KOMPONEN-KOMPONEN DAN MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM MADRASAH
Oleh: A. Rifqi Amin
PENDAHULUAN
Pengembangan kurikulum
merupakan sebuah kebutuhan dan kewajiban. Pernyataan tersebut didasarkan pada
perubahan iklim masyarakat yang pasti terjadi dan terus menerus mengalami
dinamisasi, sehingga kebutuhan masyarakat juga berubah. Oleh karena itu kurikulum juga harus
dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman yang semakin berkembang. Jika tidak
diadakan pengembangan maka bisa dipastikan kurikulum tersebut tidak lagi
relevan, mandek, ketinggalan jaman, sehingga menyebabkan lembaga ditinggalkan
oleh masyarakat. Jika kurikulum diibaratkan organisme (manusia) maka jika organisme tersebut tidak
menyesuikan diri terhadap lingkungan atau keadaan habibat yang ada maka secara
hukum alam organisme tersebut akan mati
atau bisa tersengkir dari komunitasnya.
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu
organisme yang memiliki susunan organ-organ tertentu seperti otak, jantung,
paru-paru yang merupakan organ vital adanya kehidupan. Kemudian kaki serta
tangan yang merupakan organ gerak dan
organ panca indera. Organ-organ tersebut memiliki fungsi satu sama lain
adakalaya saling bergantung. Jika organ-organ seluruh tubuh berjalan dengan
normal maka bisa dipastikan fungsinya akan berajalan lancar sehingga bisa
menbentuk organisme (manusia) secara utuh yang sehat dan berdaya guna. Namun
setelah organ-organ tersebut berjalan dengan lancar apakah langkah selanjutnya
yang dilakukan, ingin ke mana manusia tersebut beraktivitas, dan seberapa
efektif dan efisienkah manusia tersebut bisa memanfaatkan organ-organ tersebut.
Oleh karena itu perlu adanya pengembangan diri pada diri organisme tersebut
agar bisa menyesuaikan diri pada lingkungan luar.
Dari penjelasan di atas
sesungguhnya kurikulum bisa diibaratkan dengan organisme, salah satu alasannya
adalah karena keduanya sama-sama merupakan sistem yang memiliki tujuan. Sistem
tersebut bisa saja terbangun dari organ-orang yang bekerja baik secara sadar
maupun tidak sadar. Maka komponen kurikulum bisa diartikan bagian dari
keseluruah yang ada, atau bisa berarti unsur dari sesuatu yang utuh.[1] Seperti
organisme maka kurikulum juga perlu mengadakan pengembangan diri untuk menjaga
eksistensinya agar bisa tetap berguna dan bisa mendapat legitimasi dari
lingkungan. Dalam mengembangkan kurikulum perlu mempertahikan komponen-komponen
dan model pengembangan kurikulum. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mendiagnosis dari sudut mana dan arah pengembangannya ke mana pengembangan
tersebut dilakukan.
Sudah menjadi
pengetahuan jamak bahwa komponen atau Organ dari anatomi organanisme kurikulum
yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan
media serta evaluasi.[2] Organ-organ
tersebut harus memiliki keterkaitan, kesinambungan, dan saling membangun satu
sama lain sehingga bisa menjadi sebuah sistem yang utuh dan bisa berjalan
dengan normal. Inilah yang kemudian disebut sebagai organisme kurikulum. Oleh
karena itulah sangat penting dalam mengembangkan kurikulum perlu mengkaji
tentang komponen-komponen (organ) yang terbangun di dalamnya.
Selain menekankan pada
komponen dalam mengembangkan kurikukulum
juga perlu mengkaji tentang model atau pola pengembangan kurikulum. Model
pengembangan kurikulum merupakan cara untuk mendeskirpsikan, menganalisis, dan
mebuat skema dari organisme kurikulum. Seperti halnya manusia untuk menemukan
penyakit yang ada di dalam tubuhnya perlu adanya pemeriksaan atau penelitian
secara mendalam. Ataupun karena adanya tekanan psikologi maka perlu cara-cara
khusus. Karena setiap manusia mempunya latar belakang yang berbeda bisa jadi
penyakitnya juga berbeda, oleh karena itu penangannya juga harus menggunakan
model pengembangan yang berbeda. Dengan demikian maka pengguanaan model-model
pengembangan kurikulum di setiap Tingkat satuan pendidikan juga harus berbeda
karena setiap sekolah tersebut memiliki ciri khas, kurikulum, gejala penyakit,
dan sumber daya yang berbeda.
