Beranda » Arsip untuk Mei 2014
Jumat, 30 Mei 2014
Minggu, 25 Mei 2014
Renggo Khadafi
Renggo Khadafi
Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono
Bocah kelas V SD ini
tewas dipukuli kakak-kakak kelasnya.
Sebelum itu, Dimas Dikita Handoko, taruna
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, juga tewas dipukuli senior-seniornya. Begitu
juga nasib Tasman Hidayat, taruna Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, di
tahun 2001. Namun, alawi yang siswa SMA Negeri 6 Jakarta tewas pada September
2012 saat makan gultik (gulai tikungan) dan tiba-tiba dicelurit oleh
segerombolan siswa SMA Negeri 70.
Namun, mereka tidak sendiri. Belakangan
kian banyak orang mati atau luka parah oleh temannya sendiri, bekas pacar, anak
atau cucu sendiri. Bahkan, orang tua sekarang pun tega membunuh anak sendiri.
Pendeknya, sekarang ini untuk jadi pembunuh tak perlu jadi penjahat bertopeng
seperti dalam komik-komik ketika saya masih kecil. Pembunuh-pembunuh sekarang
adalah orang biasa, orang baik-baik, malah anak-anak juga. Hancur sudah teori
Lombrosso yang mengatakan, kita bisa membedakan kriminal dan orang normal
dengan melihat tipe raut wajah.
Namun, cobalah lihat wajah-wajah
Nazaruddin, Antasari, Anas Urbaningrum, Miranda Goeltom, Angelina Sondakh,
Ustaz Guntur Bumi, dan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Apa beda yang signifikan
antara wajah mereka dan BJ Habibie, Gus Dur, Raisa (penyanyi), atau Sule
(komedian)? Tidak ada, keculai mungkin yang satu lebih cakep, yang lain lebih jelek. Kesimpulannya, zamansekarang orang
baik-baik bisa jadi penjahat.
Cipta-rasa-karsa
Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan ada
tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Konsep struktur
jiwa manusia yang bersumber pada filsafat kejiwaan ini (tridaya) sama dengan
pandangan filsuf Plato (abad IV SM) tentang
logisticon, thumeticon, dan obdomen. Cipta adalah akal (logisticon,
logika, kreativitas), rasa adalah emosi (thumeticon,
sayang, cinta, benci, gembira, cemburu, marah, bahagia), dan karsa adalah
motivasi (obdomen, kehendak,
semangat, keinginan, dan lain-lain).
Dalam konsep pendidikan humanistik, yang
oleh Ki Hajar diterapkannya pada lembaga pendidikan Tamansiswa, ketiga daya ini
harus dikembangkan secara maksimal dan seimbang. Cipta yang tinggi akan melahirkan
pemikir-pemikir yang cerdas. Rasa akan membuat anak didik menjadi orang yang
penuh empati dan mencintai semua manusia dan seisi alam. Sementara karsa akan
memunculkan semangat juang dan pantang menyerah.
Memang dalam kehidupan sehari-hari kita
menyaksikan orang Indonesia sekarang sangat kuat dalam aspek cipta dan karsa.
Beberapa orang Indonesia bisa jadi konglomerat kelas dunia, olimpiade-olimpiade
IPA dan Matematikan Internasional dimenangi anak-anak Indoensia. Orang
Indonesia sudah bisa membuat mobil sendiri, beberapa penyanyi sudah go internasional. Jangan lupa, berapa
banyak orang awam yang menjadi caleg, baik yang lolos maupun gagal, modalnya
tentu karsa yang kuat.
Di sisi lain, daya rasa orang Indonesia
sangat lemah. Orang Indonesia sangat kurang bisa berempati, yaitu merasakan apa
yang dirasakan orang lain. Tidak usahlah jadi seoarng Bunda Teresa, tetapi
setidaknya manusia harus bisa mempraktikkan the
golden rule of ethics, yaitu jangan melakukan sesuatu kepada orang lain,
yang kau sendiri tidak mau orang lain melakukannya kepadamu (Khonghucu).
Gampangnya, jangan memukul orang kalu kau tak mau dipukul, karena dipukul itu
sakit. Sementara kakak-kakak kelas Renggo tidak hanya memukul, tetapi memukuli
Renggo hingga tewas.
