MODERNISASI DAN PEMBARUAN DI DUNIA ISLAM
Dalam situasi umat yang seperti itu, tampillah seorang pembaru Islam pada peralihan abad ke-13 dan ke-14 yaitu Ibnu Taimiyah di Damaskus. Pembaruan yang dilakukan oleh tokoh yang sering dianggap sebagai bapak tajdid (reformasi Islam) ditujukan pada tiga sasaran utama yaitu sufisme, filsuf yang mendewakan rasionalisme dan teologi Asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu diserta seruan kepada umat Islam agar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah[2][2] dan memahami kembali kedua sumber Islam itu dengan landasan ijtihad. Pintu ijtihad yang seolah-olah sudah ditutup pada waktu itu didobrak oleh Ibnu Taimiyah sambil menandaskan bahwa rekonstruksi Islam hanya dapat dilakukan dengan menghidupkan semangat ijtihad. Menurutnya bahwa manusia harus dapat memahami kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah.
C. LATAR BELAKANG DAN DASAR PEMBARUAN DAN MODERNISASI DI DUNIA ISLAM
c. Landasan Historisnya adalah sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
Tahap pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Golongan Revivalis (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika Barat.[21][21] Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan seksama untuk melakukan transformasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”.Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka kembali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaru. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah..
E. TOKOH-TOKOH PEMBARUAN DAN UPAYA – UPAYA YANG TELAH DILAKSANAKAN DI DUNIA ISLAM
Oleh: Ainul Mahbubah
Artikel terkait: FILSAFAT POSTMODERNISME TENTANG PENDIDIKAN DAN KURIKULUM
Artikel terkait: FILSAFAT POSTMODERNISME TENTANG PENDIDIKAN DAN KURIKULUM
A.
PENDAHULUAN
Islam
bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Keduanya diyakini sebagai kebenaran
tunggal ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah sebagai watak
dan ciri khas adanya dinamika intelektual dalam Islam. Di dalamnya dimuat
postulat-postulat yang mendorong umat Islam untuk terus mengkaji dan meneliti
tentang prinsip dasar universalitas ajaran Islam yang sempurna namun tidak
semuanya disampaikan dengan bahasa yang jelas dan terinci. Oleh karena itu,
interpretasi diperlukan untuk memahami maksud dan makna bunyi ayat dan
mengamalkannya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Apalagi yang
berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan, Islam memberikan pedoman yang
masih bersifat umum.
Selama
dua setengah abad sepeninggal Nabi SAW. dalam kaitannya pengalaman Al-Qur’an
dan Al-Sunnah, Ortodoksi Sunni mengalami kristalisasi setelah bergulat dengan aliran Mu’tazilah (rasionalisme dalam
Islam), aliran Syi’ah, dan kelompok-kelompok Khawarij. Pergulatan ini
sesungguhnya masih terus berlangsung sampai abad ke-13. Pada abad ini sufisme
berkembang di Dunia Islam dalam bentuk pelbagai kelompok persaudaraan
(thariqah), yang sedikit banyak berbau mistik karena tidak jarang
gerakan-gerakan sufi mengalami pembauran dengan budaya-budaya lokal yang sudah
ada. Jadi tidak aneh bila praktek-praktek sufi kadang kala bertentangan dengan
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah karena mengarah pada bid’ah dan khurafat.[1][1]
Dalam situasi umat yang seperti itu, tampillah seorang pembaru Islam pada peralihan abad ke-13 dan ke-14 yaitu Ibnu Taimiyah di Damaskus. Pembaruan yang dilakukan oleh tokoh yang sering dianggap sebagai bapak tajdid (reformasi Islam) ditujukan pada tiga sasaran utama yaitu sufisme, filsuf yang mendewakan rasionalisme dan teologi Asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik. Ketiganya dipandang menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam memberikan kritik selalu diserta seruan kepada umat Islam agar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah[2][2] dan memahami kembali kedua sumber Islam itu dengan landasan ijtihad. Pintu ijtihad yang seolah-olah sudah ditutup pada waktu itu didobrak oleh Ibnu Taimiyah sambil menandaskan bahwa rekonstruksi Islam hanya dapat dilakukan dengan menghidupkan semangat ijtihad. Menurutnya bahwa manusia harus dapat memahami kehendak Allah sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Pada
masa-masa selanjutnya bermunculanlah tokoh-tokoh pembaru lainnya yang pada
awalnya bertujuan sama untuk memperbaiki kondisi umat Islam yang pada waktu itu
mengalami degenerasi dan dekadensi akidah hanya saja tekanan dari masing-masing
pembaharuan berbeda, dari satu generasi kepada generasi yang lain, dan juga
dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Dalam pada itu yang diperbaharui oleh para pembaharu itu hanyalah
penafsiran dan interpretasi dari ajaran yang bersifat tidak muntlak. Fazlur Rahman salah seorang pemikir Islam
terkemuka menilai bahwa gerakan-gerakan
reformasi Islam yang muncul pada abad ke-17 sampai ke-19 pada dasarnya
menunjukkan karakteristik yang sama seperti gagasan pokok Ibnu Taimiyah yaitu
mengedepankan rekonstruksi sosio-moral masyarakat Islam dan sekaligus
mengoreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.[3][3]
Kebangkitan
di dunia Barat pada masa antara akhir
abad ke-16 dan akhir abad ke-18 telah terjadi transformasi budaya yang membawa
masyarakat Barat menuju modernitas. Secara Historis , Galileo Galilei (1564-1642) dianggap sebagai pahlawan
modernitas yang hidup pada masa Renaissans, masa ketika para pemikir
mendapatkan diri dalam kebebasan pribadi dan dengan akal sehat mereka mendobrak
dogma gereja, sehingga mereka mampu menemukan pelbagai pemecahan dan penemuan
baru di bidang ilmiah.[4][4] Pada masa ini
merupakan masa pencerahan terhadap akal pemikiran atau masa pencerahan (
Aufklarung) terutama tahun 1650 – 1800 M.[5][5], yang
selanjutnya diikuti oleh Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Perancis (1789 – 1799) yang telah
membangun norma-norma baru dalam hubungan sosial umat manusia. Sejak saat
itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern melaju dengan pesat.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan
anak kandung modernitas pada abad ke-19 menyerbu dunia Islam dengan pintu masuk
pendudukan Napoleon Bonaparte di Mesir yang dalam sejarah Islam disebut sebagai
permulaan Periode Modern. Kontak dengan dunia Barat modern ini selanjutnya
menimbulkan pelbagai ide baru di dunia Islam seperti rasionalisme,
nasionalisme, demokrasi, sekularisme dan sebagainya yang kelak menimbulkan
pelbagai persoalan baru[6][6], juga sekaligus
menumbuhkan kembali dinamika intelektual kaum muslimin dengan cara membersihkan
agama dari subversi syirk, khurafat, dan bid’ah serta mengadopsi pemahaman dan
metodologi baru yang dikembangkan oleh orang-orang Barat.[7][7]
Dalam keadaan demikian inilah. Dunia
Islam bangkit dan muncul kesadaran
bahwa mereka telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Karena itu
muncullah ulama dan para pemikir Islam dengan ide-ide yang bertujuan memajukan
dunia Islam dan mengejar ketinggalan dari Barat sehingga dunia Islam pun memasuki periode
modern.
