SYI’AH DAN SUNNI; KONFLIK ANTARA BUWAIHI DAN SALJUQ
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Munculnya Dinasti Abbasiyah dalam
sejarah peradaban Islam, telah membawa perubahan yang cukup signifikan dan
radikal dalam catatan sejarah Islam. Hal ini tidak hanya sekedar pergantian
kekuasaan saja, akan tetapi lebih dari itu adalah pergantian struktur sosial
dan ideology. Karena itu, mayoritas ahli
sejarah menilai bahwa kebangkitan Dinasti Abbasiyah merupakan suatu revolusi.
Menurut Richard N. Frye cirri-ciri
yang menyertai kebangkitan Dinasti Abbasiyah sama dengan ciri-ciri yang
menyertai revolusi di berbagai Negara di dunia modern sekarang ini yaitu :
(1) Bahwa pada masa sebelum revolusi, ideology yang berkuasa mendapat kritik
yang keras dari masyarakat yang disebabkan oleh kekecewaan dan penderitaan
masyarakat yang ditimbulkan oleh ketimpangan-ketimpangan dari ideology yang
berkuasa itu, (2) mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya
dalam beradaptasi terhadap perkembangan dan perubahan-perubahan zaman yang
terjadi secara dinamis, (3) terjadinya penyebarangan kaum intelektual dari
kondisi awal yaitu mendukung ideologi penguasa kepada wawasan baru yang
ditawarkan, (4) bahwa revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan
digerakkan oleh orang-orang lemah dan bawahan, melainkan juga dipelopori dan
digerakkan oleh kaum penguasa yang karena hal-hal tertentu merasa tidak puas
dengan sistem yang ada atau sistem yang berjalan. Selama Dinasti Abbasiyah
berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, social dan budaya.
Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa
pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M),
disebut periode pengaruh Persia pertama
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M)
disebut masa pengaruh Turki pertama
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M)
masa kekuasaan Dinasti Buwaihi dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah disebut juga masa pengaruh Persia kedua
4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M
masa kekuasaan Dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah
disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M,
masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya
efektif di sekitar Baghdad.
Pada
periode pertama dinasti Abbasiyah mampu mengatasi berbagai gerakan politik internal dan eksternal yang merongrong pemerintah dan gerakan-gerakan
massa yang mengganggu stabilitas yang muncul dimana-mana.
Keberhasilan ini semakin mengukuhkan posisi dan kedudukan
mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Namun dalam perjalanan selanjutnya
pencapaian kemajuan peradaban dan kebudayaan periode pertama ini membawa para
penguasa Abbasiyah, hartawan dan anak-anak pejabat untuk hidup
mewah. Keadaan ini ditambah lagi dengan kelemahan
khalifah dan faktor lainnya
menyebabkan roda pemerintah terganggu dan rakyat menjadi
miskin. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tashim untuk
mengambil kendali pemerintah. Usaha mereka berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka. Kekuasaan
khalifah yang mulai memudar merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini. Dan
merupakan prestasi sejarah tersendiri bahwa walaupun kekuasaan
khalifah telah pudar namun dinasti ini masih dapat
bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Hadirnya
Bani Buwaihi dan Bani Saljuk dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah tidak berarti
kekuasaan Abbasiyah hilang. Kekuasaan Khalifah memang menjadi hilang pada
tataran temporal (kekuasaan yang
berorientasi pada keduniaan di mana khalifah bertindak sebagai pemegang
otoritas dalam pemerintahan), namun tetap
pada tataran spiritual (berorientasi pada keagamaan dimana khalifah
berfungsi sebagai wakil Tuhan di muka bumi). Dengan
demikian kekuasaan khalifah Bani Abbas
hanya dijadikan penguasa simbolik (dejure) dan pengendalian pemerintahan secara
defakto berada di tangan para amir yaitu Bani Buwaihi dan Bani Saljuq.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Bertolak dari latar belakang di atas , maka pembahasan makalah ini
difokuskan pada masalah-masalah berikut ini ;
A.
SEJARAH
PERJALANAN DINASTI BUWAIHI
1. Kemunculan Dinasti Buwaihi Dalam Kekuasaan
Dinasti Abbasiyah
2. Prestasi Dinasti Buwaihi
3. Kemunduran Dinasti Buwaihi
B.
SEJARAH
PERJALANAN DINASTI SALJUQ
1. Kemunculan Dinasti Saljuq Dalam Kekuasaan
Dinasti Abbasiyah
2. Prestasi Dinasti Saljuq
3. Keruntuhan Dinasti Saljuq
C.
KONFLIK BANI BUWAIHI DAN BANI SALJUQ
1. Latar Belakang Pemicu konflik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
PERJALANAN BANI BUWAIHI
1. Kemunculan Bani Buwaihi Dalam Kekuasaan
Dinasti Abbasiyah
Periode Buwaihi dimulai pada tahun 334 H/945 M
sampai tahun 447 H/1055 M. Pada periode ketiga ini
posisi Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan bani Buwaihi. Keadaan
khalifah lebih buruk ketimbang pada masa sebelumnya, karena Bani Buwaihi
menganut aliran Syiah yang kuat dan keras serta memiliki kebebasan yang tinggi. . Akibatnya kedudukan khalifah tidak lebih sebagai
pegawai yang diperintah dan diberi gaji.