Karas
tanpa Rasa
Orang sering menyalahkan pelajaran Budi
Pekerti dan Agama untuk perbuatan kriminal yang dilakukan orang normal. Tetapi
bukan di situ soalnya. Sebagus-bagus pelajaran-pelajaran moral itu, sifatnya
tetap pada tataran cipta, yaitu pengetahuan, hafalan, atau skill (sholat, mengaji), yang dilakukan dengan karsa yang tinggi,
tetapi tanpa rasa. Karena itu, orang bisa bersemangat sekali pergi umrah,
tetapi tetap korupsi.
Untuk mengembangkan daya rasa diperlukan
praktik hubungan emosional yang positif dengan orangtua, keluarga, guru, teman,
dan orang-orang terdekat dengan anak. Anak perlu ciuman, rangkulan,
didengarkan, dipuji (bukan hanya dimaki), dibanggakan, agar dia pun bisa
mengasihi, mendengarkan dan memberikan semangat kepada orang lain. Inilah yang
hampir tidak terjadi lagi pada banyak manusia Indonesia (apap pun alasannya).
Akibatnya, kalau anak itu masih seumur kakak kelas Renggo, dia bisa membunuh
adik kelasnya, tetapi kalau ia menjadi pejabat Badan Pertanahan Nasional, ia
bisa menciptkan sertifikat tanan ganda sehingga kelompok masayarakat saling
berbunuhan.
Pertanyaan saya, ke manakah Pancasila kita?
Pancasila adalah tentang ras: rasa ketuhanan, kemanusiaan, kebanggaan,
keadilan, dan rasa berbagi dalam bermusyawarah. Tanpa Pancasila, hukum pun jadi
mainan para politisi dan mafia pengadilan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Psikolog
Universitas Indonesia dan Universita Pancasila,
Kompas Halaman 6 tanggal 13 Mei 2014.
Baca tulisan menarik lainnya:
Senin, 19 Mei 2014
Membuat Buruh Bangga
Oleh: Danang Probotanoyo
Mungkin jarang ada anak di negeri ini yang
bercita-icat menjadi buruh. Kalu toh
akhirnya jutaan orang “memburuh”, mungkin karena nasib yang kurang mujur. Ini
bukan satir. Bukan pula pesimisme. Titik tolak asumsinya ada pada dua hal yang
melekat di diri buruh Indonesia, yakni: belum sejahteranya kehidupan mereka
serta ketidakpastian masa depan.
Lalu, siapakah yang termasuk dalam lingkup
untuk disebut buruh? Buruh adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan
hidupnya dari gaji atau mendapat upah berkat jasa atau tenaga yang dikeluarkan
(Muchtar Pakpahan, 2010). Entah bagaimana ceritanya, makna buruh mengalami
penyusutan. Istilah buruh cenderung hanya merujuk pada pekerja di sektor
manufaktur, pabrik atau unit-unit usaha kecil lainnya. itu pun masih
tersegmentasi: yang bertugas di belakang meja akan disebut staf atau manajemen.
Akhirnya, buruh diintifikasikan pada
kelompok karyawan level bawah, karyawan yang diupah karena aktivitas “fisik,”
strata pendidikan relatif tidak tinggi. Karyawan suasta di belakang meja tidak
pernah merasa dirinya sebagai bagian dari buruh. Bahkan bisa jadi tidak mau
disebut buruh. Mereka tidak paham atau malah malu kalau disebut “buruh.”
Secara psikologis, kedudukan dan besaran
pendapatan menuntun ego mereka untuk tidak mau disebut “buruh.” Terjadi
kerancauan istilah yang bersifat psikologis: buruh untuk menyebut pekerja level
bawah, sedangkan di atasnya lebih nyaman disebut “karyawan” atau “pegawai.”
Fragmentasi itu tidak jarang menimbulkan friksi kepentingan. Buruh sebagai
pekerja lapis bawah kerap menyuarakan peningkatan kesejahteraan, sedangkan
pekerja level atas memiliki “tag name”
manajemen perusahaan yang berdiri di belakang pengusaha.