B.
DEFINISI
MODERNISASI DAN PEMBARUAN DI DUNIA ISLAM
“Modernisasi” secara etimologis berasal dari kata modern yang telah baku menjadi bahasa
Indonesia dengan arti pembaruan. Dalam masyarakat Barat “modernisme” mengandung
arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat
istiadat, institusi-institusi lama dan lain
sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan
keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern[8][8]. Modernisasi
atau pembaruan dapat diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima atau
dilaksanakan oleh penerima pembaruan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain.
Dengan demikian modernisasi merupakan proses perubahan untuk memperbaiki
keadaan, baik dari segi cara, konsep dan serangkaian metode yang bisa
diterapkan dalam rangka mengantarkan keadaan yang lebih baik.
Sedangkan
dalam kosakata Islam term “pembaruan” digunakan kata tajdid, kemudian
muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan
pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanisme, revivalisme dan
fundamentalisme. Disamping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata
Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata “ishlah”. Kata “tajdid”
biasa diterjemahkan sebagai “pembaruan” dan
“ishlah” sebagai “perubahan”. Kedua kata tersebut
secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu
suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktik-praktiknya
dalam komunitas kaum muslim.[9][9]
Berkaitan dengan hal tersebut, pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang
menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa pembaruan
Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi
nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera zaman,[10][10] melainkan
lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran
dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan serta semangat zaman.[11][11]
Adapun penggunaan istilah “modernisasi”
atau “pembaruan” di dunia Islam oleh para ahli masih terdapat perbedaan
pendapat, demikian pula dalam pemaknaan
dan isi pembaruan itu sendiri. Harun Nasution menyebut pergulatan modernitas dan tradisi
dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaruan terhadap tradisi yang ada
sebagai “Gerakan Pembaruan Islam”, bukan “Gerakan Modernisme Islam”.
Menurutnya, modernisme memiliki konteks
sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat untuk menggantikan ajaran
agama Katholik dengan sains dan filsafat modern yang berpuncak pada proses
sekularisasi dunia Barat.[12][12] Sedangkan
Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada pembauran degan
alasan bahwa penggunaan istilah pembaruan tidak selalu sesuai dengan kenyataan
sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam
modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan
Muslim, sebaliknya yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi.
Dengan demikian harus kita pahami bahwa pembaharuan dalam tradisi Islam yang
disebut konsep tajdid tidak sama dengan modernisasi dalam Islam.Yang diperlukan
sekarang adalah usaha penggalian kembali konsep-konsep dalam Islam yang telah
terkaburkan karena terjadi kesenjangan antara yang dikehendaki Al-Qur’an dan
al-Sunnah dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Kesenjangan ini terjadi di antaranya
disebabkan oleh ketidakmampuan menangkap semangat ajaran Al-Qur’an dan Sunnah
dalam menghadapi gerak dan perkembangan
hidup manusia yang mengakibatkan pengamalannya menjadi padam dan ketiadaan ilmu
yang cukup dapat berakibat pengamalan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah menyimpang
dari semangatnya.[13][13]Dengan demikian
antara tajdid (pembaruan) dan modernisasi di dunia Islam berbeda secara
etimologis maupun konseptual, namun dalam praktiknya keduanya tidak
terpisahkan. Perbedaan ini dapat kita telusuri dari segi historis lahirnya
kedua istilah tersebut.
Ada beberapa komponen yang menjadi
ciri suatu aktivitas dikatakan sebagai aktivitas pembaruan, antara lain: pertama,
baik pembaruan maupun modernisasi
akan selalu mengarah kepada upaya perbaikan secara simultan, kedua, dalam
upaya melakukan suatu pembaruan niscaya akan ada pengaruh yang kuat antara ilmu
pengetahuan dan teknologi, ketiga, upaya pembaruan dilakukan juga
dilakukan secara dinamis, inovatif, dan progresif sejalan dengan perubahan cara
berpikir seseorang.[14][14]Ketiga komponen
ini dalam pelaksanaannya selalu terkait tidak dapat dipisahkan.
C. LATAR BELAKANG DAN DASAR PEMBARUAN DAN MODERNISASI DI DUNIA ISLAM
Pembaruan dan Modernisasi di dunia Islam dilatarbelakangi
oleh beberapa factor berikut ini:
oleh beberapa factor berikut ini:
a.
Faktor
Internal; faktor dari dalam Islam itu sendiri di antaranya :
Pertama, paham
tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan – kebiasaan
yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat , pemujaan terhadap orang-orang yang
dianggap suci, dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.Kedua, sifat
jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di
zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad,
maka tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaruan yang
berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat Islam selalu berpecah
belah, maka umat Islam tidak akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju
karena adanya persatuan dan kesatuan
atau persaudaraan yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan
kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaruan.
b.
Faktor
Eksternal yaitu hasil kontak yang
terjalin antara dunia Islam dengan dunia Barat. Dengan adanya kontak ini umat
Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat.
Pembaruan dan Modernisasi di Dunia Islam dilandasi
oleh tiga hal berikut:
a.
Landasan Teologis
Menurut
Achmad Jainuri – landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk
keyakinan, yaitu :
Pertama, keyakinan
bahwa Islam adalah agama universal (universalisme Islam).[15][15]Konsep
universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia
dengan tidak membatasi diri pada suatu
bahasa, tempat, masa, atau
kelompok tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalism dalam
bentuk apapun.[16][16]Kedua,keyakinan
bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT yang memuat semua
prinsip moral dan agama untuk semua manusia atau finalitas fungsi kenabian
Muhammad SAW. sebagai Rasul Allah.[17][17]
Sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Hamid,
Maulana Muhammad Ali dalam buku The
Religion of Islam menyatakan bahwa dalam keyakinan umat Islam, terpatri
suatu doktrin bahwa Islam adalah agama
akhir yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti bahwa pasca Islam
sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula bahwa
sebagai agama yang terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling sempurna
dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama yang
diturunkan sebelumnya.[18][18]
b.
