Sanksi Tegas Pelanggar Unas
Headline, Jawa Pos, 5/5/2014; sebagai pengingat kita tentang ancaman kecurangan
unas; Soal Unas SMP Rawan Bocor.
Meskipun setiap tahun diadakan, berita tentang bocornya soal unas masih renyah untuk diberitakan. Pelanggaran demi pelanggalaran pada unas
selama ini menjadi fenomena yang dianggap wajar dan selalu dimaklumi. Bahkan saking permisif-nya, mereka tak sungkan-sungka lagi mengumandangkan seruan
gotong-royong dalam kecurangan. Para pelanggar berdalih untuk membantu nasib peserta
didik, yakni dari ancaman hasil nilai unas yang jelek. Tentu disertai rasa
belas kasihan yang berlebihan. Serta alibi
bahwa unas adalah harga mati bagi penentu kesuksesan masa depan mereka.
Sedang Headline, Jawa Pos,
4/5/2014; juga tak kalah menarik; Jangan
Percaya Kunci Jawaban. Selama ini yang menjadi sorotan utama pelanggar unas
adalah siswa. Ironis, peserta didik yang diperlakukan sebagai objek unas malah
pertama kali dicap sebagai pelanggar. Seharusnya guru, kepala sekolah, dan penanggung
jawab lain dari unas-lah yang harus ditegur pertama kali. Tanpa rasa bersalah
oknum guru, kepala sekolah, dan pengawas unas yang tahu sepak terjang
pelanggaran unas malah cuek dan
terkesan cuci tangan. Bahkan
menutup-nutupi pelanggaran tersebut. Mereka tak segan menyuruh siswa agar
kompak dan tahu sama tahu dalam
menjaga kerahasiaan pelanggaran berjamaah ini. Semua pelanggaran dilakukan atas
nama untuk kebaikan bersama. Yakni bagi siswa untuk mendapat nilai bagus, dan
sekolah supaya citranya terangkat. Sedang bagi dinas pendidikan daerah supaya
tidak mendapat teguran atasan.
Setiap ada aksi pasti ada reaksi. Tekanan besar yang menggejala pada
guru, kepala sekolah, dan kepala dinas muncul karena adanya judgement masyarakat. Yakni hasil unas
menjadi tolak ukur kualitas sekolah. Di tambah lagi Blue Print (cetak biru) yang lekat di masyarakat bahwa hasil unas
sebagai tolak ukur kepintaran siswa. Dampaknya, siswa seakan diarahkan untuk
menempuh berbagai cara agar hasilnya tidak jeblok.
Cara berfikir siswa akan terlalu fokus dan tertekan pada pendalaman materi
unas. Padahal sudah kita ketahui bakat siswa itu sangat beragam. Namun, nyatanya
dalam unas keberagaman mereka diberangus habis. Semua siswa harus seragam dan
serentak untuk mengikuti ujian dengan bobot dan bidang materi pelajaran yang
sama. Di sisi lain, sungguh ironis kualitas pembelajaran bangsa kita belum
merata (seragam). Terlebih pada sekolah di daerah terpencil dan tertinggal.
Oleh sebab itu, sanksi tegas pelanggar unas harus diwujudkan tanpa
tebang pilih. Tujuannya, supaya mata rantai pelanggaran tidak akan terus
sambung menyambung dari tahun ke tahun. Pada akhirnya unas kita diharapkan
tidak hanya “bermanfaat” bagi sekolah pada kantong-kantong daerah tertentu.
Apabila ancaman sanksi ada tapi tidak dilaksanakan dengan adil sudah barang
tentu pelanggaran unas akan tetap eksis. Tidak cukup itu saja, adanya
kecurangan yang masif berarti
pendidikan karakter terutama moralitas masih relevan untuk dispesialkan sebagai
core kurikulum pendidikan kita.
Sudahlah, cukup sampai di sini saja pelanggaran unas. Pembiaran kita terhadap
berbagai bentuk pelanggaran berarti telah membiarkan moralitas generasi muda
kita kedepan remuk. Asumsinya, dalam bawah sadar siswa, pendidikan kejujuran
dan keterampilan bukan sebuah keutamaan. Masih ada yang dianggap lebih genting
yaitu ancaman serius dari akibat nilai hasil unas yang jelek. Yakni stigma
masyarakat terhadap unas seperti yang dijelaskan sebelumnya. Padahal, sesuai
amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan iman taqwa & akhlak mulia peserta didik. Sudah final bahwa dalam
unas perbuatan menyontek, bekerja sama dalam kecurangan, dan menghalalkan
segala cara adalah salah satu akhlak yang tidak mulia.
Selanjutnya, jika soal unas bocor dan kualitas sistem pendikan bangsa
ini belum merata maka kredibilitas
hasil unas patut dipertanyakan. Artinya, hasil unas tidak bisa dijadikan tolak
ukur bagi kecerdasan siswa maupun tingkat kualitas sekolah. Dimungkinkan juga
sebenarnya tidak layak dijadikan patokan utama pada penerimaan calon mahasiswa
baru di perguruan tinggi. Apabila dianalogikan sebagai alat ukur, maka alat
ukurnya sudah tidak bisa dipercaya karena pembuatan dan pelaksanaannya rawan
penyelewengan dan kebohongan. Lantas sangat pantas bila legitimasi dan akurasi pemanfaatan
hasil unas harus dipertanyakan.
Analogi lain bagi sistem pendidikan adalah sebagai aliran sungai.
Pelaksanan unas menjadi muaranya sedang proses pembelajarannya adalah hilirnya.
Adapun kurikulumnya merupakan sumber mata airnya. Air muara keruh dapat
dipastikan karena hilirnya keruh. Walaupun sumber mata airnya jernih, tapi jika
dalam proses perjalanan airnya terjadi pengkotoran maka kejernihannya sudah tak
nampak. Artinya, bentuk pelanggaran yang sedang dilakukan oleh anak didik kita
sekarang ini adalah buah dari penyelewengan tujuan proses pembelajaran yang tidak
dibenarkan.
Bila pelaksanaan sanki itu bisa berjalan adil dan konsisten, maka
pelanggaran unas dapat dihilangkan. Baik sanksi adminsitrasi maupun pendekatan
hukum pindana. Sebuah pelanggaran yang merugikan orang banyak tentu harus diberi sanksi apapun
bentuknya. Jika dibiarkan tanpa sanki bahkan dianggap tidak ada pelanggaran
sama sekali maka tunggulah kehancuran pendidikan kita. Namun, tugas berat
pemerintah sebagai pengemban pendidikan nasional terlebih dahulu adalah
mengubah image unas yang salah kaprah
oleh masyarakat. Yakni reorientasi ideologi pendidikan kita, mau dibawa ke mana
moral anak didik kita?
Lebih konkrit, sebagai efek jera dan ampuh cara apapun harus dilakukan.
Senyampang tidak akan merusak harapan dan peluang besar masa depan anak didik
kita. Apabila pelanggaran di pemilu maupun pilkada ada pemungutan suara ulang
lantas mungkinkah akan ada ujian ulang dalam unas kita?
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sanksi Tegas Pelanggar Unas"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*