Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Transparansi Dana Pendidikan

Tulisan ini merupakan salah satu tulisan yang pernah menjadi HEADLINE kompasiana. Ditulis oleh A. Rifqi Amin pada tahun 2014.





Baca tulisan menarik lainnya:

Renggo Khadafi



Renggo Khadafi
Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

Bocah kelas V SD ini tewas dipukuli kakak-kakak kelasnya.
Sebelum itu, Dimas Dikita Handoko, taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, juga tewas dipukuli senior-seniornya. Begitu juga nasib Tasman Hidayat, taruna Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, di tahun 2001. Namun, alawi yang siswa SMA Negeri 6 Jakarta tewas pada September 2012 saat makan gultik (gulai tikungan) dan tiba-tiba dicelurit oleh segerombolan siswa SMA Negeri 70.

Namun, mereka tidak sendiri. Belakangan kian banyak orang mati atau luka parah oleh temannya sendiri, bekas pacar, anak atau cucu sendiri. Bahkan, orang tua sekarang pun tega membunuh anak sendiri. Pendeknya, sekarang ini untuk jadi pembunuh tak perlu jadi penjahat bertopeng seperti dalam komik-komik ketika saya masih kecil. Pembunuh-pembunuh sekarang adalah orang biasa, orang baik-baik, malah anak-anak juga. Hancur sudah teori Lombrosso yang mengatakan, kita bisa membedakan kriminal dan orang normal dengan melihat tipe raut wajah.

Namun, cobalah lihat wajah-wajah Nazaruddin, Antasari, Anas Urbaningrum, Miranda Goeltom, Angelina Sondakh, Ustaz Guntur Bumi, dan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Apa beda yang signifikan antara wajah mereka dan BJ Habibie, Gus Dur, Raisa (penyanyi), atau Sule (komedian)? Tidak ada, keculai mungkin yang satu lebih cakep, yang lain lebih jelek. Kesimpulannya, zamansekarang orang baik-baik bisa jadi penjahat.

Cipta-rasa-karsa
Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu cipta, rasa, dan karsa. Konsep struktur jiwa manusia yang bersumber pada filsafat kejiwaan ini (tridaya) sama dengan pandangan filsuf Plato (abad IV SM) tentang  logisticon, thumeticon, dan obdomen. Cipta adalah akal (logisticon, logika, kreativitas), rasa adalah emosi (thumeticon, sayang, cinta, benci, gembira, cemburu, marah, bahagia), dan karsa adalah motivasi (obdomen, kehendak, semangat, keinginan, dan lain-lain).

Dalam konsep pendidikan humanistik, yang oleh Ki Hajar diterapkannya pada lembaga pendidikan Tamansiswa, ketiga daya ini harus dikembangkan secara maksimal dan seimbang. Cipta yang tinggi akan melahirkan pemikir-pemikir yang cerdas. Rasa akan membuat anak didik menjadi orang yang penuh empati dan mencintai semua manusia dan seisi alam. Sementara karsa akan memunculkan semangat juang dan pantang menyerah.

Memang dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan orang Indonesia sekarang sangat kuat dalam aspek cipta dan karsa. Beberapa orang Indonesia bisa jadi konglomerat kelas dunia, olimpiade-olimpiade IPA dan Matematikan Internasional dimenangi anak-anak Indoensia. Orang Indonesia sudah bisa membuat mobil sendiri, beberapa penyanyi sudah go internasional. Jangan lupa, berapa banyak orang awam yang menjadi caleg, baik yang lolos maupun gagal, modalnya tentu karsa yang kuat.

Di sisi lain, daya rasa orang Indonesia sangat lemah. Orang Indonesia sangat kurang bisa berempati, yaitu merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tidak usahlah jadi seoarng Bunda Teresa, tetapi setidaknya manusia harus bisa mempraktikkan the golden rule of ethics, yaitu jangan melakukan sesuatu kepada orang lain, yang kau sendiri tidak mau orang lain melakukannya kepadamu (Khonghucu). Gampangnya, jangan memukul orang kalu kau tak mau dipukul, karena dipukul itu sakit. Sementara kakak-kakak kelas Renggo tidak hanya memukul, tetapi memukuli Renggo hingga tewas.

