FILSAFAT
POSTMODERNISME TENTANG PENDIDIKAN DAN KURIKULUM
A.
PENDAHULUAN
Kehadiran
postmodernisme dalam ruang pergulatan intelektualitas manusia disadari telah
membuat warna baru yang menarik untuk dikaji. Hal ini tidak saja karena
kehadirannya cukup menyentakkan dunia akademik, melainkan juga postmodernisme
telah turut membawa pesan-pesan kritis untuk melakukan pembacaan ulang atas
berbagai tradisi yang selama ini diyakini kebenarannya. Masyarakat dikagetkan
dengan munculnya gejala postmodernisme yang cukup untuk ‘meluluh-lantakkan’
dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, bahkan aksiologi yang tumbuh dalam
pengetahuan dasar masyarakat mengenai realitas. Bagi gerakan postmodernisme,
manusia tidak akan mengetahui realitas yang objektif dan benar, tetapi yang
diketahui manusia hanyalah sebuah versi dari realitas.
Dalam dunia filsafat, postmodernisme
mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean
Francois Lyotard seorang filsuf Perancis lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian
kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat
modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip
kesatuan ontologis. Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi
oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan
lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi.
Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus didelegitimasi dengan prinsip
paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur,
permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau
menguasai . Persis permainan catur, di mana setiap bidak memiliki aturan dan
langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini,
seperti dikatakan Susan Sontag seorang kritikus seni merupakan
indikasi lahirnya sensibilitas baru: yakni sebuah kesadaran akan kemajemukan,
bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang
atau menaklukan realitas lain[1]
Lyotard menolak ide dasar filsafat modern yang dilegitimasi prinsip kesatuan ontologis. Menurutnya prinsip-prinsip seperti itu sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer. Sebaliknya, ia menawarkan ide parologi atau pluralitas. Manusia harus membuka kesadaranya dan menerima realitas plural. Menurutnya tiap pengetahuan bergerak dalam language game masing-masing, dan kebenaran selalu terkait pada penilaian orang melalui bahasa yang digunaka.
Lyotard menolak ide dasar filsafat modern yang dilegitimasi prinsip kesatuan ontologis. Menurutnya prinsip-prinsip seperti itu sudah tidak lagi relevan dengan realitas kontemporer. Sebaliknya, ia menawarkan ide parologi atau pluralitas. Manusia harus membuka kesadaranya dan menerima realitas plural. Menurutnya tiap pengetahuan bergerak dalam language game masing-masing, dan kebenaran selalu terkait pada penilaian orang melalui bahasa yang digunaka.
Kemunculan Posmodernisme sebagai kritik atas akibat kegagalan aliran kehidupan modern
dalam menciptakan situasi social yang lebih baik yang ditandai dengan
kesenjangan kehidupan dunia barat dan timur, adanya kekerasan atas manusia
lain, kelaparan, keterasingan, penihilan nilai manusia, serta penjajahan secara
fisik dan mental. Hal ini sebagai akibat dari kegagalan ilmu dan pengetahuan
melayani kehidupan manusia itu sendiri (karena keegoisan manusia). Keadaan
tersebut melahirkan sejumlah kegelisahan berkaitan dengan problem pengetahuan
dasar manusia mengenai modernism yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas,
dan sebagainya.
Pemikiran
posmodernisme sendiri sebenarnya telah diawali oleh teori dialogis Bakhtin yang
disusun pada tahun 1920-an. Teori tersebut telah menunjukkan kecenderungan ke
arah posmodernisme. Namun, secara faktual baru pada tahun 1950-an posmodernisme
muncul sebagai sebuah aliran yang selanjutnya, aliran ini baru dikenal dan
berkembang pesat di kalangan luas pada tahun 1970-an dengan beberapa tokoh yang
dikenal gigih menolak aliran modernisme dan menawarkan solusi terbaik dalam
upaya untuk mengikuti perkembangan zaman yang serba menuntut tersebut.
Tokoh-tokoh itu ialah: Jeans Francois Lyotard, Michel Foucault, Jacques
Derrida, Richard Rorty, dan sebagainya, dan orang-orang ini dikenal sebagai
gembong aliran posmodernisme.[2]
Posmodernisme
adalah nama gerakan yang pada mulanya secara khusus bergerak dalam seni arsitektur
kemudian merambah ke dalam seluruh bidang kehidupan manusia setelah Lyotard
mengintegrasikannya ke dalam filsafat sebagai bentuk ketidakpercayaan pada
metanarasi. Pengintegrasian gerakan postmodern ke dalam (ruang) filsafat
memberikan konsekuensi logis bagi munculnya “pembacaan ulang” pada setiap dasar
kehidupan manusia.[3] Hal ini karena filsafat merupakan pengetahuan
dasar yang memberikan konstruksi bagi munculnya setiap bentuk pemahaman
(ideology) dalam masyarakat.