Mengacu dari pembahasan di atas, untuk lebih fokusnya pembahasan tentang
Komponen-komponen dan Model Pengembangan Kurikulum. Oleh karena itu penulis
telah membuat rumusan masalah dalam makalah ini sebagagai berikut:
1. Bagaimana komponen-komponen Kurikulum
Madrasah?
2. Bagaimana Model-model Pengembangan Kurikulum?
3. Bagiaman model dan langkah-langkah
pengembangan Kurikulum Madrasah?
PEMBAHASAN
A. Komponen-Komponen
Kurikulum Madrasah
Komponen
kurikulum secara umum dalam dunia pendidik yang luas menurut Syaodih
Sukmadinata teridentifikasi dalam unsur atau anatomi tubuh kurikulum yang utama
adalah terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut yaitu tujuan, isi atau materi,
proses atau sistem penyampaian dan media, dan evaluasi, yang mana keempatnya
berkaitan erat satu dengan lainnya.[3]
Sedangkan Hamid Syarief menguraikan kurikulum secara struktural terbagi menjadi
beberapa Komponen diantaranya adalah tujuan kurikulum, komponen isi/bahan,
komponen strategi pelaksanaan, dan komponen evaluasi.[4]
Berdasarkan penjelasan di atas maka dalam lembaga Madrasah penulis dapat
menambahakan penanaman nilai-nilai Islam yang integratif sehingga hubungan dari
ke empat komponen tersebut dengan integrasi nilai-nilai Islam dapat di
gambarakan ke dalam skema berikut ini:
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
komponen kurukulum Madrasah satu sama lain memiliki hubungan dan keterkaitan
sebagai bentuk kerjasama dalam menjadikan kurikulum tetap relevan dengan
realatias dan waktu serta tetap menanamkan nilai-nilai Islam sebagai sumbu
utama yang menjadi ciri khas kurikulum madrasah. Dengan asumsi bahwa integrasi
untuk mata pelajaran umum tidak harus guru mapel umum tidak harus menguasi
bahasa arab, dalil-dalil, dan ilmu Ke-PAI-an secara khusus, namum guru tersebut
cukup memasukkan nilai-nilai Islam atau menyisipkan simbol-simbol keislaman ke
dalam setiap mata pelajaran umum tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
rumpun mapel PAI melakukan doktrin-doktrin verbal dan nonverbal sedangkan guru
mapel umum melakukan doktrin-doktri keislaman secara non verbal.
Jika
sebelumnya kita membagi kurikulum menjadi empat komponen maka berbeda lagi
dengan Subandijah yang menyatakan bahwa ada lima komponen kurikulum yaitu:[5]
a. Komponen
Tujuan
Komponen tujuan berhubungan erat dengan arah atau
hasil yang diharapan secara mikro maupun makro. Tujuan pendidikan memiliki
klasifikasi dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan khusus yang
bersefat spesifik dan dapat diukur, yang kemudian dinamakan dengan kompetensi.
Pembahasan lebih lanjut tujuan pendidikan nasional diklasifikasikan menjadi
empat yaitu: [6]
1)
Tujuan Pendidikan
Nasional (PTN); merupakan tujuan dan arah pendidikan secara umum yang harus
dijadikan patokan atau pedoman bagi setiap lembaga pendidikan di seluruh
Indonesia. Maka untuk setiap madrasah di seluruh Indonesia tidak boleh membuat
rumusan tujuan sendiri yang keluar dari koridor Tujuan pendidikan Nasional. Aturan
main atau pedoman tujuan pendidikan nasional tertuang dalam Undang-undang RI
terbaru yang telah disahkan oleh anggota DPR RI. Sebagaimana dalam UU RI no. 20
tahun 2003 pasal 3 tentang SISDIKNAS bahwa tujuan pendidikan nasional adalah:
“Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warg
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[7]
2) Tujuan Intstitusional (TI) atau lembaga; dalam
lembaga Madrasah tujuan institusional hendaknya dilakukan secara integratif dan
saling mendukung antara bidang mata pelajaran pendidikan agama dengan
penddiikan umum. Tujuan kelembagaan Madrasah dirumuskan oleh masing-masing
lembaga sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan lembaga dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional. Ini berarti bahwa tujuan Insitusional tidak boleh keluar
dari bingkai tujuan pendidkan Nasional yang telah ditetapkan oleh
Undang-undang. Tujuan Isntitusional biasanya juga melihat dari jenjang
masing-masing lembaga atau sesuai dengan tingkat usia siswa, sehingga setiap
jenjang harus memiliki keterkaitan satu sama lain yang mana jenjang yang paling
dasar mendukung tujuan institusional secara umum jenjang yang lebih tinggi. Dengan
demikian maka setiap madrasah mempunyai mempunyai wewenang untuk mengembangkan
kurikulumnya sesuai dengan tingkat perkembangan sosio-kultur agama pada
masyarakat. Misalnya karena lingkungan madrasah sekitar banyak pemeluk NU nya maka
madrasah kurikulum madrasah diafiliasisaikan ke dalam kegiatan ke-NU-an
walaupun madrasah tersebut bukan milik organiasasi NU.
