Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Contoh Konteks Penelitian Tesis Kualitatif

Lihat juga profil lengkap buku ke-2 A. Rifqi Amin berjudul "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner"
 

Link Terkait buku A. Rifqi Amin:
                                                                                                             




Buku pertama A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul: 

Rincian buku Sistem Pembelajaran PAI pada PTU:
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku 
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel 

Isi Lengkap Buku

Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Contoh Sinopsi Buku (Sampul Belakang)


 BUKU-BUKU KARYA A. RIFQI AMIN TERBEBAS DARI KEJAHATAN ILMIAH (UTAMANYA PLAGIASI)!!!
Baca juga:

1. Tesis Lengkap Karya A. Rifqi Amin (Tesis terbaik Tahun 2013)
2. Buku berjudul  Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Buku ke-2 Karya A. Rifqi Amin) 


Konteks Penelitian
Oleh: 
A. Rifqi Amin

Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU) merupakan mata kuliah yang sangat penting bagi pembentuk kepribadian dan karakter mahasiswa, sehingga diharapkan tujuan utama PAI (Pendidikan Agama Islam)  dalam PTU tidak hanya terfokus pada pemprosesan mahasiswa dari yang belum paham tentang agama dijadikan lebih paham, dari yang belum mampu dalam penerapan dijadikan lebih mampu, dan dari yang belum taat dalam penerapan keagamaan menjadi lebih taat. Namun lebih dari sekedar itu, PAI adalah penanaman nilai-nilai keislaman secara utuh dan universal dalam diri mahasiswa. 

Selain itu PAI juga punya peran dalam penenaman nilai-nilai karakter yang dinyatakan dalam perilaku melekat sehingga menjadi pedoman hidup. Bukan hanya pedoman hidup dalam beribadah secara normatif, namun juga pedoman hidup dalam menghadapi permasalahan kehidupan yang semakin dinamis serta adanya fenomena laju modernitas sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang semakin pesat. Salah satunya ditandai dengan fenomena manusia dalam berlomba-lomba untuk pemenuhan kebutuhan gaya hidup yang ‘ideal’ menurut kekinian.




Mahasiswa dipandang sebagai manusia yang sudah pada tahap pencapaian kematangan (kedewasaan) secara fisik, psikologis, dan cara berfikirnya. Mereka sudah mampu secara rasional pada dirinya sendiri dalam penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan pengolahan terhadap resiko untuk setiap permasalahan yang dihadapi. Maka tentulah cara belajar antara di perguruan tinggi dengan di sekolah sangatlah berbeda karena berbeda pula suasana lingkungan belajar, strategi, dan bentuk tuntutan tugas-tugasnya. Selain itu yang menjadi ciri utama di perguruan tinggi adalah adanya kegiatan-kegiatan berupa pengabdian masyarakat dan penelitian ilmiah. Semua kegiatan itu diperlukan kematangan pola fikir ilmiah yang harus dimiliki mahasiswa. 

