Prolog
Suatu ketika saya sedang chatting (sekitar tahun 2009) pada salah satu aplikasi chatting
dengan siswa SMP. Beberapa hari setelah berkenalan dan sudah sedikit
akrab, maka kami mulai membicarakan masalah terkait aktivitas
sehari-hari. Singkat kata, suatu hari dia mengeluhkan (atau yang lebih
tepat “mencurigai”) kepala sekolahnya telah memakan uang haram.
Entah provokasi dari mana, atau memang sebagai akibat kecanggihan
teknologi zaman sekarang. Tak ayal, anak seumuran SMP sudah mulai kritis
dan melek informasi yang diterima dari berbagai sumber. Dengan
meyakinkan dia menjelaskan tentang isu “perampokan” dana proyek
pembangunan pagar sekolah. Banyak siswa merasa resah dengan adanya “isu”
santer tentang oknum kepala sekolah tempat ia belajar dicurigai
menjadi dalang penggelapan uang.
Wajar saja isu itu merebak, menurutnya kualitas pagar yang baru saja
dibangun dengan total anggaran yang ada menurutnya tidak sebanding.
Anggaran dari bantuan pemerintah, dana sekolah, donatur, dan anggaran
hasil penarikan pada orang tua murid dicampur aduk menjadi satu, seakan
semuanya sama. Setelah saya cek di lapangan ternyata memang kualitas
bangunan secara kasat mata (maaf saya bukan ahli bangunan) tidak
“semenarik” bangunan lain yang usianya sama. Warna cat sudah pudar dan
terlihat ada keretakan di sana-sini.
“Paling yo dikoropsi kepseke!” (Red: paling ya dikorupsi Kepala sekolahnya) begitu salah satu isi chatting-nya.
Beberapa menit setelah membaca rentetan curhatannya saya merasa miris
dan kaget. Ternyata anak kelas VIII SMP sudah bisa mengoreksi atau
mengkritisi kebijakan dari kepseksnya secara rinci dan “hampir” ilmiah.
Walaupun mungkin pada saat itu ia tidak mampu memberikan solusi.
Kejadian inilah yang selalu membuat saya terngiang sampai sekarang.
Pentingnya Transparansi
Dari peristiwa itu saya berpikir, memang siswa termasuk orang tuanya
serta masyarakat luas berhak untuk mengetahui proses penggunaan dana
sekolah secara detail. Bahkan masyarakat berhak untuk tahu sumber dana
yang didapat sekolah dari mana saja asalnya.
Caranya simpel, hasil perekapan seluruh rincian penggunaan dan
pendapatan dicetak lalu ditempelkan di papan pengumuman. Atau dengan
cara lain senyampang siswa, orang tua, dan masyarakat luas bisa
mengakses informasi tersebut dengan mudah dan nyaman.
Mekanisme transparansi tersebut berfungsi memberikan rasa percaya siswa
terhadap sekolahnya dalam pengelolaan sumber dana yang ada. Sekaligus
mendidik dan memberi keteladan kepada para siswa tentang sangat tabunya
menyembunyikan informasi terkait mekanisme pengelolaan dana. Bahkan bisa
menjadi media pembelajaran yang faktual dan aktual bagi siswa tentang
pentingnya akuntabilitas publik sebagai salah satu pilar demokrasi.
Pada praktiknya, untuk efektivitas dan efisiensi penggunaan dana maka
dibutuhkan perumusan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan
(Rancangan Anggaran Tahunan) yang disetujui oleh seluruh elemen
pendidikan. Konsekuensinya, guna mempertanggungjawabkan rancangan
tersebut, seharusnya ada Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) secara detail
(tidak ada pembulatan angka) atau apa adanya. Pembuatan LPJ itu
dilaksanakan ketika ada proyek atau kegiatan yang memerlukan dana.
Hasil Temuan
Berdasarkan temuan dari penelitian mini saya, banyak “pembukuan” atau
laporan anggaran dari beberapa lembaga pendidikan yang serba simpel dan
formal-administratif. Hasil tersebut saya dapat dari proses pengamatan
di lapangan, ngobrol, dan penafsiran dokumen. Beberapa informasi
tersebut, salah satunya saya dapat dari teman semasa kuliah dulu dan
teman guru di lembaga lain.
Lalu dari pengalaman saya pribadi sebagai seorang guru. Di mana banyak
kekhawatiran, terutama dari siswa maupun orang tua adanya penyelewengan
dana BOS dan BSM. Maupun dana dalam bentuk dan dari sumber lainnya
misalnya dana hibah, donasi, dan hasil proposal (khususnya untuk sekolah
suasta). Apabila direnungkan, kekawatiran itu sebenarnya wajar.
Mengingat uang yang mengucur sangat deras dan sebagian besar bisa
diandalkan cairnya.
Contoh kasus, ada proyek pembangunan kelas baru oleh sekolah swasta.
Dana tersebut secara “resmi” dibantu oleh proposal hibah dari pemerintah
Propinsi. Namun pada praktiknya sekolah masih “memungut” bantuan kepada
masyarakat umum dan Pengurus Yayasan untuk penyelesaian proyek
tersebut. Padahal secara estimasi biaya, dana proposal itu saja sudah
cukup untuk merampungkan ruang kelas secara layak. Akibatnya jikat tidak
ada laporan pertanggungjawaban secara tertulis akan terjadi bias.
Apakah proyek pembangunan kelas baru itu dari hasil bantuan (hibah)
propinsi atau dari bantuan masyarakat. Bila dari keduanya maka tentu
harus ada rincian serta dipisahkan agar tidak ada kerancuan.
Implikasi
Dari penjelasan di atas, sudah saatnya lembaga pendidikan berani
mengumumkan laporan keuangannya secara profesional. Masyarakat berhak
tahu secara detail dari mana saja anggaran dana pendidikan itu hadir dan
untuk apa saja anggaran itu digunakan. Dengan kata lain tidak terjadi
laporan yang “bias,” yakni laporan keuangan yang sumber asal serta
penggunaannya tidak jelas, dan masih dicampur aduk menjadi satu.
Bila tidak ada kontrol maka dikhawatirkan sebuah lembaga pendidikan
(terutama swasta) akan diarahkan kepada orientasi politik atau
kepentingan tertentu. Misalnya diarahkan kepada siapa saja yang mampu
mendanai secara dominan lembaga tersebut. Serta dikhawatirkan dana yang
diterima tidak digunakan sesuai dengan kebutuhan, bahkan diselewengkan.
Dengan adanya informasi dan laporan yang jelas (terbuka) diharapkan
masyarakat luas bisa tahu serta bisa mengontrol penggunaan dana
pendidikan untuk hal-hal yang memang dibutuhkan lembaga. Tentu juga agar
terhindar dari FITNAH masyarakat, sebaiknya pengolaan dana pendidikan
dilakukan secara profesional yaitu yang berasaskan pada keterperincian,
keterbukaan, efektif sekaligus efisien, dan logis atau ilmiah. (Banjir
Embun/22/05/14)
Saatnya sekolah dan Perguruan Tinggi menjadi contoh keterbukaan informasi sistem keuangan. Beranikah?