTEM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA PERGURUAN TINGGI UMUM. Dalam format daftar isi. Tinggal diklik judul atau sub judul daftar isinya. Akan diteruskan ke bagian isi buku sesuai judul atau sub judul yang diminta. Selengkapnya klik judul buku tersebut.
Menu lengkap buku PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM: REINTERPRETASI BERBASIS INTERDISIPLINER. Dalam format daftar isi. Tinggal diklik judul atau sub judul daftar isinya. Akan diteruskan ke bagian isi buku sesuai judul atau sub judul yang diminta. Selengkapnya klik judul buku tersebut.
Lihat juga profil lengkap buku ke-2 A. Rifqi Amin berjudul "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner"
Topik lain:
Pengantar (Pendahuluan) BAB II Gagasan Thomas S. Kuhn Tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
A. Konsep Dasar Bab II Gagasan Thomas S. Kuhn tentang Revolusi Perkembangan Ilmu Pengetahuan
B. Penelusuran Alam Pikir Thomas S. Kuhn
C. Paralelisasi Pemikiran Thomas S. Kuhn dengan Pengembangan Pendidikan Agama Islam
GAGASAN THOMAS S. KUHN TENTANGREVOLUSI PERKEMBANGAN ILMU
Oleh: A. Rifqi Amin
Tulisan
ini telah direvisi (ditambahi dan dikurangi) untuk dijadikan ke dalam
salah satu BAB dalam buku terbaru karya A. Rifqi Amin yang bertema
Pendidikan Agama Islam berbasis Interdisipliner. Untuk mengetahui isi
buku silakan klik di sini.
Kajian filsafat ilmu, khususnya
filsafat ilmu keagamaan Islam bagi pengembangan Pendidikan Agama Islam[1] merupakan
kebutuhan mendasar. Yakni, sebagai pisau analisa dalam menemukan hakikat dan
nilai “kebenaran” menurut paradigma[2]
manusia. Diharapkan, kebenaran yang menjelma menjadi ilmu pengetahuan dan
produknya bisa bermanfaat bagi sendi kehidupan manusia. Oleh karena itu,
sebagai awal penguraian (starting point)
isi buku ini, memahami terlebih dahulu gagasan Thomas Samuel Kuhn[3]
dirasa sangat penting. Bagaimanapun, pemikiran kontemporer Kuhn sangat
bermanfaat dalam memahami filsafat ilmu dengan cara yang baru.[4]
Kendati dapat dipahami bahwa pemikiran Kuhn bukanlah pemikiran bebas dari
kritik. Dengan demikian, mendalami mekanisme revolusi perkembangan ilmu
pengetahuan di Bab ini bisa menjadi dasar untuk mengkaji dan mengembangkan sejumlah
teori pada Bab-bab berikutnya.
Lebih lanjut, tulisan ini difokuskan pada penelusuran peran Kuhn terkait
gagasannya yang cemerlang. Hasil kemampuan berfikirnya –salah satunya
terinspirasi dari pendalamannya terhadap kajian “sejarah ilmu .... (terpotong)...... ilmuwan agamais dalam mengintegrasikan ilmu agama
dengan ilmu pengetahuan. Lebih gamblangnya, teori Kuhn tentang revolusi ilmu
pengetahuan menjadi jawaban atas keraguan dari beberapa kalangan tentang
keabsahan integrasi antara dua ilmu. Selain juga, teori Kuhn bisa menjadi
kritik atas dominasi luar biasa ilmu pengetahuan, utamanya yang lahir dari
rahim positivisme. Misalnya, karena kegagalan ilmu pengetahuan sekuler dalam
menyelesaikan masalah kehidupan yang begitu kompleks dan rumit, menyebabkan
timbulnya perubahan “gagasan.” Kemudian, muncullah gagasan baru sebagai pemecah
masalah tersebut, yakni salah satunya pengintegrasian antara agama dengan ilmu.