Postmodernisme dalam filsafat berujung pada sikap kritis untuk mengkaji
ulang setiap bentuk kebenaran yang selama ini diterima apa adanya. Postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya
modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik
tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang
‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’. Landasan
bagi semua filsafat pendidikan Postmodernisme melingkupi hal-hal berikut; (1) adalah
tidak mungkin utnuk menentukan kebenaran obyektif, (2) bahasa tidak menolong
kita bersentuhan dengan realitas, (3) bahasa dan makna dikonstruksi secara
social, (4) menolak narasi besar demi narasi-narasi (cerita) kecil, (5) pengetahuan adalah kekuatan, (6) sekolah telah berperan secara trasional
sebagai agen kekuasaan untuk kontrol sosial dengan memanipulasi pengetahuan,
(7) pentingnya pemahaman atas pluralitas dari perspektif yang berbeda.[4] Meskipun
postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring manusia ke dalam sebuah
paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala dunia yang serba plural
yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain pihak, ia menjelma
menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa terkendali.[5]
Bertolak
dari paparan di atas maka dalam
penulisan makalah ini akan penulis fokuskan pada pembahasan tentang makna pendidikan
dan definisi kurikulum secara umum dan pengaruh
postmodern dalam bidang pendidikan dan kurikulum serta implikasi postmodernisme
atas paradigma pendidikan di Indonesia
B.
HAKIKAT PENDIDIKAN
DAN KURIKULUM
1. Makna Pendidikan
Pendidikan
menurut Langeveld secara khusus dapat diartikan sebagai pemberian bimbingan
oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan sedangkan secara luas dapat diartikan sebagai bentuk
bantuan yang diberikan kepada anak supaya anak itu kelak cakap dalam menyelesaikan
tugas hidupnya atas tanggung jawab sendiri[6].
Sementara itu, Brojonegoro memberi makna pendidikan secara luas sebagai bentuk
pemberian tuntunan kepada manusia yang belum dewasa dalam pertumbuhan dan
perkembangan sampai tercapainya kedewasaan dalam arti rohani dan jasmani[7]. Selanjutnya,
menurut tokoh pendidikan dari Indonesia yakni, Ki Hajar Dewantara pendidikan
adalah upaya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar
mereka sebagai manusia dan sebagai masyarakat mendapat keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[8]
Berpijak
dari pendidikan dalam arti khusus, maka setelah anak menjadi dewasa dengan
segala cirinya, pendidikan dianggap selesai. Tampaknya pendidikan yang dimaknai
khusus tersebut tercermin dalam pendidikan di lingkungan keluarga. Orang tua
yang terdiri dari Ayah dan Ibu menjadi figur sentral dalam pendidikan keluarga.
Mereka bertanggung jawab untuk memanusiakan, membudayakan, dan menanamkan
nilai-nilai terhadap anak-anaknya. Setelah sang anak menjadi dewasa, atau
menjadi manusia sempurna, maka bantuan pendidikan yang diberikan oleh Ayah dan
Ibu tersebut dianggap telah selesai. Ditilik dari uraian tersebut, maka
munculnya sekolah tak lain karena orang tua menganggap dirinya tidak sanggup
dengan sepenuh waktu mendampingi anak-anaknya belajar mencapai kedewasaan.
Bahkan, akhir-akhir ini ada kecenderungan seorang ibu demi sebuah kariernya,
menitipkan anak-anaknya di tempat-tempat penitipan anak. Tampaknya mereka tidak
menyadari bahwa dampak psikologi anak akan mempengaruhi perkembangan di masa
mendatang.
Adapun
pendidikan dalam arti luas menurut Henderson merupakan proses pertumbuhan dan
perkembangan sebagai hasil intraksi individu dengan lingkungan sosial dan
lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.[9]
Sedangkan di Indonesia secara umum
pendidikan dalam arti luas telah tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) tahun 1973 bahwa, ”Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu usaha yang
disadari untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia, yang
dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”.
Demikian pula dalam amanat Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi
perananya di masa yang akan datang. Kedua hal tersebut kini menjadi landasan
sistem pendidikan di negara kita.
Dengan demikian pendidikan dapat maknai sebagai
segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan dan dilakukan sepanjang
hayatnya . Dalam konteks ini, orang dewasa yang dimaksud bukan berarti pada
kedewasaan fisik belaka, akan tetapi bisa pula dipahami pada kedewasaan psikis.
Kedewasaan psikis dapat ditunjukkan dengan kemampuan seseorang dalam mengatasi
permasalahan hidupnya. Padahal selama
manusia itu hidup permasalahan akan terus datang silih berganti. Jadi, selama
manusia masih menghadapi masalah yang harus diselesaikan, selama itu pula ia
masih menjalani pendidikan.[10]
Pada hakekatnya pendidikan adalah
mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Sebagaimana yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 Sistem Pendidikan Nasional bahwa,
pendidikan mencakup kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan. Kegiatan
tersebut dilaksanakan sebagai suatu usaha untuk mentrasformasikan segala nilai.
Nilai-nilai yang dimaksud meliputi nilai-nilai religi, budaya, sains dan teknologi,
seni dan nilai ketrampilan. Tujuan dari pentransformasian nilai tersebut
dimaksudkan untuk mempertahankan, mengembangkan. Bahkan, (kalau perlu) mengubah
kebudayaan yang dimiliki masyarakat. [11]
Untuk mencapai proses transformasi
yang efektif diperlukan syarat- syarat tertentu. Adapun syarat-syarat yang
dimaksud menurut Sadulloh ialah[12]:
(1) harus ada hubungan edukatif yang baik antara pendidik dengan terdidik.