Tuntutan buruh untuk kesejateraan adalah
klasik. Buruh merasa keringat mereka belum dihargai. Dari catatan 2014, upah
buruh berada di rentang UMR Rp 1,15 juta (NTT) hingga Rp 2,4 juta (DKI). Dengan
besaran tersebut, sangatlah sulit bagi buruh untuk hidup sejahtera bersama
keluarga.
Adagium “kemiskinan akan melahirkan
kemiskinan baru” pun menjadi sulit dipecahkan. Merujuk pada studi Robert
Chambers (1983), buruh mudah masuk dalam deprivation
trap atau jerat kemiskinan. Menurut Chambers, ada lima jerat ketidakberuntungan
itu. Yakni, kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan
ketidakberdayaan.
Dalam konteks buruh, selain rendahnya upah
(baca: kemiskinan), masalah “kerentanan” menjadi problem krusial. Buruh rentan
terperosok dalam kubangan kemiskinan yang lebih dalam. Jelasnya, buruh rentan
terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Penyebab PHK sangatlah kaya motif dan
alasan. Ada yang bernilai objektif mauun subjektif manajemen dan pengusaha.
Kebangkrutan, pabrik terbakar, atau relokasi usaha oleh pengusaha ke luar
negeri cukup menjadikan buruh kehilangan pekerjaan. Faktor like and dislike atasan atau sakit berkepanjangan kerap mengintai
buruh untuk “dikandangkan.”
Akhirnya, roda penggerak kemiskinan (poverty rockets) akan bekerja mencetak
kemiskinan yang baru. Pihak yang menyangkal kondisi demikian kerap mengajukan
argumen: adanya instrumen pesangon.
Ujung-ujungnya, buruh yang kena PHK akan
masuk ke usaha informal skala gurem. Menjadi pengasong, PKL, atau dagang
kecil-kecilan di teras rumah. Janganlah membayangkan nilai pesangon buruh bak
pekerja perminyakan atau manajer bank. Pesangon golongan pekerja papan atas itu
bila hanya diparkir sebagai deposito cukup untuk hidup bulanan. Bila diputar
sebagai modal usah, bisa untuk membuat sebuah minimarket atau kos-kosan.
“kerentanan” hidup buruh pun tidak ada
dalam kamus hidup mereka yang bekerja sebagai PNS. SK sebagai PNS sudah menjadi
jaminan seumur hidup. Selain pendapatn per bulan yang jauh melampaui buruh
(truktur gaji, tunjangan, honor, plus remunerasi), negara masih menjamin hidup
PNS hingga meninggal. Fakta lain: PNS nyaris mustahil dipecat! Bahkan, bila
mereka terlibat korupsi, status kepegawaiannya tidak secara otomatis hilang.
Berkaca pada kasus beberapa PNS di Riau dua tahun silam, selepas dari bui karena
korupsi, mereka malah naik jabatan.
Memang tidak semudah membalik telapak
tangan untuk memperbaiki nasib buruh. Perlu dukungan pemerintah agar buruh
hidup layak, syukur-syukur sejahtera. Caranya tentu berpulang pada domain
pemerintah terkait dengan regulasi usaha. Reformasi birokrasi bila dijalankan
dengan sebenar-benarnya bisa mengatrol kesejahteraan buruh. Poinnya: hilangkan
semua ekonomi biaya tinggi! Caranya, membangun infrakstruktur, meberikan
kemudahan akses perizinan yang serbacepat dan transparan, serta membabat habis
pungutan liar terhadap pengusaha.
Bila semua itu bisa berjalan, niscaya
pengusaha dapat mengalihkan dana yang cukup besar bagi kesejahteraan para
buruh. Dengan begitu, kelak buruh menjadi profesi bermartabat karena ada
kebanggaan (dignity), pengakuan (recognnition), serta harga diri (self esteem).