Lebih detailnya mahasiswa sebagai pembelajar di perguruan tinggi punya perbedaan jenjang, usia, dan tingkatan kedewasaan berfikir yang lebih matang jika dibandingkan dengan pembelajar lain yang berada di tingkat pendidikan menengah seperti SMA, MA, SMK, dan MAK terlebih lagi pada tingkat pendidikan dasar seperti SMP, MTs, MI, dan SD atau bentuk lain yang sederajat. Hal ini selaras dengan pendapat Hisyam Zaini dkk. yang dikemukakan tentang “pembelajaran untuk mahasiswa di perguruan tinggi seyogyanya dibedakan dengan proses pembelajaran untuk siswa sekolah menengah.”[1] Oleh karena itu sebagaimana juga disampaikan oleh Yahya Ganda bahwa sistem pembelajaran di perguruan tinggi harus dibedakan dengan sistem pembelajaran di pendidikan tingkat menengah dan dasar.[2]
Sebagai upaya pendalaman pembahasan tentang mahasiswa maka menurut Agus M. Hardjana semua pengarahan dan masukan dari dosen kepada mahasiswa sebaiknya diolah dan dikaji penuh pendalaman (klarifikasi), serta mahasiswa seharusnya tidak sangat tergantung dan total dipengaruhi oleh pengarahan dan pemikiran dosen.[3] Hal yang semakna disampaikan oleh E. P Hutabarat bahwa bahan atau materi pembelajaran ilmu pengetahuan umum yang disajikan oleh dosen harus dikritisi oleh mahasiswa, yang mana bahan pembelajaran merupakan sebuah ‘fakta’ yang masih bisa berubah karena sebuah materi tersebut dilahirkan berdasarkan dari penelitian. Oleh karena itu dosen bukan sekedar alat penyampai informasi, namun juga dilakukan penyampaian dan pemeriksaan kembali oleh dosen terhadap dasar serta alasan kepada mahasiswa kenapa informasi tersebut harus dipercayai. Dengan asumsi mahasiswa harus aktif dalam pencarian referensi atau sumber ilmu lain yang berperan dalam peningkatan keilmuan. Walau demikian seharusnya sikap kritis dan rasional mahasiswa ini tidak menjadi sebuah ancaman bagi dosen PAI, malah sebaliknya menjadi sebuah tantangan bagi dosen PAI dalam pengembangan materi PAI sehingga bisa menjadi kajian keilmuan yang menarik seperti halnya ilmu pengetahuan umum.[4]
Hal tersebut hampir sama esensinya sebagaimana menurut Andreas Anangguru Yewangoe menyampaikan tentang sosok mahasiswa adalah seorang yang punya daya intelektual diharapkan mampu dalam proses pemilihan dan pemilahan ‘kebenaran’ sebuah persoalan secara kritis dan objektif. Selain itu mahasiswa dalam pergaulan sehari-hari dipandang cenderung mampu untuk penolongan seseorang dalam pengambilan jarak dengan permasalahan-permasalah dan mampu dalam pemberian solusi untuk membantu seseorang.[5] Dengan demikian mahasiswa sebagai manusia ‘ilmiah’ bisa berperilaku serta berfikir ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya saat di perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.[6] Oleh karena itu rasa cinta pada ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu pendidikan Islam secara integratif hendaknya tetap dimiliki mahasiswa setelah lulus.
Dalam PTU selama ini masih ditemui mahasiswa Islam yang lebih terfokus pada pendalaman ilmu pengetahuan umum sehingga terjadi pengabaian ilmu pengetahuan agama yang tersedia dalam mata kuliah PAI. Tentulah dosen mata kuliah PAI sebagai pendidik memiliki peran utama dan sangat penting dalam perencanaan, pengontrolan, dan pengevaluasian sistem pembelajaran PAI di PTU. Jika sebuah sistem pembelajaran PAI tidak direncanakan secara matang yang dilandaskan pada karakter, latar belakang, minat, bakat, tingkat kecerdasan, tingkat pemahaman tentang agama Islam, dan orientasi mahasiswa dalam berkuliah maka dapat berakibat sebuah sistem pembelajaran PAI tidak akan berjalan dengan lancar, normal, efektif, efisien, serta tidak tercapainya sebuah tujuan pembelajaran secara utuh.
Sebagaimana menurut konstitusi bahwa pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan rumpun Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dalam struktur Mata Kuliah Umum (MKU) yang di dalamnya ada pemahaman serta dilakukan pengembangan filosofis untuk berkembangnya kepribadian mahasiswa. Dengan kata lain MPK memuat kaidah-kaidah dengan tingkat filosofis yang cukup tinggi dengan maksud agar timbul keingintahuan mahasiswa dalam pemahaman, penghayatan, pendalaman, dan pengamalan atas ilmunya. Oleh karena itu PAI sebagai salah satu mata kuliah yang dikatagorikan masuk dalam kurikulum inti diusahakan bisa membentuk karakter, watak, kepribadian, dan sikap serta wawasan beragama dalam kehidupan sosial. Mata Kuliah PAI diharapkan juga mampu menjadi landasan dan pencerahan bagi mahasiswa dalam pengembangan ilmu umum yang ditekuninya sesuai dengan program studi yang ia ambil.[7] Oleh Karena itu pengembangan materi PAI hendaknya harus disesuaikan dengan prodi yang dipilih mahasiswa, dengan artian dosen aktif dalam pemberian materi wawasan dan pedoman pada mahasiswa yang muatannya selaras dengan program studinya.