Hubungan yang dimaksud adalah hubungan kasih sayang antara siswa dengan guru
berdasarkan atas kewibawaan; (2) harus ada metode pendidikan yang sesuai.
Maksudnya ada kesesuaian metode dengan kemampuan pendidik, materi, kondisi
peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kondisi lingkungan tempat
pendidikan berlangsung; (3) harus ada sarana dan prasarana pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan. Maksudnya ada kesesuaian antara nilai yang akan
ditransformasikan dengan sarana dan prasarana yang dibutuhkan serta sarana
tersebut harus didasarkan atas pengabdian pada peserta didik; dan (4) harus ada
suasana yang memadai. Suasana yang memadai dan menyenangkan sangat menunjang
terjadinya proses transformasi nilai agar berjalan dengan baik.
2. DEFINISI
KURIKULUM
Secara etimologis,
kurikulum berasal dari kata dalam Bahasa Latim ”curir” yang artinya
pelari, dan ”curere” yang artinya
”tempat berlari”, yang mengandung pengertian suatu jarak yang harus ditempuh
oleh pelari mulai dari garis start
sampai dengan finish. Dengan
demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal dari dunia olah raga pada
zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi ke dalam dunia
pendidikan.Pengertian tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan,
dengan pengertian sebagai rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata
pelajaran yang harus dipelajari peserta didik dalam menempuh pendidikan di
lembaga pendidikan.
Secara terminologis,
istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia pendidikan mengandung pengertian
sebagai sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh atau
diselesaikan siswa untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau kompetensi yang
ditetapkan. Sebagai tanda atau bukti bahwa seseorang
peserta didik telah mencapai standar kompetensi tersebut adalah dengan sebuah
ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada peserta didik.
Dewasa ini terdapat banyak
sekali definisi kurikulum, yang
kalau dipelajari secara mendalam ternyata dipengaruhi oleh filosofi atau aliran
filsafat tertentu. Pertama, pakar kurikulum yang beraliran perenialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”subject matter” atau mata pelajaran, ”content” atau isi, dan ”transfer of culture” atau alih
kebudayaan Said Hamid Hasan dan Tanner kedua pakar kurikulum yang menganut aliran essesialisme mendefinisikan
kurikulum sebagai ”academic exellence”
atau keunggulan akademis dan ”cultivation
of intellect” atau pengolahan intelek. [13]
Persamaan kedua aliran
tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis dan intelektualitas.
Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme menitikberatkan pada tradisi
intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca, retorika, logika, dan
matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan disiplin akademis
yang lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains, sejarah, dan
bahasa-bahasa modern.
Kedua aliran tersebut
termasuk kelompok aliran konservatif.
Di samping itu ada kelompok aliran progresif, yang lebih memandang
kurikulum bukan hanya untuk meneruskan
tradisi intelektualitas masa lalu tetapi juga untuk memenuhi
tuntutan perubahan masa sekarang dan masa depan. Termasuk kelompok aliran progresif adalah aliran romantis naturalisme, eksistensialisme,
eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme. Menurut aliran
rekonstruksionisme, kurikulum tidak hanya berfungsi untuk melestarikan budaya
atau apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan
dikembangkan di masa depan.
Dari berbagai definisi
tentang kurikulum yang telah banyak dirumuskan oleh para ahli pendidikan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum dirumuskan sebagai jumlah kegiatan
yang mencakup berbagai rencana setrategi belajar mengajar, pengaturan-pengaturan
program agar dapat diterapkan, dan hal-hal yang mencakup pada kegiatan yang
bertujuan mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam system pendidikan, eksistensi kurikulum
merupakan salah satu komponen. Dalam hal ini, Hasan Langgulung memandang bahwa
paling tidak ada empat komponen utama dalam kurikulum, yaitu :
1.
Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh suatu
jenjang pendidikan. Dengan lebih tegas lagi orang yang bagaimana yang ingin
dibentuk dengan kurikulum tersebut.
2.
Pengetahuan (knowledge), informasi data-data,
aktivitas dan pengalaman dari mana dan bagaimana yang dimuat oleh suatu
kurikulum. Dengan acuan ini akan dirumuskan mata pelajaran mana yang
dibutuhkan, mata pelajaran mana yang bisa digabungkan, dan mata pelajaran mana
yang tidak diperlukan.
3.
Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh
pendidik untuk mengajar dan memotivasi peserta didik untuk membawa mereka kea
rah yang dikehendaki kurikulum.
4.
Metode dan cara penilaian yang dipergunakan
dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang
direncanakan kurikulum tersebut.[14]
C.
PENGARUH
FILSAFAT POSTMODERNISME TERHADAP
PENDIDIKAN DAN
KURIKULUM
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme yang mengusung
tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi, maka dapat dilacak dimana
letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di
lapangan bahwa sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi terdapat sejumlah
fakta, di antaranya adalah :
·
Muatan kurikulum dan pelaksanaannya oleh para
guru cenderung lebih mengutamakan banyaknya materi pelajaran yang diberikan
(overload). Guru dibebani target menghabiskan materi. Devinisi keberhasilan
proses pendidikan lantas diukur dengan angka-angka kuantitatif, baik angka
perolehan ujian maupun persentase kelulusan peserta ujian. Akibatnya pendidikan
hanya menjunjung tinggi supremasi otak.
