KARAKTERISTIK PENDIDIKAN YANG BERKEMBANG DI LINGKUNGAN PERSAUDARAAN
SUFI
A.
PENDAHULUAN
Berbicara tentang karakteristik
pendidikan yang berkembang di lingkungan
persaudaraan sufi sebagai transformasi ilmu pengetahuan, akan mengajak
kita menengok kembali sekilas sejarah
munculnya tasawuf atau sufisme. Di dunia Islam perkembangan tasawuf tampaknya
bermula pada aktivitas individual dari para ahli sufi yang pada masa-masa
berikutnya berlanjut pada lembaga ṭariqat. Ṭariqat ini sebagai salah satu bentuk kelanjutan usaha para sufi terdahulu
dalam menyebarluaskan tasawuf sesuai
pemahamannya. Ṭariqat ini berbentuk suatu kegiatan jamaah terorganisir yang
diikuti sufi-sufi besar dan mempunyai struktur serta hirarki sebagaimana
layaknya sebuah masyarakat yang terorganisasi, ada batas yang jelas antara syaikh
ṭariqat, khalifah, mursyīd dan murid.
Ditinjau
dari segi historisnya, kapan dan ṭariqat mana yang
mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun, menurut
pendapat Harun Nasution menyatakan bahwa
Setelah al-Ghazali (w.505/1111) menghalalkan
tasawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tasawuf berkembang di dunia Islam,
tetapi perkembangannya terjadi melalui ṭariqat.
Ṭariqat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi
besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran
tasawuf gurunya. Ṭariqat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang
disebut ribāt (disebut juga zāwiyah, khānqāh, atau pekir).
Ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya,
ajaran tasawuf walinya, dan ajaran tasawuf syaikhnya.[1]
Dengan demikian nampak bahwa ṭariqat sufi atau
kelompok-kelompok sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung. Di
abad-abad awal Islam kaum sufi tidak terorganisir dalam lingkungan-lingkungan
khusus, namun seiring perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi kaum sufi
yang menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran agama mulai banyak menarik
kelompok manusia. Karena pada awal
kemunculannya tasawuf atau sufisme merupakan bentuk reaksi terhadap semakin
merajalelanya penyimpangan dan representasi ajaran-ajaran Islam secara liar,
terutama yang dilakukan oleh para pemimpin zaman itu.
Sementara itu dalam sebuah artikel
yang mengutip kesimpulan L. Massignon
salah seorang peneliti tasawuf di beberapa Negara Muslim, disebutkan bahwa :
Istilah
ṭariqat mempunyai dua
pengertian; pertama, ṭariqat merupakan
pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh
kehidupan tasawuf, untuk mencapai
suatu tingkatan kerohanian, yang disebut al-maqāmat dan al-akhwāl.
Pengertian seperti ini menonjol sekitar
abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Kedua, ṭariqat merupakan
perkumpulan yang didirikan menurut aturan yang telah dibuat oleh seorang syaikh
yang menganut suatu aliran ṭariqat tertentu.
Dalam perkumpulan itulah, seorang syaikh yang menganut suatu aliran ṭariqat yang dianutnya, lalu mengamalkan aliran
tersebut bersama dengan murid-muridnya. Pengertian dan definisi ini menonjol
sesudah abad ke-9 Masehi.[2]
Berdasarkan
kesimpulan tersebut dapat diketahui bahwa dalam prakteknya ada perbedaan
pengamalan suatu
ṭariqat. Pada
mulanya adanya ṭariqat sebagai upaya yang ditempuh seseorang untuk
mendekatkan diri kepada Allah, namun pada masa-masa selanjutnya menjadi suatu
perkumpulan atau organisasi yang diisi dengan kegiatan keagamaan dan
amalan-amalan tertentu yang dipimpin oleh seorang guru yang dianggap
berkompeten di bidangnya. Kemudian seiring perkembangan waktu, ṭariqat
menjadi institusi pendidikan yang berkembang di kalangan para sufi yang telah
menemukan dinamika tersendiri.. Dengan demikian ṭariqat yang berkembang pada saat itu dapat diartikan
sebagai metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan
kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan
dan sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi
brotherhood) yang ditandai dengan adanya lembaga formal, seperti zāwiyah, ribāt , atau khānqāh.