Sebuah penelitian dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI pada tahun 2010 pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri (PTUN) yang ternama di Indonesia yaitu UDAYANA, UNDANA, UNHAS, UI, UNDIP, UNPAD, dan UGM dari hasilnya ditunjukkan bahwa sistem pembelajaran Pendidikan Agama (bukan hanya agama Islam) pengaruh yang dimilikinya  merupakan terkecil terhadap toleransi beragama pada mahasiswa dibandingkan dengan komponen lain misalnya adalah lingkungan pendidikan secara luas memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung yang lebih besar terhadap toleransi beragama.[8] Selain itu juga berdasar hasil penelitian Kasinyo Harto di Universitas Sriwijaya Palembang dari hasilnya ditunjukkan yang mana di sana terdapat beberapa organisasi gerakan keagamaan ekstra kampus yang pendekatannya pada kajian keagamaan lebih cenderung bernuansa normatif-doktriner, yaitu suatu pendekatan yang dibangun atas norma-norma keagamaan (wahyu) dengan pola top down dan deduktif tanpa keterlibatan pertimbangan nalar, konteks historis, sosial, dan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat.[9] Dapat disimpulkan bahwa nampak dari hasil penelitian tersebut terjadi pola fikir dan tindakan mahasiswa yang ekslusif (tertutup).  
Dua temuan di atas menunjukkan salah satu komponen dari sistem pembelajaran Pendidikan Agama termasuk Pembelajaran PAI belum berjalan secara integral. Misalnya komponen tujuan dalam sistem pembelajaran belum diarahkan atau ditekankan pada pentingnya bertoleransi agama yang baik dan benar. Salah satunya bertoleransi yang Islami adalah menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non muslim  yang lemah, menjadi muslim yang mayoritas untuk pengayoman terhadap minoritas, dan menjadi muslim yang kokoh sebagai penjaga non muslim yang rapuh. Dan juga tentunya toleransi kepada sesama umat Islam sendiri yang punya perbedaan pandangan terhadap ajaran Islam sehingga ke depannya nanti diharapkan tidak ada mahasiswa yang berpola fikir ekslusif tanpa dilakukan syiar Islam yang cinta dalam pembangunan peradaban, radikal secara buta tanpa pendalaman teks dengan konteks masyarakat secara bersamaan, dan fanatik yang  pada waktu dan tempat yang salah.
Jika ditinjau dari segi alokasi waktu mata kuliah PAI di PTU yang secara formal hanya 2 sks (16 kali tatap muka) dan hanya pada 1 semester saja hingga wisuda  adalah alokasi yang sangat minim untuk tercapainya tujuan pembelajaran secara umum. Oleh karena itu mahasiswa harus punya kesadaran dalam pendalaman dan pengkajian ajaran Islam secara non formal dengan cara ikut serta berbagai kegiatan dan diskusi keagamaan di luar jam kuliah.[10] Maka jika dikaji lebih jauh bagaimana mungkin pembelajaran PAI di PTU bisa dihasilkan generasi umat yang unggul apabila dalam sistem pembelajaran pendidikannya tidak unggul dan berkualitas dengan alokasi yang minim.
Kualitas sistem pembelajaran PAI terwujud tidak hanya karena sebuah kebetulan atau kepasrahan buta pada Tuhan namun diusahakan serta direncanakan. Oleh sebab itu perlu adanya pengkajian dan pendalaman khusus tentang sistem pembelajaran PAI di PTU. Pembelajaran PAI selama ini dipandang sebelah mata oleh kebanyakan kalangan masyarakat baik yang awam maupun yang punya keahlian dan ilmu. Cara pandang seperti itu disebabkan karena PAI selama ini hanyak diidentikan dengan ketertinggalan karena sifatnya yang dianggap tidak mau berubah dan cederung tetap dari dulu hingga sekarang mulai dari metode, materi, tujuan, hingga teknologi atau media pembelajarannya.
Memang dari tinjauan ajaran dan kandungannya, materi PAI lebih banyak bersifat dogmatis dan statis dari zaman Nabi Muhammad hingga kiamat. Belum lagi jika ditambahi dengan pengaruh-pengaruh tertentu dari salah satu golongan atau paham tentang keagamaan Islam maka doktrinasi dan penanaman nilai menjadi bertambah kuat serta radikal. Namun demikian semangat serta cara perjuangan dan penyebarluasan syiar Islam tidak bersifat statis melainkan dinamis, luwes, dan universal sehingga sistem pembelajaran PAI bisa disandingkan dengan laju modernitas. Salah satu caranya menurut Wina Sanjaya adalah dengan cara pengaitan atau adanya rajutan interaksi antara materi (muatan kurikulum) dan pendidik (dosen) PAI dengan materi beserta pendidik non-PAI dan sarana prasarananya.[11]