Landasan
Normatif
Yang dimaksud dalam
kajian ini adalah landasan yang diperoleh dari tek-teks nash, baik dari
al-Qur’an maupun al-Hadis. Dasar-dasar dari Al-Qur’an tentang modernisasi
menurut Nurcholish Madjid sebagai berikut:[19][19]
Ø Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haq (benar) bukan bathil (palsu)
(QS. Al-Nahl [16]:3, Shad [38]:27).
Ø Dia mengaturnya dengan peraturan
Ilahi (Sunnatullah) yang menguasai dan pasti (QS. Al-A’raf [7]:54, al-Furqan
[25]:2).
Ø Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta,
alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan
harmonis (QS. Al-Anbiya [21]:27,
Al-Mulk [67]:3).
Ø Manusia diperintahkan Allah untuk
mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya (Qs. Yunus
[10]:101).
Ø Allah menciptakan seluruh alam raya
untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaannya,sebagai
rahmat dari-Nya. Akan tetapi hanya golongan manusia yang berpikir atau rasional
yang mengerti dan kemudian memanfaatkan karunia itu (QS.Al-Jatsiyah [45]:13.
Ø Karena adanya perintah untuk
menggunakan akal pikiran (rasio) itu, Allah melarang segala sesuatu yang
menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta
tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara berpikir dan tata cara generasi
sebelumnya (QS. Al-Baqarah [2]:170, al-Zukhruf [43]:22-25.
c. Landasan Historisnya adalah sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
D.
BENTUK
PEMBARUAN
Gerakan
pembaruan Islam telah melewati sejarah panjang. Menurut Fazlur Rahman secara
historis, perkembangan pembaruan Islam paling sedikit telah melewati empat
tahap. Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara
satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity)
daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan
pembaruan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemodernan yang telah cukup
lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus
berekspansi hingga sekarang. Tahap-tahap gerakan pembaruan Islam itu, dapat
dideskripsikan sebagai berikut:[20][20]
Tahap pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Golongan Revivalis (Pra-Modernis), mulai muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang dipelopori oleh gerakan Wahabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, Fulaniyah di Afrika Barat.[21][21] Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan seksama untuk melakukan transformasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”.Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka kembali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaru. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah..
Tahap kedua,
dikenal dengan istilah modernisme klasik. Gerakan Modernis ini dipelopori oleh Jamaluddin
Al-Afghani (w.1897) di seluruh Timur Tengah, Sayyid Ahmad Khan (w.1898) di
India, dan Muhammad Abduh (w.1905) di Mesir. Di sini pembaruan Islam
termanifestasikan dalam pembaruan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini
tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang
paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga
merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan
rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model
gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme
Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaru pada
tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun demikian,
bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang
makin santer untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pada tahap ini
juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil
kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena
meninggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan
melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran
wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaruan politik melalui bentuk
pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi
kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak
lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya.
Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh
hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki
kebebasan gerakan pembaruan. Mereka ingin mempertahankan status quo
masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.
Tahap
ketiga, gerakan pembaruan Islam disebut revivalisme, pascamodernis (posmodernist revivalist), atau
disebut juga neorevivalist (new revivalist). Gerakan ini mempunyai corak
modern namun agak reaksioner, di mana A’la al-Maududi dengan Jemaat Islaminya
menjadi model tipikal bagi gerakan ini. [22][22]
Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih
dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem
politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan
sosial dan politik yang merupakan aksentuasi utama dari tahap ini mulai
dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas
yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern
dibedakan dengan madrasah yang tradisional juga dikembangkan. Kaum
terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai
bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan
pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi
munculnya tahap berikutnya. Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan
di kalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total,
juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat
langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini
merupakan respons terhadap kuatnya arus “pembaratan” di kalangan kaum muslim.
Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi
yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.
Tahap
keempat yang disebut neo-modernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses
pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai “pengibar
bendera” neo-modernisme menegaskan bahwa gerakan ini dilancarkan
berdasarkan kritik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurutnya
neo-modernisme mempunyai sintesis progresif dari rasionalitas modernis di satu
sisi dengan ijtihad dan tradisi klasik di sisi yang lain. Ini merupakan
prasyarat utama bagi renaissance Islam.
E. TOKOH-TOKOH PEMBARUAN DAN UPAYA – UPAYA YANG TELAH DILAKSANAKAN DI DUNIA ISLAM
Pada perkembangan Islam abad modern, umat Islam mulai timbul kesadaran akan
pentingnya ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah setelah
terjadi banyak penyimpangan dari sumber asalnya. Pada masa ini muncullah para
pembaharu yang ingin melakukan pemurnian terhadap ajaran agama Islam yang
sesuai dengan ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis. Berikut tokoh-tokoh para pembaharu dan upaya-upaya yang telah
dilakukan adalah :
1.
Muhammad bin
Abdul Wahhab yaitu ulama besar yang produktif lahir di Nejed Arab Saudi pada
tahun 1703 M. Beliau telah mempelopori gerakan pemurnian tauhid yang disebut
dengan Gerakan Wahabiyah. Secara umum
tujuan gerakan Wahabi adalah mengikis habis segala bentuk takhayul, bid’ah,
khurafat dan bentuk-bentuk penyimpangan pemikiran dan praktik keagamaan umat
Islam yang dinilainya telah keluar dari ajaran Islam yang
sebenarnya.[23][23]
2.
Jamaluddin
al-Af-Ghani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1835. Ia pendiri
perkumpulan Al-Urwah Al-Wutsqa (Ikatan yang Kuat) suatu perkumpulan yang
anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari berbagai Negara yang bertujuan
untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam
kepada kemajuan. Pemikirannya selain ajakan untuk pemurnian kembali ajaran
Islam, ia juga melahirkan ide tentang
adanya persamaan antara pria dan wanita dalam beberapa hal, kepemimpinan
otokrasi supaya diubah menjadi demokrasi . Gerakan politisnya adalah
Pan-Islamisme dan anti kolonial. Ia senantiasa berpihak pada kelompok yang
menentang kolonialisme Inggris. Ide modernism dalam pembaruan politik kesatuan
dunia Islam dan populisme.
3.
Muhammad
Abduh dilahirkan di Mesir tahun 1849. Dalam melakukan gerakan pembaruan ia
melaksanakannya dengan menulis artikel di media massa seperti di Koran
Al-Ahram.Upaya dan pemikirannya dalam pembaruan Islam adalah : untuk
menafsirkan kemurnian ajaran Islam harus digunakan cara dengan membuka pintu
ijtihad.Setiap umat Islam agar dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
modern maka harus mau menghargai akal dengan jalan merasionalisasikan ajaran
Islam itu sendiri. Negara Islam harus mengakui konstitusi sehingga ada pembatasan
kekuasaan dari seorang pemimpin. Dia juga melakukan modernisasi sistem
pendidikan di Al-Azhar.[24][24]
4.