Karas tanpa Rasa
Orang sering menyalahkan pelajaran Budi Pekerti dan Agama untuk perbuatan kriminal yang dilakukan orang normal. Tetapi bukan di situ soalnya. Sebagus-bagus pelajaran-pelajaran moral itu, sifatnya tetap pada tataran cipta, yaitu pengetahuan, hafalan, atau skill (sholat, mengaji), yang dilakukan dengan karsa yang tinggi, tetapi tanpa rasa. Karena itu, orang bisa bersemangat sekali pergi umrah, tetapi tetap korupsi.

Untuk mengembangkan daya rasa diperlukan praktik hubungan emosional yang positif dengan orangtua, keluarga, guru, teman, dan orang-orang terdekat dengan anak. Anak perlu ciuman, rangkulan, didengarkan, dipuji (bukan hanya dimaki), dibanggakan, agar dia pun bisa mengasihi, mendengarkan dan memberikan semangat kepada orang lain. Inilah yang hampir tidak terjadi lagi pada banyak manusia Indonesia (apap pun alasannya). Akibatnya, kalau anak itu masih seumur kakak kelas Renggo, dia bisa membunuh adik kelasnya, tetapi kalau ia menjadi pejabat Badan Pertanahan Nasional, ia bisa menciptkan sertifikat tanan ganda sehingga kelompok masayarakat saling berbunuhan.

Pertanyaan saya, ke manakah Pancasila kita? Pancasila adalah tentang ras: rasa ketuhanan, kemanusiaan, kebanggaan, keadilan, dan rasa berbagi dalam bermusyawarah. Tanpa Pancasila, hukum pun jadi mainan para politisi dan mafia pengadilan.

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Psikolog Universitas Indonesia dan Universita Pancasila, Kompas Halaman 6 tanggal 13 Mei 2014.




Baca tulisan menarik lainnya:

Membuat Buruh Bangga

Oleh: Danang Probotanoyo

Mungkin jarang ada anak di negeri ini yang bercita-icat menjadi buruh. Kalu toh akhirnya jutaan orang “memburuh”, mungkin karena nasib yang kurang mujur. Ini bukan satir. Bukan pula pesimisme. Titik tolak asumsinya ada pada dua hal yang melekat di diri buruh Indonesia, yakni: belum sejahteranya kehidupan mereka serta ketidakpastian masa depan.
Lalu, siapakah yang termasuk dalam lingkup untuk disebut buruh? Buruh adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari gaji atau mendapat upah berkat jasa atau tenaga yang dikeluarkan (Muchtar Pakpahan, 2010). Entah bagaimana ceritanya, makna buruh mengalami penyusutan. Istilah buruh cenderung hanya merujuk pada pekerja di sektor manufaktur, pabrik atau unit-unit usaha kecil lainnya. itu pun masih tersegmentasi: yang bertugas di belakang meja akan disebut staf atau manajemen.
Akhirnya, buruh diintifikasikan pada kelompok karyawan level bawah, karyawan yang diupah karena aktivitas “fisik,” strata pendidikan relatif tidak tinggi. Karyawan suasta di belakang meja tidak pernah merasa dirinya sebagai bagian dari buruh. Bahkan bisa jadi tidak mau disebut buruh. Mereka tidak paham atau malah malu kalau disebut “buruh.”
Secara psikologis, kedudukan dan besaran pendapatan menuntun ego mereka untuk tidak mau disebut “buruh.” Terjadi kerancauan istilah yang bersifat psikologis: buruh untuk menyebut pekerja level bawah, sedangkan di atasnya lebih nyaman disebut “karyawan” atau “pegawai.” Fragmentasi itu tidak jarang menimbulkan friksi kepentingan. Buruh sebagai pekerja lapis bawah kerap menyuarakan peningkatan kesejahteraan, sedangkan pekerja level atas memiliki “tag name” manajemen perusahaan yang berdiri di belakang pengusaha.
Tuntutan buruh untuk kesejateraan adalah klasik. Buruh merasa keringat mereka belum dihargai. Dari catatan 2014, upah buruh berada di rentang UMR Rp 1,15 juta (NTT) hingga Rp 2,4 juta (DKI). Dengan besaran tersebut, sangatlah sulit bagi buruh untuk hidup sejahtera bersama keluarga.
Adagium “kemiskinan akan melahirkan kemiskinan baru” pun menjadi sulit dipecahkan. Merujuk pada studi Robert Chambers (1983), buruh mudah masuk dalam deprivation trap atau jerat kemiskinan. Menurut Chambers, ada lima jerat ketidakberuntungan itu. Yakni, kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan.
Dalam konteks buruh, selain rendahnya upah (baca: kemiskinan), masalah “kerentanan” menjadi problem krusial. Buruh rentan terperosok dalam kubangan kemiskinan yang lebih dalam. Jelasnya, buruh rentan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Penyebab PHK sangatlah kaya motif dan alasan. Ada yang bernilai objektif mauun subjektif manajemen dan pengusaha. Kebangkrutan, pabrik terbakar, atau relokasi usaha oleh pengusaha ke luar negeri cukup menjadikan buruh kehilangan pekerjaan. Faktor like and dislike atasan atau sakit berkepanjangan kerap mengintai buruh untuk “dikandangkan.”
Akhirnya, roda penggerak kemiskinan (poverty rockets) akan bekerja mencetak kemiskinan yang baru. Pihak yang menyangkal kondisi demikian kerap mengajukan argumen: adanya instrumen pesangon.
Ujung-ujungnya, buruh yang kena PHK akan masuk ke usaha informal skala gurem. Menjadi pengasong, PKL, atau dagang kecil-kecilan di teras rumah. Janganlah membayangkan nilai pesangon buruh bak pekerja perminyakan atau manajer bank. Pesangon golongan pekerja papan atas itu bila hanya diparkir sebagai deposito cukup untuk hidup bulanan. Bila diputar sebagai modal usah, bisa untuk membuat sebuah minimarket atau kos-kosan.
“kerentanan” hidup buruh pun tidak ada dalam kamus hidup mereka yang bekerja sebagai PNS. SK sebagai PNS sudah menjadi jaminan seumur hidup. Selain pendapatn per bulan yang jauh melampaui buruh (truktur gaji, tunjangan, honor, plus remunerasi), negara masih menjamin hidup PNS hingga meninggal. Fakta lain: PNS nyaris mustahil dipecat! Bahkan, bila mereka terlibat korupsi, status kepegawaiannya tidak secara otomatis hilang. Berkaca pada kasus beberapa PNS di Riau dua tahun silam, selepas dari bui karena korupsi, mereka malah naik jabatan.
Memang tidak semudah membalik telapak tangan untuk memperbaiki nasib buruh. Perlu dukungan pemerintah agar buruh hidup layak, syukur-syukur sejahtera. Caranya tentu berpulang pada domain pemerintah terkait dengan regulasi usaha. Reformasi birokrasi bila dijalankan dengan sebenar-benarnya bisa mengatrol kesejahteraan buruh. Poinnya: hilangkan semua ekonomi biaya tinggi! Caranya, membangun infrakstruktur, meberikan kemudahan akses perizinan yang serbacepat dan transparan, serta membabat habis pungutan liar terhadap pengusaha.
Bila semua itu bisa berjalan, niscaya pengusaha dapat mengalihkan dana yang cukup besar bagi kesejahteraan para buruh. Dengan begitu, kelak buruh menjadi profesi bermartabat karena ada kebanggaan (dignity), pengakuan (recognnition), serta harga diri (self esteem).