3)
Tujuan
Kurikuler (TK); tujuan yang harus dicapai oleh setiap
bidang studi atau mata pelajaran merupakan bagian dari salah satu cakupan
tujuan lembaga Madrasah. Berdasarkan skema hubungan komponen kurikulum pada
pembahasan sebelumnya maka setiap guru mata pelajaran umum di Madrasah
diharuskan menamkan nilai-nilai islam baik berupa semangat keislaman,
memberikan simbol-simbol islam pada setiap soal atau materi pelajaran, dan
semangat mempelajari ilmu pengetahuan umum yang berlandaskan islam. Tujuan
kurikuler merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan tujuan institusional. Tujuan
kurikuler juga pada dasarnya merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan
lembaga pendidikan. Dengan demikian, setiap tujuan kurikuler harus dapat
mendukung dan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional. Maka setiap mata
pelajaran rumpun PAI dengan Mapel Umum di Madrasah sedapatnya harus mengadakan
penyamaan persepsi dengan mengadakan pelatihan bersama agar penyampaian di
kelas tidak saling tumpang tindih dan saling bertentangan.
4) Tujuan Intruksional atau tujuan pembelajaran (TP);
dalam madrasah tujuan intruksional merupakn bagian dari
tujuan kurikuler. Tujuan pembelajaran adalah tujuan yang harus dicapai oleh
guru dan siswa dalam satu kali tatap muka atau satu kali pertemuan. Dalam
setiap sesi pertemuan merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan
kurikuler. Dapat disimpulkan bahwa dalam setiap pertemuan harus memiliki tujuan
terntentu yang ingin dicapai. Misalahnya siswa mampu meningkatkan perilaku
terpuji di dalam kelas, siswa mampu mengkitu game pembelajaran Matematika yang
Islami dengan ceria dan termotivasi.
Berdasarkan pemaparan di atas tertuama berdasarkan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
dalam lembaga Madrasah memiliki kewenangan dan hak untuk mengembangkan,
mengelaborasi, dan menyusun atau memprogram komponen-komponen kurikulum yang
berlandaskan nilai-nilai yang menjadi ciri khas bagi madrasah. Sehingga ini
yang akan mebedakan antara sekolah umum
dengan Madrasah yang berupakan berlabel islam. Sehingga menurut penulis dalam
madrasah tujuan pendidikan dari tingkat
Nasional hingga ranah tujuan intruksional dapat dikembangkan ke dalam
urutan gambar di bawah ini:
b. Komponen
Media atau Sarana Prasarana
Media
merupakan perantara untuk menjelaskan isi kurikulum apa yang lebih muda
dipahami oleh peserta didik baik media tersebut didesain atau digunakan
kesemuanya, diharapkan dapat mepermudah proses belajar. Oleh karena itu
pemamfaatan dan pemakaian media dalam pembelajaran secara tepat terhadap pokok
bahasan yang disajikan kepada peserta didik untuk menanggapi, memahami isi
sajian guru dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain ketepatan memilih
media yang digunakan oleh guru akan membantu kelancaran penyampaian maksud
pengajaran.
Media Pembelajaran di dunia madrasah merupakan
kebutuhan penting, menurut penulis guru tidak hanya sebagai sumber pembelajaran
atau fasilitator namun guru juga bisa menjadi media pembelajaran bagi siswa.