Rasyid Ridha
lahir di Qalmoun, Syam tahun 1865 M. Upaya
dan pemikirannya adalah meluruskan pemahaman agama melalui penerbitan
majalah dan tafsir Al-Qur’an Al-Manar dan memperbarui system pendidikan
dan pengajaran dengan metode baru dengan
menambahkan mata pelajaran umum pada kurikulum madrasah dan sekolah
tradisional, di samping mata pelajaran agama. Ia juga telah mendirikan sekolah
bernama Al-Madrasah Ad-Dakwah wa Al-Irsyad pada tahun 1912 di Kairo.[25][25]
5.
Muhammad Ali
Jinnah lahir di Karachi pada tahun 1876 sebagai “Bapak Pendiri Pakistan”
penerus gerakan pembaruan sebelumnya
Muhammad Iqbal sebagai arsitek, penggerak dan pemikir idealisme. Ia merupakan
tokoh penentu tentang kebangkitan Islam India. Dengan segala kegigihan dan
keberaniannya ia terus mewujudkan suatu
koloni Islam yang diikat dalam suatu pemerintahan Islam mandiri dan terbebas dari
intervensi pihak manapun.[26][26]
6.
Sayyid Ahmad
Khan lahir di Delhi India adalah seorang pembaru yang produktif dengan berbagai
karya, di antaranya pemikirannya tentang
sosial politik dengan melakukan asimilasi antara kaum Muslimin dan kebudayaan
Inggris dengan menulis sebuah buku yang berjudul Ahkam Ta’am Ahl Al-kitab
(Hukum makanan Ahli Kitab). Dalam bidang pendidikan pada tahun 1878 ia
mendirikan Muhammaden Anglo Oriental College (MAOC) yang pada tahun 1920
menjadi Universitas Islam Aligarh.Sedangkan pada tahun 1886 mendirikan Muhammaden
Education Confrence yang merupakan pendidikan nasional yang seragam di India.[27][27]Adapun dalam
bidang agama cara ia menelaah dan memberi intepretasi terhadap Al-Qur’an dan
Hadis cenderung mengarah pada pemikiran rasional.[28][28]
Dengan
memperhatikan upaya-upaya yang dilakukan para tokoh-tokoh tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa gerakan-gerakan pembaruan sebelum abad ke-20 ini
memiliki beberapa kesamaan dasar yaitu (1) gerakan-gerakan itu datang dari
masyarakat Islam itu sendiri, (2) gerakan-gerakan itu pada dasarnya melakukan
kritik terhadap sufisme yang cenderung menjauhi tugas-tugas manusia Muslim alam
pergumulan social di dunia konkret, (3) gerakan-gerakan ini menekankan mutlak
perlunya rekonstruksi sosio-moral dan
sosio-etis masyarakat Islam agar sesuai, atau paling tidak mendekati Islam
sebagaimana yang dikehendaki oleh Al-Qur’an dan Sunnah(4) gerakan-gerakan ini mengobarkan semangat
ijtihad yaitu penggunaan akal pikiran untuk memecahkan masalah-masalah yang
timbul dalam masyarakat Islam dengan referensi utama al-Qur’an dan Hadis.
F.
PROBLEMATIKA
PEMBAHARUAN DAN MODERNISASI ISLAM DI DUNIA ISLAM
Masuknya modernitas ke dunia Islam melewati
suatu proses yang disebut “serbuan” atau melalui kekerasan yang bersifat
militer yakni ekspedisi Napoleon Banaparte ke Mesir (1798-1801). Semenjak itu
modernitas tidak saja menimbulkan implikasi positif di dunia Islam, tetapi juga
sejumlah problem dan tantangan yang makin lama makin bertambah banyak seiring
dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat.
Ada beberapa problem yang dihadapi dalam
pembaruan dan modernisasi agama Islam, salah satu di antaranya adalah transformasi dalam tradisi dan
kehidupan social yang antara lain ditandai dengan (1) berkembangnya kemajemukan
internal (internal diversity); (2) diferensiasi structural (structural
differentiation);(3) agama sebagai bagian dari tradisi harus berhadapan dengan
dua kekuatan utama modernisasi, yaitu pluralisme budaya (cultural pluralisme)
dan kritisisme ilmu pengetahuan (scientific criticism)[29][29]
yang dapat menimbulkan problem dalam sosial keagamaan.
Di antara problem sosial keagamaan
yang timbul di dalam pembaruan di dunia Islam adalah :
Pertama, fenomena munculnya berbagai aliran atau
gerakan sempalan dan sesat di belahan
dunia. Banyak
sekali aliran sempalan yang bermunculan di dunia Islam antara lain gerakan sempalan di beberapa negara yaitu gerakan Darul Arqam di
Malaysia didirikan oleh Syeikh Ahmad Suhaimi. Gerakan ini sangat tergantung
kepada pemimpin karismatik, Ustaz Ashaari Muhammad yang dikultuskan oleh
pengikutnya secara berlebihan seperti mempunyai barakah, karamah dan syafaat
dan diberikan kuasa-kuasa oleh Allah (kun fayakun).[30][30] Kesesatan dari gerakan ini terkait
dengann ajaran dan akidah yang menyimpang dari ajaran Islam.
Ahmadiyah ( Agama Qadian India) didirikan
oleh Nabi Mirza Ghulam Ahmad a.s (menurut orang Ahmadiyah) di India.