B.
KARAKTERISTIK
PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN KAUM SUFI
Persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang tercakup dalam kumpulan guru sufi bersama murid-muridnya sejalan
dengan perjalanan waktu mengalami perkembangan melalui tahap-tahap
berikut ini :
Tahap awal merupakan tahap ṭariqat terjadi pada abad ke-6 Hijriyah, atau abad
ke-13 Masehi. Mulai Abad ke-6 Hijriyah, tasawuf telah menjadi lembaga yang
memiliki aturan-aturan, prinsip dan sistem khusus, setelah sebelumnya ia hanya
dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi di sana sini tanpa adanya suatu
ikatan tertentu. Pada tahap ini pula muncul pusat-pusat tasawuf yang
mengajarkan ajaran-ajaran tertentu dalam tasawuf dengan menyertakan silsilah
masing-masing ajaran dan sejumlah
pribadi sufi bergabung dengan seorang guru dan tunduk di bawah aturan-aturan
terinci di jalan rohani.
Dengan memperhatikan pendapat Idris
Shah berikut ini
Sistem Pengajaran yang diterapkan guru sufi kepada calon
muridnya pada tahap ini melalui tiga
jalur yaitu; pertama, pemula
menjalani suatu masa percobaan selama 1001 hari, dalam rangka menilai dan
meningkatkan kemampuannya menyerap instruksi, kedua, guru sufi menerima
langsung calon murid tanpa menyuruhnya menghadiri majelis-majelis umum di
kelompok atau lingkaran (ḥalaqah) sufi, dan memberinya latihan-latihan
khusus yang dijalankan bersamanya dan secara mandiri, dan ketiga, setelah
menilai kemampuan-kemampuan murid, guru sufi menerimanya secara formal namun
mengirimkan ke guru lain yang secara lebih langsung bermanfaat baginya.[3]
Dapatlah
kita ketahui bahwa tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh calon sufi dengan
materi yang diberikan berbeda-beda pada setiap tahapannya. Dengan demikian
untuk menjadi seorang sufi memerlukan proses yang panjang dan tidak mudah untuk
dilewatinya.
Sejak abad
ke-12 M sampai awal abad ke-13 M sentra-sentra ṣufi tertentu berubah menjadi
sebuah institusi-institusi ṭariqat yang dimaksudkan untuk melestarikan
namanya, gaya pengajarannya, latihan-latihan mistiknya, serta aturan kehidupan
yang digariskannya. Kepemimpinan dalam sentra tersebut diwariskan melalui mata
rantai silsilah atau isnad sufi. Ṭariqat- ṭariqat tersebut
tampak jelas sebagai institusionalisasi ajaran tasawuf yang dikembangkan
dalam ajaran praktis-sufistik kepada murid-murid ṭariqat. Pada masa ini
sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf. Adapun materi yang
diajarkan berkaitan dengan ilmu tasawuf meliputi segala aspek ajaran Islam
seperti; ajaran ṣalat, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya.
Tahap
perkembangan berikutnya dalam kelembagaan sufi adalah tahap ṭaifah.
Tahap ini terjadi pada abad ke-15 Masehi ditandai dengan adanya transmisi ajaran dan
peraturan kepada pengikut serta mulai bermunculan organisasi-organisasi tasawuf
yang mempunyai cabang-cabang di tempat lain.
Pemujaan kepada syaikh sudah menjadi kebiasaan . Di sini pula tasawuf telah
mengambil bentuk kerakyatan. Pada tahap ṭaifah inilah ṭariqah
mengandung arti lain yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh
tertentu dan terdapatlah tarekat-tarekat, seperti tarekat Qadiriyah, tarekat
Naqsyabandiyah, tarekat Syaẓiliyah dan lain sebagainya.
C.
INSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN DI KALANGAN SUFI
Institusi
pendidikan para sufi sebenarnya sudah ditemukan di masa-masa awal abad Islam
dalam bentuk madrasah yang berfungsi
sebagai transformasi ilmu pengetahuan.
Hal ini terbukti dengan ditemukannya madrasah Hasan al-Bashri di
Bashrah, di bawah asuhan Hasan al-Bashri yang lahir pada tahun 21 H/632 M.
