Oleh:
Ismaitillah
A. Nu’ad
Pesawat
Malaysia Airlines Boeing MH370 yang jatuh di perairan Vietnam menjadi pusat
pemberitaan media massa di seluruh dunia. Siaran al Jazeera dan CNN,
misalnya, membicarakan secara detail kronologi kecelakaan pesawat milik
penerbangan resmi Malaysia itu. Kasus tersebut sekaligus mengingatkan kita pada
berbagai kecelakaan pesawat terbang komersial yang dialami industri pesawat di
Indonesia.
Peristiwa
Malaysia Airlines itu menjadi titik balik bahwa perlu ada reformasi industri
pesawat terbang. Selama ini, kesan yang ditangkap publik, arah kebijakan publik
transportasi yang dibuat legelatif dan
dijalankan pemerintah di negeri ini masih sangat kendur. Artinya, kebijakan
transportasi belum cukup komperhensif dan masih riskan dengan berbagai bentuk
manipulasi. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dalam tragedi pesawat sebelumnya.
Banyak informasi yang beredar bahwa
industri transportasi pesawat kita kerap membeli pesawat eks pakai dari
negara lain, lalu dipermak hingga menjadi seperti barang bagus, lantas
dijadikan barang industri dalam negeri.
Melihat
kondisi pesawat semacam itu, jangan tanya soal legalisasi, birokrasi kita masih
sangat gampang dipermainkan. Proses perizinan dipastikan berjalan lancar,
asalkan politik uang bermain. Histori semacam itulah yang sering menjadi
penyebab tidak becusnya dunia transportasi pesawat di Indonesia.
Bermula
dari kendur dan rapuhnya sistem deregulasi industri pesawat, industri pesawat
komersial di Indonesia jadi tidak keruan. Bahkan, Garudi Indonesia sebagai
indsutri pesawat komersial milik badan usaha milik negara (BUMN) sempat
dilarang (ban) terbang ke Eropa
seperti ke Belandan dan lain-lain.
Meski,
akhirnya otoritas Uni Eropa kini sudah memperbolehkan lagi beberapa maskai
penerbangan Indonesia melintas di langit Eropa. Empat maskapai yang boleh
kembali melintas adalah Garuda Indonesia, Airfast Indonesia, Mandala Airlines,
dan Primer Air. Mereka diperbolehkan setelah memperbaiki standar keamanan
penerbanga Internasional.
Uni
Eropa pernah melarang beberapa maskapai penerbangan Indonesia karena maraknya
kecelakaan pesawat yang terjadi. Mulai hilangnya pesawat Adam Air di perairan
Sulawesi, 1 Januari 2007, hingga kecelakaan pesawat Garuda pada tahun yang sama
yang menewaskan 21 orang serta tragedi kecelekaan pesawat lainnya.
Semestia
dalam industri pesawat komersial di Indonesia diberlakukan standar keamanan
penerbangan internasional, bukan lokal, untuk menjamin keselamatan penumpang.
Tingginya biaya standar keamanan internasional ditengarai ikut memicu
terjadinya industri pesawat nasional ogah mengikuti prosedur sehingga
mengakibatkan banyaknya “manipulasi” keamanan pesawat. Karena itulah, kalangan
legeslatif dan pemerintah-melihat seringnya kasus kecelakaan dan manipulasi
yang dilakukan industri-harus segera membenahi sistem deregulasinya yang masih
sangat karut-marut.
Kondisi
semacam itu mungkin juga tidak bisa dilepaskan dari tidak adanya cetak biru (blue print) sistem transportasi
nasional. Kalaupun ada, sifatnya belum komperhensif. Bukan cuma kalangan
legislatif dan pemerintah, namun juga birokrasi di bawahnya seperti Kementrian
Perhubungan, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,
serta seluruh pemerintah daerah yang belum terkoordinasi secara teratur.
Sebagaimana
lazimnya, pada dasarnya, dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang sudah dianggap wajar. Tetapi,
langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut semestinya harus tetap berada
dalam koridor yang diperbolehkan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Kondisi
itu tentu tidak hanya membatasi perilaku sektor swasta, tetapi juga berlaku
untuk negara dalam hal negara bertindak sebagai pelaku usaha seperti dalam
kasus BUMN. Meski demikian, tentu ada sektor-sektor tertentu yang oleh
undang-undang diberi monopoli karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Misalnya, PLN.
Ditambah,
perkembangan bisnis angkutan udara di Indonesia merupakan salah satu sektor
yang pertumbuhannya sangat tinggi, termasuk pertambahan jumlah armada pesawat.
Semestinya pertumbuhan itu juga didukung pertumbuhan beberapa sektor industri
lain yang terkait, termasuk sumber daya manusia (SDM) dan deregulasinya.
Investor
yang berencana mendirikan perusahan penerbangan baru harus memahami besarnya
kebutuhan finansial. Kecukupan modal sangat dibutuhkan untuk mengoperasikan
pesawat yang sehat dan terawat dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan.
Sesuai dengan Undang-undang Penerbangan terbaru, sebuah maskapi penerbangan
berjadwal wajib mengoperasikan pesawat sedikitnya sepuluh pesawat dengan
perincian lima dimiliki dan sisanya dikuasai.
Melihat
industri penerbangan yang terus tumbuh, kiranya perlu ada harmonisasi kebijakan
dan aksi antara Direktoral Jenderal Perhubungan Udara (DJU), INACA (Indonesia
Air Carrier Association), PGHI (Persatuan Ground Handling Indonesia), serta PT
Angkas Pura (AP) I dan PT Angkasa Pura (AP) II. Sebab, otoritas penerbangan
kita pernah menjadi yang terburuk di dunia saat semua pesawat yang dikeluarakan
DJU dilarang terbang melintasi Eropa.
Untuk
meningkatkan kualitas layanan dan keselamatan penerbangan, kebijakan merger
antara perusahaan asing dan industri penerbangan komersial domestik, misalnya,
perlu dilakukan. Tujuannya, mampu menghadapi liberalisasi penerbangan di Asia
Tenggara dan keluar dari keterpurukan finansial yang belakangan ini melanda
dunia penerbangan domestik. Merger dianggap sebagai jalan keluar untuk
menghindari semakin banyaknya maskapai penerbangan nasional yang terus rontok
dan akhirnya membahayakan penumpang.
Ismaitillah
A. Nu’ad, Titik Balik Malaysia Airlines (Peneliti Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan Universita Paramadina Jakarta) Jawa Pos Selasa 11 Maret 2014 halaman
4.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Opini Jawa Pos: Titik Balik Malaysia Airlines (Ismaitillah A. Nu'ad)"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*