Masyarakat Buwaihi merupakan suku Dailami yang
berasal dari kabilah Syirdil Awandan dari dataran tinggi Jilan sebelah selatan
Laut Kaspia. Profesi mereka yang terkenal adalah sebagai tentara, khususnya
infantri bayaran. Dinasti Buwaihi merupakan dinasti yang dibangun oleh elite
politik dan militer dari tokoh-tokoh nomadik dengan bantuan militer budak
mereka menggantikan kedudukan elite birokrasi dan tuan tanah yang telah
kehilangan otoritasnya. Kehadiran
Bani Buwaihi berawal dari tiga orang putra Abu Ayuja Buwaihi yang berprofesi
sebagai pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam sekitar Laut Kaspia, yaitu:
‘Alî ibnu Bûwayh yang oleh khalifah al-Mustakfî digelari sebagai ‘Imâd
al-Daulah, Hasan ibnu Bûwayhi bergelar Rukn al-Daulah dan Ahmad ibnu Bûwayhi bergelar Mu’iz
al-Daulah.
Banyak faktor yang
mendukung kemunculan Bani Buwaihi, antara lain: kekuasaan khalifah yang
telah melemah dan mengandalkan panglima perangnya, dengan demikian Irak berada
di bawah kendali amîr al-umarâ, perpecahan
dalam Kerajaan Abbasiyah pada tahun 324 H/ 935 M mengakibatkan kerajaan Islam yang berada di bawah Dinasti Abbasiyah terpecah belah
menjadi kerajaan-kerajaan kecil, kemewahan hidup melanda para pembesar kerajaan
dan perselisihan di masyarakat ibu kota Baghdad.
Kemunculan Dinasti Buwaihi yang kemudian mampu mengembangkan diri dan
eksis selama 110 tahun, menurut analisa Joel L. Kraemer bukanlah suatu
kebetulan, ia menyatakan bahwa munculnya Dinasti Syi’ah yang bersamaan dengan
pertumbuhan yang pesat dari sebuah kebudayaan yang sangat besar, ketika para
pelaku dan penerusnya sering merupakan orang-orang Muslim non-Sunni, atau
Non-Muslim, tentu bukan merupakan fenomena yang bersifat kebetulan. Pandangan
luas yang telah memberikan konstribusi terhadap pertumbuhan budaya ini dapat
pula dianggap berasal dari orientasi ke-Iran-an (baca: Persia) dari
anggota-anggota dinasti ini dan perwakilan-perwakilannya. Penerimaan terhadap
kultur Iran pra-Islam menumbuhkan sikap positif terhadap warisan dari peradaban-peradaban
besar pra- Islam.
Adapun
penguasa Bani Buwaihiyyah (945 -1055 M) sebagai berikut : (1)Muizz al- Dawlah
(945-949), (2) ‘Adud al-Dawlah (949-983), (3) Syaraf al-Dawlah (983-989), (4) á¹¢amṣần al-Dawlah (989-998),
(5) Baha’ al-Dawlah (998-1012), (6)
Sultan al-Dawlah 1012-1024), (7) Imad al-Dawlah (1024-1048), (8) Khusru Firus
Malik al-Raḫỉm (1048-1055).
2. Prestasi Bani Buwaihi
Kekuasaan Bani Buwaihi
berlagsung selama 110 tahun, yaitu dari
tahun 945 sampai 1055 M. Banyak kemajuan
yang dicapai selama pemerintahan lebih seabad itu. Para ahli sejarah sepakat bahwa kemajuan dan kejayaan
Dinasti Buwaihi diperoleh ketika
pemerintahan Adus al-Dawlah. Philip K. Hitti
bahkan menyebutnya sebagai “the greatest Buwayhid, the most illustrious
ruler of his time” (penguasa paling
termasyhur di masanya).
Berikut ini paparan dari prestasi yang telah dicapai oleh dinasti Buwaihi :
A. DINAMIKA KEAGAMAAN
Pada
masa awal kemunculan Buwaihi Syi’ah Imamiyyah merupakan aliran Syi’ah yang
berpengaruh di Irak dan Iran. Ajarannya secara aktif dielaborasi oleh
tokoh-tokohnya yang legendaris seperti: (1). Al-Kulini (atau Al-Kulaini) yang
wafat pada tahun 329 H/941 M, (2) . Ibn Babuya atau Babawaih yang wafat pada
tahun 381 H/991 M, (3). Al-Syaikh Al-Muftid juga dikenal sebagai Ibn Al-Mu’allim – yang
wafat pada tahun 413 H/1022 M.
Meskipun
Bani Buwahi menganut aliran Syi’ah akan tetapi tidaklah bertindak memaksakan
aliran Syi’ah itu kepada masyarakat. Setiap pihak memperoleh kebebasan penuh
untuk menganut aliran yang dipeganginya maupun keyakinan keagamaan yang
dipercayainya. Namun demikian, walaupun toleransi keagamaan
dikembangkan oleh pemerintah – Mu’izz Al-Daulah tetap
saja terdapat riak-riak yang menggambarkan intoleransi.
Ketegangan-ketegangan antar aliran memang sudah memburuk
sebelum Buwaihi berkuasa.. Salah satu contoh kondisi intoleransi ini adalah
perampasan kekuasaan oleh golongan Sunni terhadap
perkampungan Karkh yang Syi’ah yang terjadi pada musim panas tahun 338 H/949 M dan saat itu Mu’izz Al-Daulah tidak berada di ibu kota.