Dalam Islam kehadiran pendidik PAI tidak hanya sebagai penghakim tentang benar dan salah, pembimbing peserta didik dalam perjalanan belajar, dan sebagai perpanjangan tangan ilmu-ilmu atau ajaran dari para ulama pendahulu saja. Namun pendidik dalam Islam merupakan pewaris para nabi, tidak hanya pewaris ilmu-ilmu nabi namun juga pewaris sifat-sifat nabi yaitu patut menjadi contoh, kepemilikan semangat dalam perjuangan agama Islam (bukan perjuangan dengan paksaan dan kekerasan namun dengan cara kelembuatan dan kasih sayang), dan pendidikan terhadap umat dengan Yoemangat pembaruan (mendobrak tatanan yang mapan untuk kemajuan umat). Oleh karena itu dalam upaya pembaruan dan pengembangan PAI di PTU terlebih dahulu perlu adanya pendalaman terlebih dahulu tentang bagaimana kinerja dari tatanan sistem pembelajaran PAI di PTU.
Sistem pembelajaran PAI pada kurikulum di PTU dapat diumpamakan sebagai salah satu dari beberapa tatatan sistem pada organisme (individu). Pada organisme terdapat sistem peredaran darah, sistem pencernaan, dan sistem pernafasan yang mana di dalam sistem-sistem tersebut terdapat organ-organ yang memiliki fungsi yang adakalanya satu sama lain saling bergantung. Begitu juga pada kurikulum yang dipadankan dengan organisme maka di dalamnya terdapat salah satu sistem yaitu sistem pembelajaran PAI yang juga terdiri dari beberapa ‘organ’ atau komponen yang terbentuk saling bekerja sama untuk pewujudan tujuan khusus. Bisa disimpulkan pengkajian sistem pembelajaran PAI di PTU sangat diperlukan untuk diarahkan pada penelusuran kelemahan dan kekuatannya sehingga tidak ada kesan pelaksanaan mata kuliah PAI di PTU hanya untuk pemenuhan kewajiban undang-undang semata.
Sebagaimana yang telah diketahui secara jamak tentang pemberian mata kuliah PAI di PTU merupakan hak bagi setiap mahasiswa yang beragama Islam sebagai peserta didik dan merupakan kewajiban bagi perguruan tinggi untuk memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam BAB V tentang Peserta Didik pada Pasal 12 Ayat 1 yang diamanatkan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama,.” Serta diacukan pada BAB X tentang Kurikulum pada Pasal 37 Ayat 2 dinyatakan “kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan agama; b. Pendidikan kewarganegaraan; c. Bahasa.”[12]
Seiring dengan berjalannya waktu sejak penetapan Undang-undang tersebut peraturan tersebut banyak dilaksanakan oleh PTU. Tidak terkecuali Universitas Nusantara PGRI Kediri untuk seterusnya nanti sesuai dengan Pedoman Akademik disingkat dengan UNP Kediri[13]. Berdasarkan informasi dari studi pendahuluan yang dilakukan bahwa UNP Kediri pada setiap Program Studi (selanjutnya nanti disebut dengan Prodi) yang berjumlah 22 Prodi dari 5 Fakultas yang ada semuanya terdapat mata kuliah PAI. Walaupun ada beberapa prodi yang belum melaksanakan mata kuliah PAI secara optimal karena prodi tersebut masih baru berdiri dan untuk mata kuliah PAI-nya dialokasikan pada semester akhir (semester delapan). Sebagaimana menurut Kaprodi PGSD dinyatakan “berhubung PGSD adalah prodi baru maka prodi kami belum menyelenggarakan mata kuliah agama karena sebaran mata kuliah yang sangat padat, sehingga kami meletakkannya di semeseter akhir [semester delapan]”.[14]  
Namun perlu ditegaskan yang menjadi beberapa alasan logis pemilihan UNP Kediri sebagai tempat penelitian adalah UNP termasuk perguruan tinggi besar jika dibandingkan dengan perguruan tinggi lain di karisidenan Kediri yang memiliki lebih dari 15.000 mahasiswa yang mayoritanya adalah beragama Islam[15] dan memiliki 22 Prodi dari 5 Fakultas yang ada.[16] Dengan ditemukannya data tersebut maka jika dikontekskan dengan keadaan sosiogeografi Kediri dapat diambil pernyataan di UNP Kediri mahasiswanya sangat heterogen atau beragam terutama jika didasarkan pada minat mahasiswa dalam pemilihan prodi walaupun ada prodi-prodi tertentu yang gemuk salah satunya adalah prodi Penjaskesrek.[17] Oleh Karena itu untuk penanggulangan serta pengelolaan atas realitas tersebut perlu adanya sebuah sistem pembelajaran PAI yang tentu berbeda dengan sistem pembelajaran di perguruan-perguruan tinggi yang berbentuk sekolah tinggi, politeknik, apalagi akademik yang lebih cenderung homogen.