Penyimpangan dari agama ini adalah pengakuan dari Ghulam Ahmad bahwa dirinya
sebagai Nabi yang menerima wahyu di
India kemudian dibukukan menjadi kitab suci Tadzkirah yang sama sucinya
dengan Al-Qur’an.[31][31] Faham
Baha'i timbul dari kalangan Syi’ah di Iran pada abad XIX dicetuskan oleh
Mirza Ali Muhammad yang mengangkat dirinya “Imam Mahdi”. Faham ini mengajarkan
bahwa semua agama samawi (Yahudi, Islam dan Kristen) itu sama, karena berasal
dari Tuhan yang sama.[32][32] dan Gerakan Syi'ah yang
berkembang di Iran ajarannya banyak yang menyimpang dari Islam, kufur, sesat
dan menyesatkan.[33][33] Ketiganya
merupakan faham agama yang sudah lama berdiri di negara lain sebelum masuknya
ke Indonesia. Pada masa awalnya, ketiganya mempunyai aspek messianis, namun
kemudian berubah menjadi introversionis, tanpa sama sekali menghilangkan
semangat awalnya. Pemimpin karismatik aslinya (Ghulam Ahmad, Baha'ullah,
Duabelas Imam) tetap merupakan titik fokus penghormatan dan cinta yang luar
biasa.[34][34] Dalam Syi'ah,
semangat revolusioner kadang-kadang tumbuh lagi (seperti terakhir terlihat di
Iran sejak 1977), dan itulah agaknya yang merupakan daya tarik utama faham Syi'ah
bagi para pengagumnya di Indonesia. Sedangkan Ahmadiyah telah
menampilkan diri (di India- Pakistan dan juga di Indonesia) terutama sebagai
sekte reformis yang belakangan menjadi sangat introversionis dan
menghindar dari kegiatan di luar kalangan mereka sendiri. Walaupun sekte Baha'i
juga mempunyai beberapa penganut di Indonesia, mereka rupanya tidak berasal
dari kalangan Islam, sehingga Baha'i di sini tidak dapat dianggap sebagai
gerakan sempalan Islam (seperti halnya di negara aslinya, Iran).[35][35]
Sedangkan
di Indonesia sebagaimana yang telah ditetapkan oleh MUI Pusat
dan diumumkan pada Pedoman Identifikasi Aliran Sesat pada tanggal 6
Nopember 2007 disebutkan bahwa suatu faham atau aliran dinyatakan sesat
apabila memenuhi salah satu dari
kriteria berikut:
1.
Mengingkari
salah satu rukun iman yang 6 (enam) yakni beriman kepada Allah, kepada
Malaikat-Nya kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-Rasul-Nya, kepada hari
Akhirat, kepada Qadla dan Qadar, dan rukun Islam yang 5 (lima) yakni
mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat,
berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji.
2.
Meyakini dan
atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al-Qur`an dan
as-Sunnah),
3.
Meyakini
turunnya wahyu setelah Al-Quran,
4.
Mengingkari
otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Quran,
5.
Melakukan
penafsiran Al-Quran yang tidak berdasarkan kaedah-kaedah tafsir,
6.
Mengingkari
kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam,
7.
Menghina,
melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul,
8.
Mengingkari
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai Nabi dan Rasul terakhir,
9.
Mengubah,
menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh
syariat, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardu tidak lima waktu,
10. Mengkafirkan
sesama Muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengakafirkan muslim hanya karena
bukan kelompoknya.[36][36]
Di antara
aliran yang sesuai dengan kriteria sesat yang ditetapkan oleh MUI yang
pernah tumbuh dan berkembang di Indonesia kemudian dilarang yaitu :
1.
Syiah
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 merekomendasikan tentang faham Syi’ ah sebagai berikut Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan itu diantaranya:
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 merekomendasikan tentang faham Syi’ ah sebagai berikut Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan itu diantaranya:
- Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait, sedangkan ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
- Syi’ah memandang “Imam” itu ma ‘sum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
- Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam”.
- Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan ummat.
- Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
- Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah” (Pemerintahan)”, Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada ummat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah.
2.
Ahmadiyyah
Qadyaniyyah : Didirikan oleh
Mirza Ghulam Ahmad Aktif : Sejak 1889 di Pakistan, masuk Indonesia 1924,
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ditetapkan sebagai Jama’ah di luar
Islam dalam Munas II 1980, Munas VII 2005
3.
Islam Jamaah : Pendiri :
Nur Hasan Ubaidah , Aktif : 1970-an, dilarang pemerintah pada 1971. Aliran ini berubah nama menjadi Lemkari dan
Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII) pada 1991, menganggap musyrik umat di
luar Islam Jamaah, pakaian dan tubuh yang tersentuh umat lain harus disucikan,
Tidak mau shalat bersama umat di luar kelompok
- Darul Arqam Fatwa MUI tahun 1994 mendukung sepenuhnya Keputusan MUI Daerah Istimewa Aceh, MUI tingkat I Sumsel, MUI tingkat I Riau diperkuat dalam silaturrahim Nasional di Pekan Baru 1994 yang intinya Darul Arqam adalah ajaran yang menyimpang dari aqidah Islam.
- Aliran Yang Menolak Sunnah/Hadits Rasul ; Fatwa tahun 1983 menyatakan aliran ini adalah sesat dan menyesatkan dan berada di luar Agama Islam.
- Jama’ah Khalifah Dan Baiat Fatwa 1987 menyatakan bahwa di kalangan umat Islam ada keyakinan dan pemahaman agak menyimpang, seperti wajib hukumnya baiat kepada Imam Jamaah Muslimin Hizbullah.
- Pendangkalan Agama Dan Penyalahguanaan Dalil Fatwa tahun 1980, setiap usaha pendangkalan agama dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama. Oleh akrena itu MUI bertekad menanganinya secara serius dan terus menerus.
- Malaikat Jibril Mendampingi Manusia Fatwa tahun 1997 : memutuskan dan memfatwakan : Doa Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk malaikat Jibril, baik mengenai sifat dan tugasnya harus didasarkan pada bidang aqidah dan aliran keagamaan himpunan fatwa Majelis Ulama Indonesia, 75 keterangan atau penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari malaiakt Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan itu dipandang sesat dan menyesatkan.
9.
Al-Qiyadah Al-Islamiyah Dipimpin oleh
Ahmad Mushaddeq , aktif ejak 2001 , Fatwa sesat MUI: 2007 karena Tidak
menjalankan rukun Islam; salat sekali
sehari hanya malam hariidak wajib puasa, zakat, haji, menganggap musyrik orang
di luar Al-Qiyadah, punya rasul baru Ahmad Mushaddeq bergelar Almasih Almaw’ud,
Syahadat baru : Ashadu ala Illa Ha Ilallah, Wa asyhadu anna Almasih Almaw’ud
Rasulullah
10. Shalawat
Wahidiyyah Fatwa MUI Kab. Tasikmalaya, Jabar 2007 menyatakan
bahwa paham yang mengkultuskan secara berlebihan pendiri shalawat Wahidiyyah
sehingga merusak aqidah.
- Tarekat Babur Ridha Fatwa MUI Sumut 2007 menfatwakan sesatnya tarekat Babur Ridho pimpinan Hirzi Nuzlan yang mengaku menerima bisikan Jibril.
- Lembaga a Soul Training Fatwa MUI Sumut 2007 menilai sesat paham LST karena hanya menerima Al-Qur`an dan mencaci maki ulama sebagai penyebab kerusakan umat.
- Tarekat Tajul Khalwatiyyah Wassamaniyyah ; Fatwa MUI Manggarai NTT 2007 menilai tarekat ini sesat menyesatkan karena menyimpang dari Al-Quran dan sunnah seperti umur bisa dipanjangkan oleh tuan guru, yang tidak ikut kelompok mereka kafir dan teman setan, malaikat tidak mampu mencabut nyawa mereka.
