5. Peran Penting PAI di Perguruan Tinggi Umum
a. Didasarkan Aspek Historis
Secara historis pendidikan agama Islam pada masa sebelum kemerdekaan pada
semua jenjang pendidikan tidak berada pada posisi yang diutamakan, bahkan bisa
dikatakan disingkirkan oleh pihak penjajah terutama pada masa penjajahan
Belanda. Setelah Indonesia merdeka sebagai hadiah dari pemerintah serta karena
keaktifan tokoh-tokoh umat Islam dalam upaya pemajuan umat Islam melalui dunia
pendidikan maka pendidikan agama Islam secara umum telah punya perhatian dari
pemerintah. Hal ini terutama setelah pada tahun 1951 dikeluarkan peraturan bersama
melalui Penetapan Bersama Antara Menteri Agama dan Menteri PP&K
Nomor 17678/Kab. Tanggal 16-7-1951(PP&K) dan Nomor K/1/9180 Tanggal
16-7-1951(Agama) oleh Pemerintah. Peraturan tersebut secara ekplisit telah ditunjukkan
bahwa pendidikan agama diresmikan untuk digunakan pada pendidikan formal baik
yang negeri maupun suasta.[1]
Terlebih lagi pada tahun 1960 setelah adanya Ketetapan MPRS no.
II/MPRS/1960 Bab II pasal 2 ayat 3, yang berbunyi “menetapkan
Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah
Rakyat sampai dengan Universitas-Universitas Negeri, dengan pengertian bahwa
murid-murid berhak tidak ikut serta apabila wali murid/murid dewasa menyatakan
keberatannya”. Tambahan kalimat
“murid-murid berhak tidak ikut serta….” adalah hasil perjuangan PKI (partai komunis) yang saat itu berkuasa di Indonesia. Dengan adanya
tambahan kalimat tersebut maka status Pendidikan Agama Islam di Indonesia bersifat fakultatif yang berarti
tidak menjadi pengaruh utama dalam
kenaikan kelas. Pendidikan Agama di
Perguruan Tinggi Umum juga baru terdapat perhatian dari pemerintah setelah
dikeluarkan Ketetapan MPRS. No II/MPRS/1960 yang dasar opersaionalnya
adalah UU no. 22 th 1961 tentang Perguruan Tinggi dalam Bab III pasal 9 ayat 2
sub b, yaitu “pada Perguruan Tinggi Negeri diberikan
Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran dengan pengertian bahwa mahasiswa
berhak tidak ikut serta apabila menyatakan keberatannya”. [2]
Status
Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum berubah menjadi sangat kuat posisinya
setelah terjadinya Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia pada tahun
1965. Hal ini terlihat nyata setelah diadakan sidang umum MPRS pada tahun 1966
dengan Ketetapan MPRS no. XXVII/MPRS/1966 Bab I pasal 1, yaitu “menetapkan
Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari Sekolah
Dasar sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”.
