Lihat juga profil lengkap buku ke-2 A. Rifqi Amin berjudul "Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner"
Link
Terkait buku A. Rifqi Amin:
Buku pertama A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun)
berjudul:
Rincian buku Sistem Pembelajaran PAI pada PTU:
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Contoh Sinopsi Buku (Sampul Belakang)
BUKU-BUKU KARYA A. RIFQI AMIN TERBEBAS DARI KEJAHATAN ILMIAH (UTAMANYA PLAGIASI)!!!
2. Buku berjudul Pengembangan Pendidikan Agama Islam: Reinterpretasi Berbasis Interdisipliner (Buku ke-2 Karya A. Rifqi Amin)
Konteks Penelitian
Oleh:
A. Rifqi Amin
Konteks Penelitian
Oleh:
A. Rifqi Amin
Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum (PTU)
merupakan mata kuliah yang sangat penting bagi pembentuk kepribadian dan karakter
mahasiswa, sehingga diharapkan tujuan utama PAI (Pendidikan Agama Islam) dalam PTU tidak hanya terfokus pada pemprosesan mahasiswa dari yang belum paham tentang agama dijadikan lebih paham, dari yang belum mampu
dalam penerapan dijadikan lebih mampu, dan dari yang belum taat dalam penerapan
keagamaan menjadi lebih taat. Namun lebih dari sekedar itu,
PAI adalah penanaman
nilai-nilai keislaman secara utuh dan universal dalam diri mahasiswa.
Selain itu PAI juga punya peran dalam penenaman nilai-nilai karakter yang dinyatakan dalam perilaku melekat sehingga menjadi pedoman hidup. Bukan hanya pedoman hidup dalam beribadah secara normatif, namun juga pedoman hidup dalam menghadapi permasalahan kehidupan yang semakin dinamis serta adanya fenomena laju modernitas sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang semakin pesat. Salah satunya ditandai dengan fenomena manusia dalam berlomba-lomba untuk pemenuhan kebutuhan gaya hidup yang ‘ideal’ menurut kekinian.
Selain itu PAI juga punya peran dalam penenaman nilai-nilai karakter yang dinyatakan dalam perilaku melekat sehingga menjadi pedoman hidup. Bukan hanya pedoman hidup dalam beribadah secara normatif, namun juga pedoman hidup dalam menghadapi permasalahan kehidupan yang semakin dinamis serta adanya fenomena laju modernitas sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang semakin pesat. Salah satunya ditandai dengan fenomena manusia dalam berlomba-lomba untuk pemenuhan kebutuhan gaya hidup yang ‘ideal’ menurut kekinian.
Mahasiswa
dipandang sebagai manusia yang sudah pada tahap pencapaian kematangan
(kedewasaan) secara fisik, psikologis, dan cara berfikirnya. Mereka sudah mampu
secara rasional pada dirinya sendiri dalam penentuan sikap, pengambilan
keputusan, dan pengolahan terhadap resiko untuk setiap permasalahan yang
dihadapi. Maka tentulah cara belajar antara di perguruan tinggi dengan di
sekolah sangatlah berbeda karena berbeda pula suasana lingkungan belajar,
strategi, dan bentuk tuntutan tugas-tugasnya. Selain itu yang menjadi ciri
utama di perguruan tinggi adalah adanya kegiatan-kegiatan berupa pengabdian
masyarakat dan penelitian ilmiah. Semua kegiatan itu diperlukan kematangan pola
fikir ilmiah yang harus dimiliki mahasiswa.
