Oleh: Danang Probotanoyo
Mungkin jarang ada anak di negeri ini yang
bercita-icat menjadi buruh. Kalu toh
akhirnya jutaan orang “memburuh”, mungkin karena nasib yang kurang mujur. Ini
bukan satir. Bukan pula pesimisme. Titik tolak asumsinya ada pada dua hal yang
melekat di diri buruh Indonesia, yakni: belum sejahteranya kehidupan mereka
serta ketidakpastian masa depan.
Lalu, siapakah yang termasuk dalam lingkup
untuk disebut buruh? Buruh adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan
hidupnya dari gaji atau mendapat upah berkat jasa atau tenaga yang dikeluarkan
(Muchtar Pakpahan, 2010). Entah bagaimana ceritanya, makna buruh mengalami
penyusutan. Istilah buruh cenderung hanya merujuk pada pekerja di sektor
manufaktur, pabrik atau unit-unit usaha kecil lainnya. itu pun masih
tersegmentasi: yang bertugas di belakang meja akan disebut staf atau manajemen.
Akhirnya, buruh diintifikasikan pada
kelompok karyawan level bawah, karyawan yang diupah karena aktivitas “fisik,”
strata pendidikan relatif tidak tinggi. Karyawan suasta di belakang meja tidak
pernah merasa dirinya sebagai bagian dari buruh. Bahkan bisa jadi tidak mau
disebut buruh. Mereka tidak paham atau malah malu kalau disebut “buruh.”
Secara psikologis, kedudukan dan besaran
pendapatan menuntun ego mereka untuk tidak mau disebut “buruh.” Terjadi
kerancauan istilah yang bersifat psikologis: buruh untuk menyebut pekerja level
bawah, sedangkan di atasnya lebih nyaman disebut “karyawan” atau “pegawai.”
Fragmentasi itu tidak jarang menimbulkan friksi kepentingan. Buruh sebagai
pekerja lapis bawah kerap menyuarakan peningkatan kesejahteraan, sedangkan
pekerja level atas memiliki “tag name”
manajemen perusahaan yang berdiri di belakang pengusaha.
Tuntutan buruh untuk kesejateraan adalah
klasik. Buruh merasa keringat mereka belum dihargai. Dari catatan 2014, upah
buruh berada di rentang UMR Rp 1,15 juta (NTT) hingga Rp 2,4 juta (DKI). Dengan
besaran tersebut, sangatlah sulit bagi buruh untuk hidup sejahtera bersama
keluarga.
Adagium “kemiskinan akan melahirkan
kemiskinan baru” pun menjadi sulit dipecahkan. Merujuk pada studi Robert
Chambers (1983), buruh mudah masuk dalam deprivation
trap atau jerat kemiskinan. Menurut Chambers, ada lima jerat ketidakberuntungan
itu. Yakni, kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan
ketidakberdayaan.
Dalam konteks buruh, selain rendahnya upah
(baca: kemiskinan), masalah “kerentanan” menjadi problem krusial. Buruh rentan
terperosok dalam kubangan kemiskinan yang lebih dalam. Jelasnya, buruh rentan
terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Penyebab PHK sangatlah kaya motif dan
alasan. Ada yang bernilai objektif mauun subjektif manajemen dan pengusaha.
Kebangkrutan, pabrik terbakar, atau relokasi usaha oleh pengusaha ke luar
negeri cukup menjadikan buruh kehilangan pekerjaan. Faktor like and dislike atasan atau sakit berkepanjangan kerap mengintai
buruh untuk “dikandangkan.”
Akhirnya, roda penggerak kemiskinan (poverty rockets) akan bekerja mencetak
kemiskinan yang baru. Pihak yang menyangkal kondisi demikian kerap mengajukan
argumen: adanya instrumen pesangon.
Ujung-ujungnya, buruh yang kena PHK akan
masuk ke usaha informal skala gurem. Menjadi pengasong, PKL, atau dagang
kecil-kecilan di teras rumah. Janganlah membayangkan nilai pesangon buruh bak
pekerja perminyakan atau manajer bank. Pesangon golongan pekerja papan atas itu
bila hanya diparkir sebagai deposito cukup untuk hidup bulanan. Bila diputar
sebagai modal usah, bisa untuk membuat sebuah minimarket atau kos-kosan.
“kerentanan” hidup buruh pun tidak ada
dalam kamus hidup mereka yang bekerja sebagai PNS. SK sebagai PNS sudah menjadi
jaminan seumur hidup. Selain pendapatn per bulan yang jauh melampaui buruh
(truktur gaji, tunjangan, honor, plus remunerasi), negara masih menjamin hidup
PNS hingga meninggal. Fakta lain: PNS nyaris mustahil dipecat! Bahkan, bila
mereka terlibat korupsi, status kepegawaiannya tidak secara otomatis hilang.
Berkaca pada kasus beberapa PNS di Riau dua tahun silam, selepas dari bui karena
korupsi, mereka malah naik jabatan.
Memang tidak semudah membalik telapak
tangan untuk memperbaiki nasib buruh. Perlu dukungan pemerintah agar buruh
hidup layak, syukur-syukur sejahtera. Caranya tentu berpulang pada domain
pemerintah terkait dengan regulasi usaha. Reformasi birokrasi bila dijalankan
dengan sebenar-benarnya bisa mengatrol kesejahteraan buruh. Poinnya: hilangkan
semua ekonomi biaya tinggi! Caranya, membangun infrakstruktur, meberikan
kemudahan akses perizinan yang serbacepat dan transparan, serta membabat habis
pungutan liar terhadap pengusaha.
Bila semua itu bisa berjalan, niscaya
pengusaha dapat mengalihkan dana yang cukup besar bagi kesejahteraan para
buruh. Dengan begitu, kelak buruh menjadi profesi bermartabat karena ada
kebanggaan (dignity), pengakuan (recognnition), serta harga diri (self esteem).
Danang Probotanoyo, Membuat Buruh Bangga, Centre for Indonesia Reform Studi, Alumnus
UGM (Jawa Pos halam 4, Rabu 30 April 2014)
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Membuat Buruh Bangga"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*