Kerusuhan ini telah menelan banyak korban jiwa dan
menyebar sampai ke perkampungan yang sebagian penghuninya adalah Syi’ah.
B.
DINAMIKA
SOSIAL POLITIK.
Dinamika sosial masyarakat pada dinasti Buwaihi
pada tulisan ini hanya difokuskan pada penduduk Baghdad yang pada abad ke-4 H/9
M telah padat populasinya, yakni sekitar seperempat sampai setengah juta jiwa.
Berbagai hal menjadi penyebab kesulitan kehidupan di kota yang padat penduduk
ini, antara lain: (1). Kekurangan fasilitas ,(2). Pelayanan yang tidak tepat (3).
Kemulti-etnik-an penduduk, khususnya keragaman komposisi orientasi keagamaan
masyarakat (4). Kekurang-efisienan administrasi perkotaan. Menyadari
hal-hal tersebut maka tidak mengherankan bila Baghdad pada pertengahan dan akhir
abad ke-10 M – pada masa kejayaan Buwaihi – telah mencapai puncaknya dalam
pertumbuhan kota tetapi dalam saat yang sama memasuki masa kemunduran
sosial-ekonomi.
Ketakutan akan kemerosotan sosial-ekonomi
berbanding terbalik dengan pembangunan istana. Pembangunan istana digalakkan
dengan penuh semangat. Pemerintahan Buwaihi memiliki semangat yang menggebu
dalam menjalankan program pembangunan kerajaan. Mu’izz Al-Daulah, pada 350H/961
M, mendirikan sebuah istana yang besar (Dar Al-Mu’iziyyah [Istana Keluarga
Mu’izz]) di Pintu Gerbang Syammasiyyah, termasuk lapangan upacara yang luas
(maidan), dermaga, dan taman-taman. Biaya pembangunan yang dilakukan secara
besar-besaran ini diperkirakan mencapai 12 juta atau 13 juta dirham (sekitar 1
juta dinar). Adhud Al-Daulah membangun sebuah istana (‘Adhudi Dar Al-Mamlakah
[Istana Kerajaan ‘Adhud Al-Daulah]). Ia membangun taman-taman yang sangat indah
dan mengeluarkan biaya yang sangat besar guna melengkapi ketersediaan sarana
dan prasarana untuk menyirami taman-taman tersebut dengan mengalirkan air dari
Kanal Khalish. Ia juga membangun rumah
sakit terkenal yang disebut Bimaristan Al-‘Adhudi (Rumah sakit ‘Adhud
Al-Daulah) (372 H/982 M) dengan memakan biaya 100.000 dinar atau 2 juta dirham;
memiliki 24 dokter ahli yang sekaligus menjadi guru besar di fakultas
kedokteran.
Konsep politik dinasti Buwaihi adalah bentuk
kekuasaan bersama Abbasiyyah-Syi’ah, sedangkan bentuknya adalah patrimonial
dan kekeluargaan. Oleh sebab itu pola kepemimpinan tiga pemimpin Buwaihi yang
pertama dipererat oleh ikatan-ikatan persaudaraan dari para pendirinya.
Prinsip kekeluargaan ini dapat dilihat dari kebiasaan mendahulukan yang lebih
tinggi dan menghormati yang lebih tua.
Selama ini secara teori Bani Buwaihi menolak
pemerintahan Khalifah Abbasiyah yang Sunni, tapi ketidak adanya kekuatan ,
mereka menerima khalifah tersebut (taqiyah) dan lebih berkonsentrasi pada
pengajaran agama.Meskipun
Bani Abbas beraliran sunni dan Buwaihi adalah Syi’ah, namun penguasa Buwaihi
tidak berusaha menghapuskan kekhalifahan ‘Abbasiyyah. Tentu saja kebijakan ini
didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan praktis, yaitu: (1)Mayoritas penduduk Baghdad dan Irak pada
umumnya Sunni oleh sebab itu mereka harus mampu menjaga keseimbangan yang sulit
antara sentimen Syi’ah di satu pihak dan tekanan Sunni di pihak lain, (2)Buwaihi
memerlukan media legislasi atas kekuasaannya dari otoritas khalifah Abbasiah
yang tersebar luas di Irak dan di dunia Islam umumnya, (3) Dukungan formal
khalifah Abbasiyah diperlukan untuk mendapatkan dukungan dari Bani ‘Aliyyah
yang sah.
Oleh sebab itu kekhalifahan
Abbasiyah tetap dijaga namun roda pemerintahan berada sepenuhnya di tangan
Buwaihi. Atau dengan kata lain, khalifah memegang otoritas spiritual tanpa
kekuasaan temporal yang riil. Kekuasaannya telah digeser oleh wazir sehingga
pengaruhnya hanya terbatas pada pembuataan kebijakan-kebijakan keagamaan
berkenaan dengan golongan Sunni di Baghdad dan pengawasan terhadap beberapa
urusannya sendiri (yang terbatas). Secara fisik administratif dapat dinyatakan
bahwa pergeseran kekuasaan dari khalifah kepada amir adalah pemusatan kontrol
politik dan administrasi dari Istana Kekhalifahan (Dar Al-Khilafah) ke Istana
Kerajaan (Dar Al-Mamlakah) yang baru saja didirikan di Baghdad. Buwaihi sadar
sepenuhnya bahwa berdasarkan hukum syari’ah khalifah berkewajiban memimpin
jihad dan membela kaum Muslim. Oleh sebab itu Buwaihi tidak menanggalkan hak
prerogratif khalifah ini, tetapi untuk membatasi kekuasaan khalifah dalam hal
ini mereka tidak memberikan akses kepada khalifah terhadap sarana-sarana dan
sumber-sumber dalam melakukan hak tersebut. Sementara itu pembagian kekuasaan
di antara amir (raja) dan khalifah tidak mengandung pengertian adanya pemisahan
yang tajam antara bidang-bidang keduniaan dan keagamaan.