Dengan adanya ketetapan tersebut, kalimat tambahan yang merupakan hasil perjuangan kaum PKI dihapus bersamaan dengan dilarangnya Partai Komunis di Indonesia. Sejak saat itu Pendidikan Agama di Indonesia merupakan mata pelajaran pokok dan ikut menentukan kenaikan kelas bagi muridnya mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Kedudukan Pendidikan Agama semakin kokoh karena adanya dukungan GBHN (Garis-garis Besar dan Haluan Negara) yaitu “diusahakan supaya terus betambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai Sekolah Dasar(SD) sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”.[3]
Dengan adanya ketetapan tersebut, kalimat tambahan yang merupakan hasil perjuangan kaum PKI dihapus bersamaan dengan dilarangnya Partai Komunis di Indonesia. Sejak saat itu Pendidikan Agama di Indonesia merupakan mata pelajaran pokok dan ikut menentukan kenaikan kelas bagi muridnya mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Kedudukan Pendidikan Agama semakin kokoh karena adanya dukungan GBHN (Garis-garis Besar dan Haluan Negara) yaitu “diusahakan supaya terus betambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai Sekolah Dasar(SD) sampai dengan Universitas-Universitas Negeri”.[3]
Sedang pada
tahun 1989, ditetapkan Undang-undang
Nomer 2 oleh Dewan Perwakilan Rakyat tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang bertujuan agar Indonesia memiliki landasan konstitusi dalam pelaksanaan
pendidikan termasuk dalam memperkuat kembali posisi mata pelajaran agama di lembaga umum. Hal ini dapat
dipahami dari pernyataan di BAB IX
tentang Kurikulum pada Pasal 39 Ayat 2, yakni “isi kurikulum setiap jenis dan jalur pendidikan wajib memuat: a. pendidikan Pancasila; b. pendidikan
agama; dan c. pendidikan kewarganegaraan.” Walaupun di dalam UUSPN tidak
dicantumkan secara rinci tentang hak peserta didik pada pendidikan agama diajar
oleh pendidik yang seagama sebagaimana yang tercantum pada Undang-undang
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003.[4] Dengan adanya undang-undang
tersebut maka posisi Pendidikan Agama pada lembaga formal baik yang negeri
maupun suasta punya perhatian yang lebih.
Dari
pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan secara historis sesungguhnya peran
penting pendidikan agama terutama pendidikan agama Islam adalah sebagai
penangkal paham-paham yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa salah satunya
paham komunisme. Selain itu karena perkembangan, kebutuhan, dan kondisi
masyarakat Islam yang sangat antusias dalam pendalaman ilmu-ilmu keduniaan
(ilmu pengetahuan umum) sehingga menjadi penyebab banyaknya kalangan agamis
belajar di perguruan tinggi umum. Hal tersebut berkonsekuensi banyaknya
tuntutan dari kalangan agama untuk ditetapkannya mata kuliah agama sebagai mata
kuliah wajib yang harus diberikan kepada para mahasiswa agar mahasiswa tidak
kehilangan atau minim atas ilmu-ilmu agama yang dianutnya.
Dari hasil
analisis sejarah dapat dikatakan bahwa kehadiran pendidikan agama tidak hanya
untuk mendidik ilmu agama bagi peserta didiknya. Namun lebih daripada itu
adanya pendidikan agama adalah sebagai upaya pengokohan ‘ideologi’ agama yang
ditanamkan pada peserta didik di lembaga pendidikan secara formal. Lebih detail
karena di lembaga pendidikan umum terdapat banyak sekali mahasiswa yang
beragama Islam maka dipandang perlu adanya perhatian khusus terhadap adanya pendidikan agama Islam
secara inten di perguruan tinggi umum. Hal ini tentu sebagai bentuk agar
mahasiswa Islam terhindar dari faham sekuler[5] dan supaya mampu dalam
pengantisipasian terhadap fenomena-fenomena arus modernisme pada dua dekade di akhir abad 20.