Bisa dikatakan gagasan Kuhn
tentang ilmu pengetahuan telah mendobrak persepsi manusia di abad modern ini yang
terlalu mengagungkan ilmu pengetahuan. Bahkan mengagungkan rasionalitas
manusia-manusia, sehingga dianggap sebagai mahkluk tak terbatas. Dengan
demikian, sangat wajar bila setelah periode Kuhn banyak ilmuwan –tak terkecuali
ilmuwan agamais— terpengaruh oleh gagasannya. Utamanya para ilmuwan dan pemikir
yang resah dengan kegagalan ilmu pengetahuan umum. Yakni, dalam mengatasi
adanya bencana sosial dan bencana alam yang salah satunya ditimbulkan oleh produk-produk
ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan kata lain, Kuhn telah menginspirasi masyarakat
atau komunitas ilmuwan, terutama terkait konsep cerdasnya tentang “revolusi ilmu
pengetahuan” atau “pergeseran paradigma (paradigm
shift)”
Selama ini ilmu pengetahuan
dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus independen, dan empiris.
Namun, menurut Kuhn ilmu pengetahuan tidak akan bisa bebas dari yang namanya
“paradigma.” Kendati disadari atau tidak, paradigma yang dipegang individu
selalu dipengaruhi oleh sesuatu di luar dirinya. Misalnya, organisasi
(kelompok) yang ia ikuti, ideologi yang ia anut, alur logika yang digunakan,
otoritas (tokoh) yang ia percayai, hingga fanatismenya terhadap sesuatu. Dengan
demikian, tidak ada satu ilmu pengetahuan pun yang hanya bisa dijelaskan dengan
satu teori saja, terlebih hanya melalui pembuktian empiris. Sebagaimana menurut
Tamtowi, bahwa pergeseran paradigma (shifting
paradigm) “merupakan perubahan yang bersifat mistik dan tidak bisa
dijangkau oleh rasio, maka ia berada dalam bidang psychology of discovery dan dibangun di atas logic of discovery.”[5]
Dengan kata lain, pergeseran paradigma tidak dapat dipaksan dengan menggunakan
logika (rasional),[6]
karena setiap paradigma bersifat incommensurable
(tidak dapat dibandingkan). Dapat disimpulkan, revolusi ilmu pengetahuan bisa
terjadi karena faktor psikologis, agamais, filosofis, sosiologis, historis, dan
sebagainya yang berada dalam “wadah” paradigma sehingga ikut berperan mendorong
perubahan.
Bagaimanapun, ilmu pengetahuan
terbangun tidak hanya karena manusia telah memiliki kesadaran (pencerahan)
berpikir dan berlogika. Pengembangan ilmu pengetahuan juga didasarkan pada
motif tertentu. Salah satunya karena ingin memperbaiki paradigma lama yang bila
tetap digunakan akan membahayakan bagi keadaan terbaru. Hal ini bukan berarti
paradigma lama itu adalah sesuatu yang salah, karena bisa disingkirkan oleh
paradigma baru. Melainkan, paradigma lama adalah sesuatu yang dianggap “benar”
(bermanfaat) di tempat dan masa kejayaanya terdahulu. Dapat disimpulkan, peluang
adanya gugatan (kegelisahan) atas keganjilan (anomali) yang terjadi pada setiap
paradigma senantiasa ada. Di mana, kadang bukti empiris tak bisa menjawab atas keganjilan
itu, tak pelak penggunaan “nilai kemanusiaan” (etika/moral) yang dianggap
subjektif lebih tepat untuk digunakan sebagai pemecah masalah.
Sebagai penutup, Bab ini merupakan usaha penulis dalam mencoba menelusuri
pokok-pokok pemikiran Kuhn, kemudian dikaitkan dengan pengembangan PAI. Yakni, tentang
pentingnya gagasan “revolusi ilmu pengetahuan” bagi kesejahteraan kehidupan
manusia. Dengan kata lain, akan dibahas sejauh mana peran konsep “revolusi ilmu
pengetahuan” milik Kuhn tersebut bisa digunakan dalam masa kekinian. Termasuk
di dalamnya akan dibahas tentang penggunaan konsep pergeseran paradigma[7]
ke dalam dunia Pendidikan Agama Islam. Mengingat, selama ini PAI masih dianggap
masih mengalami banyak permasalahan. Salah satu sebabnya tidak ada perubahan paradigma
lama PAI, atau paling tidak perubahan tersebut masih terjadi secara ragu-ragu
atau malu-malu. Meski kenyataan sekarang paradigma baru PAI yang belum “dimunculkan”
secara masif merupakan sebuah kebutuhan. Oleh karena itu, Bab ini selain
sebagai dasar juga diupayakan menjadi pendorong terhadap pengembangan PAI,
sehingga bisa bermanfaat bagi pemecahan masalah kontemporer.