Lebih detailnya mahasiswa sebagai pembelajar di perguruan tinggi punya perbedaan jenjang, usia, dan tingkatan kedewasaan berfikir yang lebih matang jika dibandingkan dengan pembelajar lain yang berada di tingkat pendidikan menengah seperti SMA, MA, SMK, dan MAK terlebih lagi pada tingkat pendidikan dasar seperti SMP, MTs, MI, dan SD atau bentuk lain yang sederajat. Hal ini selaras dengan pendapat Hisyam Zaini dkk. yang dikemukakan tentang “pembelajaran untuk mahasiswa di perguruan tinggi seyogyanya dibedakan dengan proses pembelajaran untuk siswa sekolah menengah.”[1] Oleh karena itu sebagaimana juga disampaikan oleh Yahya Ganda bahwa sistem pembelajaran di perguruan tinggi harus dibedakan dengan sistem pembelajaran di pendidikan tingkat menengah dan dasar.[2]
Lebih detailnya mahasiswa sebagai pembelajar di perguruan tinggi punya perbedaan jenjang, usia, dan tingkatan kedewasaan berfikir yang lebih matang jika dibandingkan dengan pembelajar lain yang berada di tingkat pendidikan menengah seperti SMA, MA, SMK, dan MAK terlebih lagi pada tingkat pendidikan dasar seperti SMP, MTs, MI, dan SD atau bentuk lain yang sederajat. Hal ini selaras dengan pendapat Hisyam Zaini dkk. yang dikemukakan tentang “pembelajaran untuk mahasiswa di perguruan tinggi seyogyanya dibedakan dengan proses pembelajaran untuk siswa sekolah menengah.”[1] Oleh karena itu sebagaimana juga disampaikan oleh Yahya Ganda bahwa sistem pembelajaran di perguruan tinggi harus dibedakan dengan sistem pembelajaran di pendidikan tingkat menengah dan dasar.[2]
Sebagai
upaya pendalaman pembahasan tentang mahasiswa maka menurut Agus M. Hardjana
semua pengarahan dan masukan dari dosen kepada mahasiswa sebaiknya diolah dan
dikaji penuh pendalaman (klarifikasi), serta mahasiswa seharusnya tidak sangat
tergantung dan total dipengaruhi oleh pengarahan dan pemikiran dosen.[3]
Hal yang semakna disampaikan oleh E. P Hutabarat bahwa bahan atau materi pembelajaran
ilmu pengetahuan umum yang disajikan oleh dosen harus dikritisi oleh mahasiswa,
yang mana bahan pembelajaran merupakan sebuah ‘fakta’ yang masih bisa berubah
karena sebuah materi tersebut dilahirkan berdasarkan dari penelitian. Oleh
karena itu dosen bukan sekedar alat penyampai informasi, namun juga dilakukan
penyampaian dan pemeriksaan kembali oleh dosen terhadap dasar serta alasan kepada
mahasiswa kenapa informasi tersebut harus dipercayai. Dengan asumsi mahasiswa
harus aktif dalam pencarian referensi atau sumber ilmu lain yang berperan dalam
peningkatan keilmuan. Walau demikian seharusnya sikap kritis dan rasional
mahasiswa ini tidak menjadi sebuah ancaman bagi dosen PAI, malah sebaliknya
menjadi sebuah tantangan bagi dosen PAI dalam pengembangan materi PAI sehingga
bisa menjadi kajian keilmuan yang menarik seperti halnya ilmu pengetahuan umum.[4]
Hal
tersebut hampir sama esensinya sebagaimana menurut Andreas Anangguru
Yewangoe menyampaikan tentang sosok mahasiswa adalah seorang yang punya
daya intelektual diharapkan mampu dalam proses pemilihan dan pemilahan ‘kebenaran’
sebuah persoalan secara kritis dan objektif. Selain itu mahasiswa dalam
pergaulan sehari-hari dipandang cenderung mampu untuk penolongan seseorang dalam
pengambilan jarak dengan permasalahan-permasalah dan mampu dalam pemberian solusi
untuk membantu seseorang.[5]
Dengan demikian mahasiswa sebagai manusia ‘ilmiah’ bisa berperilaku serta
berfikir ilmiah, memiliki nalar yang kritis, logis, dan sistematis tidak hanya
saat di perguruan tinggi saja namun saat lulus studi dari perguruan tinggi.[6]
Oleh karena itu rasa cinta pada ilmu pengetahuan umum sekaligus ilmu pendidikan
Islam secara integratif hendaknya tetap dimiliki mahasiswa setelah lulus.