Danang Probotanoyo, Membuat Buruh Bangga, Centre for Indonesia Reform Studi, Alumnus UGM (Jawa Pos halam 4, Rabu 30 April 2014)




Baca tulisan menarik lainnya:

serba serbi unas



Serba Serbi Unas

Oleh: A. Rifqi Amin 
Hari ini anak didik kita yang sekolah pada jenjang SMP sedang menjalani ujian nasional (unas). Inilah “Ritual” ujian yang harus dihadapi sistem pendidikan kita pada setiap tahun. Dalam sejarahnya unas telah banyak berganti nama. Namun pada kenyataannya meski sudah berganti nama berkali-kali kesan horor itu masih ada. Bahkan walaupun unas tidak lagi menjadi satu-satunya syarat penentu kelulusan, tapi masih ada rasa was-was terutama dari peserta didik terlebih untuk orang tuanya.
Sejatinya setiap tahun pula semua kalangan masyarakat merespon unas ini dengan berbagai bentuk kegiatan yang berbeda. Mulai dari orang tua peserta didik, pengamat pendidikan, peserta didik, Kepala Dinas Pendidikan Daerah, Kepala Sekolah, dan Guru. Tak ketinggalan juga oknum “pihak ketiga” yang memanfaatkan momen unas untuk kepentingan sesaat. Tengok saja para oknum yang menjual kunci jawaban UNAS yang dimungkinkan palsu.

Unas dan Perubahan Perilaku
Ujian Nasional yang diujikan adalah mata pelajaran yang didasarkan pada keilmuan (ilmiah). Butir demi butir soal yang tertuang pada naskah juga dari hasil penelitian dan pengembangan dari ilmuwan-ilmuwan di bidangnya. Seperti dalam berita yang menyebar bahwa Dosen pada perguruan tinggi ternama dilibatkan dalam pembuatan soal. Namun, pendekatan yang digunakan oleh peserta didik dan orang tua bahkan oleh lembaga pendidikan bisa dikatakan jauh dari ilmiah. Tengok saja, kejadian seorang anak dalam pemberitaan yang lalu rela membasuh kaki ibunya lantas iapun meminum air bekas cucian tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan guna persiapan diri untuk menghadapi unas yang akan ia tempuh. Dan tak mustahil ada ritual lain yang mungkin lebih sulit untuk dipahami apabila kita hanya melihatnya saja tanpa diteliti sebabnya.
Pada kejadian lain, sering kita temukan terjadi perubahan perilaku siswa terhadap guru pada orang tua menjelang ujian dilaksanan. Mereka takmpak lebih sopan, lebih mudah diatur, dan lebih melankolis. Bahkan tak jarang para peserta didik mengadakan acara sungkem bersama kepada para bapak ibu guru sekaligus meminta do’a. Dan sangat menggelikan apabila ada beberapa siswa yang mencium tangan gurunya tersebut merupakan kali pertama selama ia sekolah. Kegiatan tersebut bisa dikatakan sebagai cara mereka untuk mensucikan diri dari dosa. Tentu agar peserta didik merasa tenang dan tanpa beban saat menghadapi unas. Namun perubahan perilaku tersebut tidak bisa kita salahkan begitu saja. Perbuatan tersebut masih tampak lebih baik daripada siswa harus tertekan jiwanya, menjadi murung, histeris, bahkan kesurupan atau terjadi fenomena “aneh” lain.