Selain itu berdasarkan observasi dari studi pendahulun terdapat penemuan Masjid bernama an-Nur yang padanya diselenggarakan Salat Jumat dengan bukti ada tulisan peringatan pada saat Kutbah Salat Jumat berlangsung dilarang ramai di sekitar Masjid.[18] Dan di dalam Masjid tersebut juga didirikan sholat Dhuhur, Ashar, dan Maghrib yang aktivitas Salat berjamaah tersebut diikuti oleh peneliti dengan jumlah jamaah putranya tidak kurang dari 20 orang dan untuk jumlah jamaah putrinya lebih dari 7 orang. Dan kadang kala terutama pada sholat Maghrib juga terdapat jamaah-jamaah Salat lain karena disebabkan tempatnya sudah tidak mampu lagi menampung dan juga karena terlambat datang sehinggi didirikanlah jamaah sendiri.[19]
Hal unik lainnya adalah UNP Kediri juga memiliki organisasi mahasiswa yang berbasis pada agama Islam yang bernama Unit Kegiataan Kerohanian Islam (UKKI) yang olehnya sering diadakan kegiatan-kegiatan keislaman di kampus.[20] Fenomena lain yang menjadi daya tarik dan alasan untuk dilakukan penelitian tindak lanjut adalah berdasarkan observasi awal di halaman kampus terdapat banyaknya mahasiswa putri yang berjilbab, jika dikalkulasikan berdasarkan prosentasi adalah berjumlah antara 30-45% dari seluruh mahasiswa putri yang berada di halaman kampus aktif dalam pemakaian jilbab sebagai indikasi terhadap penggunaan simbol-simbol Islam.[21] Berdasarkan temuan awal penelitian tersebut dipandang perlu untuk diadakan penelitian tindak lanjut karena untuk pendalaman apakah data-data awal yang telah ditemukan tersebut merupakan hasil kompetensi lulusan dari sistem pembelajaran mata kuliah PAI yang cukup berhasil atau ada faktor lain yang menjadi penyebab perilaku mahasiswa secara simbolik bercirikan Islam.
Dengan demikian dipandang perlu untuk dilakukan penelitian tentang pembelajaran PAI di PTU karena menurut sebagian kalangan bahwa PTU pada dasarnya masih dipengaruhi oleh pola atau tradisi lama yaitu pendidikan umum dipandang lebih cenderung dan dominan untuk dikaji serta fokus dalam pengembangan ilmu pengetahuan umum saja. Fenomena tersebut dikawatirkan terjadi pengabaian terhadap PAI di lembaga pendidikan umum. Penelitian ini diharapakan juga bisa menjadi penemu jawaban dari asumsi dan pertanyaan-pertanyaan skeptis dan cenderung bersifat minor tentang pelaksanaan pembelajaran PAI di PTU.
UNP Kediri merupakan lembaga Perguruan Tinggi yang punya keunggulan terutama dalam hal jumlah mahasiswanya yang sangat banyak dibandingkan perguruan tinggi lain di lingkungan Karisidenan Kediri. Jumlah yang banyak tersebut didukung oleh berbagai latar belakang mahasiswa yang berbeda, baik latar pendidikan pada jenjang pendidikan menengahnya, pemahaman terhadap agama Islam, dan orientasi masuk atau menjadi mahasiswa UNP Kediri. Oleh Karena itu dipandang sangat perlu diadakan penelitian tentang sistem pembelajaran PAI di UNP Kediri sebagai kampus yang populer dan terbesar di Karesidenan Kediri.
Berangkat dari fenomena-fenomena dan keunikan permasalahan yang penulis temukan dalam studi pendahuluan yang masih bersifat mendasar serta masih berupa gambaran umum dan bersifat sementara maka dapat disimpulkan sangat perlu diadakan penelitian tindak lanjut secara mendalam di UNP Kediri. Dan dapat disadari penelitian tindak lanjut ini sangat diperlukan untuk diperoleh sebuah kesimpulan yang komperhensif, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain prasangka tanpa dasar akan menjadi simpang siur jika tidak dicari kebenarannya melalui sebuah penelitian ilmiah. Oleh karena itu berdasarkan pemaparan di atas, perlu diadakan penelitian ilmiah  sebagai tindak lanjut yang dalam konteks pembahasan ini disebut tesis yang bertempat di UNP Kediri kemudian dikembangkan ke dalam judul “SISTEM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA PERGURUAN TINGGI UMUM (STUDI KASUS DI UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI).”