Dalam PTU
selama ini masih ditemui mahasiswa Islam yang lebih terfokus pada pendalaman
ilmu pengetahuan umum sehingga terjadi pengabaian ilmu pengetahuan agama yang
tersedia dalam mata kuliah PAI. Tentulah dosen mata kuliah PAI sebagai pendidik
memiliki peran utama dan sangat penting dalam perencanaan, pengontrolan, dan pengevaluasian
sistem pembelajaran PAI di PTU. Jika sebuah sistem pembelajaran PAI tidak
direncanakan secara matang yang dilandaskan pada karakter, latar belakang,
minat, bakat, tingkat kecerdasan, tingkat pemahaman tentang agama Islam, dan
orientasi mahasiswa dalam berkuliah maka dapat berakibat sebuah sistem
pembelajaran PAI tidak akan berjalan dengan lancar, normal, efektif, efisien, serta
tidak tercapainya sebuah tujuan pembelajaran secara utuh.
Sebagaimana
menurut konstitusi bahwa pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan rumpun Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) dalam struktur Mata Kuliah Umum
(MKU) yang di dalamnya ada pemahaman
serta dilakukan pengembangan filosofis untuk berkembangnya kepribadian mahasiswa.
Dengan kata lain MPK memuat kaidah-kaidah dengan tingkat filosofis yang cukup
tinggi dengan maksud agar timbul keingintahuan mahasiswa dalam pemahaman, penghayatan,
pendalaman, dan pengamalan atas ilmunya. Oleh karena itu PAI sebagai salah satu
mata kuliah yang dikatagorikan masuk dalam kurikulum inti diusahakan bisa
membentuk karakter, watak, kepribadian, dan sikap serta wawasan beragama dalam
kehidupan sosial. Mata Kuliah PAI diharapkan juga mampu menjadi landasan dan
pencerahan bagi mahasiswa dalam pengembangan ilmu umum yang ditekuninya sesuai
dengan program studi yang ia ambil.[7] Oleh Karena itu
pengembangan materi PAI hendaknya harus disesuaikan dengan prodi yang dipilih
mahasiswa, dengan artian dosen aktif dalam pemberian materi wawasan dan pedoman
pada mahasiswa yang muatannya selaras dengan program studinya.
Sebuah
penelitian dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI pada tahun
2010 pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri (PTUN) yang ternama di Indonesia yaitu
UDAYANA, UNDANA, UNHAS, UI, UNDIP, UNPAD, dan UGM dari hasilnya ditunjukkan
bahwa sistem pembelajaran Pendidikan Agama (bukan hanya agama Islam) pengaruh
yang dimilikinya merupakan terkecil
terhadap toleransi beragama pada mahasiswa dibandingkan dengan komponen lain
misalnya adalah lingkungan pendidikan secara luas memiliki pengaruh langsung
maupun tidak langsung yang lebih besar terhadap toleransi beragama.[8] Selain itu juga berdasar
hasil penelitian Kasinyo Harto di Universitas Sriwijaya Palembang dari hasilnya
ditunjukkan yang mana di sana terdapat beberapa organisasi gerakan keagamaan
ekstra kampus yang pendekatannya pada kajian keagamaan lebih cenderung
bernuansa normatif-doktriner, yaitu suatu pendekatan yang dibangun atas
norma-norma keagamaan (wahyu) dengan pola top
down dan deduktif tanpa keterlibatan pertimbangan nalar, konteks historis,
sosial, dan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat.[9] Dapat disimpulkan bahwa nampak
dari hasil penelitian tersebut terjadi pola fikir dan tindakan mahasiswa yang
ekslusif (tertutup).
Dua temuan di
atas menunjukkan salah satu komponen dari sistem pembelajaran Pendidikan Agama
termasuk Pembelajaran PAI belum berjalan secara integral. Misalnya komponen
tujuan dalam sistem pembelajaran belum diarahkan atau ditekankan pada
pentingnya bertoleransi agama yang baik dan benar. Salah satunya bertoleransi
yang Islami adalah menjadi muslim yang kuat sebagai pelindung non muslim yang lemah, menjadi muslim yang mayoritas
untuk pengayoman terhadap minoritas, dan menjadi muslim yang kokoh sebagai
penjaga non muslim yang rapuh. Dan juga tentunya toleransi kepada sesama umat Islam
sendiri yang punya perbedaan pandangan terhadap ajaran Islam sehingga ke
depannya nanti diharapkan tidak ada mahasiswa yang berpola fikir ekslusif tanpa
dilakukan syiar Islam yang cinta dalam pembangunan peradaban, radikal secara
buta tanpa pendalaman teks dengan konteks masyarakat secara bersamaan, dan
fanatik yang pada waktu dan tempat yang
salah.