Menyontek
Tak sedikit orang yang mengkaitkan antara menyontek dengan tindakan korupsi. Asumsinya, sebuah harga mati bagi orang yang menyontek maka pada masa depannya akan menjadi koruptor. Toh ancaman kata-kata itu tidak mempan untuk sebagian siswa, tradisi menyontek pada unas setiap tahunnya masih ada. Mungkin cita-cita mereka memang ingin seperti “koruptor.” Mendapatkan sesuatu dengan cara singkat dan mudah meski harus menzalimi orang lain bahkan menzalimi diri sendiri. Tak jarang mereka dalam menyontek juga dibantu oleh pendidik yang seharusnya tegas. Misalnya bentuk pembiaran tindakan menyontek oleh pengawas ujian. Lantas apabila diruntutkan maka juga melibatkan oknum guru dan pejabat sekolah yang “genit” untuk mengangkat citra sekolah
Tugas Berat Polisi
Polisi sebagai pengayom masyarakat bertanggung jawab dalam pengamanan, penjagaan, dan pengawalan ekstra dalam penyebaran soal-soal ujian hingga saat pelaksanaan ujian. Dalam pengamanan ujian yang menarik adalah polisi yang bertugas dilokasi ujian diharuskan memakai seragam sipil. Para aparat hukum tersebut saat dilapangan berkoordinasi dengan guru, pengawas, dan pejabat sekolah untuk pengamanan. Tentu cara ini patut diapresiasi yang ditempuh agar tidak menambah kesan horor dalam pelaksanaan ujian.
Dari kenyataan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah bahwa fungsi utama pengamanan polisi sesungguhnya adalah mengamankan kerahasiaan soal ujian. Artinya pengamanan dari hulu sampai hilir bahkan sampai pengumuman hasil ujian dikeluarkan. Pengamanan dilakukan mulai dari pembuatan soal, pencetakan, pembungkusan soal, dan pendistribusian ke seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, apabila ada kebocoran soal ujian sesungguhnya yang pantas untuk ditunjuk hidungnya pertama kali adalah polisi. Baru kemudian para pembuat soal, percetakan, dan para pembungkus soal. Lalu kemudian kepada para pengguna bocoran soal tersebut seperti penjual kunci jawaban, peserta didik, guru dan pejabat sekolah.
Formalitas Ijasah
Ijasah adalah selembar kertas yang punya makna tersendiri. Bagi sebagian orang ijasah menjanjikan pekerjaan berupah lebih tinggi dan bisa mengangkat status sosial. Ijasah telah menjadi asa dan harga mati pada zaman serba kompleks seperti sekarang ini. Dampaknya sungguh ngeri, bagi sekolah yang oportunis pelaksanaan unas dijadikan momen untuk menambah jumlah siswa. Misalnya pada berita Jawab Pos (11/04/2014) diindikasikan ada sekolah di Mojokerto yang menyertakan 15 murid abal-abal untuk ikut unas. Padahal mereka sebelumnya tidak pernah menjalani proses pembelajaran pada sekolah tersebut.
Masalah lain adalah ijasah sebagai sarana untuk jaminan (agunaan) bagi pesarta didik yang masih memiliki tanggungan finansial atau material pada pihak sekolah. Masih banyak ditemukan pemberian ijasah yang dipersulit dan dipolitisasi. Bahkan dengan terang-terangan tidak akan diberikan jika apa yang diinginkan oleh pihak sekolah tidak dipenuhi. Peristiwa tersebut seringkali ditemukan pada sekolah suasta yang butuh dana. Serta sangat memungkin pada sekolah negeri meski pemerintah telah memberikan perhatian lebih. 
Unas dan Moralitas bangsa
Tentu bagi siapaun yang tak punya moral cara apapun akan dilakukan agar bisa lulus unas. Oleh sebab itu, tidak hanya sebuah kewajiban tapi menjadi kebutuah mendesak untuk diadakan penelitian secara mendalam tentang kelemahan dan kelebihan unas. Sejuah mana manfaat unas bagi masa depan bangsa ini. bisa jadi unas bermanfaat bagi jangka pendek, tapi jangka panjang malah merusak moral bangsa ini. Oleh karena itu, penemuan cara yang cocok dalam unas adalah tugas berat bangsa ini. Bisa dilakukan dengan cara penelitian bentuk kualitatif maupun kuantitatif. Tentu usaha itu supaya tidak merugikan bangsa ini pada masa yang jauh mendatang.