·
Proses pendidikan berlangsung dalam komunikasi
“satu arah” dari guru kepada siswa. Situasi demikian dapat kesempatan untuk
menyampaikan kreatifitas berpikir dan sikap siswa. Teori lebih diutamakan
sehingga kehilangan keterkaitan aplikasinya dengan dunia nyata.
·
Birokrasi pengelola pendidikan mempunyai
“kekuasaan” yang acapkali bertolak belakang dengan tujuan pendidikan. Memang di
zaman kini, penyeragaman tidak lagi menjadi persoalan penting. Di sisi lain,
atas nama otonomi pun bisa memunculkan praktik di lapangan yang membebani
pengelola langsung di tingkat sekolah [15]
·
Selama
ini, materi pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan
pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif
postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis
moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan
penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan
persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan yang hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia.[16] Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual. Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik. Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan.
Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat
modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya
mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.Dalam
kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi
proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme
terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy
atau pluralisme [17]),
deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar
atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang
sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma)
pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat khususnya
di Indonesia.
D. IMPLIKASI
POSMODERNISME ATAS PARADIGMA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Bangsa
Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan geliat reformasi di segala bidang,
termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya yang hendak dilakukan adalah
mereformasi sejumlah fakta negatif pada sistem
pendidikan nasional ke arah perbaikan. Menurut Kartono yang perlu dilakukan secara mendasar adalah perubahan paradigma
antara lain :
Ø Dari
pendidikan yang menekankan segi kognitif menuju pendidikan yang menekankan
seluruh segi kemanusiaan yang lebih utuh.
Ø Dari
pembelajaran yang lebih menekankan keaktifan guru/dosen menuju kepada
pembelajaran yang lebih menekankan peserta didik aktif untuk mengembangkan diri
dan mengkonstruksi pengetahuan mereka. Secara sistematis telah diperkenalkan
metodologi CTL (Contextual Teaching & Learning) yang memungkinkan guru
cermat membangun pengalaman bagi siswa.
Ø Dari
pendidikan yang hanya memperhatikan hasil akhir menuju pendidikan yang
menghargai proses dan memperhatikan perkembangan peserta didik. Kejujuran
sebagai bagian dari proses perlu menjadi perhatian dalam pendidikan di jenjang
manapun.
Ø Dari
kurikulum yang berorientasi pada banyaknya materi menuju kepada kurikulum yang
memperhatikan konsep dasar, tantangan zaman, dan juga kebutuhan lokal. Ada
peluang untuk memilih materi yang sesuai konteks setempat.
Ø Dari
pendidikan yang hanya dikelola oleh sekolah/institusi menuju pendidikan yang
dikelola dan menjadi tanggung jawab sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Ø Dari
pendidikan yang dikelola secara sentralistik dan otoriter menuju pendidikan
yang lebih desentralistik, otonom, demokratis, dan dialogal.
Ø Dari
pendidikan yang membedakan gender menuju kepada pendidiokan yang lebih
menghargai semua gender baik perempuan maupun laki-laki.
Ø Dari
pendidikan yang diasingkan dari masyarakat menuju pendidikan yang peka dan
kritis terhadap masyarakat.
Ø Dari
pendidikan yang mengakibatkan orang hidup eksklusif menuju pendidikan yang
membantu setiap orang menjadi saudara, sesama, sahabat yang dapat bekerja sama
membangun dirinya yang damai dan maju.[18]
Adapun
ikhtiar untuk merealisasikan paradigm
tersebut antara lain diawali dengan
dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas untuk
menyempurnakan Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selain mempersiapkan RUU Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan
menyiapkan aturan pelaksanaannya dengan beberapa argumentasi berikut :[19] pertama,
dengan mengesampingkan bahwa UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam
10 tahun usianya sejak disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap
sudah kadaluwarsa. Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali
substansi muatan UU tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi
akomodatif bagi kepentingan perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan
nasional. Semangat sentralistik yang dianut UU tersebut dalam mengelola
pendidikan nasional, selain menjadikan praktik pendidikan nasional sebagai
sub-ordinat kekuasaan, juga dirasakan tidak mampu lagi menjawab tantangan
kekinian dan kemasadepanan. Kedua, mau tidak mau, kelahiran UU No.
22/2999 tentang Pemerintah Daerah (UUPD) dalam beberapa hal mesti berbenturan
dengan muatan UUSPN. Dimana UU tersebut mengisyaratkan adanya kewenangan penuh
bagi daerah untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Terlebih-lebih diketahui,
pemerintah pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengelola pendidikan
nasional karena Pasal 11 ayat 2 UUPD menyatakan bahwa satu diantara 11
kewenangan bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah
sebagai daerah otonom adalah pendidikan dan kebudayaan. Ketiga,
Menurut Francis Wahono dalam artikelnya “Kapitalisme Pendidikan Antara
Kompetensi dan Keadilan” disebutkan bahwa dari berbagai kajian hasil Konferensi Asia
Pasifik mengenai pelaksanaan Education for All (EFA) yang berlangsung di
Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari tampak jelas bahwa ada persoalan serius
dalam hal pembiayaan pendidikan nasional masing-masing negara, dimana kenaikan
nasional setiap negara untuk pendidikan (dasar) cenderung menurun lima
tahun terakhir. Bantuan internasional memang naik 3,8 milyar dollar pada 1985,
namun kemudian berhenti. Artinya, negara-negara donor gagal memenuhi
komitmennya memberi 0,7 % GNP-nya guna membantu negara-negara berkembang,
sehingga target alokasi 20 % untuk sektor pembangunan sosial terpenuhi.