A. Konsep Dasar
1. Nomenklatur yang Digunakan Thomas S. Kuhn
Nomenklatur adalah pemberian nama/kode (tata nama) yang dipakai pada
bidang ilmu tertentu. Biasanya pembentukan nama tersebut disusun sebagai “ciri
khas” bagi objek studi pada cabang ilmu pengetahuan tertentu.[8]
Pada setiap gagasan yang dibangun, biasanya Kuhn menggunakan istilah yang butuh
pemahaman tersendiri. Hal ini karena beberapa nomenklatur yang diusung oleh
Kuhn masih sangat asing bagi masyarakat awam. Bahkan beberapa diantaranya baru dapat
dipahami maksudnya secara utuh setelah dijelaskan runtutan mekanismenya. Oleh
karena itu, sebelum membahas pokok persoalan secara detail, perlu didalami
terlebih dahulu nomenklatur yang sering digunakan oleh Kuhn. Diantaranya
sebagai berikut:
a. Paradigma (paradigm)
Paradigma (P)[9] adalah bagian dari “teori” lama yang pernah digunakan serta dipaparkan
berdasarkan pengujian-pengujian dan interpretasi dari sikap anggota masyarakat
ilmiah yang sudah ditentukan (disepakati) sebelumnya. Selain itu paradigma
dipakai sebagai kesuluruhan manifestasi keyakinan, nilai, teknik, dan lain-lain
yang telah diakui bahkan dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat ilmiah.[10]
Dengan demikian dalam paradigma...... (terpotong)
[1]Yang dimaksud Pendidikan Agama Islam di sini meliputi pendidikan makro
sekaligus pendidikan mikro. Di mana pendidikan makro salah satunya menelaah
bidang pendidikan tertentu dalam wilayah luas. Misalnya, lingkup kajiannya pada
jenjang pendidikan dasar seperti menelaah SD dan SMP. Tentu ini akan sedikit
banyak berbeda bila mengkaji MI (Madrasah Ibtidaiah) dan MTs (Madrasah
Tsanawiyah). Oleh karena itu, ilmu yang dibutuhkan untuk pengembangannya pu
juga akan berbeda. Yakni, membutuhkan ilmu-ilmu seperti psikologi, sosiologi,
manajemen, filsafat, dan beberapa lainnya. Sedangkan pendidikan mikro salah
satunya mengkaji pendidikan dalam wilayah sempit. Misalnya, hanya menelaah
individunya saja yaitu salah satunya terkait dengan bakat-minat serta perubahan
sikapnya, sehingga ilmu yang diperlukan untuk pengembangannya lebih sedikit
seperti psikologi saja.
[2]Mengenai paradigma PAI sebagai salah satu ilmu sosial, maka Tobroni
menuliskan bahwa “Ilmu sosial menurut Giddent memiliki multi paradigma.
Paradigma adalah pangkal tolak (starting
point) dan sudut pandang (point
of view) dalam mengkaji suatu hal. Perbedaan paradigma bukan hanya
akan menghasilkan pemahaman yang berbeda, melainkan juga nilai dan norma
berbepa pula. Contoh ekstrem diibaratkan ada beberapa orang buta yang berusaha
memahami seekor gajah. Ada yang meraba belalainya, telinganya, kakinya,
perutnya dan ekornya, dan lantas masing-masing mendefinisikan gajah. Hasilnya
adalah masing-masing memiliki pemahaman, pengertian dan perlakuan berbeda
terhadap gajah. Dalam kehidupan sosial, paradigma yang berbeda akan menyebabkan
keyakinan, nilai, dan norma yang berbeda pula.” Lihat, Tobroni, “Paradigma Pemikiran Islam,” dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/12/01/paradigma-pemikiran-islam/, 1 Desember 2010, diakses
tanggal 19 Februari 2015.