. Pada
masa pemerintahan Adud al-Daula (di Syiraz 949-978 dan di Baghdad 978-983) Fars
dan Iraq diliputi oleh kedamaian dan keamanan sehingga perkembangan kebudayaan
mencapai puncaknya. Adud al-Daula sendiri merupakan orang yang mencintai ilmu
pengetahuan. Ia pernah memberikan bea siswa sebesar 50.000 dirham bagi
orang-orang yang mampu menguasai tata bahasa yang disusun oleh Abû ‘Alî. Salah
satu guru Adud al-Daula adalah seorang sufi ‘Abd al-Rahman penulis buku
“al-Kitâb al-Kawâkib al-Tsâbitah”. Perhatiannya dalam ilmu pengetahuan juga
diwujudkan dengan membangun perpustakaan yang luas di istananya di Syîrâz
dengan koleksi berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Kontribusi
penting dalam periode Adud al-Dawlah adalah perkembangan astronomi, matematika,
dan kedokteran. Pada masa Dinasti
Buwaihi banyak bermunculan ilmuan antara
lain al-Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037 M), al-Farqani, Abdul al-rahman al
Shufi, Ibn Miskawih, Abu al A’la Ma’ari dan kelompok Ikhwan al Shafa yaitu
pergerakan untuk menggali dan mengkaji ilmu pengetahuan dan filsafat namun
bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan filsafat. Penggalian dan
pengkajiannya disandarkan pada harapan untuk membangun masyarakat spiritual
etik di mana elit-elit muslim yang heterogen dapat meredakan ketegangan (perselisihan) yang disebabkan oleh
pendekatan, nasionalitas dan madzhab-madzhab yang ada.
3. Kemunduran
Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi sepeninggal Mu’iz ad-Dawlah dilanda
konflik, diantaranya adalah :
a.
Konflik internal dimana perebutan kekuasan
didalam tubuh dinasti Buwaihi menyebkan kemunduran misalnya perebutan kekuasaan
antara Baha, Syaraf, dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang
memperebutkan penerus mereka selanjutnya. Konsep Dinasti yang sebelumnya adalah
ikatan kekeluargaan antar keluarga menjadi hancur.
b.
Pertentangan aliran-aliran keagaamaan.
Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi penyebar mazhab Syi’ah yang bersemangat sedangkan rakyat Bagdad kebanyakan beraliran
Suni, pada periode awal pertentangan Syi’i dan Suni tidak begitu nampak. Hal
ini disebabkan sewaktu kekhalifahan
Abbasiyah pimpinan Al-Qodir (991-1031) memimpin peperangan antar syi’ah dan sunni
ia menggemborkan Hanbalisme sebagai mazhab resmi Negara.
c.
Bizantium yang makin gencar melakukan serangan-serangan
kembali ke dunia Islam dan dinasti-dinasti kecil luar Bagdad yang mulai memanfaatkan situasi dengan
melepaskan diri dari kekuasaan Bagdad dan menaklukan wilayah lain seperti
Fatimiah di Kairawan menaklukan Mesir dan Sudan.
Perebutan kekuasan antara Arselan Basasiri sebagai
panglima perang dengan Malik Abd Malik sebagai amir al-Umara yang menyebabkan
khalifah Fatimiah (al-Mustanshir) diundang oleh Arselan Basasiri pada masa
khalifah al-Qa’im untuk menyerang dan menguasai Bagdad . Dari kejadian inilah
bermula dimana al-Qa’im akhirnya mengundang Tugril Bek (salah satu Bani Saljuk
dari Turki) yang berkuasa di Jibal untuk datang melawan kekuasaan Fatimiah.
Tugril Bek Tiba di Bagdad tanggal 18 Desember 1055 M. Malik
Abd al-Rahim sebagai dinasti terakhir dari Bani Buwaihi menderita kekalahan
atas Tugril Bek. Malik Abd al-Rahim (1048 – 1055) akhirnya dipenjara dan
mengakhiri hidupnya dalam kurungan. Selanjutnya Dinasti Buwaihi berakhir dan
Tugril Bek salah satu keturunan Bani Saljuk bekerja sama dengan Khalifah
Dinasti Bani Abbas.
B. SEJARAH PERJALANAN DINASTI SALJUQ
1.
Kemunculan
Dinasti Saljuq Dalam Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
Bani Saljuq merupakan kepanjangan
dari kekhalifahan Bani Abbasiyyah di Baghdad, dinasti ini merupakan periode ke-
2 setelah Bani Abbasiyyah berhasil menumbangkan Dinasti Buwaihi dan Dinasti
Ghaznah. Dinasti Saljuq didirikan oleh Tughril Beg pada tahun 429 H/1037 M.