Danang Probotanoyo, Membuat Buruh Bangga, Centre for Indonesia Reform Studi, Alumnus
UGM (Jawa Pos halam 4, Rabu 30 April 2014)
Baca tulisan menarik lainnya:
Jumat, 09 Mei 2014
serba serbi unas
Serba Serbi Unas
Oleh: A. Rifqi Amin
Hari
ini anak didik kita yang sekolah pada jenjang SMP sedang menjalani ujian nasional
(unas). Inilah “Ritual” ujian yang harus dihadapi sistem pendidikan kita pada setiap
tahun. Dalam sejarahnya unas telah banyak berganti nama. Namun pada
kenyataannya meski sudah berganti nama berkali-kali kesan horor itu masih ada. Bahkan
walaupun unas tidak lagi menjadi satu-satunya syarat penentu kelulusan, tapi
masih ada rasa was-was terutama dari
peserta didik terlebih untuk orang tuanya.
Sejatinya
setiap tahun pula semua kalangan masyarakat merespon unas ini dengan berbagai
bentuk kegiatan yang berbeda. Mulai dari orang tua peserta didik, pengamat
pendidikan, peserta didik, Kepala Dinas Pendidikan Daerah, Kepala Sekolah, dan
Guru. Tak ketinggalan juga oknum “pihak ketiga” yang memanfaatkan momen unas
untuk kepentingan sesaat. Tengok saja para oknum yang menjual kunci jawaban UNAS
yang dimungkinkan palsu.
Unas dan Perubahan
Perilaku
Ujian
Nasional yang diujikan adalah mata pelajaran yang didasarkan pada keilmuan
(ilmiah). Butir demi butir soal yang tertuang pada naskah juga dari hasil
penelitian dan pengembangan dari ilmuwan-ilmuwan di bidangnya. Seperti dalam
berita yang menyebar bahwa Dosen pada perguruan tinggi ternama dilibatkan dalam
pembuatan soal. Namun, pendekatan yang digunakan oleh peserta didik dan orang
tua bahkan oleh lembaga pendidikan bisa dikatakan jauh dari ilmiah. Tengok
saja, kejadian seorang anak dalam pemberitaan yang lalu rela membasuh kaki ibunya
lantas iapun meminum air bekas cucian tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan
guna persiapan diri untuk menghadapi unas yang akan ia tempuh. Dan tak mustahil
ada ritual lain yang mungkin lebih sulit untuk dipahami apabila kita hanya
melihatnya saja tanpa diteliti sebabnya.
Pada
kejadian lain, sering kita temukan terjadi perubahan perilaku siswa terhadap
guru pada orang tua menjelang ujian dilaksanan. Mereka takmpak lebih sopan,
lebih mudah diatur, dan lebih melankolis. Bahkan tak jarang para peserta didik
mengadakan acara sungkem bersama kepada para bapak ibu guru sekaligus meminta
do’a. Dan sangat menggelikan apabila ada beberapa siswa yang mencium tangan
gurunya tersebut merupakan kali pertama selama ia sekolah. Kegiatan tersebut
bisa dikatakan sebagai cara mereka untuk mensucikan diri dari dosa. Tentu agar
peserta didik merasa tenang dan tanpa beban saat menghadapi unas. Namun
perubahan perilaku tersebut tidak bisa kita salahkan begitu saja. Perbuatan
tersebut masih tampak lebih baik daripada siswa harus tertekan jiwanya, menjadi
murung, histeris, bahkan kesurupan atau terjadi fenomena “aneh” lain.
Menyontek
Tak
sedikit orang yang mengkaitkan antara menyontek dengan tindakan korupsi.
Asumsinya, sebuah harga mati bagi orang yang menyontek maka pada masa depannya
akan menjadi koruptor. Toh ancaman
kata-kata itu tidak mempan untuk sebagian siswa, tradisi menyontek pada unas
setiap tahunnya masih ada. Mungkin cita-cita mereka memang ingin seperti
“koruptor.” Mendapatkan sesuatu dengan cara singkat dan mudah meski harus
menzalimi orang lain bahkan menzalimi diri sendiri. Tak jarang mereka dalam
menyontek juga dibantu oleh pendidik yang seharusnya tegas. Misalnya bentuk
pembiaran tindakan menyontek oleh pengawas ujian. Lantas apabila diruntutkan
maka juga melibatkan oknum guru dan pejabat sekolah yang “genit” untuk
mengangkat citra sekolah
Tugas Berat Polisi
Polisi
sebagai pengayom masyarakat bertanggung jawab dalam pengamanan, penjagaan, dan
pengawalan ekstra dalam penyebaran soal-soal ujian hingga saat pelaksanaan
ujian. Dalam pengamanan ujian yang menarik adalah polisi yang bertugas dilokasi
ujian diharuskan memakai seragam sipil. Para aparat hukum tersebut saat
dilapangan berkoordinasi dengan guru, pengawas, dan pejabat sekolah untuk
pengamanan. Tentu cara ini patut diapresiasi yang ditempuh agar tidak menambah
kesan horor dalam pelaksanaan ujian.