Sementara anggaran untuk pendidikan di Indonesia, pada tahun 1998/1999 berkisar
8 % dan telah menurun menjadi 6 % pada tahun 1999/2000. Anggaran
pendidikan yang kecil tersebut sampai sekarang belum mencapai 20 % meskipun
sudah memasuki tahun 2009.
Pendidikan di berbagai belahan dunia selalu dipakai sebagai modal dasar
pengembangan dan pemilihan kebijakan pembangunan. Hampir di semua negara selalu
menggunakan pendidikan sebagai proses pencapaian pembentukan kualitas
sumberdaya manusia, baik sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Negara
yang mempunyai konsep dan proses pendidikan yang baik dan modern biasanya
menghasilkan output pendidikan yang mempunyai kemampuan melaksanakan
segenap agenda pembangunan. Melalui pendidikan, proses pemenuhan kualitas
sumberdaya manusia (SDM) dan penggalian potensi nasional maupun lokal sebagai
pendukung utama keberlangsungan pembangunan dapat terpenuhi. Itulah sebabnya di
banyak negara maju, selalu menggunakan pendidikan sebagai proses mengejar
ketertinggalan di berbagai bidang. Dalam hal ini bisa dilihat negara Jepang,
dan Jerman, yang memiliki SDM berkualitas dapat membangun negara mereka dengan
cepat meskipun dalam perang dunia (PD) II, kedua negara tersebut mengalami
kekalahan dan hampir seluruh infrastrukturnya hancur.[20]
Memahami apsek pendidikan sebagai bagian yang tidak terpusatkan dalam proses
berlangsungnya pembangunan nasional maupun lokal, selayaknya untuk selalu
dikedepankan. Selama ini terkesan bahwa pendidikan nasional kita selalu menjadi
agenda yang dinomor sekiankan setelah agenda pembangunan bidang ekonomi dan
politik. Padahal kedua bidang tersebut tidak pernah bisa berjalan tanpa
keberhasilan di sektor pendidikan. Apalagi dalam terminologi memasuki otonomi
daerah (otda) yang telah dilaksanakan pada bulan Januari 2001, maka sektor
pendidikan sebagai sarana awal pemecahan persoalan-persoalan lokal, seperti
pemenuhan kebutuhan SDM, penentuan kurikulum yang selaras dengan kebutuhan
lokal dan sebagainya, harus menjadi agenda pembangunan yang tidak bisa
ditunda-tunda.
Selama ini yang terjadi adalah proses
pendidikan selalu tidak sejalan dengan agenda pembangunan lokal. Artinya,
proses pendidikan formal (sekolah) yang seharusnya diterapkan dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumberdaya manusia yang (minimal) sanggup
menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya, namun prakteknya setiap
proses pendidikan di dalamnya tidak mengandung
berbagai bentuk pelajaran yang sesuai dengan muatan lokal yang signifikan
dengan kebutuhan masyarakat sehingga output pendidikan adalah manusia
yang tidak sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang
dihadapi oleh masyarakat. Bagaimana mungkin dapat diperoleh keluaran pendidikan
yang mengerti kebutuhan daerah (lokal), manakala proses belajarnya tidak pernah
bersentuhan dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat.
Berbagai ilustrasi dimunculkan, betapa proses pendidikan yang dijalankan
seringkali tercabut dari akar persoalan riil, tapi ilustrasi tersebut hanya
menjadi bahan pembicaraan yang tidak bergaung. Misalnya; fakta bahwa mayoritas
masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene adalah masyarakat
agraris, tetapi dalam praktek pendidikannya hampir tidak berorientasi pada
problem masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktek pendidikan yang demikian
disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan tidak mengenal persoalan
yang sedang terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak jarang, justru banyak
produk-produk pendidikan tersebut seringkali malah melecehkan kehidupan dan
pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani. Hal ini karena anak didik
lebih banyak di ‘intervensi’ oleh praktek pendidikan model perkotaan dengan
tipikal masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidak percayaan diri anak
didik atas profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi dengan
fenomena rebutan keluaran pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil atau
minimal bekerja di perkantoran.
Selain itu ada sebuah ilustrasi menarik untuk mencoba menggambarkan seringnya
praktek pendidikan yang tidak berkorelasi dengan kebutuhan mendasar. Di
beberapa daerah pedalaman dan masyarakat terisolir, yang merupakan daerah
pedesaan dan perkampungan hutan serta masyarakat nelayan; ditemui suatu
kenyataan betapa anak-anak yang seharusnya berada pada jam sekolah tetapi
justru melakukan kegiatan atau aktivitas kerja, semisal bertani, mencari
rumput, menggembala, berladang di hutan serta mencari ikan dan sebagainya.