- Pengajian Al-Haq Fatwa MUI Pematang Siantar mengelompkkan pengajian ini ke dalam golongan inkar sunnah Rasul dan lain sebagainya.
Kedua adanya pemahaman-pemahaman
menyimpang yang marak belakangan ini tentang liberalisme, pluralisme dan
sekularisme sebagai dampak kesalahan memaknai tajdid dan kekeliruan dalam
mengoperasionalkan ijtihad.
Di kalangan kelompok kontemporer
Islam, meskipun semuanya berbicara atas nama Islam, sebagaimana diungkapkan
Endang Turmudi dkk. yang dikutip oleh M. Atho Mudzhar masing-masing kelompok memberikan penekanan
yang berbeda atas apa yang ingin mereka capai. Walupun sama-sama menginginkan
kemurnian Islam, menegakkan syari’at Islam, namun mereka berbeda dalam orientasi
dan tata cara merealisir harapannya.[37][37]
Berikut ini beberapa contoh munculnya paham-paham baru terkait pembaruan dalam
Islam yaitu :
Liberalisme adalah suatu madzhab
pemikiran yang memperhatikan kekebasan individu dan memandang kewajiban
menghormati kemerdekaan individu serta berkeyakinan bahwa tugas pokok
pemerintah adalah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat seperti berpikir,
mengungkapkan pendapat, kepemilikan pribadi dan kebebasan individu serta
sejenisnya. Adapun liberalisme dalam Islam merupakan bentuk lain dari
sekularisme yang dibangun di atas sikap berpaling dari syari’at Allah, kufur
kepada ajaran dan petunjuk Allah dan rasul-Nya.[38][38]
Kemudian sekularisme itu sendiri dapat diartikan pemisahan antara agama dan
Negara atau pemisahan agama dari kehidupan. Gerakan sekuler tumbuh dan
berkembang di dunia barat, dan berkembang ke seluruh penjuru dunia seiring
dengan datangnya para penjajah barat ke dunia Islam. Maka berkembanglah
sekulerisme di dunia Islam. Kehidupan sosial politik di negara-negara Islam
jauh dari nilai-nilai ke-Islaman dan sekularisme begitu sangat kuatnya di dunia
Islam. Sedangkan di Indonesia, sekularisme sangat mudah dibaca dan sangat
transparan.
Pluralisme sering diartikan sebagai
paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan
lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk
melenyapkan “klaim kebenaran” yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap
ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horizontal dan penindasan
atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama, baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi
menganggap agamanya yang paling benar. Adapun bahaya dari pluralisme adalah
adanya penghapusan identitas-identitas agama dan munculnya agama-agama baru
yang diramu dari berbagai agama yang ada sebagaimana dicontohkan di atas,,
serta pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat
melalui isu globalisasi.
Ketiga timbulnya
kelompok Tradisionalis dan Modernis karena adanya perbedaan dalam menafsiri,
memaknai dan memahami Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
Sebagaimana yang terjadi pada
kemunculan beberapa pemikiran teologi dan filsafat di dunia Islam pada abad
klasik, kemunculan gagasan tentang pemikiran ideologis di atas tidak terelepas
dari pengaruh kondisi social, kepentingan dan kondisi social budaya bagsa yang
sedang berkembang. Hal ini menandakan meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran
pokoknya, akan tetapi setelah terlempar dalam konteks social politik tertentu
pada perkembangan sejarah tertentu pula, agama bisa memperlihatkan struktur
intern yang berbeda-beda.[39][39] Maka jika
dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa kelompok tersebut,
mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu sendiri, akan tetapi
bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam system kehidupan social,
antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for
reality (yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari
sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan
konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini
agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin sebagai realitas ) sehingga
menciptakan setidaknya dua komunitas
beragama antara kelompok tradisionalis dan modernis.[40][40]
Kelompok
tradisionalis sering dikategorikan sebagai kelompok Islam yang masih
mempraktekkan beberapa praktek tahayyul, bid'ah, khurafat, dan beberapa
budaya animisme, atau sering diidentikkan dengan ekspresi Islam lokal, sementara
kelompok modernis adalah mereka yang sudah tidak lagi mempraktekkan beberapa
hal di atas. Perbedaan tersebut pada
akhirnya membawa perbedaan dalam orientasi ideologi keagamaan, beberapa
praktek ritual keagamaan dan penggunaan symbol, yang seringkali menimbulkan
perselisihan atau konflik antar pengikutnya. Tidak jarang konflik fisik pun
terjadi hanya karena masalah sepele..
G.
SOLUSI
TERHADAP PROBLEM PENYIMPANGAN AQIDAH DAN
PEMAHAMAN YANG SALAH TERHADAP PEMBARUAN DALAM ISLAM DI INDONESIA
Dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas penulis
menyampaikan beberapa solusi sebagai berikut :
Aliran-aliran sempalan sebagaimana diuraikan di muka dapat merusak Islam
dan umatnya, karena itu harus dibasmi dengan bekerja sama antara ulama,
pemerintah dan umat Islam itu sendiri. Terhadap aliran-aliran yang sudah resmi
dilarang pemerintah kita harus terus mengawasi aktivitas gerakan mereka, jangan
sampai mereka berganti nama dan bisa tumbuh dan berkembang lagi. Kewaspadaan
umat Islam tetap dijaga terus.
Memberikan peringatan dan pembinaan kepada para tokoh-tokoh pendiri atau
penyebar agama atau aliran sesat itu agar menyadari kekeliruannya. Dalam hal
ini pemerintah harus melakukan penegakan hukum dengan tegas supaya bukan umat yang bertindak
langsung dengan kekerasan sehingga pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah
justru menambah masalah baru.
Kita sebagai bagian dari umat Islam, Ulama dan Pemerintah hendaknya
memperkaya pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah dan macam-macam aliran
atau fenomena gerakan Islam yang marak belakangan ini sehingga dapat
menginformasikan eksistensi aliran dan gerakan tersebut secara komprehensif
kepada masyarakat luas agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat
mengakibatkan tindakan anarkhis.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama (KEMENAG) hendaknya
memfungsikan mekanisme musyawarah untuk mufakat, dialog terbuka dalam
menyelesaikan perselisihan antar umat seagama maupun lintas agama.
H.
PENGARUH
PEMBARUAN DUNIA ISLAM TERHADAP UMAT ISLAM DI INDONESIA
Pembaharuan di negara-negara timur tengah tidak hanya
tersebar di lingkungan mereka sendiri, namun juga meluas hingga ke Indonesia.
