Oleh: A. Rifqi Amin
4. Tantangan PAI di Perguruan Tinggi Umum
Dengan adanya media massa dan teknologi informasi komunikasi yang canggih serta begitu mudahnya diakses oleh siapapun
menjadi penyebab masyarakat
mudah terpengaruh terhadap tayangan
atau ‘ajaran’ yang ada di dalamnya. Hal tersebut terjadi karena seringnya dan
mudahnya diaskes hampir setiap hari. Hal tersebut menjadi penyebab secara lambat laun terjadi
perubahan budaya, etika, dan
moral pada masyarakat dan tak
terkecuali pada mahasiswa. Masyarakat yang pada mulanya merasa asing dan
tabu pada model-model pakaian
yang terbuka (porno), hiburan-hiburan yang berlebihan, dan sadisme yang ditayangkan pada media tersebut
kemudian lama kelamaan karena tidak terbendung lagi menjadi terbiasa bahkan
selanjutnya mereka menjadi
bagian dari fenomena tersebut.
Oleh karena itu pada kehidupan masyarakat bahkan pada mahasiswa
ditemui kehidupan yang kontroversial dapat dialami dalam waktu yang sama dalam
individu pribadi yang sama. Misalnya dalam satu pribada punya keseimbangan
antara kesalehan dan keseronohan,
kelembutan dan kekerasan, antara korupsi dan dermawan, antara korupsi dan
keaktifan ibadah, antara kehidupan
masjid dengan mall, yang keduanya
terus menerus berdampingan satu sama lain. Hal inilah yang menjadi alasan
diperlukannya kajian keilmuan
(penelitian) dalam bidang PAI
sebagai penemuan jawaban atas
masalah-masalah seperti itu.[1]
Lebih detail menurut Arif Furqan
peran PAI di PTU sangat strategis hal ini karena
para mahasiswa di PTU sebagian besar akan menjadi pemimpin dan praktisi di
berbagai bidang kehidupan seperti politik, keuangan, ekonomi,
pertahanan, kesehatan, sosial, kebudayaan, pariwisata, dan lain
sebagainya. Ketahanan mental mereka amat diperlukan agar mereka
dapat menjadi pemimpin dan praktisi yang jujur, amanah, dan tahan godaan yang
merusak tatanan sosial. Ketahanan mental yang didasari pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam yang mantap
akan jauh lebih kokoh daripada ketahanan mental yang dilandasi
oleh norma sosial dan pengawasan aparat penegak hukum. Namun kenyataannya
pembelajaran PAI di PTU belum terasa efektif di mana iman,
taqwa, dan akhlaq mulia lulusan PTU belum tampak sebagai akibat pembelajaran
PAI di PTU. Masih banyak aliran eksklusif di PTU,
sehingga dapat dikatakan PAI di PTU belum dibuahkan hasil
sesuai harapan. Hal ini disebabkan karena kurikulum,
dosen, kepedulian pimpinan PTU, lingkungan PTU yang kurang kondusif bagi PAI, serta
kurangnya bahan bacaan agama di perpustakaan umum PTU.[2]
Hal ini sebagaimana menurut Arif Rahman yang dikutip oleh Soedarto
diungkapkan tentang tantangan yang dihadapi oleh PAI di PTU secara eksternal adalah terjadinya perubahan yang dialami masyarakat dengan adanya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga bisa terjadi pergeseran-pergeseran
nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk pergeseran menurut Arif Rahman adalah “agama tidak dijadikan pegangan hidup yang
sifatnya rutin dan dogmatis, agama tidak hanya diterima melalui keyakinan dan masyarkaat perlu penjelas
yang bersifat multi demensional”. Dengan
demikian tugas berat PAI adalah bagaimana nilai kandungan PAI bisa dirasionalisasikan agar bisa diterima oleh masyarakat yang semakin cenderung rasionalis, lebih berpikir progesif, dan menjadi budak