[3]Thomas Samuel
Kuhn penulis buku “The Structure of Scientific Revolutions,” terbit pertama kali tahun 1962. Untuk
bukunya edisi kedua tahun 1970 terdapat beberapa penambahan. Buku tersebut
telah diterjemahkan lebih dari dua puluh bahasa dan terjual lebih dari satu
juta copy (salinan). Lihat, N. M. Swerdlow, Thomas S. Kuhn 1922-1996 a Biographical
Memoir (tanpa kota: National Academy
of Sciences: 2013), hlm 15.
[4]Kuhn telah
berjasa besar, terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu
dan mendobrak citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran
seakan-akan sui-generis, objektif. Disamping itu, teori yang dibangun
Kuhn mempunyai implikasi yang sangat besar dan luas dalam bidang-bidang
keilmuan yang beraneka ragam. Lihat,
Zubaedi, Filsafat Barat: Dari Logika Baru
Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007), hlm. 210-211.
[5]Moh. Tamtowi, “Urgensi Scientific Research Programme Imre Lakatos bagi Pengembangan Studi
Islam,” Jurnal Substantia, Vol 12,
No. 1, April 2011: hlm 32-41, hlm. 33, dalam http://www.substantiajurnal.org/index.php/subs/article/download/54/52,
didownload 21 Desember 2014.
[6]“[pergeseran
paradigma] Ini bukan proses rasional; ada langkah imajenatif dan tak terduga ke
dalam yang tidak diketahui, semua dipengaruhi oleh metafora, perumpamaan, dan
asumsi yang diambil dari bidang lain. Kuhn tampaknya menyarankan bahwa
faktor-faktor estetika, sosial, sejarah, dan psikologi juga terlibat, sehingga
cita-cita “ilmu murni” adalah sebuah angan-angan.” Lihat, Karen Armstrong, “Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap
Fundamentalisme dan Ateisme,” dalam The
Case for God; What Religion Really Means, terj. Yuliani Liputo (Bandung:
Mizan Cet. III, 2011), hlm. 456.
[7]Menurut Kuhn, ide “pergeseran paradigma” diartikan sebagai peralihan secara
terus-menerus (berturut-turut) dari satu paradigma ke paradigma yang lain
melalui revolusi. Hal itu merupakan hal biasa dalam pola perkembangan saat
tercapai ilmu matang. Saat ini, kemungkin studi Islam di Indonesa menunjukkan
dinamika. Bahkan mulai mencapai tahap kematangannya. Menurut Khun, perlu ada
pergeseran paradigma ketika para ilmuwan menemukan anomali yang belum
terpecahkan dan adanya arus paradigma baru yang menantang paradigma lama. Oleh
karena itu, disiplin ilmu lama (paradigma lama) berhak dilempar ke atas meja
“krisis.” Lihat, Muhammad Sirozi,
“In Search of a Distinctive Paradigm for Indonesia Islamic Studies: Some Note
From 13th AICIS 2013,” dalam http://diktis.kemenag.go.id/aicis/index.php?artikel=lihat&jd=4#.VOqakfmsUyY, diakses tanggal
23 Februari 2015.
[8]“Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan (Luring),” KBBI Offline Versi 1.5, dalam http://kbbi-offline.googlecode.com/files/kbbi-offline-1.5.zip,
didownload tanggal 21 April 2014.
[9]Huruf “p” kapital
dengan font bold (cetak tebal) yang
berada dalam tanda baca kurung seperti berikut ini “(P)” merupakan singkatan
dari kata paradigma. Untuk pembahasan
selanjutnya masih terdapat huruf atau gabungan huruf yang cara penulisannya
berpola sama dengan singakatan tersebut. Salah satu contohnya “(IN)” yang
merupakan singkatan dari ilmu pengetahuan
normal. Teknik penyingkatan tulisan seperti itu dimaksudkan untuk
mempermudah penggambaran gagasan perkembangan ilmu pengetahuan ke dalam bentuk
gambar “bukit paradigma” yang akan dibahas pada halaman berikutnya.
[10]Zubaedi, Filsafat
Barat: Dari, hlm. 201.
Peran Paradigma dalam Revolusi Sains (sumber gambar gmboxx) |