Pengumuman pendirian dinasti ini dilakukannya segera setelah kaum Saljuq
mengalahkan kaum Ghaznah pada tahun yang sama. Setelah kedudukan dinasti saljuq
menjadi kuat dan mantap, barulah diiktiraf oleh Khalifah Abbasiyah pada tahun
432 H.
Dinasti ini telah bertahan memerintah
wilayah kekuasaannya selama sekitar dua abad. Kekhalifahan Abbasiyyah resmi
berdiri 447-656 H/1055-1258 M dan menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan kecil
(Muluk al-Thawa’if) Abbasiyyah yang terakhir, sebab pasca kehancuran dinasti
saljuq ini, kekhalifahan Abbasiyyah runtuh total dan berakhirlah masa kejayaan
Islam.
Wilayah ini sebelum dikuasai Dinasti Saljuq merupakan wilayah kekuasaan Bani
Buwaihi yang menganut aliran Syi’ah, sedangkan Dinasti Saljuq sendiri menganut
aliran Sunni. Dinasti Buwaihi ditaklukkan oleh Dinasti Saljuq pada tahun 447
H/1055 M. yang ditandai dengan pendudukan kota Baghdad sebagai ibu kota Kekhalifahan
Abbasiyah oleh bala tentara Saljuq. Sejak itu berakhirlah kekuasaan Dinasti
Syi’i dan kembalilah kekuasaan Dinasti Sunni di dalam Kekhalifahan Abbasiyah.
Selanjutnya pusat pemerintahannya berada
di kota Nisabur dan kemudian pindah ke Rayi. Sedangkan kota Baghdad difungsikan sebagai kota
keagamaan dan kerohanian tempat bersemayamnya Khalifah Abbasiyah. Keberhasilan
Bani Saljuq dalam mempertahankan kekuasaannya, tak lepas dari para wazir (pembantu
sulthan/menteri) yang senantiasa loyal dan patuh terhadap sulthan serta
kecintaan mereka terhadap ilmu pengetahuan.
Adapun penguasa Dinasti Saljuq
(1037-1157 M) adalah sebagai berikut; (1) Thughril Bek (1037-1063), (2) Alp
Arslần (1063-1072), (3) Malik Syầh (1072-1092), (4) Mahmud (485-487 H/1092-1094
M), (5) Barkiyaruq (487-498 H/1094-1103 M), (6) Abu Syuja’ Muhammad 9498-511
H/1103-1117 M), dan Abu Haris Sanjar (511-522 H / 1117
– 1128 M)
2.
Prestasi
Dinasti Saljuq
Masa kejayaan kesultanan Saljuk
dapat dicapai pada masa Malik Syah di bawah wazir Nidhom al-Mulk. Kesultanan
Saljuk meninggalkan beberapa prestasi yang sangat baik di antaranya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A.
DINAMIKA SOSIAL POLITIK
Kedatangan
Bani Saljuq mengulangi praktek kekuasaan Bani Buwaihi. Penguasa baru ini pun
menjadikan khalifah sebagai penguasa boneka. Sekalipun mereka menentukan
jalannya pemerintahan, namun urusan menjalankan roda pemerintahan dipercayakan
pada wazir (perdana menteri) untuk memimpin departemen-departemen. Dan wazir
yang terkenal dalam dinasti Saljuq adalah Nizam al-Mulk. Sistem pemerintahan yang dijalankan adalah
kesultanan dengan menempatkan khalifah Abbasiyah sebagai pemberi legitimasi
atas kekuasaannya dan pemimpin seluruh masyarakat Islam, karena khalifah adalah
pelanjut kepemimpinan Nabi.
Dengan demikian posisi dan kedudukan khalifah lebih baik pada dinasti ini,
paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan setelah beberapa
lama “dirampas” orang-orang syiah.
Mereka
terlatih di bidang Strategi militer dan peperangan. Karena itu prestasi yang
menonjol pada masa ini adalah bertambah luasnya daerah kekuasaan bani Saljuq. Pada masa Alp Arselan (455-465 H), dinasti
Saljuq berhasil meluaskan kekuasaannya ke arah barat yaitu Anatolia daerah
kekuasaan Bizantium. Sedangkan pada masa Malik Syah (465-485 H) kekuasaanya sudah membentang dari
Asia Tengah di timur sampai Laut tengah di Barat. Usaha keras ini merupakan
bibit yang ditanam untuk mampu menyatukan kembali sebagian besar wilayah
Abbasiyah seperti pada awal kejayaannya wilayah Islam yang kemudian baru
terealisir pada masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi yang berada di di bawah
pemerintahan Bani Abbas yang Sunni.
Selain
itu kesultanan mereka memiliki peran
untuk menunda kehancuran khilafah Abassiyah selama sekitar dua abad dimana
sebelum kedatangan mereka pemerintahan Abassiyah hampir saja runtuh akibat
perilaku jahat orang-orang Buwaihi penganut ajaran Syi’ah. Kesultanan Saljuk
telah mampu mencegah rencana penyatuan wilayah Timur Arab oleh pemerintahan
Fathimiyah/Ubaidilah di Mesir untuk berada di bawah satu payung pemerintahan
mereka yang Syi’ah.
B.