Dari
kenyataan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah bahwa fungsi utama
pengamanan polisi sesungguhnya adalah mengamankan kerahasiaan soal ujian.
Artinya pengamanan dari hulu sampai hilir bahkan sampai pengumuman hasil ujian
dikeluarkan. Pengamanan dilakukan mulai dari pembuatan soal, pencetakan,
pembungkusan soal, dan pendistribusian ke seluruh pelosok negeri. Oleh karena
itu, apabila ada kebocoran soal ujian sesungguhnya yang pantas untuk ditunjuk
hidungnya pertama kali adalah polisi. Baru kemudian para pembuat soal,
percetakan, dan para pembungkus soal. Lalu kemudian kepada para pengguna
bocoran soal tersebut seperti penjual kunci jawaban, peserta didik, guru dan
pejabat sekolah.
Formalitas Ijasah
Ijasah
adalah selembar kertas yang punya makna tersendiri. Bagi sebagian orang ijasah
menjanjikan pekerjaan berupah lebih tinggi dan bisa mengangkat status sosial. Ijasah
telah menjadi asa dan harga mati pada zaman serba kompleks seperti sekarang
ini. Dampaknya sungguh ngeri, bagi
sekolah yang oportunis pelaksanaan unas dijadikan momen untuk menambah jumlah
siswa. Misalnya pada berita Jawab Pos (11/04/2014) diindikasikan ada sekolah di
Mojokerto yang menyertakan 15 murid abal-abal untuk ikut unas. Padahal mereka
sebelumnya tidak pernah menjalani proses pembelajaran pada sekolah tersebut.
Masalah
lain adalah ijasah sebagai sarana untuk jaminan (agunaan) bagi pesarta didik
yang masih memiliki tanggungan finansial atau material pada pihak sekolah.
Masih banyak ditemukan pemberian ijasah yang dipersulit dan dipolitisasi.
Bahkan dengan terang-terangan tidak akan diberikan jika apa yang diinginkan
oleh pihak sekolah tidak dipenuhi. Peristiwa tersebut seringkali ditemukan pada
sekolah suasta yang butuh dana. Serta sangat memungkin pada sekolah negeri
meski pemerintah telah memberikan perhatian lebih.
Unas dan Moralitas
bangsa
Tentu
bagi siapaun yang tak punya moral cara apapun akan dilakukan agar bisa lulus unas.
Oleh sebab itu, tidak hanya sebuah kewajiban tapi menjadi kebutuah mendesak
untuk diadakan penelitian secara mendalam tentang kelemahan dan kelebihan unas.
Sejuah mana manfaat unas bagi masa depan bangsa ini. bisa jadi unas bermanfaat
bagi jangka pendek, tapi jangka panjang malah merusak moral bangsa ini. Oleh
karena itu, penemuan cara yang cocok dalam unas adalah tugas berat bangsa ini. Bisa
dilakukan dengan cara penelitian bentuk kualitatif maupun kuantitatif. Tentu
usaha itu supaya tidak merugikan bangsa ini pada masa yang jauh mendatang.
Baca tulisan menarik lainnya:
Opini Jawa Pos: Titik Balik Malaysia Airlines (Ismaitillah A. Nu'ad)
Oleh:
Ismaitillah A. Nu’ad
Ismaitillah A. Nu’ad
Pesawat
Malaysia Airlines Boeing MH370 yang jatuh di perairan Vietnam menjadi pusat
pemberitaan media massa di seluruh dunia. Siaran al Jazeera dan CNN,
misalnya, membicarakan secara detail kronologi kecelakaan pesawat milik
penerbangan resmi Malaysia itu. Kasus tersebut sekaligus mengingatkan kita pada
berbagai kecelakaan pesawat terbang komersial yang dialami industri pesawat di
Indonesia.