Secara spontan kita akan menuduh bahwa budaya masyarakat di tempat tersebut
kurang mendukung pembangunan pendidikan dengan adanya kebiasaan orang tua untuk
mengajak anak-anak mereka masuk hutan, bertani atau berlayar mencari ikan.
Pernyataan tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa kebiasaan orang tua mengajak
mereka untuk masuk ke hutan berladang dan menangkap ikan adalah anti
tesis tersendiri dari dunia pendidikan yang seharusnya diikuti oleh
anak-anak. Anti tesis dunia pendidikan bisa diperluas cakupannya
menyangkut kebiasaan orang tua nelayan yang mengajak anaknya melaut, kebiasaan
orang tua perkotaan yang mengharuskan anaknya bekerja di sektor informal.
Ilustrasi di
atas sekedar memberikan sebuah gambaran bahwa banyak sekali praktek pendidikan
yang diterapkan justru mencerabut anak didik dari akar budayanya, mencerabut
juga dari persoalan-persoalan yang semestinya ia pelajari untuk kemudian
bersama dicarikan titik solusinya melalui proses yang bernama pendidikan.
Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan lokal sesungguhnya seringkali menghambat keberhasilan agenda
pembangunan daerah yang sudah dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagi proses
pendidikan yang tidak bersentuhan langsung dengan persoalan kehidupan yang
dihadapi oleh anak didik dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan
ilustrasi ini sebenarnya yang menjadi landasan pijak bagi dunia pendidikan
untuk kembali merenungkan beberapa aspek yang berkaitan dengan proses
belajar-mengajar. Apalagi dalam konteks saat ini telah diberlakukan paket
otonomi pada masing-masing daerah, tentang pelimpahan wewenang dari pusat ke
daerah yang tentu saja di dalamnya ada bidang pendidikan, maka praktek
pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar berkorelasi dengan kebutuhan
mendasar masyarakat, yang pada akhirnya pola kebijakan pendidikan selaras
dengan pemenuhan keberhasilan program otonomi daerah. Itulah sebabnya, maka
wacana mengenai desentralisasi pendidikan menjadi mengedepan seiring dengan
pelimpahan kewenangan pusat ke daerah. Dalam konteks ini pola pengambilan
keputusan mengenai proses pendidikan yang berintikan pada kepentingan lokal,
tanpa mengesampingkan kepentingan lain yang melingkupinya yaitu kepentingan
nasional.
Berkaitan
dengan sistem penyenggaraan pendidikan, maka revisi UUSPN tentang perlunya asas
desentralisasi dan otonomi pendidikan merupakan babak baru menguatnya iklim
demokratisasi dalam pendidikan nasional. Desentralisasi pendidikan mengandaikan
dimulainya pemberian peran lebih besar kepada pemerintah daerah tingkat
kabupaten kota atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan.
Desentralisasi ini berkaitan oleh sebuah keinginan mendasar bahwa kebutuhan
lokal atau juga nilai-nilai sosial kultural setiap daerah berbeda sehingga
memungkinkan diberlakukannya suatu sistem pendidikan yang mengakomodir
kebudayaan lokal tersebut. Dengan desentralisasi itu diharapkan hasil
pendidikan dapat memenuhi hajat nasional dan hajat daerah bahkan hajat unit.[21]
Desentralisasi pendidikan mengisyarakatkan suatu sistem pendidikan yang
bersifat indegneous (pribumisasi) karena didasarkan pada aspek-aspek
dasar dari lokalitas masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau peserta didik
tidak tercabut dari akar kebudayaannya. Dengan demikian ada relasi mutualistik
antara penyelenggaraan pendidikan dengan situasi lokal yang membutuhkan
penjelasan dan pengenalan secara lebih komprehensif.
Sistem ini jelas memberikan peluang terjadinya
demokratisasi pendidikan, karena ia tidak lagi terpusat dalam soal penyusunan
kurikulum bahkan soal pengangkatan guru. Desentralisasi pendidikan merupakan
langkah strategis untuk menguatkan daerah dan memberikan kebebasan dalam
menyusun sebuah kurikulum yang belakangan sedang ramai dibicarakan.
Peralihan
kewenangan dari pusat ke daerah ini bertujuan agar setiap daerah mampu
memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pendidikan nasional yang
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan daerah untuk mampu dihadapkan pada
wacana global.[22]
Misalnya, daerah Sabang yang dikelilingi oleh laut, hendaknya juga diberikan
penekanan pada sistem pembelajaran mengenai kelautan dan perikanan, sehingga
sumberdaya alam dapat dioptimalisasikan dan sumberdaya manusia dapat diarahkan
pada kerja-kerja tersebut.
Dari uraian tentang desentralisasi
pendidikan tersebut tampak jelas tentang
Negara yang memainkan peranan besar untuk menghegemoni sistem penyelenggaraan
pendidikan di setiap sekolah. Negara mencoba menerapkan pendidikan yang
sifatnya homogen. Situasi ini jelas menjadi tema dan sasaran kritik utama
postmodernisme, yang sejak semula tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai
homogen, sebab masyarakat adalah heteregon, baik karakter maupun kebutuhannya.