Pengaruh-pengaruhnya antara lain sebagai berikut:
1. Gema
pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaludin Al Afgani dan Syekh Muhammad Abdul Wahab sampai juga ke
Indonesia terutama terhadap
tokoh-tokoh seperti H. Muhammad Miskin (Kabupaten Agam, Sumbar), H.Abdul Rahman (Kab Lima Puluh Kota, Sumbar), H Salman Faris (KabTanah Datar,
Sumbar). Mereka dikenal
dengan nama H.
Miskin, H.Pioabang dan H. Sumaniik. Sepulang dari tanah suci mereka
terilhami oleh paham Syekh Muhammad
Abdul Wahhab. Mereka pulang dari tanah suci pada tahun 1803 M dan sebagai pengaruh pemikiran para pembaharu
Timur Tengah tersebut adalah timbulnya
gerakan Paderi. Gerakan tersebut ingin membersihkan ajaran Islam yang telah bercampur baur dengan
perbuatan-perbuatan yang bukan Islam. Hal ini
menimbulkan pertentangan antar golongan adat dan golongan Paderi.
2. Pada tahun
1903 M, murid-murid
dari Syekh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawy, seorang
ulama besar bangsa Indonesia di Mekah yang mendapat kedudukan mulia di kalangan masyarakat dan
pemerintah Arab kembali dari tanah
suci. Murid-murid dari Syekh Ahmad inilah yang menjadi pelopor
gerakan pembaharuan di Minangkabau, dan akhirnya berkembang ke seluruh
Indonesia. Mereka antara lain sebagai
berikut: Syekh H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), Syekh Daud Rasyidi,Syekh Jamil
Jambik dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah).
3. Munculnya berbagai organisasi dan
kelembagaan Islam modern di Indonesia pada
abad ke-20, baik yang bersifat keagamaan, politik maupun ekonomi.
Organisasi tersebut ialah sebagai berikut
: Jamiatul Khair (1905 M), Muhammadiyah
(18 November 1912), Al Irsyad (1914
M), Persatuan Islam (1923), Serikat
Dagang Islam (1911), Jamiatul Nahdatul Ulama/NU (13 Januari 1926), Matla’ul
Anwar (1905), Pergerakan Tarbiyah /
PERTI (1928),.Persatuan Muslim Indonesia / PERMI (22 Mei 1930), dan Majelis
Islam Ala Indonesia (1937).[41][41]
Dengan
demikian dapat disimpulkan
bahwa gerakan pembaharuan
yang menyebabkan lahirnya organisasi keagamaan pada mulanya bersifat
keagamaan,tetapi seiring dengan kondisi masyarakat pada saat itu kemudian
menjelma menjadi kegiatan politik yang menuntut kemerdekaan Indonesia. Dan hal
tersebut dirasakan mendapat pengaruh yang signifikan dari pemikir-pemikir para
pembaharu Islam,baik di tingkat nasional maupun internasional.
I.
KESIMPULAN
Pembaruan dan modernisasi dalam Islam adalah upaya untuk menyesuaikan
paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dengan demikian pembaruan dalam Islam
bukan berarti mengubah, mengurangi atau menambah teks Al-Qur’an dan Hadis,
melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Dari tokoh-tokoh yang muncul
dan upaya-upaya yang telah dilakukan dapat simpulkan bahwa gerakan pembaruan
tersebut mempunyai beberapa tujuan antara lain: (1) memurnikan ajaran al-qur’an
dan Sunnah dari berbagai macam unsur luar yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajarannya terutama yang akan berakibat mengotori tauhid, (2)
meluruskan pemikiran yang dirasakan menyimpang dari jiwa ajaran al-Qur’an dan
Sunnah, (3) menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat
bagi manusia sesuai dengan semangat Al-Qur’an dan Sunnah, (4) mengembangkan
pemahaman Al-Qur’an dan Sunnah seluas mungkin, agar dapat menjawab berbagai
persoalan hidup seiring dengan perkembangan zaman, (5) mengembalikan posisi
umat Islam dalam percaturan politik agar terlepas dari cengkeraman kekuasaan
kaum lain (bangsa Barat), (6) menyajikan kreasi-kreasi dan metode-metode baru dalam mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan
Sunnah dan (7) menggerakkan semangat mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah
dalam bidang kemasyarakatan menuju wujudnya kesejahteraan hidup lahir bathin,
dunia ukhrawi.
Kemunculan gerakan pembaruan Islam
tidak bisa dipisahkan dari kondisi obyektif kaum Muslim di satu sisi dan
tantangan Barat yang muncul di hadapan Islam di sisi lain. Dari sudut pandang
ini Islam memang menghadapi tantangan dua arah, yaitu dari dalam dan dari luar.
Selain itu kemunculan gerakan pembaruan ini juga dilatarbelakangi oleh dua factor yaitu ;
factor internal umat Islam: paham tauhid yang telah dinodai dengan
praktek-praktek kekufuran, kejumudan yang menyebabkan umat islam berhenti berpikir,
perpecahan di kalangan umat Islam dan
factor eksternal sebagi hasil kontak
antara dunia Islam dengan Barat.
Ada tiga landasan pembaruan dan
modernisasi dalam Islam yaitu : landasan teologis ; Pertama, keyakinan bahwa
Islam adalah agama universal (universalisme Islam) dan Kedua,keyakinan bahwa
Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah SWT yang memuat semua prinsip
moral dan agama untuk semua manusia atau finalitas fungsi kenabian Muhammad SAW
, landasan normative landasan yang diperoleh dari tek-teks nash, baik dari
al-Qur’an maupun al-Hadis dan landasan
historis; Sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan
yang akan datang.
Banyak tokoh-tokoh pembaru yang
telah berhasil dalam upaya memperbarui Islam meliputi aspek sosial keagamaan,
politik, pendidikan dan lain sebagainya yang
pemikirannya sangat berpengaruh cukup besar pada kondisi umat Islam
di Indonesia.