[1]Hisyam Zaini, Desain Pembelajaran di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Center for Teaching Staff Development IAIN Yogyakarta, 2002), 4.
[2]Yahya Ganda, Petunjuk Praktis: Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo, 2004), x.
[3]Agus M. Hardjana, Kiat Sukses Studi di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 34.
[4]E.P. Hutabarat, Cara Belajar: Pedoman Praktis untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa saja yang Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), 115-116.
[5]Andreas Anangguru Yewangoe, “Agama dan Kerukuanan,” Buku Google, http:// books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. 40.
[6]Ganda, Petunjuk Praktis: Cara, 2.
[7]Abidin Nurdin, “Pendidikan Agama, Multikulturalisme & Kearipan Lokal (Internalisasi Nilai-nilai Agama pada Perguruan Tinggi Umum Menuju Kerukunan Umat Beragama),” Jurnal Penamas, Vol. XXIV No. 2  (2011), Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta,  179.
[8]Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Negeri Umum Negeri) (Jakarta: Maloho Jaya Abadi,2010), 139.
[9]Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2008), xvii.
[10]Wahyudin dkk., “Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi,” Buku Google, http:// books.google.co.id/books?isbn=9790258623, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. x-xi.
[11]Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2008), 5.
[12]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya, Jakarta: Cemerlang, 2003.
[13]Walaupun letaknya di kawasan adminsitratif Kota Kediri namun dalam buku pedoman akademik Universitas Nusantara PGRI Kediri BAB III Pasal 6 tentang batasan dan pengertian  ayat 1 diterangkan yang dimaksud “universitas adalah Universitas Nusantara PGRI Kediri yang selanjutnya disingkat UNP Kediri.” Lihat Buku Pedoman Akademi UNP Kediri halaman 10.
[14]Endang Sri Mujiwati, Kaprodi PGSD UNP Kediri, Kantor Kaprodi PGSD UNP Kediri, 14 Maret 2013.
[15]Nur Sokhib, Dosen PAI Prodi Penjaskesrek dan Prodi PKn, Tempat Piket Guru SMA 7 Kota Kediri, 09 Februari 2013.
[16]“Data Program Studi UNP Kediri,” UNP Kediri, http:// www.unpkediri.ac.id/?p=tabel&inis=prodi, diakses tanggal 09 Februari 2013.
[17]Staff Kaprodi Penjaskesrek, Ruang Kantor Kaprodi Penjaskesrek UNP Kediri, 11 Maret 2013.
[18]Observasi, di UNP Kediri, 11 Desember 2012.
[19]Observasi, di UNP Kediri, 11, 25,  dan 27 Februari dan 14 Maret  2013.
[20]Anonim, Mahasiswa Prodi Ekonomi Akuntasi semeseter IV, Pusat Fotocopy Selatan Masjid UNP Kediri, 11 Februari 2013.
[21]Observasi, di UNP Kediri, 11,19 Desember 2012 dan 11 Februari 2013.




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Contoh Konteks Penelitian Tesis Kualitatif"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*