Jika ditinjau dari segi alokasi waktu mata kuliah PAI di PTU
yang secara formal hanya 2 sks (16 kali tatap muka) dan hanya pada 1 semester
saja hingga wisuda adalah alokasi yang
sangat minim untuk tercapainya tujuan pembelajaran secara umum. Oleh karena itu
mahasiswa harus punya kesadaran dalam pendalaman dan pengkajian ajaran Islam
secara non formal dengan cara ikut serta berbagai kegiatan dan diskusi
keagamaan di luar jam kuliah.[10]
Maka jika dikaji lebih jauh bagaimana mungkin pembelajaran
PAI di PTU bisa dihasilkan generasi umat yang unggul apabila
dalam sistem pembelajaran
pendidikannya tidak unggul dan berkualitas dengan alokasi
yang minim.
Kualitas sistem pembelajaran PAI terwujud tidak hanya karena
sebuah kebetulan atau
kepasrahan buta pada Tuhan namun diusahakan serta direncanakan. Oleh sebab itu
perlu adanya pengkajian dan pendalaman khusus tentang sistem
pembelajaran PAI di PTU.
Pembelajaran PAI selama ini dipandang sebelah mata oleh kebanyakan kalangan
masyarakat baik yang awam maupun yang punya keahlian dan ilmu. Cara pandang seperti itu disebabkan karena
PAI selama ini hanyak diidentikan dengan ketertinggalan karena sifatnya yang dianggap tidak mau
berubah dan cederung tetap dari dulu hingga sekarang mulai dari metode, materi,
tujuan, hingga teknologi atau media pembelajarannya.
Memang dari
tinjauan ajaran dan
kandungannya, materi PAI lebih banyak bersifat dogmatis dan statis dari zaman Nabi Muhammad
hingga kiamat. Belum lagi jika ditambahi dengan pengaruh-pengaruh
tertentu dari salah satu golongan atau paham tentang keagamaan Islam maka doktrinasi
dan penanaman nilai menjadi bertambah kuat serta radikal. Namun demikian semangat serta cara perjuangan dan penyebarluasan syiar Islam tidak bersifat statis
melainkan dinamis, luwes, dan universal sehingga sistem pembelajaran PAI
bisa disandingkan dengan laju modernitas. Salah satu caranya menurut Wina Sanjaya adalah
dengan cara pengaitan atau adanya rajutan interaksi antara materi (muatan
kurikulum) dan pendidik (dosen) PAI dengan materi beserta pendidik non-PAI dan
sarana prasarananya.[11]
Dalam Islam kehadiran pendidik
PAI tidak hanya sebagai
penghakim tentang benar dan salah, pembimbing peserta didik dalam perjalanan belajar, dan
sebagai perpanjangan tangan ilmu-ilmu atau ajaran dari para ulama pendahulu saja. Namun pendidik dalam Islam merupakan pewaris para nabi, tidak
hanya pewaris ilmu-ilmu
nabi namun juga pewaris sifat-sifat nabi yaitu patut menjadi contoh, kepemilikan semangat dalam perjuangan agama Islam (bukan perjuangan dengan paksaan dan kekerasan namun
dengan cara kelembuatan dan kasih sayang), dan pendidikan
terhadap umat dengan Yoemangat pembaruan (mendobrak tatanan yang mapan untuk kemajuan umat). Oleh karena itu dalam upaya pembaruan dan
pengembangan PAI di PTU terlebih
dahulu perlu adanya pendalaman terlebih dahulu tentang bagaimana
kinerja dari tatanan sistem pembelajaran PAI di PTU.
Sistem pembelajaran PAI pada kurikulum
di PTU dapat diumpamakan
sebagai salah satu dari beberapa tatatan sistem pada organisme (individu).
Pada organisme terdapat sistem peredaran darah, sistem pencernaan, dan sistem
pernafasan yang mana di dalam sistem-sistem tersebut terdapat organ-organ yang memiliki fungsi yang adakalanya satu sama lain saling bergantung. Begitu
juga pada kurikulum yang dipadankan dengan organisme maka di dalamnya terdapat
salah satu sistem yaitu sistem pembelajaran PAI yang juga terdiri dari beberapa
‘organ’ atau komponen yang terbentuk saling bekerja sama untuk pewujudan tujuan
khusus. Bisa disimpulkan pengkajian sistem pembelajaran PAI di PTU sangat
diperlukan untuk diarahkan pada penelusuran kelemahan dan kekuatannya sehingga
tidak ada kesan pelaksanaan mata kuliah PAI di PTU hanya untuk pemenuhan
kewajiban undang-undang semata.