Baca tulisan menarik lainnya:

Sanksi Tegas Pelanggar Unas



Sanksi Tegas Pelanggar Unas




Baca tulisan menarik lainnya:

Opini Jawa Pos: Titik Balik Malaysia Airlines (Ismaitillah A. Nu'ad)



 Oleh:
Ismaitillah A. Nu’ad

Pesawat Malaysia Airlines Boeing MH370 yang jatuh di perairan Vietnam menjadi pusat pemberitaan media massa di seluruh dunia. Siaran al Jazeera dan CNN, misalnya, membicarakan secara detail kronologi kecelakaan pesawat milik penerbangan resmi Malaysia itu. Kasus tersebut sekaligus mengingatkan kita pada berbagai kecelakaan pesawat terbang komersial yang dialami industri pesawat di Indonesia.
Peristiwa Malaysia Airlines itu menjadi titik balik bahwa perlu ada reformasi industri pesawat terbang. Selama ini, kesan yang ditangkap publik, arah kebijakan publik transportasi yang dibuat legelatif  dan dijalankan pemerintah di negeri ini masih sangat kendur. Artinya, kebijakan transportasi belum cukup komperhensif dan masih riskan dengan berbagai bentuk manipulasi. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dalam tragedi pesawat sebelumnya. Banyak informasi yang beredar bahwa  industri transportasi pesawat kita kerap membeli pesawat eks pakai dari negara lain, lalu dipermak hingga menjadi seperti barang bagus, lantas dijadikan barang industri dalam negeri.
Melihat kondisi pesawat semacam itu, jangan tanya soal legalisasi, birokrasi kita masih sangat gampang dipermainkan. Proses perizinan dipastikan berjalan lancar, asalkan politik uang bermain. Histori semacam itulah yang sering menjadi penyebab tidak becusnya dunia transportasi pesawat di Indonesia.
Bermula dari kendur dan rapuhnya sistem deregulasi industri pesawat, industri pesawat komersial di Indonesia jadi tidak keruan. Bahkan, Garudi Indonesia sebagai indsutri pesawat komersial milik badan usaha milik negara (BUMN) sempat dilarang (ban) terbang ke Eropa seperti ke Belandan dan lain-lain.
Meski, akhirnya otoritas Uni Eropa kini sudah memperbolehkan lagi beberapa maskai penerbangan Indonesia melintas di langit Eropa. Empat maskapai yang boleh kembali melintas adalah Garuda Indonesia, Airfast Indonesia, Mandala Airlines, dan Primer Air. Mereka diperbolehkan setelah memperbaiki standar keamanan penerbanga Internasional.
Uni Eropa pernah melarang beberapa maskapai penerbangan Indonesia karena maraknya kecelakaan pesawat yang terjadi. Mulai hilangnya pesawat Adam Air di perairan Sulawesi, 1 Januari 2007, hingga kecelakaan pesawat Garuda pada tahun yang sama yang menewaskan 21 orang serta tragedi kecelekaan pesawat lainnya.
Semestia dalam industri pesawat komersial di Indonesia diberlakukan standar keamanan penerbangan internasional, bukan lokal, untuk menjamin keselamatan penumpang. Tingginya biaya standar keamanan internasional ditengarai ikut memicu terjadinya industri pesawat nasional ogah mengikuti prosedur sehingga mengakibatkan banyaknya “manipulasi” keamanan pesawat. Karena itulah, kalangan legeslatif dan pemerintah-melihat seringnya kasus kecelakaan dan manipulasi yang dilakukan industri-harus segera membenahi sistem deregulasinya yang masih sangat karut-marut.