b. Didasarkan Aspek Filosofis
Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, sehingga
pendidikan Islam punya peran yang signifikan dalam pengembangan sumber daya
manusia dan pembangunan karakter unggul. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
budaya, kebiasaan, karakter, dan segala hal yang tercipta pada masyarakat
merupakan cerminan dari hasil pendidikan Islam. Oleh karena itu peran penting
pendidikan Islam adalah bagaimana agar ajaran Islam yang rahmatan lilalamin benar-benar diterapkan oleh setiap insan Islam.[6]
Peran penting PAI yang lain yang tidak bisa ditinggalkan adalah sebagai bentuk antasipasi atau penanggulangan terhadap paham yang pada zaman sekarang ini mewabah di Indonesia, yaitu adanya pandangan bahwa pendidikan adalah sebagai sarana investasi, asumsinya adalah masyarakat rela generasi mudanya ‘diinvestasikan’ dalam dunia pendidikan dengan harapan akan diperoleh keuntungan sebesar-besarnya setelah itu. Dalam tataran praktis di ranah sosial kemasyarakatan hal tersebut tidak bisa disalahkan dan hilangkan begitu saja. Oleh karena itu pendidikan agama yang salah satunya meliputi moral dan spiritual tidak bisa ditawar lagi untuk tidak dimarginalkan atau tidak digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini supaya pendidikan Indonesia tidak dihasilkan mahasiswa yang berpaham materialistik, cenderung kapitalis, sehingga berujung pada sekulerisme.[7] Hal ini sebagaimana menurut Hamdan Mansoer dkk. dikemukakan bahwa bila pada perguruan tinggi di Indonesia hanya fokus pada pengembangan intelektual keilmuan umum dengan pengabaian dalam upaya pengembangan kepribadian mahasiswa maka bukan mustahil lulusan perguruan tinggi di Indonesia menjadi intelektual yang sekuler.[8]
Lebih gamblangnya sistem pembelajaran PAI adalah kebutuhan mendasar bagi
suatu lembaga pendidikan umum,
terutama pendidikan tinggi umum berbentuk universitas yang karakteristik
mahasiswanya heterogen, salah satu cirinya bersifat multikultural. Keadaan
tersebut bisa diatasi dengan adanya sistem pembelajaran PAI yang integral
dengan adanya komunikasi antar dosen PAI dalam satu lembaga. Walaupun menurut
Abidin Nurdin disampaikan bahwa antar dosen satu dengan yang lain titik tekan
pembelajarannnya pada setiap lokal atau ruang pembelajaran berbeda, dengan
teknik disesuaikan kepada karakter mahasiswa di setiap kelas dan prodi yang
diambilnya.[9]
Oleh karena itu jika sistem pembejaran PAI tidak kokoh dan utuh maka dapat
diperkirakan mata kuliah PAI dianggap sebagai mata kuliah kelas dua atau hanya
sebagai pelengkap (sebagai hiasan dalam kurikulum perguruan tinggi umum).
Sedang menurut Hamka sebagaimana yang dikutip oleh Muh. Idris bahwa Pendidikan Agama adalah sebuah
kebutuhan yang harus diajarakan agar bisa mencetak peserta didik yang paripurna
(insan kamil) walaupun pada lembaga
pendidikan umum. Insan Kamil atau
berkepribadian Muslim adalah suatu kondisi fisik dan mental secara bersamaan
terjadi satu kesatuan yang terpadu sehingga dalam penampilan atau kegiatan
kehidupan sehari-hari tidak terjadi pendikotomian antara jasmani dengan rohani
dan dunia dengan akhirat.[10]
Dengan kata lain pendidikan Agama Islam diharapkan mampu dalam pencetakan
generasi Muslim yang berkemampuan dalam IPTEK, ketauhidan, dan berkepribadian
Islam yang rahman lil alamin sehingga
terbentuklah insan paripurna.
Dengan demikian dimensi ketauhidan tidak bisa
ditinggalkan begitu saja dalam dunia pendidikan, artinya adanya keterlibatan hubungan antara intrepretasi (pelibatan
logika) manusia terhadap
kebenaran hakiki tentang Allah SWT melalui ayat kauniyah dengan
ayat kauliyah yang didasari pada
ketundukan dan keimanan. Hal ini supaya dalam alam pikiran manusia tidak
tercemari sifat angkuh dan merasa terkuat dari segalanya padahal ada yang lebih
kutat dari segalanya yaitu yang Maha Kuat, sehingga kandungan inti dari pemahaman hubungan tersebut adalah keimanan dan
ketundukan mutlak manusia kepada Allah yang tercermin dalam pemikiran, sikap,
dan perilaku sebagai berikut:
1.
Kebenaran
mutlak hanya ada pada Allah semata, dan yang dapat dicapai manusia hanyalah
kebenaran relatif, serta dalam skala temporal maupun spatial.
2.