Sebagaimana yang telah diketahui secara
jamak tentang pemberian mata
kuliah PAI di PTU merupakan hak bagi setiap mahasiswa yang beragama Islam
sebagai peserta didik dan merupakan kewajiban bagi perguruan tinggi untuk
memuat pendidikan agama dalam kurikulumnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan
amanat Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam BAB V tentang Peserta Didik pada Pasal 12 Ayat 1 yang
diamanatkan “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a)
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama,.” Serta diacukan pada BAB X tentang Kurikulum pada Pasal
37 Ayat 2 dinyatakan “kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan
agama; b. Pendidikan kewarganegaraan; c. Bahasa.”[12]
Seiring
dengan berjalannya waktu sejak penetapan Undang-undang tersebut peraturan
tersebut banyak dilaksanakan oleh PTU. Tidak terkecuali Universitas Nusantara
PGRI Kediri untuk seterusnya nanti sesuai dengan Pedoman Akademik disingkat
dengan UNP Kediri[13]. Berdasarkan informasi
dari studi pendahuluan yang dilakukan bahwa UNP Kediri pada setiap Program
Studi (selanjutnya nanti disebut dengan Prodi) yang berjumlah 22 Prodi dari 5
Fakultas yang ada semuanya terdapat mata kuliah PAI. Walaupun ada beberapa
prodi yang belum melaksanakan mata kuliah PAI secara optimal karena prodi
tersebut masih baru berdiri dan untuk mata kuliah PAI-nya dialokasikan pada
semester akhir (semester delapan). Sebagaimana menurut Kaprodi PGSD dinyatakan “berhubung
PGSD adalah prodi baru maka prodi kami belum menyelenggarakan mata kuliah agama
karena sebaran mata kuliah yang sangat padat, sehingga kami meletakkannya di
semeseter akhir [semester delapan]”.[14]
Namun perlu ditegaskan
yang menjadi beberapa alasan logis pemilihan UNP Kediri sebagai tempat
penelitian adalah UNP termasuk perguruan tinggi besar jika dibandingkan dengan
perguruan tinggi lain di karisidenan Kediri yang memiliki lebih dari 15.000
mahasiswa yang mayoritanya adalah beragama Islam[15] dan memiliki 22 Prodi
dari 5 Fakultas yang ada.[16] Dengan ditemukannya data
tersebut maka jika dikontekskan dengan keadaan sosiogeografi Kediri dapat
diambil pernyataan di UNP Kediri mahasiswanya sangat heterogen atau beragam
terutama jika didasarkan pada minat mahasiswa dalam pemilihan prodi walaupun
ada prodi-prodi tertentu yang gemuk salah satunya adalah prodi Penjaskesrek.[17] Oleh Karena itu untuk penanggulangan
serta pengelolaan atas realitas tersebut perlu adanya sebuah sistem
pembelajaran PAI yang tentu berbeda dengan sistem pembelajaran di
perguruan-perguruan tinggi yang berbentuk sekolah tinggi, politeknik, apalagi
akademik yang lebih cenderung homogen.