Kondisi semacam itu mungkin juga tidak bisa dilepaskan dari tidak adanya cetak biru (blue print) sistem transportasi nasional. Kalaupun ada, sifatnya belum komperhensif. Bukan cuma kalangan legislatif dan pemerintah, namun juga birokrasi di bawahnya seperti Kementrian Perhubungan, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, serta seluruh pemerintah daerah yang belum terkoordinasi secara teratur.
Sebagaimana lazimnya, pada dasarnya, dalam dunia bisnis, upaya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan perilaku yang sudah dianggap wajar. Tetapi, langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut semestinya harus tetap berada dalam koridor yang diperbolehkan peraturan perundang-undang yang berlaku.
Kondisi itu tentu tidak hanya membatasi perilaku sektor swasta, tetapi juga berlaku untuk negara dalam hal negara bertindak sebagai pelaku usaha seperti dalam kasus BUMN. Meski demikian, tentu ada sektor-sektor tertentu yang oleh undang-undang diberi monopoli karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya, PLN.
Ditambah, perkembangan bisnis angkutan udara di Indonesia merupakan salah satu sektor yang pertumbuhannya sangat tinggi, termasuk pertambahan jumlah armada pesawat. Semestinya pertumbuhan itu juga didukung pertumbuhan beberapa sektor industri lain yang terkait, termasuk sumber daya manusia (SDM) dan deregulasinya.
Investor yang berencana mendirikan perusahan penerbangan baru harus memahami besarnya kebutuhan finansial. Kecukupan modal sangat dibutuhkan untuk mengoperasikan pesawat yang sehat dan terawat dalam rangka menjamin keselamatan dan keamanan. Sesuai dengan Undang-undang Penerbangan terbaru, sebuah maskapi penerbangan berjadwal wajib mengoperasikan pesawat sedikitnya sepuluh pesawat dengan perincian lima dimiliki dan sisanya dikuasai.
Melihat industri penerbangan yang terus tumbuh, kiranya perlu ada harmonisasi kebijakan dan aksi antara Direktoral Jenderal Perhubungan Udara (DJU), INACA (Indonesia Air Carrier Association), PGHI (Persatuan Ground Handling Indonesia), serta PT Angkas Pura (AP) I dan PT Angkasa Pura (AP) II. Sebab, otoritas penerbangan kita pernah menjadi yang terburuk di dunia saat semua pesawat yang dikeluarakan DJU dilarang terbang melintasi Eropa.
Untuk meningkatkan kualitas layanan dan keselamatan penerbangan, kebijakan merger antara perusahaan asing dan industri penerbangan komersial domestik, misalnya, perlu dilakukan. Tujuannya, mampu menghadapi liberalisasi penerbangan di Asia Tenggara dan keluar dari keterpurukan finansial yang belakangan ini melanda dunia penerbangan domestik. Merger dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari semakin banyaknya maskapai penerbangan nasional yang terus rontok dan akhirnya membahayakan penumpang.
Ismaitillah A. Nu’ad, Titik Balik Malaysia Airlines (Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universita Paramadina Jakarta) Jawa Pos Selasa 11 Maret 2014 halaman 4.