Peristiwa
Malaysia Airlines itu menjadi titik balik bahwa perlu ada reformasi industri
pesawat terbang. Selama ini, kesan yang ditangkap publik, arah kebijakan publik
transportasi yang dibuat legelatif dan
dijalankan pemerintah di negeri ini masih sangat kendur. Artinya, kebijakan
transportasi belum cukup komperhensif dan masih riskan dengan berbagai bentuk
manipulasi. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dalam tragedi pesawat sebelumnya.
Banyak informasi yang beredar bahwa
industri transportasi pesawat kita kerap membeli pesawat eks pakai dari
negara lain, lalu dipermak hingga menjadi seperti barang bagus, lantas
dijadikan barang industri dalam negeri.
Melihat
kondisi pesawat semacam itu, jangan tanya soal legalisasi, birokrasi kita masih
sangat gampang dipermainkan. Proses perizinan dipastikan berjalan lancar,
asalkan politik uang bermain. Histori semacam itulah yang sering menjadi
penyebab tidak becusnya dunia transportasi pesawat di Indonesia.
Bermula
dari kendur dan rapuhnya sistem deregulasi industri pesawat, industri pesawat
komersial di Indonesia jadi tidak keruan. Bahkan, Garudi Indonesia sebagai
indsutri pesawat komersial milik badan usaha milik negara (BUMN) sempat
dilarang (ban) terbang ke Eropa
seperti ke Belandan dan lain-lain.
Meski,
akhirnya otoritas Uni Eropa kini sudah memperbolehkan lagi beberapa maskai
penerbangan Indonesia melintas di langit Eropa. Empat maskapai yang boleh
kembali melintas adalah Garuda Indonesia, Airfast Indonesia, Mandala Airlines,
dan Primer Air. Mereka diperbolehkan setelah memperbaiki standar keamanan
penerbanga Internasional.
Uni
Eropa pernah melarang beberapa maskapai penerbangan Indonesia karena maraknya
kecelakaan pesawat yang terjadi. Mulai hilangnya pesawat Adam Air di perairan
Sulawesi, 1 Januari 2007, hingga kecelakaan pesawat Garuda pada tahun yang sama
yang menewaskan 21 orang serta tragedi kecelekaan pesawat lainnya.
Semestia
dalam industri pesawat komersial di Indonesia diberlakukan standar keamanan
penerbangan internasional, bukan lokal, untuk menjamin keselamatan penumpang.
Tingginya biaya standar keamanan internasional ditengarai ikut memicu
terjadinya industri pesawat nasional ogah mengikuti prosedur sehingga
mengakibatkan banyaknya “manipulasi” keamanan pesawat. Karena itulah, kalangan
legeslatif dan pemerintah-melihat seringnya kasus kecelakaan dan manipulasi
yang dilakukan industri-harus segera membenahi sistem deregulasinya yang masih
sangat karut-marut.
Kondisi
semacam itu mungkin juga tidak bisa dilepaskan dari tidak adanya cetak biru (blue print) sistem transportasi
nasional. Kalaupun ada, sifatnya belum komperhensif. Bukan cuma kalangan
legislatif dan pemerintah, namun juga birokrasi di bawahnya seperti Kementrian
Perhubungan, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas,
serta seluruh pemerintah daerah yang belum terkoordinasi secara teratur.
Sebagaimana
lazimnya, pada dasarnya, dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang sudah dianggap wajar. Tetapi,
langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut semestinya harus tetap berada
dalam koridor yang diperbolehkan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Kondisi
itu tentu tidak hanya membatasi perilaku sektor swasta, tetapi juga berlaku
untuk negara dalam hal negara bertindak sebagai pelaku usaha seperti dalam
kasus BUMN. Meski demikian, tentu ada sektor-sektor tertentu yang oleh
undang-undang diberi monopoli karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
Misalnya, PLN.
Ditambah,
perkembangan bisnis angkutan udara di Indonesia merupakan salah satu sektor
yang pertumbuhannya sangat tinggi, termasuk pertambahan jumlah armada pesawat.