Selain itu berdasarkan observasi dari studi pendahulun terdapat penemuan Masjid bernama an-Nur yang padanya diselenggarakan Salat Jumat dengan bukti ada tulisan peringatan pada saat Kutbah Salat Jumat berlangsung dilarang ramai di sekitar Masjid.[18] Dan di dalam Masjid tersebut juga didirikan sholat Dhuhur, Ashar, dan Maghrib yang aktivitas Salat berjamaah tersebut diikuti oleh peneliti dengan jumlah jamaah putranya tidak kurang dari 20 orang dan untuk jumlah jamaah putrinya lebih dari 7 orang. Dan kadang kala terutama pada sholat Maghrib juga terdapat jamaah-jamaah Salat lain karena disebabkan tempatnya sudah tidak mampu lagi menampung dan juga karena terlambat datang sehinggi didirikanlah jamaah sendiri.[19]
Selain itu berdasarkan observasi dari studi pendahulun terdapat penemuan Masjid bernama an-Nur yang padanya diselenggarakan Salat Jumat dengan bukti ada tulisan peringatan pada saat Kutbah Salat Jumat berlangsung dilarang ramai di sekitar Masjid.[18] Dan di dalam Masjid tersebut juga didirikan sholat Dhuhur, Ashar, dan Maghrib yang aktivitas Salat berjamaah tersebut diikuti oleh peneliti dengan jumlah jamaah putranya tidak kurang dari 20 orang dan untuk jumlah jamaah putrinya lebih dari 7 orang. Dan kadang kala terutama pada sholat Maghrib juga terdapat jamaah-jamaah Salat lain karena disebabkan tempatnya sudah tidak mampu lagi menampung dan juga karena terlambat datang sehinggi didirikanlah jamaah sendiri.[19]
Hal unik
lainnya adalah UNP Kediri juga memiliki organisasi mahasiswa yang berbasis pada
agama Islam yang bernama Unit Kegiataan Kerohanian Islam (UKKI) yang olehnya sering
diadakan kegiatan-kegiatan keislaman di kampus.[20] Fenomena lain yang menjadi
daya tarik dan alasan untuk dilakukan penelitian tindak lanjut adalah
berdasarkan observasi awal di halaman kampus terdapat banyaknya mahasiswa putri
yang berjilbab, jika dikalkulasikan berdasarkan prosentasi adalah berjumlah
antara 30-45% dari seluruh mahasiswa putri yang berada di halaman kampus aktif
dalam pemakaian jilbab sebagai indikasi terhadap penggunaan simbol-simbol Islam.[21] Berdasarkan temuan awal
penelitian tersebut dipandang perlu untuk diadakan penelitian tindak lanjut
karena untuk pendalaman apakah data-data awal yang telah ditemukan tersebut
merupakan hasil kompetensi lulusan dari sistem pembelajaran mata kuliah PAI
yang cukup berhasil atau ada faktor lain yang menjadi penyebab perilaku
mahasiswa secara simbolik bercirikan Islam.
Dengan demikian
dipandang perlu untuk dilakukan penelitian tentang pembelajaran PAI di PTU karena menurut sebagian
kalangan bahwa PTU pada dasarnya masih dipengaruhi oleh pola atau tradisi lama
yaitu pendidikan umum dipandang lebih cenderung dan dominan untuk dikaji serta
fokus dalam pengembangan ilmu pengetahuan umum saja. Fenomena tersebut dikawatirkan
terjadi pengabaian terhadap PAI di lembaga pendidikan umum. Penelitian ini diharapakan
juga bisa menjadi penemu jawaban dari asumsi dan pertanyaan-pertanyaan skeptis
dan cenderung bersifat minor tentang pelaksanaan pembelajaran PAI di PTU.
UNP Kediri merupakan lembaga Perguruan
Tinggi yang punya keunggulan terutama dalam hal jumlah mahasiswanya yang sangat
banyak dibandingkan perguruan tinggi lain di lingkungan Karisidenan Kediri.
Jumlah yang banyak tersebut didukung oleh berbagai latar belakang mahasiswa
yang berbeda, baik latar pendidikan pada jenjang pendidikan menengahnya,
pemahaman terhadap agama Islam, dan orientasi masuk atau menjadi mahasiswa UNP Kediri.
Oleh Karena itu dipandang sangat perlu diadakan penelitian tentang sistem pembelajaran
PAI di UNP Kediri sebagai kampus yang populer dan terbesar di Karesidenan Kediri.
Berangkat
dari fenomena-fenomena dan keunikan permasalahan yang penulis
temukan dalam studi pendahuluan yang masih bersifat mendasar serta masih berupa
gambaran umum dan bersifat sementara maka dapat disimpulkan sangat
perlu diadakan penelitian tindak lanjut secara mendalam di UNP Kediri. Dan dapat disadari penelitian tindak lanjut ini sangat diperlukan untuk diperoleh sebuah kesimpulan yang komperhensif, objektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Di sisi lain prasangka
tanpa dasar akan menjadi
simpang siur jika tidak dicari kebenarannya melalui sebuah penelitian ilmiah. Oleh karena itu berdasarkan pemaparan di atas, perlu diadakan penelitian ilmiah sebagai tindak lanjut yang dalam konteks
pembahasan ini disebut tesis yang bertempat di UNP Kediri kemudian dikembangkan ke dalam judul “SISTEM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA
PERGURUAN TINGGI UMUM (STUDI KASUS DI UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI).”