Kemudian muncul pula madrasah Tasawwuf di Madinah di bawah asuhan Sa’id bin
Musayyab (13-94 H). Lalu di Kufah muncul madrasah Sufyan al-Thaury (97-161 H).
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya institusi pendidikan sufi telah ada
sejak masa sesudah sahabat dan pertengahan masa tabi’in. Pada masa-masa
berikutnya muncul pula tokoh-tokoh sufi ternama misalnya Sirr al-Saqathy (w. 253 H), Ma’ruf al-Kurkhi
(w. 201 H), Harits al-Muhasibi (w. 243 H), Dzu al-Nun al-Mishry (w. 240 H), Abu
Yazid al-Basthami (w. 261 H). Di tempat inilah terbina suatu hubungan
persaudaraan dengan mendapatkan
kedekatan spiritual, kasih sayang, penghargaan dan penghormatan, perasaan
senasib dan sepenanggungan yang
didapatkan melalui pertemuan-pertemuan secara teratur antara guru (Syaikh Mursyīd) dengan murid (Salik).
Perkembangan
institusi-institusi pendidikan di kalangan sufi dapat diuraikan sebagai berikut
:
Pusat kegiatan sufi pada masa itu
biasa disebut dengan khānqāh atau zāwiyah sementara itu, orang Turki
menyebutnya dengan tekke. Di Afrika Utara, pusat kegiatan sufi disebut rib
sedangkan di India disebut dengan jamaah khāna atau khnegh.[4]
Pusat kegiatan sufi yang muncul pada masa abad kesepuluh atau akhir abad
kesebelas ini merupakan pusat kegiatan kaum sufi maupun tempat pembinaan dan
penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan,
pelatihan, kajian keagamaan, dan ibadah mahdhah kepada Allah SWT.[5]
Pada masa ini merupakan masa keemasan tasawuf.
Selain itu pusat kegiatan sufi
lainnya disebut Ribāt (benteng). Mari kita perhatikan pendapat Samsul Nizar berikut
Pada
mulanya ribāt digunakan sebagai benteng pertahanan kaum muslimin
terhadap serangan musuh. Ribāt banyak dibangun di perbatasan dan dilengkapi
dengan menara pengawas. Pada mulanya ribāt berfungsi sebagai tempat
ibadah, latihan militer dan markas tentara Islam. Dalam perkembangan berikutnya
ribāt berarti tempat kegiatan kaum
sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan
diri untuk beribadah semata-mata.[6]
Dengan demikian ribāt beralih fungsi dari sebuah benteng menjadi
tempat pendidikan kaum sufi. Konstruksi bangunan ribāt biasanya dilengkapi dengan mihrab untuk
mengerjakan ṣalat berjamaah dan tempat untuk membaca al-Quran serta
mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Namun konstruksi bangunan seperti ini terkadang
terpisah walaupun lebih sering memiliki hubungan dengan masjid, dapur luas yang
digunakan bersama-sama oleh para murid dan juga tamu dan terkadang juga
sekolahan. Kuburan pendiri biasanya berada di tempat yang sama. Syaikh itu
sendiri akan tinggal bersama keluarganya di seperempat bagian kompleks dan
menemui murid-muridnya pada jam-jam tertentu untuk membimbing kemajuan
rohaninya dan mengimami ṣalat lima waktu para jamaahnya. Misalnya yang
terjadi di khānqāh Mevlana Muzesi di Konya. Ada juga beberapa khānqāh
yang hanya memiliki satu ruangan besar tempat darwisnya tinggal, belajar dan
bekerja.
Anggota
dari sebuah ribāt ini tersusun atas dua kelompok, murid dan pengikut
yang tinggal dalam ribāt dan memusatkan perhatian pada ibadat, serta
pengikut awam yang tinggal di luar serta tetap bekerja dalam pekerjaan mereka
sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu berkumpul di ribāt untuk mengadakan latihan spiritual.[7] Para
murid diberi tugas yang berbeda-beda di dalam khānqāh sesuai dengan
kemajuan rohaninya. Murid yang paling tulus hatinya dapat mencapai jajaran khalifah.