Semestinya pertumbuhan itu juga didukung pertumbuhan beberapa sektor industri
lain yang terkait, termasuk sumber daya manusia (SDM) dan deregulasinya.
Investor
yang berencana mendirikan perusahan penerbangan baru harus memahami besarnya
kebutuhan finansial. Kecukupan modal sangat dibutuhkan untuk mengoperasikan
pesawat yang sehat dan terawat dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan.
Sesuai dengan Undang-undang Penerbangan terbaru, sebuah maskapi penerbangan
berjadwal wajib mengoperasikan pesawat sedikitnya sepuluh pesawat dengan
perincian lima dimiliki dan sisanya dikuasai.
Melihat
industri penerbangan yang terus tumbuh, kiranya perlu ada harmonisasi kebijakan
dan aksi antara Direktoral Jenderal Perhubungan Udara (DJU), INACA (Indonesia
Air Carrier Association), PGHI (Persatuan Ground Handling Indonesia), serta PT
Angkas Pura (AP) I dan PT Angkasa Pura (AP) II. Sebab, otoritas penerbangan
kita pernah menjadi yang terburuk di dunia saat semua pesawat yang dikeluarakan
DJU dilarang terbang melintasi Eropa.
Untuk
meningkatkan kualitas layanan dan keselamatan penerbangan, kebijakan merger
antara perusahaan asing dan industri penerbangan komersial domestik, misalnya,
perlu dilakukan. Tujuannya, mampu menghadapi liberalisasi penerbangan di Asia
Tenggara dan keluar dari keterpurukan finansial yang belakangan ini melanda
dunia penerbangan domestik. Merger dianggap sebagai jalan keluar untuk
menghindari semakin banyaknya maskapai penerbangan nasional yang terus rontok
dan akhirnya membahayakan penumpang.
Ismaitillah
A. Nu’ad, Titik Balik Malaysia Airlines (Peneliti Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan Universita Paramadina Jakarta) Jawa Pos Selasa 11 Maret 2014 halaman
4.
Baca tulisan menarik lainnya:
Opini Jawa Pos: Elite Politik Peduli lingkungan hidup (Awhan Satryo)
Oleh:
Awhan Satriyo
Awhan Satriyo
Headline
Jawa Pos, 14/3/2014, sangat menarik; Riau
Jadi Sauna Raksasa. Akibat hutan yang dibakar, Kota Pekabarsu dan
sekitarnya diselimuti asap tebal, laksana sauna. Tingkat kualitas udara pada
level berbahaya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat,
sedikitnya 45.591 orang di wilayah Provinsi Riau menderita penyakit karena
asap. Misalnya, Ispa, pneumonia, asma, iritasi mata, dan kulit. Yang lebih ngeri, Riau potensial kehilangan
generasi penerus 15-20 tahun mendatang. Generasi itu memiliki otak yang lemah
karena pertumbuhannya terganggu gara-gara kabut asap.
Januari
2014 kita juga menyaksikan di layar kaca dan berbagai media, terjadinya bencara
banjir dan tanah longsor di berbagai tanah air. Mari kita cermati kerugian
material akibat bencana alam banjir dan tanah longsor itu! Pemerintah provinsi
Sulawesi Utara (sulut) mencatat, kerugian akibat bencana di Sulut ditaksir Rp
553,39 miliar. Dari total kerugian itu, Kota Manado tercatat rugi terbesar,
yakni berkisar Rp 439 miliar.
Kerugian
materi akibat bencana banjir dan tanah longsor di wilayah Jawa Tengah mencapai
Rp 2 triliun lebih. Jumlah tersebut diketahui setelah Badan Perencanaan
Pembangunan (Bappeda) Jateng menghitung ulang, ditambah dengan laporan
pemerintah kabupaten/kota. Kerugian terbesar terjadi di sektor ekonomi, yakni
Rp 872,76 miliar. Kemudian, di subsektor pertanian Rp 769,52 miliar akibat
banyaknya lahan yang terendam banjir, lalu mengalami puso.