[1]Hisyam
Zaini, Desain Pembelajaran di Perguruan
Tinggi (Yogyakarta: Center for Teaching Staff Development IAIN Yogyakarta,
2002), 4.
[2]Yahya
Ganda, Petunjuk Praktis: Cara Mahasiswa
Belajar di Perguruan Tinggi (Jakarta: Grasindo, 2004), x.
[3]Agus M.
Hardjana, Kiat Sukses Studi di Perguruan
Tinggi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 34.
[4]E.P.
Hutabarat, Cara Belajar: Pedoman Praktis
untuk Belajar Secara Efisien dan Efektif. Pegangan bagi Siapa saja yang Belajar
di Perguruan Tinggi (Jakarta: Gunung Mulia, 1988), 115-116.
[5]Andreas
Anangguru Yewangoe, “Agama dan Kerukuanan,” Buku
Google, http:// books.google.co.id/books?id=SykwKPJfFKkC&hl=id, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. 40.
[6]Ganda, Petunjuk Praktis: Cara, 2.
[7]Abidin Nurdin, “Pendidikan Agama, Multikulturalisme & Kearipan Lokal
(Internalisasi Nilai-nilai Agama pada Perguruan Tinggi Umum Menuju Kerukunan
Umat Beragama),” Jurnal Penamas, Vol. XXIV No. 2 (2011), Balai Penelitian dan Pengembangan
Agama Jakarta, 179.
[8]Badan
Litbang dan Diklat Kementrian Agama, Toleransi
Beragama Mahasiswa (Studi Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan
Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap
Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Negeri Umum Negeri) (Jakarta:
Maloho Jaya Abadi,2010), 139.
[9]Kasinyo
Harto, Islam Fundamentalis di Perguruan
Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2008), xvii.
[10]Wahyudin
dkk., “Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi,” Buku Google, http://
books.google.co.id/books?isbn=9790258623, diakses tanggal 26 Maret 2013, hlm. x-xi.
[11]Wina
Sanjaya, Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2008), 5.
[12]Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Beserta Penjelasannya,
Jakarta: Cemerlang, 2003.
[13]Walaupun
letaknya di kawasan adminsitratif Kota Kediri namun dalam buku pedoman akademik
Universitas Nusantara PGRI Kediri BAB III Pasal 6 tentang batasan dan
pengertian ayat 1 diterangkan yang
dimaksud “universitas adalah Universitas Nusantara PGRI Kediri yang selanjutnya
disingkat UNP Kediri.” Lihat Buku Pedoman Akademi UNP Kediri halaman 10.
[14]Endang
Sri Mujiwati, Kaprodi PGSD UNP Kediri, Kantor Kaprodi PGSD UNP Kediri, 14 Maret
2013.
[15]Nur
Sokhib, Dosen PAI Prodi Penjaskesrek dan Prodi PKn, Tempat Piket Guru SMA 7
Kota Kediri, 09 Februari 2013.
[16]“Data
Program Studi UNP Kediri,” UNP Kediri,
http:// www.unpkediri.ac.id/?p=tabel&inis=prodi, diakses
tanggal 09 Februari 2013.
[17]Staff
Kaprodi Penjaskesrek, Ruang Kantor Kaprodi Penjaskesrek UNP Kediri, 11 Maret
2013.
[18]Observasi,
di UNP Kediri, 11 Desember 2012.
[19]Observasi,
di UNP Kediri, 11, 25, dan 27 Februari
dan 14 Maret 2013.
[20]Anonim,
Mahasiswa Prodi Ekonomi Akuntasi semeseter IV, Pusat Fotocopy Selatan Masjid
UNP Kediri, 11 Februari 2013.
[21]Observasi,
di UNP Kediri, 11,19 Desember 2012 dan 11 Februari 2013.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Contoh Konteks Penelitian Tesis Kualitatif"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*