DINAMIKA INTELEKTUAL DAN KEAGAMAAN
Kesultanan
Saljuk telah ikut membangkitkan gairah ilmiah di wilayah-wilayah yang menjadi
kekuasaannya. Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai
berkembang. Sedangkan Pada masa Sultan Malik Syah dibantu wazir Nidhom al Mulk ( 465-485 H) mengalami
kemajuan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mendirikan Madrasah
Nizamiyyah yang diprakarsai oleh Nidhom al Mulk. Madrasah-madrasah ini
didirikan di berbagai kota di wilayah kekuasaan Dinasti Saljuq seperti Baghdad,
Nisapir, Balk, Heart, Asfahan, Basrah dan sebagainya. Pendirian Madrasah
Nidzamiyah ini disamping memiliki motif kependidikan, juga memiliki motif
kepentingan politik Dinasti Saljuq sendiri pada saat itu.
Pada masa ini muncullah ilmuan Muslim seperti
Al-Ghozali ahli ilmu Kalam, filsafat dan Sufi, Ibn al Khasysyaf al-baghdadi
ahli ilmu Qiraah, al Zamakhsyari ahli ilmu tafsir dan teologi dan lain
sebagainya. Sedangkan dalam ilmu umum, ilmuan muslim adalah Abu Ali Yahya Ibnu
Jazlah dokter yang menulis kitab al Manhaj dalam ilmu kedokteran, Abu al-Raihan
al Biruni ahli astronomi, Umar Khayyam dalam sastra.Bukan
hanya pembangunan mental spiritual, Dinasti
Saljuq pada masa Malik Syah juga
memperhatikan aspek bangunan fisik seperti madrasah-madrasah, masjid, irigasi,
jalan raya dan jembatan yang dibangunnya.
Dalam bidang keagamaam Bani Saljuq
berpaham Sunni mereka mampu mengangkat tinggi-tinggi panji-panji madzhab Sunni
di wilayah-wilayah kekuasaannya. Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya
memisahkan diri, setelah ditaklukkan Bani Saljuq ini kembali mengakui kedudukan
Baghdad sebagai ibukota kerohanian, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan
keamanan Abbasiyah untuk membendung paham Syi’ah dan mengembangkan madzhab
Sunni yang dianut mereka. Selain itu mereka mampu menghadang gerakan Salibisme
yang dipimpin imperium Bizantium, sebagaimana mereka yang telah berusaha untuk
menghadang gelombang serbuan Mongolia.
3.
Faktor
Keruntuhan Dinasti Saljuq
Banyak faktor yang menyebabkan kehancuran
kesultanan Saljuq yang juga dengan kejatuhan nya mengakibatkan kejatuhan dinasti Abassiyah.
Faktor-faktot tersebut antara lain:
- Perselisihan yang
terjadi di dalan keluarga Saljuk antara saudara mereka, paman, anak-anak
dan cucu yang memang sudah terpecah belah semenjak meninggalnya Malik
Syah.
- Pemberontakan golongan
Ismailiyah dari kelompok Hasysyasyin yang terkenal dengan
perbuatan-perbuatan kejam, menipu, dan membunuh, perpecahan-perpecahan
dalam negeri hasil dari perluasan kerajaan Saljuq dan hasil cara hidup
kaum Saljuq yang bersuku-suku.
- Adanya pengkhianatan sebagaian para
pejabat, menteri dan para atabaek sehingga berdirilah wilayah-wilayah
Amiriyah Utabak. Ketika kerajaan-kerajaan mulai melemah, setiap pemilik
tanah merasa dirinya sebagai amir dan memerintah di kawasan tanah
masing-masing serta memisahkan diri dari pengaruh Bani Saljuq.
- Ketidak mampuan
pemerintah Saljuk dalam menyatukan wilayah Syam, Mesir dan Irak di bawah
panji kekuasaan Bani Abbas.
- Terjadinya friksi di
dalam kekuasaan Saljuk hingga menimbulkan bentrokan militer yang
terus-menerus. Inilah yang menghancurkan kekuatan Saljuk hingga dia harus
kehilangan kesultanannya di Irak.
- Konspirasi orang-orang
aliran Bathiniyah terhadap kesultanan Saljuk yang mereka lakukan dengan
cara membunuh dan menghabisi para sultan dan pemimpin-pemimpin mereka
serta komandan-komandan perangnya.
C. KONFLIK ANTARA DINASTI BUWAIHI DAN DINASTI
SALJUQ
1. Latar Belakang Pemicu Konflik
.Persoalan
yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan aqidah
tetapi persoalan politik. Demikian halnya
Konflik antara Dinasti Buwaihi dengan Dinasti Saljuq adalah konflik
keagamaan antara Aliran Syiah dan Sunni yang bernuansa politik. Kemunculan
Syi’ah dan Sunni dapat ditelusuri dari
intrik politik seputar siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan nabi
saw. sebagai kepala negara. Pada awalnya,
persoalan ini tidak pernah menyulut pertikaian di antara
para Sahabat, kecuali hanya percikan-percikan belaka. Namun di kemudian hari persoalan ini dieksploitasi oleh
sekelompok orang untuk memecah belah kesatuan dan persatuan kaum Muslim.
Akibatnya persoalan tersebut tidak hanya berpengaruh pada pembentukan sikap
politik, tetapi juga memberikan andil dalam pembentukan pemikiran-pemikiran
keagamaan. Intrik ini telah bergeser sedemikian jauh dari persoalan politik ke
arah persoalan ideologis sehingga lahirlah
kelompok-kelompok keagamaan ekstrim yang
tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya.