Sehingga menjadi tidak populer kalau negara masih memaksakan kehendaknya untuk
mempengaruhi dan menjadi pendidikan persekolahan menjadi seragam atau homogen.
Dengan adanya pergeseran peran yang semula sentralistik menuju desentralistik,
maka dalam menentukan berbagai kebijakan menyangkut pendidikan persekolahan, ,
pihak sekolah dan masyarakatlah yang harus berperan aktif secara profesional
mengembangkan sistem pendidikan persekolahannya.
E. PENUTUP
Posmodemisme
timbul sebagai akibat kegagalan aliran kehidupan modern yang ditandai dengan
kesenjangan kehidupan dunia barat dan timur, kekerasan atas manusia lain,
kelaparan, keterasingan, penihilan nilai manusia, serta penjajahan secara fisik
dan mental. Hal ini sebagai akibat dari kegagalan ilmu dan pengetahuan melayani
kehidupan manusia itu sendiri (karena keegoisan manusia).[23]
Postmodernisme ingin mengkritik modernism dalam rangka mengatasi berbagai
konsekuensi negative yang ditimbulkannya.
Terminologi
postmodernisme terlalu sulit untuk dikontekskan pada bidang pendidikan secara
ekplisit. Tetapi kalau memperhatikan tema-tema besar yang diusung oleh
postmodernisme, maka secara implisit paradigma pendidikan yang ada di Indonesia
dalam banyak hal sudah menggunakan akar-akar pemikiran postmodernisme. Namun,
yang pasti diperjuangkan oleh kaum postmodernisme adalah pembelaannya terhadap
suatu komunitas dan narasi kehidupan yang tersingkir, yang telah tergilas oleh
narasi besar (grand narative) modernisme dengan berbagai dimensi yang
dominatif dan imperalistik. Arus pemikiran postmodernisme bagaikan sebuah
protes terhadap berbagai pemikiran yang absolutistik dan cendrung untuk
menggembor-menggemborkan fenomena modernisme, seperti emosi, perasaan, intuisi,
refleksi, spekulasi, pengalaman personal, tradisi, dan sebagai substitusinya
tak lain adalah pendekatan yang bersifat relativistik dan pluralistik dengan
sikap kerendahan hati untuk mendengarkan dan mengapresiasi ‘yang lain’.
Absolutistik tersebut biasanya hadir dalam bentuk dominasi penguasaan ilmu oleh
guru dan sekolah kepada anak didik, dan itu menjadi sasaran kritik dari gerakan
postmodernisme.
Konsep filsafat potmodernisme
tentang kurikulum adalah konsep pendidikan
moderen pada pendidikan formal
sekolah sebagai agen perubahan yang tujuan pendidikannya bukan sekedar mewariskan
pengetahuan dan ketrampilan secara turun temurun kepada anak-anak tetapi juga adanya
transformasi nilai-nilai. Tujuan pendidikan
sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan.
Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan dan perkembangan
budaya masyarakat setempat. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan,
kurikulum harus disusun secara strategis dan dirumuskan menjadi program-program
tertentu namun tidak perlu terlalu mengekang dan membebani
peserta didik. Karena harus selalu
relevan dengan perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus
mempertimbangkan berbagai macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan
ilmu pengetahuan, perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan
sebagainya.
Untuk penerapkan konsep tersebut diperlukan usaha untuk melakukan berbagai bentuk reformasi paradigma pendidikan yang diwujudkan dengan revisi atas sistem pendidikan yang selama ini dijalankan. Misalnya melalui revisi UUSPN seperti revisi UUSPN no 2/1989 diharapkan pengembangan pendidikan nasional mengarah pada accepbilitas dan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah. Prinsip ini menunjukkan adanya progress ke arah yang lebih demokratis, sebab ada peralihan penentuan kebijakan pendidikan di sekolah, dari soal pendanaan sampai kurikulum, oleh pusat kepada daerah dan sekolah.
Peralihan kewenangan secara penuh ini mencitrakan sebuah demokrasi pendidikan. Artinya, masyarakat dan sekolah berkepentingan dan bertanggungjawab secara optimal atas kemajuan sebuah penyelenggaraan pendidikan. Melalui desentralisasi pendidikan, maka komponen kurikulum dan pengangkatan guru misalnya akan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, sesuai dengan kesiapan sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia. Prinsip ini jelas menuntut kesiapan SDM agar penentuan kurikulum berbasiskan kompentensi dapat diwujudkan dan dihasilkan secara optimal.
Untuk penerapkan konsep tersebut diperlukan usaha untuk melakukan berbagai bentuk reformasi paradigma pendidikan yang diwujudkan dengan revisi atas sistem pendidikan yang selama ini dijalankan. Misalnya melalui revisi UUSPN seperti revisi UUSPN no 2/1989 diharapkan pengembangan pendidikan nasional mengarah pada accepbilitas dan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah. Prinsip ini menunjukkan adanya progress ke arah yang lebih demokratis, sebab ada peralihan penentuan kebijakan pendidikan di sekolah, dari soal pendanaan sampai kurikulum, oleh pusat kepada daerah dan sekolah.