Dia dapat tinggal di dalam pesantren untuk menggantikan syaikh kalau
beliau meninggal atau dikirim ke luar negeri untuk memperluas dan mengajarkan
tarekat. Tentu hal ini dilakukan setelah ia dilantik oleh sang guru dan
dipakaikan khirqa atau jubah sufi dengan disertai pemberian ijazah
kepadanya dan tidak semua materi bisa diajarkan olehnya tanpa perintah sang
pembimbing.
Menurut
Abu Bakar Aceh di dalam ribāt pada masa itu diajarkan berbagai macam
kitab yang khusus dipergunakan di kalangannya sendiri baik mengenai ilmu fiqh
dan ilmu tasawuf, mempunyai żikir dan doa serta wirid yang khusus pula.
Di samping itu, juga ada perjanjian-perjanjian tertentu dari murid terhadap
gurunya yang biasa disebut bayat.[8] Sumber biaya untuk sebuah ribāt juga
bermacam-macam. Ada ribāt yang mendapat bantuan tetap dari pemerintah
atau dermawan tertentu, tetapi ada pula ribāt yang hidup dari futuh,
yaitu tanpa bantuan ataupun tunjangan dari siapa pun. Disebutkan bahwa sebagian
ribāt atau khānqāh memperoleh
biaya hidup yang diperolehnya dari penghasilan waqaf. Oleh karena itu,
bagi mereka yang hidup dari futuh, mereka akan melakukan segenap
aktivitasnya dengan biaya mereka sendiri. Sejak Abad ke-11 Masehi, zāwiyah-zāwiyah
dan khānqāh- khānqāh yang menyediakan tempat-tempat peristirahatan sementara
bagi sufi yang berkelana, telah menyebarkan kehidupan di seluruh wilayah
pedesaan dan memainkan peran menentukan dalam pengislaman daerah perbatasan dan
wilayah-wilayah non-Arab di Asia Tengah dan Afrika Utara .
Tersebarnya
para alumnus dari masing-masing institusi ṭariqat yang
mendapatkan ijazah untuk meninggalkan ribāt gurunya dan mendirikan ribāt
tersendiri di daerah lain, menjadikan banyak cabang ribāt-ribāt baru
berdiri di berbagai daerah. Dan ini menyebabkan tidak adanya kreasi baru oleh
masing-masing pemimpin ribāt (mursyīd). Formulasi ajaran tasawuf yang
dikemas oleh syaikhnya masing-masing akan diamalkan apa adanya secara
ketat tanpa adanya penambahan keilmuan sedikit pun. Karena penambahan atau
pengurangan akan dianggap sebagai sebuah kedurhakaan, dan ini akan berakibat
fatal menyebabkan ilmu yang didapatnya tidak bermanfaat.
Pesatnya
pengembangan dan perluasan jaringan institusi ṭariqat hanyalah dari segi kuantitas. Sedangkan segi
kualitas keilmuannya nyaris tak beranjak sedikit pun. Nuansa taqlid guru
semakin kuat dan terlestarikan sedemikian ketat. Berbeda halnya dengan
perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal. Di sana arah pengembangan
intelektual muslim lebih mengedepan. Sementara institusionalisasi
tasawuf dalam bentuk
ṭariqat
justru menjadikan stagnasi intelektual dan budaya taqlid kian menguat.
Dari uraian di
atas dapat kita ketahui bahwa munculnya institusionalisasi tasawuf dalam bentuk
ṭariqat, membawa arah pengembangan
intelektual yang berbeda. Perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal
lebih berdampak positif bagi pengembangan intelektual keislaman, sementara
institusionalisasi dalam bentuk ṭariqat cenderung menjadikan keharusan
bertaqlid di kalangan murid kepada teori dan dan formulasi tertentu yang
bersifat doktrinal oleh para syaikh ṭariqat.
D.