Kesadaran
akan keterbatasan akal manusia pada intrepretasi tersebut menjadikan timbulnya sikap dan perilaku manusia
yang tunduk dan patuh pada kehendak Allah SWT. Dengan kata lain adanya kesadaran bahwa ilmu dan kemampuan teknologi yang dikuasai
manusia adalah berasal sekaligus amanah dari Allah, dan yang menjadi motivasi
untuk penerapannya pun dalam rangka pemenuhan amanah tersebut.
3.
Keyakinan
akan tiadanya pertentangan antara ilmu dengan agama. Dengan demikian jika ditemui pertentangan dalam
praktiknya adalah semu belaka, artinya sebagai akibat dari kesalahan atau
ketidak mampuan akal manusia dalam intepretasi terhadap ayat kauniyah,
kauliyah, atau bahkan keduanya.
4.
Kesadaran
bahwa ilmu pengetahuan umum bukan satu-satunya kebenaran, bukan satu-satunya jalan pemecahan bagi
permasalah kehidupan manusia.[11]
Dari pemaparan tersebut
maka sungguh nampak peran penting pendidikan agama bagi sikap mental dan
emosional manusia. Dengan kata lain pendidikan agama mampu menjadi solusi bagi
kefrustasian manusia dalam menanggulangi problematika kehidupan. Secara grafik
maka hubungan antara agama dengan ilmu apabila dielaborasisasikan tergambar pada
hubungan berikut ini:[12]
[1]“Sejarah
Perkembangan Pendidikan Agama (PA) di Sekolah-Sekolah Umum,” Blog Umy, http:// blog.umy.ac.id/mariatulqiftiyah/arsip/sejarah-perkembangan-pendidikan-agamapa-di-sekolah-sekolah-umum/, diakses
tanggal 20 Juni 2013.
[2]“Sejarah
Perkembangan Pendidikan,” Blog Umy,
diakses tanggal 20 Juni 2013.
[4]“Undang-undang
Nomer 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,” http:// lugtyasyonos3ip.staff.fkip.uns.ac.id/files/2011/12/UU-No.-2-th-1989-ttg-sisdiknas.pdf, diakses
tanggal 25 Juni 2013.
[5]Pendalaman
terhadap ajaran-ajaran Islam untuk pencegahan dari arus sekularisme sudah
terjadi pada tahun 1925 dengan berdirinya Jong
Islamieten Bond yang dipelopori oleh R. Sam (Sjamsurijal), seorang aktivis
partai politik Sarekat Islam. Organisasi ini diakui anggotanya mampu dalam
pencegahan cendekiawan Muslim berjauhan dengan ajaran-ajaran Islam. Pada waktu
itu kelompok-kelompok diskusi sudah berjamuran dengan pembahasan tentang
masalah-masaiah mutakhir yang dinilai penting pada masanya, misalnya betema
"Islam dan kebebasan berpikir", "poligami dan Islam",
“perang dan etika di dalam Islam", "peranan dan kedudukan wanita di
dalam Islam", "Islam dan nasionalisme", dan lain-lain. Lihat
Pudji Muljono, “Kelompok Keagamaan di Kampus Perguruan Tinggi Umum: Kajian
Sosiologi,” Mimbar: Jurnal Agama &
Budaya, Vol. 24 No. 4 (2007) 483-484.
[6]Hanafy,
“Paradigma Baru Pendidikan,” 174
[7]Hanafy,
“Paradigma Baru Pendidikan,” 176-177
[8]Hamdan Mansoer dkk., Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
(Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, 2004), ii.
[9]Nurdin,
“Pendidikan Agama, Multikulturalisme,” 179.
[10]Muh.
Idris, “Pembaruan Pendidikan Islam dalam Konteks Pendidikan Nasional,” Lentera Pendidikan, Vol. 12 No. 1 (Juni,
2009), 17.
[11]Ahmad Watik Pratiknya, “Pengembangan
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,” dalam Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, ed. Fuaduddin&Cik
Hasan Bisri (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 93-94.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Contoh Tesis BAB II: Peran Penting PAI di Perguruan Tinggi Umum dari Aspek Histori dan Filosofis"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*