Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Opini Jawa Pos: Elite Politik Peduli lingkungan hidup (Awhan Satryo)



 Oleh:
Awhan Satriyo

Headline Jawa Pos, 14/3/2014, sangat menarik; Riau Jadi Sauna Raksasa. Akibat hutan yang dibakar, Kota Pekabarsu dan sekitarnya diselimuti asap tebal, laksana sauna. Tingkat kualitas udara pada level berbahaya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sedikitnya 45.591 orang di wilayah Provinsi Riau menderita penyakit karena asap. Misalnya, Ispa, pneumonia, asma, iritasi mata, dan kulit. Yang lebih ngeri, Riau potensial kehilangan generasi penerus 15-20 tahun mendatang. Generasi itu memiliki otak yang lemah karena pertumbuhannya terganggu gara-gara kabut asap.
Januari 2014 kita juga menyaksikan di layar kaca dan berbagai media, terjadinya bencara banjir dan tanah longsor di berbagai tanah air. Mari kita cermati kerugian material akibat bencana alam banjir dan tanah longsor itu! Pemerintah provinsi Sulawesi Utara (sulut) mencatat, kerugian akibat bencana di Sulut ditaksir Rp 553,39 miliar. Dari total kerugian itu, Kota Manado tercatat rugi terbesar, yakni berkisar Rp 439 miliar.
Kerugian materi akibat bencana banjir dan tanah longsor di wilayah Jawa Tengah mencapai Rp 2 triliun lebih. Jumlah tersebut diketahui setelah Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Jateng menghitung ulang, ditambah dengan laporan pemerintah kabupaten/kota. Kerugian terbesar terjadi di sektor ekonomi, yakni Rp 872,76 miliar. Kemudian, di subsektor pertanian Rp 769,52 miliar akibat banyaknya lahan yang terendam banjir, lalu mengalami puso.
Belum lagi Jakarta. Nah, total kerugian akibat banjir yang melanda banyak daerah di Indonesia pada Januari 2014 di perkirakan menelan biaya hingga Rp 50 triliun (Tribunnews.com)
Hal menarik yang perlu kita lihat adalah fenomena yang tanpa kita sadari secara langsung maupun tidak, kapitalisme merupakan biang keladi yang mengantarkan pemikiran manusia menjelma menjadi berperilaku merusak lingkungan. Prinsip kapitalis ialah mengeluarkan modal sedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
Bagi sebagian kaum kapitalis, akal sehat (common sense) kadang-kadang tidak dipakai. Membuka lahan baru dengan cara bodoh, membakar hutan, pembalakan hutan secara membabi buta, mengoptimalkan kerja mesin dan manusia untuk mengeruk keuntungan, pembangunan rumah mewah, mall, apartemen di lahan resapan, semuanya mengesampingkan dampak buruk terhadap sesama.
Perilaku orang-orang berkuasa yang haus akan kekayaan dan kekuasaan bakal terus mempertahankan apa yang dia punya dengan cara apa pun. Perilaku-perilaku seperti itulah yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam (SDA) yang merupakan faktor produksi secara ekonomi, kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Pilihan Penguasa
Komisi Pemilihan Umum mulai 16 Maret hingga 5 April 2014 memberikan kesempatan kepada para calon wakil rakyat untuk berkampanye. Pemilu legeslatif pada 9 April adalah momentum penting bagi masyarakat untuk memilih dan mendesak partai politik dan anggota legislatif untuk melakukan kontrak politik yang berpihak pada kelestraian alam. Wakil-wakil rakyat diharapkan mereformasi tata cara pengelolaan sumber daya alam sehingga berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi kemakmuran rakyat.
Namun, ironisnya, hanya 7 persen caleg yang memahami isu lingkungan. Selain tidak memahami persoalan lingkungan, banyak caleg yang terlibat bisnis yang merusak lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang telah melakukan studi kualitas caleg DPR terhadap isu lingkungan. Meraka melakukan penelusuran terhadap 6.561 caleg dari 6.601 caleg DPR yang terdaftar di KPU.
Kebijakan pengelolaan SDA adalah persoalan serius yang kerap terabaikan dalam agenda politik sehingga berujung kepada bencana dan kesengsaraan bagi rakyat. perubahan fungsi lahan hutan, pembalakan hutan, dan penggunaan air tanah yang berlebihan merupakan tiga faktor yang memicu terjadinya banjir dan kekeringan, sedangkan pembukaan lahan baru dengan membakar adalah sumber kabut asap. Masih menurut hasil survei, kerugian yang dialami karena terjadinya kerusakan lingkungan disebabkan dua hal. Yaitu, korupsi antara pengelola sumber daya alam dengan pemangku kebijakan serta lemahnya pengawasan dari pemerintah.
Dalam akuntansi, biaya yang timbul akibat kerugian adalah sama dengan hilangnya potensial kesempatan kita menikmati keuntungan. Dana akibat kerugian bencana itu akan lebih membahwa kemaslahatan apabila kita bisa mencegah terjadinya bencana. Mindset seperti itulah yang mesti ditanamkan kepada para elite politik dan masyarakat dalam mengelola SDA.
Presiden Kostarika Abel Pachecho (22 Desember 1933) pada Juli 2002 dalam sebuah deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan, membuat keputusan berani. Dia melarang praktik pertambangan terbuka walau tengah menghadapi gelombang ancaman dari pelaku pertambangan internasional yang akan menggugatnya ke pengadilan arbitrase internasional.
Seandainya perusahaan-perusahan pertambangan itu menggugat kami untuk membayar kompensasi, itu (akan kami lakukan, karena) lebih murah daripada harus membayar kerugian negara dan kehancuran lingkungan hidup


Elite Politik Peduli lingkungan hidup, Awhan Satriyo (Alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta) Jawa Pos Senin 17 Maret 2014.




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Opini Jawa Pos: Elite Politik Peduli lingkungan hidup (Awhan Satryo)"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*