PERAN DAN FUNGSI GURU SUFI/SYAIKH DALAM PERSAUDARAAN
SUFI
Ada beberapa istilah yang
berhubungan dengan guru Sufi. Di Timur Tengah mereka disebut Mursyīd (Pernberi petunjuk), murād (orang yang
dikehendaki) atau dicari), syaykh (syeikh, orang tua), pir
(bahasa Persia, juga berarti orang tua),[9]
pengikutnya disebut murid (orang yang
menuntut atau mencari kebenaran), faqīr (orang miskin, maksudnya miskin
rohani sebagai lawan dari Allah yang bersifat ghanī yang berarti kaya). Sesungguhnya setiap orang adalah faqīr dalam
arti memerlukan pertolongan Allah, juga disebut darwis dalam bahasa Persia
yang mempunyai arti sama dengan faqīr. Tetapi di pesantren-pesantren biasanya disebut saja "murid".
Hubungan murād-murīd atau kiai- pengikut adalah sangat dekat dan
bersifat pribadi sebagai hasil rasa kebersamaan mereka dalam kelebihan dan
kekhususan amalan atau wirid.
Di
kalangan sufi, seorang guru, syaikh, mursyīd, murad, atau pir ,
adalah hal yang sangat tidak bisa ditinggalkan. Peran dan fungsi seorang guru
sufi adalah sangat besar. Otoritas dan legalitas kesufian mursyīd atau
guru terhadap murid sangat
dominan termasuk membimbing, mengawasi dan mengajarkan hidup tasawuf kepada
murid-muridnya hingga ia dapat membentuk karakter muridnya sesuai dengan
sasaran yang ingin dicapai.[10]
Otoritas itu diperoleh setelah ia belajar dan berlatih sekian lama kepada mursyīd
pendahulunya dan dipandang mampu menjadi seorang mursyīd ṭariqat. Adapun legalitasnya diperoleh dari kepercayaan
mursyīd pendahulunya berupa ijazah, yakni semacam pelantikan yang berisi
pengesahan seorang murid menjadi seorang mursyīd.
Seorang mursyīd harus menguasai ilmu syari’at dan ilmu hakikat secara mendalam dan lengkap. Pemikiran, perkataan dan perilakunya harus mencerminkan akhlaq terpuji. Tugas seorang Murshid tarekat tidaklah ringan, apalagi jika jumlah muridnya banyak dan berdomisili di tempat-tempat yang saling berjauhan satu sama lain. Karenanya, dalam membimbing murid-muridnya, seorang mursyīd dibantu oleh beberapa wakil yang disebut khalifah atau badal.
Seorang mursyīd harus menguasai ilmu syari’at dan ilmu hakikat secara mendalam dan lengkap. Pemikiran, perkataan dan perilakunya harus mencerminkan akhlaq terpuji. Tugas seorang Murshid tarekat tidaklah ringan, apalagi jika jumlah muridnya banyak dan berdomisili di tempat-tempat yang saling berjauhan satu sama lain. Karenanya, dalam membimbing murid-muridnya, seorang mursyīd dibantu oleh beberapa wakil yang disebut khalifah atau badal.
Seorang
salik (penempuh jalan menuju Allah) tidak akan bisa mencapai tingkat
sipiritualitas pada tingkatan yang lebih atas atau lebih tinggi, tanpa adanya
bimbingan dan tuntunan seorang guru sufi (syaikh, mursyīd, murād, atau pir).
.
Jika para ulama sebagai pewaris nabi SAW
mengajarkan ilmu lahir, maka para mursyīd
ṭariqat menjadi pewaris
nabi dalam mengajarkan penghayatan keagamaan yang bersifat batin.
Di sini, hubungan komunikasi antara guru dengan murid harus
selalu dibangun dan dilestarikan secara baik. Sebab guru adalah pembimbing dan
penuntun spiritualnya. Apapun yang menjadi titah gurunya adalah hal yang harus
ditaati dan tidak boleh dilanggar. Sebab apabila titah, perintah atau anjuran
gurunya dilanggar atau diabaikan, akan membawa malapetaka bagi murid. Begitu
juga sebaliknya, jika murid sam’an wa ṭā’atan kepada sang guru, maka
murid akan mendapatkan sebagian berkah, yaitu kekuatan mistik-magis sang guru.
Di sinilah dituntut adanya saling hubungan yang erat antara keduanya.
E.
PENUTUP
Ditinjau dari segi historisnya, kapan istilah
tasawuf muncul dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga,
sulit diketahui dengan pasti.