teknologi. Sedangkan
tantangan internalnya menurut Malikhah Towaf
yang dikutip oleh Soedarto yaitu adanya
pola fikir dikotomis yang terjadi pada dosen maupun mahasiswa. Seharusnya
mahasiswa sebagai calon
ilmuwan Islam punya konsep filosofi tentang kesatuan ilmu pengetahuan. Artinya konsep dan prinsip
ketauhidan tidak hanya dipahami dari tinjauan teologis tentang keesaan Allah saja namun juga kerangka berfikir tentang kesatuan ilmu
pengetahuan, penggalian, dan pengembangannya. Sedang tantangan lainnya di mana PAI merupakan program pendalaman ilmu agama di PTU baik pada tatanan perencaan maupun
pelaksanaannya yang masih dipertanyakan perolahan hasil optimalnya.[3]
Sedang dari tinjauan organisasi sistem pembelajaran PAI
belum ada pengelolaan secara profesional, manajemen yang dibangun belum berjalan secara modern, dan lemahnya
pengawasan dari pihak lain. Terlihat pada kenyataan umumnya pendidik PAI lebih
cenderung bekerja secara individu khususnya pada pemecahan masalah dalam
pembelajaran. Ini berarti pada diri pendidik ada pengkultusan dirinya sebagai
kyai, ulama, dan ahli agama Islam yang tidak sembarang orang boleh kritis
terhadapnya, aktif dalam pemberian masukan, dan pemberian bantuan dalam
pemecahan masalah terlebih lagi masukan dari mahasiswanya.[4]
Jika paradigma seperti itu digunakan maka sebagaimana pembahasan sebelumnya
pembelajaran PAI bukan lagi sebagai mata kuliah keilmuan yang dinamis, tapi
nilainya tidak lebih dari sebuah materi ceramah keagamaan yang dogmatis dan
statis.
Lebih spesifik tantangan-tantangan pelaksanaan PAI di PTU yang masih
menjadi kelemahan yaitu meliputi adanya upaya perombakan kerangka pikir
dikotomis masih dilakukan
secara parsial (setengah-setentah).
Artinya belum dilakukan
secara terpadu dan utuh dengan
strategi yang jelas, pendekatan masih lebih cenderung
normatif yaitu penggunaan
norma-norma tanpa ilustrasi konteks sosial budaya sehingga mahasiswa minim penghayatan pada nilai-nilai agama sebagai
nilai hidup keseharian. Tantangan lain
adalah kurikulum yang dirancang
nilai tawarnya masih minim kompetensi dan minim informasi bagi mahasiswa. Ditambah lagi dosen yang juga masih
terpaku pada kurikulum tersebut tanpa adanya pengembangan dan pengayaan
kurikulum, sehingga minimnya pengalaman
belajar yang bervariasi kurang
tumbuh. Selain itu penggunaan metode pembelajaran yang dilakukan dosen masih minimalis sehingga pembelajaran PAI dilakukan cenderung monoton.[5] Dan tantangan yang berkaitan dengan
mahasiswa adalah pembelajaran PAI dihadapkan pada heterogenitas konidisi
objektif raw input mahasiswa di PTU
(baik wawasan dan pengalaman maupun ketaatan) dari segi latar belakang yang meliputi sosio-kultural,
kondisi kehidupan kampus,
kondisi lingkungan tempat tinggal (termasuk sekitar kampus), status sosial
mutakhir, dan banyaknya kekeluargaan (usrah)
yang tumbuh di kampus.[6]
[1]Muhaimin,Nuansa Baru Pendidikan, 86.
[2]Arief Furqan, “Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam: Visi, Misi, dan
Program.” Dalam http://ditpertais.net/visi.htm diakses pada tanggal 03 April 2013.
[4]Mastuhu,
“Pendidikan Agama Islam,” 32-33.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Contoh BAB II Tesis: Tantangan PAI di Perguruan Tinggi Umum"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*