Belum
lagi Jakarta. Nah, total kerugian akibat banjir yang melanda banyak daerah di
Indonesia pada Januari 2014 di perkirakan menelan biaya hingga Rp 50 triliun (Tribunnews.com)
Hal
menarik yang perlu kita lihat adalah fenomena yang tanpa kita sadari secara
langsung maupun tidak, kapitalisme merupakan biang keladi yang mengantarkan
pemikiran manusia menjelma menjadi berperilaku merusak lingkungan. Prinsip kapitalis
ialah mengeluarkan modal sedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan
sebesar-besarnya.
Bagi
sebagian kaum kapitalis, akal sehat (common
sense) kadang-kadang tidak dipakai. Membuka lahan baru dengan cara bodoh,
membakar hutan, pembalakan hutan secara membabi buta, mengoptimalkan kerja
mesin dan manusia untuk mengeruk keuntungan, pembangunan rumah mewah, mall, apartemen di lahan resapan,
semuanya mengesampingkan dampak buruk terhadap sesama.
Perilaku
orang-orang berkuasa yang haus akan kekayaan dan kekuasaan bakal terus
mempertahankan apa yang dia punya dengan cara apa pun. Perilaku-perilaku
seperti itulah yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap
sumber daya alam (SDA) yang merupakan faktor produksi secara ekonomi, kemudian menyebabkan
terjadinya kerusakan lingkungan.
Pilihan Penguasa
Komisi
Pemilihan Umum mulai 16 Maret hingga 5 April 2014 memberikan kesempatan kepada
para calon wakil rakyat untuk berkampanye. Pemilu legeslatif pada 9 April
adalah momentum penting bagi masyarakat untuk memilih dan mendesak partai
politik dan anggota legislatif untuk melakukan kontrak politik yang berpihak
pada kelestraian alam. Wakil-wakil rakyat diharapkan mereformasi tata cara
pengelolaan sumber daya alam sehingga berorientasi kepada pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi kemakmuran rakyat.
Namun,
ironisnya, hanya 7 persen caleg yang memahami isu lingkungan. Selain tidak
memahami persoalan lingkungan, banyak caleg yang terlibat bisnis yang merusak
lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang telah melakukan studi kualitas
caleg DPR terhadap isu lingkungan. Meraka melakukan penelusuran terhadap 6.561
caleg dari 6.601 caleg DPR yang terdaftar di KPU.
Kebijakan
pengelolaan SDA adalah persoalan serius yang kerap terabaikan dalam agenda
politik sehingga berujung kepada bencana dan kesengsaraan bagi rakyat.
perubahan fungsi lahan hutan, pembalakan hutan, dan penggunaan air tanah yang
berlebihan merupakan tiga faktor yang memicu terjadinya banjir dan kekeringan,
sedangkan pembukaan lahan baru dengan membakar adalah sumber kabut asap. Masih
menurut hasil survei, kerugian yang dialami karena terjadinya kerusakan
lingkungan disebabkan dua hal. Yaitu, korupsi antara pengelola sumber daya alam
dengan pemangku kebijakan serta lemahnya pengawasan dari pemerintah.
Dalam
akuntansi, biaya yang timbul akibat kerugian adalah sama dengan hilangnya
potensial kesempatan kita menikmati keuntungan. Dana akibat kerugian bencana
itu akan lebih membahwa kemaslahatan apabila kita bisa mencegah terjadinya
bencana. Mindset seperti itulah yang
mesti ditanamkan kepada para elite politik dan masyarakat dalam mengelola SDA.
Presiden
Kostarika Abel Pachecho (22 Desember 1933) pada Juli 2002 dalam sebuah
deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan, membuat keputusan berani. Dia
melarang praktik pertambangan terbuka walau tengah menghadapi gelombang ancaman
dari pelaku pertambangan internasional yang akan menggugatnya ke pengadilan arbitrase
internasional.
“Seandainya perusahaan-perusahan pertambangan
itu menggugat kami untuk membayar kompensasi, itu (akan kami lakukan, karena)
lebih murah daripada harus membayar kerugian negara dan kehancuran lingkungan
hidup”
Elite
Politik Peduli lingkungan hidup, Awhan Satriyo (Alumnus Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta) Jawa Pos Senin 17 Maret 2014.