Namun disepakati para sejarawan bahwa secara esensial tasawuf itu telah ada
sejak masa Rasulullah SAW. Adapun definisi istilah tasawuf juga masih terjadi
perbedaan pendapat.
Sufisme muncul sebagai bentuk
perlawanan terhadap semakin
merajalelanya penyimpangan - penyimpangan
para penguasa yang kurang religious dalam praktek
kehidupannya. Pada awalnya gerakan sufi
dilaksanakan secara personal atau individual. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, gerakan sufi telah mengalami perubahan dari gerakan individual
menjadi gerakan yang terorganisasi. Organisasi - organisasi tersebut mengambil bentuk yang berbeda - beda, misalnya dalam bentuk institusi semacam khānqāh, ribāt, zāwiyah,
ṭāifah, dan ṭāriqat. Gerakan dan aliran
ini muncul pada abad ke-9 sebagai masa keemasan.
Pada perkembangan selanjutnya,
bentuk-bentuk institusi tersebut telah menjelma menjadi institusi semi-formal,
dengan mengajarkan berbagai ajaran yang sesuai dengan dengan kurikulum dan
silabi yang tetapkan oleh kelompoknya. Inilah yang kemudian disebut dengan
gerakan ṭariqat. Ṭariqat muncul pada abad ke-6 M. dan masing-masing ṭariqat
mempunyai silabi dan kurikulum yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Di dalam
dunia tasawuf (khususnya ṭariqat ), peran dan fungsi seorang guru, syaikh,
mursyīd, murād, atau pir adalah sangat penting. Guru adalah
pembimbing dan penuntun rohani untuk meraih tingkat spiritualitas yang lebih
tinggi atau lebih atas. Akan tetapi, pensyaratan sebagai guru tidaklah mudah.
Guru sufi harus mempunyai silsilah yang jelas dan lazim dalam menemukan
kebenaran-kebenaran. Begitu juga murid, harus senantiasa taat dan setia kepada
gurunya.
agar mendapatkan sebagian berkah, yaitu kekuatan mistik-magis sang guru.
agar mendapatkan sebagian berkah, yaitu kekuatan mistik-magis sang guru.
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Bakar Abu, Pengantar Ilmu Tarekat, ( Solo:
Ramadhani,1993)
Haeri, Fadhlalla,
Jenjang-Jenjang Sufisme.ter.Ibnu Burdah dan Shohifullah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000)
Nasution,
Harun, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia
Islam” dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan
Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN ( Jakarta :Ditb. Baga RI,1986)
_____________, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya , (Jakarta : Bulan Bintang, 1974)
http://darussholahjember.blogspot.com/2011/05/institusionalisasi-pendidikan-di.html, diakses 9 oktober 2011
http://referensiagama.blogspot.com/,
diakses 15 Oktober 2011
id&num=10&lr=&ft=i&cr=&safe=images#q=syekh,+mursid.+murad+,
diakses 14 Oktober 2011
Shah, Idries, Jalan
Sufi, Surabaya, Risalah Gusti,1999
Siregar, Rivai,Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke
Neo-Sufisme, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada,2002)
Nizar, Samsul dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer
tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010
[1]
Harun Nasution,
“Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam” dalam Orientasi Pengembangan Ilmu
Tasawuf, Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Agama
Islam/IAIN (Jakarta Ditb. Baga RI, 1986), 24
[3]
Idries Shah, Jalan Sufi (Surabaya, Risalah Gusti,1999), 27
[4] Fadhlalla
Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme.ter. Ibnu Burdah dan Shohifullah
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2000),38
[5] http://darussholahjember.blogspot.com/2011/05/institusionalisasi-pendidikan-di.html, diakses 9 oktober 2011
[6] Samsul Nizar
dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam
(Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 18
[7] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta : Bulan
Bintang, 1974), 89-90
[8] Abu Bakar
Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani,1993),74
[9]
http://www.google.co.id/search?q=syekh%2C+mursid.+murad+dal+sufi&hl=id&num=10&lr= &ft=i&cr=
&safe=images#q=syekh,+mursid.+murad+, diakses 14
Oktober 2011
[10] Rivai Siregar,
Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2002), 269.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Karakteristik Pendidikan yang Berkembang di Lingkungan Persaudaraan Sufi"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*