Bani
Buwaihi adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh bersemangat. Mereka
selalu mengkampanyekan symbol-simbol Ahlul
Bait dan melakukan g
erakan –
gerakan syi’ah berupa; pertama Buwaihi menginstruksikan kepada
pengelola-pengelola ma
sjid
agar menuliskan kalimat berikut: “ Allah melaknat Mu’awiyah Ibn Abi Supiyan
yang merampas hak Fatimah ra.,
yang melarang Hasan Ibn Ali dikuburkan berdampingan dengan makam kakeknya
SAW. dan kedua Buwaihi menetapkan hari-hari bersejarah bagi Syi’ah
dijadikan perayaan resmi Negara, seperti perayaan 10 Muharam untuk memperingati
kasus Karbala, dan peringatan 12 Dzulhijjah sebagai Yawm al-Ghadir yang dalam
keyakinan kaum Syi’ah, Nabi SAW mewasiatkan kepada Ali Bin Abi Thalib sebagai
penguasa duniawi dan agama sepeninggal beliau.
Menurut penuturan
Al-Mudhaffari yang dikutip oleh Hidayat Nur Wahid dalam makalahnya “Syi’ah
Dalam Lintasan Sejarah”, Dinasti Buwaihi
memang dilahirkan untuk berkhidmat pada madzab Syi’ah Itsna Asy’ariyah,
mereka melakukan segala upaya untuk memenangkan madzhabnya. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah atau disebut Imamiyah
karena mereka percaya bahwa jumlah imam seluruhnya dua belas, dan sebagai imam
terakhir adalah Muhammad bin Abu Muhammad Hasan al-Askari, yang menghilang pada
usia empat atau lima tahun pada 260 H., dan yang kemudian dikenal dengan
sebutan Muhammad al-Mahdi al –Muntazhar. Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah ini lebih tepat
disebut aliran politik dari pada Aliran aqidah (Tauhid dan Syari’ah). Ini dapat
dilihat dari definisi para ulama Syi’ah
itu sendiri. Sebutan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah memperkuat makna syi’ah
sebagai paham politik seperti masalah
siapa yang berhak menjadi kepala Negara sesudah Nabi saw., bagaimana bentuk
Negara Islam, apa undang-undang Islam dan sebagainya.
Ketika
kekuasaan Abbasiyah mengalami kemerosotan, dinasti Buwaihi (333-447) di bawah
Mu’iz al-Daulah ibn Buwaihi memaksa menguasai kekuasaan Abbasiah. Sejak itu hampir tiap tahun terjadi pertikaian dan
benturan-benturan antara kaum Syiah dan ahlus sunnah sehingga banyak korban
jiwa jatuh dan menimbulkan kerugian materiil yang besar. Untuk menunjukkan hegemoni
dan dominasi mereka atas Ahlussunnah, pada tahun 351 M kaum Syiah di Baghdad
dengan dukungan dari Mu’iz al-Dawlah mewajibkan masjid-masjid untuk melaknat
Mu’awiyah dan tiga Khalifah Rasyid (Abu Bakar, Umar dan Usman).
Namun pada tahun 1055 dinasti Saljuq yang Sunni berhasil menguasai Baghdad.
Dinasti Buwaihi pun menjadi lemah. Meskipun otoritas politik Daulah Saljuk
dipegang oleh sultan yang dilimpahkan kepada wazir bukan Khalifah, namun yang
menjadi dinasti ini berjaya adalah perhatian sultan dalam peningkatan keilmuan
warga negara dan memperbaiki pemikiran umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan
mendirikan madrasah Nizamiyah yang salah satu motifnya adalah menyebarkan paham Sunni
untuk membendung berkembangnya ajaran syiah.
Seluruh komunitas Sunni di hampir seluruh
negeri menolak kehadiran syiah batiniyah, yang disamping menyimpang, mereka
juga menunjukkan gerakan militan radikal. Atas dasar inilah Nizam Muluk
melarang aliran batiniyah berkembang di wilayah negerinya. Di sini imam Ghazali
memainkan peranannya sebagai ilmuan Islam. Ia menulis buku Fadaih
al-Batiniyah yang mengkritik pemikiran syiah batiniyah. Gerakan
politik Syiah di Irak bukan berarti mati, ketika kerajaan-kerajaan Syi’ah mulai
menyusut, militan syiah bergerak di bawah tanah. Pada tahun 1092 mereka bahkan
tiba-tiba mulai tunjukkan kekuatan yang dipimpin oleh Hasan Ibn al-Sabbah.
Bahkan secara mengejutkan, syiah batiniyah membantai Nizam Muluk.
BAB III KESIMPULAN
Dinasti Buwaihi berdiri pada tahun
334 H disebabkan oleh kondisi khalifah Dinasti Abbasiyah lebih buruk dari pada
khalifah sebelumnya dan adanya perbedaan ideology antara Bani Buwaihi yang beraliran syiah
dengan Bani abbasiyah yang beraliran Sunni. Kehadiran Dinasti Buwaihi dalam
pemerintahan Dinasti Abbasiyah telah menjadikan khalifah kehilangan kekuasaan
sebagai kepala pemerintahan.