Peralihan kewenangan secara penuh ini mencitrakan sebuah demokrasi pendidikan. Artinya, masyarakat dan sekolah berkepentingan dan bertanggungjawab secara optimal atas kemajuan sebuah penyelenggaraan pendidikan. Melalui desentralisasi pendidikan, maka komponen kurikulum dan pengangkatan guru misalnya akan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, sesuai dengan kesiapan sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia. Prinsip ini jelas menuntut kesiapan SDM agar penentuan kurikulum berbasiskan kompentensi dapat diwujudkan dan dihasilkan secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Rosdakarya, 2010
Amir Yasraf Pilliang, Posrealitas: Realitas
Kebudayaan dalam Era Postmetafisika, (Yogyakarta : Jalasutra: 2004)
Bambang
Sugiharto, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta :
Kanisius, 1996)
Gud Reacht Hayat Padje,Mengenal Lebih Dalam
Postmodernisme, http://opayat.multiply.
com journal/item/2?&show
_interstitial=1 &u=%2Fjournal%2Fitem,diakses 13 desember 2011
Heru
Nugroho, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003)
http://catatan-guru.blogspot.com/2009/05/post-modern-impulse.html,
diakses 12 desember 2011
Imam Machalli dan Musthofa, Pendidikan
Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Pikiran Seputar; Filsafat, politik,
Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogjakarta: Ar-ruzz,2004)
Immanuel
Subangun, Dari Saminisme ke Postmodernisme,(Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1994)
J.
Drost, Sekolah Mengajar atau Mendidik, (Yogyakarta : Kanisius, 1998)
Listiyono Santoso, Postmodernisme ; Kritik
Atas Epistimilogi Modern dalam Epistimologi Kiri, (Yogyakarta : Ar-Ruzz,
2003)
Made
Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994)
Mohammad Arsyar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, ( Jakarta: Proyek
Pengembangan LPTK Ditjen PT Departemen P&K., 1989)
Paulo Freire, Politik Pendidikan:
Kebudayaan, Kekuasaan Dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyanto,
(Yogyakarta : Kanisius, 2003)
Ramayulis
dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2010)
Syamsul
Arifin, Postmoderisme dan Masa Depan
Peradaban, (Yogyakarta : Aditya Media, 1994)
Uyoh Sadulloh, Filsafat Pendidikan, (Bandung :
Alfabeta, 2003)
Warsiman, Posmodernisme,
Pedagogi, Dan Filsafat Pendidikan http://blog.sunan-ampel.ac.id/warsiman/2010/05/18/posmodernisme-pedagogi-dan-filsafat-pendidikan/,
diakses 12 Desember 2011
[1]Gud Reacht Hayat Padje,Mengenal Lebih Dalam
Postmodernisme, http://opayat.multiply.com
journal/item/2?&show
_interstitial=1 &u=%2Fjournal%2Fitem,diakses 13 desember 2011
[2]Warsiman, Posmodernisme, Pedagogi, Dan
Filsafat Pendidikan http://blog.sunan-ampel.ac.id/warsiman/2010/05/18/posmodernisme-pedagogi-dan-filsafat-pendidikan/, diakses 12 Desember
2011
[3] Bambang
Sugiharto, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta :
Kanisius, 1996) 28
[4] http://catatan-guru.blogspot.com/2009/05/post-modern-impulse.html, diakses 12 desember 2011
[5] Amir Yasraf
Pilliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika,
(Yogyakarta : Jalasutra: 2004), 358
[6] Uyoh
Sadulloh, Filsafat Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2003), 54
[7] Ibid.,
54
[8] Made
Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), 10
[9] Uyoh
Sadullah, Filsafat Pendidikan, 55
[10] Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Rosdakarya, 2010), 39
[11] Uyoh
Sadulloh, Filsafat Pendidikan, 57
[12] Ibid.,
58
[13]Mohammad Arsyar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, ( Jakarta: Proyek Pengembangan LPTK Ditjen PT
Departemen P&K., 1989),
104.
[14]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2010), 194
[15] Imam
Machalli dan Musthofa, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Buah Pikiran
Seputar; Filsafat, politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Yogjakarta : Ar-ruzz,
2004), 53
[16] J. Drost, Sekolah Mengajar atau Mendidik,
(Yogyakarta : Kanisius, 1998), 74
[17]
Listiyono Santoso, Postmodernisme ; Kritik Atas Epistimilogi Modern dalam
Epistimologi Kiri, (Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2003), 331
[18] Imam
Machalli dan Musthofa, Pendidikan Islam, 55-56
[19]Warsiman, Posmodernisme, Pedagogi, Dan
Filsafat Pendidikan http://blog.sunan-ampel.ac.id/warsiman/2010/05/18/posmodernisme-pedagogi-dan-filsafat-pendidikan/, diakses 12 Desember 2011
[20] Heru
Nugroho, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2003), 115-116
[21] Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, 264
[22] Faslil
Jalal dan Dedi
[23]
http://fadlibae.wordpress.com/2010/10/04/postmodernisme/, diakses 12 desember 2011
penetrasi posmo pada pendidikan modern ialah hakikat persekolahan. seharusnya tulisan anda bahas tutntas tentang persekolahan.
BalasHapus