Selain itu juga banyak problematika yang
muncul dalam proses pembaruan Islam di antaranya; muncul aliran/sekte-sekte
atau gerakan sempalan yang sesat, adanya pemahaman-pemahaman menyimpang yang
marak belakangan ini tentang, liberalisme, sekularisme, dan pluralisme serta
radikalisme sebagai dampak kesalahan
memaknai tajdid dan kekeliruan dalam mengoperasionalkan ijtihad, timbulnya
kelompok tradisionalis dan modernis yang
mempunyai perbedaan dalam orientasi ideologi keagamaan, beberapa praktek ritual
keagamaan dan penggunaan symbol, yang
seringkali menimbulkan perselisihan antar pengikutnya, bahkan tidak jarang konflik fisik pun terjadi hanya
karena masalah-masalah yang tidak prinsip.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid
dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2010)
Achmad
Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, (Surabaya : LPAM, 2004)
Agus Hasan
Bashori, http://qiblati.com/membongkar-paham-paham- menyimpang-dari-islam,
diakses 2 Nopember
Ahmad Azhar
Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik
dan Ekonomi, (Bandung : Mizan,1993)
Amin Rais, Cakrawala
Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan, 1992)
Amos
Sukamto, Agama dan Modernitas: Spiritualis transformative Ala Nurcholish
Madjid, www.gkpb.net/index.php?option=com
2&view=item, diakses 3 Nopember
2011
Hamnis
Syafaq, Tradisionalisme dan Modernisme Islam, http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com
content&task=view&id=305&item id=193, diakses 31 oktober 2011
Hamzah
Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, (Jakarta: Pustaka Ilmu
Jaya, 1988)
Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI Press,
1986)
______________,
Islam Rasional, (Bandung : Mizan,
1997)
______________,
Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),
http://let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/gerakan_sempalan.
htm, diakses 2 Nopember 2011
http://qiblati.com/membongkar-paham-paham-menyimpang-dari-islam.html,
diakses 2 Nopember 2011
Islam dan
Liberalisme, http://ustadzkholid.com/manhaj/islam-dan-liberalisme,
diakses 2 Nopember 2011.
John L.
Espositi (ed.), Dinamika Kebangunan Islam : Watak, Proses, dan Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta :
Rajawali Press, 1987)
Joko
Winarto, Perkembangan Islam Masa Modern, http://rulrid.woedpress.com/2010/04/20/perkembangan-islam-pembaruan/,
diakses 1 Nopember 2011
M. Amin
Djamaluddin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan Di Indonesia, (Jakarta
: LPPI, 2002)
M. Atho
Mudzhar, Faham-faham Keagamaan Aktual Dalam Komunitas Masyarakat Islam, Kristen, dan Hindu di
Indonesia, ( Jakarta : Puslitbang Kehidupan
Beragama, 2008)
Moh. Dawam
Anwar, dkk., Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional
tentang Syi’ah, (Jakarta :
LIPPI, 1998)
Muhaimin, Pemikiran
dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011)
Mukhsin
Jamil, Agama-Agama Baru di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2008)
Nurkholish
Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992)
Suadi Putro,
Mohammed Arkoun tentang Islam Modernitas, ( Jakarta: Paramadina, 1998)
Sulaiman
Ibrahim, Pembaharuan Dalam Islam; (Arti dan Tujuan), http://sulaimaninstitute. wordpress.com
/2010/03/24/pembaharuan-dalam-islam- arti-dan-tujuan/,
diakses 1 nopember 2011
Taufik
Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta : LP3S, 1996)
Yusran
Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali, 1998)
[1][1]
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, (Bandung : Mizan,
1992), 118
[2][2]
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, (Bandung : Pustaka
Setia, 2010), 70
[3][3]
Amin Rais, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, 119
[4][4]
Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam Modernitas, ( Jakarta:
Paramadina, 1998), 4.
[5][5]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta, UI
Press, 1986), 93.
[6][6]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang,1992),11.
[7][7]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, 94,
[8][8]
Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung
: Mizan, 1997), 181
[9][9]
John L. Espositi (ed.), Dinamika Kebangunan Islam : Watak, Proses, dan
Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta : Rajawali Press, 1987), 21-23.
[10][10]
Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam, (Jakarta: Pustaka
Ilmu Jaya, 1988),7.
[11][11]
M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam, (Jakarta: Rajawali, 1998) 3.
[12][12]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, 11
[13][13]
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum,
Politik dan Ekonomi, (Bandung : Mizan,1993), 256.
[14][14]
Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana.
2008), 162
[15][15]
Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, (Surabaya : LPAM,
2004), 5
[16][16]
Nurkholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina,
1992), 360-362
[17][17]
Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, 6
[18][18]
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, 67
[19][19]Amos
Sukamto, Agama dan Modernitas: Spiritualis transformative Ala Nurcholish
Madjid, www.gkpb.net/index.php?option=com k2&view=item,
diakses 3 Nopember 2011
[20][20]
Sulaiman Ibrahim, Pembaharuan
Dalam Islam; (Arti dan Tujuan), http://sulaimaninstitute. wordpress.com
/2010/03/24/pembaharuan-dalam-islam-arti-dan-tujuan/, diakses 1 nopember 2011
[21][21]
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, 183
[22][22]
Ibid., 183
[23][23]
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, 110
[24][24]Muhammad
Chairul Umam, Tokoh-Tokoh Pembaruan dalam Islam, http://chairul.faa.im/tokoh-tokoh
pembaruan-dalam-islam.xhtml, diakses 1 Nopember 2011
[25][25]
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam,242
[26][26]
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern Dalam Islam, 220
[27][27]
Harun Nasution, Perubahan dalam Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1996), 149
[28][28]
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta
:Raja Grafindo Persada, 1998), 145.
[29][29]
Mukhsin Jamil, Agama-Agama Baru di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2008) , 4-5
[30][30]
M. Amin Djamaluddin, Capita Selekta Aliran-Aliran Sempalan Di Indonesia, (
Jakarta : LPPI, 2002), 42.
[31][31]
Ibid., 30
[32][32]
Ibid., 88
[33][33]
Moh. Dawam Anwar, dkk., Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Kumpulan Makalah
Seminar Nasional tentang Syi’ah, (Jakarta : LIPPI, 1998), 162
[34][34]
M. Mukhsin Jamil, Agama-Agama Baru Di Indonesia, 154
[35][35]http://let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/gerakan_sempalan.htm, diakses 2
Nopember 2011.
[36][36]
Agus Hasan Bashori, : http://qiblati.com/membongkar-paham-paham-menyimpang-dari-islam. , diakses 2 Nopember 2011
[37][37]
M. Atho Mudzhar, Faham-faham Keagamaan Aktual Dalam Komunitas Masyarakat Islam,
Kristen, dan Hindu di Indonesia, ( Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama,
2008), vii
[38][38]
Islam dan Liberalisme, http://ustadzkholid.com/manhaj/islam-dan-liberalisme,
diakses 2 Nopember 2011.
[39][39]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, (Jakarta : LP3S, 1996), 11
[40][40]
Hamnis Syafaq, Tradisionalisme dan Modernisme Islam, http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com
content&task=view&id=305&item id=193, diakses 31 oktober 2011
[41][41]
Joko Winarto, Perkembangan Islam Masa Modern, http://rulrid.woedpress.com/2010/04/20/
perkembangan-islam-pembaruan/, diakses 1 Nopember 2011
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "MODERNISASI DAN PEMBARUAN DI DUNIA ISLAM (UPAYA PEMBARUAN DI DALAM BIDANG KEAGAMAAN)"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*