Keberhasilan yang telah dicapai
Dinasti Buwaihi meliputi bidang ilmu pengetahuan ; pembangunan sekolah-sekolah di Syiraz, Rayy dan Isfahan,
observatorium di Baghdad, gerakan penterjemahan dan lahirnya ilmuan-ilmuan
besar seperti Ibnu Sina (filosof), Ibnu Maskawih (filosof), al_Kharizmi (Pakar
Matematika) , Ibnu Haistam (pemilik teori cahaya), Nasarwi (pakar matematika), istakhri (ahli ilmu
bumi). dan sebagainya. Selain itu pembangunan rumah sakit Bimaristan al-Adhudi
yang memiliki 24 tenaga medis dan menjadi pusat studi kedokteran. Prestasi yang
telah dicapai Dinasti Buwaihi menunjukkan bahwa apabila membangun sebuah Negara
yang disertai dengan pembangunan kultur masyarakat maka dipastikan Negara itu
akan dapat mencapai peradaban yang tinggi.
Demikian halnya hancurnya sebuah Negara bukan diawali oleh
bangsa lain, tetapi kehancuran itu sebenarnya dilakukan oleh dirinya sendiri.
Ungkapan tersebut sangat tepat untuk menggambarkan kemunduran Dinasti Buwaihi
disebabkan adanya konflik internal untuk perebutan kekuasan di dalam tubuh
dinasti Buwaihi, adanya pertentangan aliran-aliran keagamaan/perselisihan
Madzhab, serangan dari Bizantium dan lepasnya dinasti-dinasti kecil dari
kekuasaan Baghdad. Kondisi Dinasti yang mulai melemah dimanfaatkan oleh pihak
lain untuk melepaskan diri dan berusaha menggulingkan kekuasaan mereka seperti
kehadiran Bani Saljuq atas undangan khalifah yang ternyata mengakiri kekuasaan dinasti
Buwaihi dalam kekhalifahan Abbasiyah
Bani Saljuq yang hadir setelah Dinasti Buwaihi dalam pemerintahan
Dinasti Abbasiyah telah mampu menunda kehancuran khalifah Abbasiyah selama dua
abad. Selama dalam pemerintahan Bani Saljuq telah ikut membangkitkan gairah
ilmiah di wilayah kekuasaannya. Didirikannya Madrasah Nidzamiyah yang
diprakarsai Nidzam al Mulk telah berjasa dalam mengembangkan ajaran Sunni dan
menumbangkan madzhab syiah di daerah itu.
Madrasah Nidzamiyah didirikan bermotif kependidikan, politik dan
ideologi sebagai alat propaganda tandingan. Di antara ilmuan yang terkenal pada
masa ini adalah Al-Ghozali ahli ilmu Kalam, filsafat dan Sufi,
Ibn al Khasysyaf al-baghdadi ahli ilmu Qiraah, al Zamakhsyari ahli ilmu tafsir
dan teologi dan lain sebagainya. Sedangkan dalam ilmu umum, ilmuan muslim
adalah Abu Ali Yahya Ibnu Jazlah dokter yang menulis kitab al Manhaj dalam ilmu
kedokteran, Abu al-Raihan al Biruni ahli astronomi, Umar Khayyam ahli dalam
sastra.
Ada beberapa factor yang menyebabkan
Dinasti Saljuq mengalami kemunduran dan sekaligus mengakhiri kejayaan Dinasti
Abbasiyah yaitu ; (1)Perselisihan yang terjadi di dalan keluarga
Saljuk antara saudara mereka, paman, anak-anak dan cucu yang memang sudah
terpecah belah semenjak meninggalnya Malik Syah. (2) Pemberontakan golongan
Ismailiyah dari kelompok Hasysyasyin. (3) Perpecahan-perpecahan dalam negeri
hasil dari perluasan kerajaan Saljuq dan hasil cara hidup kaum Saljuq yang
bersuku-suku. (4) Adanya pengkhianatan sebagaian para pejabat, menteri dan para
atabaek sehingga berdirilah wilayah-wilayah Amiriyah Utabak. (5) .Ketidakmampuan
pemerintah Saljuk dalam menyatukan wilayah Syam, Mesir dan Irak di bawah panji
kekuasaan Bani Abbas. (6) Terjadinya friksi di dalam kekuasaan Saljuk hingga
menimbulkan bentrokan militer yang terus-menerus sehingga Dinasti Saljuk harus
kehilangan kesultanannya di Irak. (5)Konspirasi orang-orang aliran Bathiniyah
terhadap kesultanan Saljuk yang mereka lakukan dengan cara membunuh dan
menghabisi para sultan dan pemimpin-pemimpin mereka serta komandan-komandan
perangnya.
Konflik antara Bani Buwaihi dengan
Bani Saljuk pada dasarnya dilatarbelakangi oleh perbedaan madzhab antara Syiah
dengan Sunni yang bermuara pada persoalan politik yaitu adanya perebutan kekuasaan dan
persoalan kepemimpinan (imamah) pasca Nabi Muhammad saw. wafat. Perbedaan ini
telah mengakibatkan pertikaian yang
berkepanjangan sehingga menelan korban
jiwa dan materi yang cukup banyak. Dalam lintasan sejarah tidak sedikit
kekejaman yang dilakukan kaum Syi’I
terhadap kaum Sunni atau sebaliknya karena perbedaan politik tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
W.
Montgomery watt dalam Jaih Mubarok M.Ag,
Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Ilmu, 2008)
W. Montgomery watt dalam Jaih Mubarok M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Bandung:
Pustaka Ilmu, 2008), cet. Ke-1, 174
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Syi'ah dan Sunni: Konflik Antara Buwaihi dan Saljuq"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*