Baca tulisan menarik lainnya:

Opini Jawa Pos: Elite Politik Peduli lingkungan hidup (Awhan Satryo)



 Oleh:
Awhan Satriyo

Headline Jawa Pos, 14/3/2014, sangat menarik; Riau Jadi Sauna Raksasa. Akibat hutan yang dibakar, Kota Pekabarsu dan sekitarnya diselimuti asap tebal, laksana sauna. Tingkat kualitas udara pada level berbahaya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sedikitnya 45.591 orang di wilayah Provinsi Riau menderita penyakit karena asap. Misalnya, Ispa, pneumonia, asma, iritasi mata, dan kulit. Yang lebih ngeri, Riau potensial kehilangan generasi penerus 15-20 tahun mendatang. Generasi itu memiliki otak yang lemah karena pertumbuhannya terganggu gara-gara kabut asap.
Januari 2014 kita juga menyaksikan di layar kaca dan berbagai media, terjadinya bencara banjir dan tanah longsor di berbagai tanah air. Mari kita cermati kerugian material akibat bencana alam banjir dan tanah longsor itu! Pemerintah provinsi Sulawesi Utara (sulut) mencatat, kerugian akibat bencana di Sulut ditaksir Rp 553,39 miliar. Dari total kerugian itu, Kota Manado tercatat rugi terbesar, yakni berkisar Rp 439 miliar.
Kerugian materi akibat bencana banjir dan tanah longsor di wilayah Jawa Tengah mencapai Rp 2 triliun lebih. Jumlah tersebut diketahui setelah Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Jateng menghitung ulang, ditambah dengan laporan pemerintah kabupaten/kota. Kerugian terbesar terjadi di sektor ekonomi, yakni Rp 872,76 miliar. Kemudian, di subsektor pertanian Rp 769,52 miliar akibat banyaknya lahan yang terendam banjir, lalu mengalami puso.
Belum lagi Jakarta. Nah, total kerugian akibat banjir yang melanda banyak daerah di Indonesia pada Januari 2014 di perkirakan menelan biaya hingga Rp 50 triliun (Tribunnews.com)
Hal menarik yang perlu kita lihat adalah fenomena yang tanpa kita sadari secara langsung maupun tidak, kapitalisme merupakan biang keladi yang mengantarkan pemikiran manusia menjelma menjadi berperilaku merusak lingkungan. Prinsip kapitalis ialah mengeluarkan modal sedikit mungkin untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya.
Bagi sebagian kaum kapitalis, akal sehat (common sense) kadang-kadang tidak dipakai. Membuka lahan baru dengan cara bodoh, membakar hutan, pembalakan hutan secara membabi buta, mengoptimalkan kerja mesin dan manusia untuk mengeruk keuntungan, pembangunan rumah mewah, mall, apartemen di lahan resapan, semuanya mengesampingkan dampak buruk terhadap sesama.
Perilaku orang-orang berkuasa yang haus akan kekayaan dan kekuasaan bakal terus mempertahankan apa yang dia punya dengan cara apa pun. Perilaku-perilaku seperti itulah yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam (SDA) yang merupakan faktor produksi secara ekonomi, kemudian menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Pilihan Penguasa
Komisi Pemilihan Umum mulai 16 Maret hingga 5 April 2014 memberikan kesempatan kepada para calon wakil rakyat untuk berkampanye. Pemilu legeslatif pada 9 April adalah momentum penting bagi masyarakat untuk memilih dan mendesak partai politik dan anggota legislatif untuk melakukan kontrak politik yang berpihak pada kelestraian alam. Wakil-wakil rakyat diharapkan mereformasi tata cara pengelolaan sumber daya alam sehingga berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan bagi kemakmuran rakyat.
Namun, ironisnya, hanya 7 persen caleg yang memahami isu lingkungan. Selain tidak memahami persoalan lingkungan, banyak caleg yang terlibat bisnis yang merusak lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang telah melakukan studi kualitas caleg DPR terhadap isu lingkungan. Meraka melakukan penelusuran terhadap 6.561 caleg dari 6.601 caleg DPR yang terdaftar di KPU.
Kebijakan pengelolaan SDA adalah persoalan serius yang kerap terabaikan dalam agenda politik sehingga berujung kepada bencana dan kesengsaraan bagi rakyat. perubahan fungsi lahan hutan, pembalakan hutan, dan penggunaan air tanah yang berlebihan merupakan tiga faktor yang memicu terjadinya banjir dan kekeringan, sedangkan pembukaan lahan baru dengan membakar adalah sumber kabut asap. Masih menurut hasil survei, kerugian yang dialami karena terjadinya kerusakan lingkungan disebabkan dua hal. Yaitu, korupsi antara pengelola sumber daya alam dengan pemangku kebijakan serta lemahnya pengawasan dari pemerintah.
Dalam akuntansi, biaya yang timbul akibat kerugian adalah sama dengan hilangnya potensial kesempatan kita menikmati keuntungan. Dana akibat kerugian bencana itu akan lebih membahwa kemaslahatan apabila kita bisa mencegah terjadinya bencana. Mindset seperti itulah yang mesti ditanamkan kepada para elite politik dan masyarakat dalam mengelola SDA.
Presiden Kostarika Abel Pachecho (22 Desember 1933) pada Juli 2002 dalam sebuah deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan, membuat keputusan berani. Dia melarang praktik pertambangan terbuka walau tengah menghadapi gelombang ancaman dari pelaku pertambangan internasional yang akan menggugatnya ke pengadilan arbitrase internasional.
Seandainya perusahaan-perusahan pertambangan itu menggugat kami untuk membayar kompensasi, itu (akan kami lakukan, karena) lebih murah daripada harus membayar kerugian negara dan kehancuran lingkungan hidup


Elite Politik Peduli lingkungan hidup, Awhan Satriyo (Alumnus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta) Jawa Pos Senin 17 Maret 2014.




Baca tulisan menarik lainnya: