Renggo Khadafi
Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono
Bocah kelas V SD ini
tewas dipukuli kakak-kakak kelasnya.
Sebelum itu, Dimas Dikita Handoko, taruna
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, juga tewas dipukuli senior-seniornya. Begitu
juga nasib Tasman Hidayat, taruna Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, di
tahun 2001. Namun, alawi yang siswa SMA Negeri 6 Jakarta tewas pada September
2012 saat makan gultik (gulai tikungan) dan tiba-tiba dicelurit oleh
segerombolan siswa SMA Negeri 70.
Namun, mereka tidak sendiri. Belakangan
kian banyak orang mati atau luka parah oleh temannya sendiri, bekas pacar, anak
atau cucu sendiri. Bahkan, orang tua sekarang pun tega membunuh anak sendiri.
Pendeknya, sekarang ini untuk jadi pembunuh tak perlu jadi penjahat bertopeng
seperti dalam komik-komik ketika saya masih kecil. Pembunuh-pembunuh sekarang
adalah orang biasa, orang baik-baik, malah anak-anak juga. Hancur sudah teori
Lombrosso yang mengatakan, kita bisa membedakan kriminal dan orang normal
dengan melihat tipe raut wajah.
Namun, cobalah lihat wajah-wajah
Nazaruddin, Antasari, Anas Urbaningrum, Miranda Goeltom, Angelina Sondakh,
Ustaz Guntur Bumi, dan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Apa beda yang signifikan
antara wajah mereka dan BJ Habibie, Gus Dur, Raisa (penyanyi), atau Sule
(komedian)? Tidak ada, keculai mungkin yang satu lebih cakep, yang lain lebih jelek. Kesimpulannya, zamansekarang orang
baik-baik bisa jadi penjahat.
Cipta-rasa-karsa
Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan ada
tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Konsep struktur
jiwa manusia yang bersumber pada filsafat kejiwaan ini (tridaya) sama dengan
pandangan filsuf Plato (abad IV SM) tentang
logisticon, thumeticon, dan obdomen. Cipta adalah akal (logisticon,
logika, kreativitas), rasa adalah emosi (thumeticon,
sayang, cinta, benci, gembira, cemburu, marah, bahagia), dan karsa adalah
motivasi (obdomen, kehendak,
semangat, keinginan, dan lain-lain).
Dalam konsep pendidikan humanistik, yang
oleh Ki Hajar diterapkannya pada lembaga pendidikan Tamansiswa, ketiga daya ini
harus dikembangkan secara maksimal dan seimbang. Cipta yang tinggi akan melahirkan
pemikir-pemikir yang cerdas. Rasa akan membuat anak didik menjadi orang yang
penuh empati dan mencintai semua manusia dan seisi alam. Sementara karsa akan
memunculkan semangat juang dan pantang menyerah.
Memang dalam kehidupan sehari-hari kita
menyaksikan orang Indonesia sekarang sangat kuat dalam aspek cipta dan karsa.
Beberapa orang Indonesia bisa jadi konglomerat kelas dunia, olimpiade-olimpiade
IPA dan Matematikan Internasional dimenangi anak-anak Indoensia. Orang
Indonesia sudah bisa membuat mobil sendiri, beberapa penyanyi sudah go internasional. Jangan lupa, berapa
banyak orang awam yang menjadi caleg, baik yang lolos maupun gagal, modalnya
tentu karsa yang kuat.
Di sisi lain, daya rasa orang Indonesia
sangat lemah. Orang Indonesia sangat kurang bisa berempati, yaitu merasakan apa
yang dirasakan orang lain. Tidak usahlah jadi seoarng Bunda Teresa, tetapi
setidaknya manusia harus bisa mempraktikkan the
golden rule of ethics, yaitu jangan melakukan sesuatu kepada orang lain,
yang kau sendiri tidak mau orang lain melakukannya kepadamu (Khonghucu).
Gampangnya, jangan memukul orang kalu kau tak mau dipukul, karena dipukul itu
sakit. Sementara kakak-kakak kelas Renggo tidak hanya memukul, tetapi memukuli
Renggo hingga tewas.
Karas
tanpa Rasa
Orang sering menyalahkan pelajaran Budi
Pekerti dan Agama untuk perbuatan kriminal yang dilakukan orang normal. Tetapi
bukan di situ soalnya. Sebagus-bagus pelajaran-pelajaran moral itu, sifatnya
tetap pada tataran cipta, yaitu pengetahuan, hafalan, atau skill (sholat, mengaji), yang dilakukan dengan karsa yang tinggi,
tetapi tanpa rasa. Karena itu, orang bisa bersemangat sekali pergi umrah,
tetapi tetap korupsi.
Untuk mengembangkan daya rasa diperlukan
praktik hubungan emosional yang positif dengan orangtua, keluarga, guru, teman,
dan orang-orang terdekat dengan anak. Anak perlu ciuman, rangkulan,
didengarkan, dipuji (bukan hanya dimaki), dibanggakan, agar dia pun bisa
mengasihi, mendengarkan dan memberikan semangat kepada orang lain. Inilah yang
hampir tidak terjadi lagi pada banyak manusia Indonesia (apap pun alasannya).
Akibatnya, kalau anak itu masih seumur kakak kelas Renggo, dia bisa membunuh
adik kelasnya, tetapi kalau ia menjadi pejabat Badan Pertanahan Nasional, ia
bisa menciptkan sertifikat tanan ganda sehingga kelompok masayarakat saling
berbunuhan.
Pertanyaan saya, ke manakah Pancasila kita?
Pancasila adalah tentang ras: rasa ketuhanan, kemanusiaan, kebanggaan,
keadilan, dan rasa berbagi dalam bermusyawarah. Tanpa Pancasila, hukum pun jadi
mainan para politisi dan mafia pengadilan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Psikolog
Universitas Indonesia dan Universita Pancasila,
Kompas Halaman 6 tanggal 13 Mei 2014.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Renggo Khadafi"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*