Dengan asumsi bahwa guru menjadi contoh atau model bagi siswa dalam
berperilaku, selain itu guru juga bisa menjadikan dirinya sebagai media dalam
arti yang sebenarnya misalnya guru memakai baju ilmuan muslim yang kemudian
memraktekan bagaimana cara ilmuan muslim dalam menemukan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
c. Komponen
Strategi
Stategi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan
antara sekolah umum dengan madrasah sangat berbeda karena di madrasah memiliki
ciri khas keislaman yang harus di wujudkan dalam tujuan pembelajaran yang
berbeda sehingga perlu strategi yang berbeda pula. Komponen strategi dan metode merupakan komponen yang memiliki
peran yang sangat penting, dikarenakan berhubungan dengan implementasi
kurikulum. Strategi pembelajaran merupakan pola dan urutan umum perbuatan
guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Dengan kata lain strategi memiliki dua hal yang penting
yaitu rencana yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan dan strategi disusun untuk
mencapai tujuan terentu. Sedangkan metode adalah upaya untuk mengimplementasikan
rencana yang sudah disusun dalam kegiatan belajar nyata agar tujuan yang telah
disusun tercapai secara optimal.[8]
Strategi menuju pada pendekatan, metode serta
peralatan mengajar yang digunakan dalam pengajaran. Pada hakekatnya strategi
pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu saja, tetapi menyangkut berbagai
macam yang diusahakan oleh guru dalam membelajarakan siswa tersebut. Dengan
kata lain mengatur seluruh komponen, baik pokok maupun penunjang dalam sistem
pengajaran. Subandijah, memasukkan komponen evaluasi kedalam komponen strategi.
Hal ini berbeda pula dengan pendapat para ahli lainnya yang mengatakan bahwa
komponen evaluasi adalah komponen yang berdiri sendiri.
d. Komponen
Proses Belajar Mengajar
Yang dimaksud dengan komponen proses belajar
mengajar yaitu bahan atau isi yang diajarkan oleh guru dan yang dipelajari oleh
murid. Pengembangan komponen ini sangat penting dalam sistem pengajaran
khususnya di madrasah, sebab selama ini materi-materi pelajaran Agama masih
dipandang terlalu normatif dan materi-materi pelajaran umum di madrasah masih
dicurigai mengekor atau meniru dari mata pelajaran umum di sekolah-sekolah umum.
Oleh karena itu idealnya semua isi atau bahan ajar pada setiap pelajaran di
Madrasah harus disesuaikan dengan ciri madrasah yang menjujung nilai-nilai
islam. Materi pelajaran umum tidak melulu untuk kepentingan dunia, dan materi
PAI tidak melulu untuk kepentingan akhirat tapi bagaimana keduanya memiliki
posisi penting bagi kehidupan dunia dan akhirat.
e. Komponen
Evaluasi
Evaluasi kurikulum sangat berbeda dengan evaluasi
pembelajaran (Ulangan Harian, UTS, UAS, dan UN), tapi keduanya memiliki
keterkatiatan satu sama lain. Evaluasi pembelajaran menjadi salah satu
instrumen dalam melakukan evaluasi kurikulum, yaitu sebagai salah satu alat
ukur dalam mengukur sejauh mana keberhasilan dari perolehan proses pembelajaran
dan mengetahui pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk mengetahui keberhasilan
tujuan kurikulum. Dengan kata lain evaluasi kurikulum merupakan sebuah upaya
untuk mengadakan penyempurnaan kurikulum ke arah yang lebih baik dari
sebelumnya.
Pernyataan penulis di atas didukung oleh pendapat
Nana Syaodih Sukmadinata yang mengungkapkan bahwa evaluasi kurikulum
dilakukan guna menilai pencapaian
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan serta menilai proses pelakasanaan
pembelajaran secara menyeluruh. Karena dalam setiap kegiatan pembelajaran dan
upaya dalam mencapi tujuan-tujuan kruikulum pasti terdapat umpan balik dari
berbagai pihak atau komponen lain. Umpan balik tersebut bermanfaat untuk
mengadakan berbagai usaha penyempurnaan bagi penentuan dan perumusan
komponen-komponen kurikulum yang lain.[9]
Dalam pendidikan agama khsusunya di
madrasah mengenai proses dan tujuan evaluasi pendidikan agama menurut BSNP dalam
Pasal 64 ayat (1) menyatakan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir a dilakukan secara
berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam
bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan
ulangan kenaikan kelas. Selanjutnya dalam Pasal 64 ayat (2) penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk: menilai pencapaian
kompetensi peserta didik; bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar;
memperbaiki proses pembelajaran.[10]
Lebih fokusnya lagi tentang evaluasi
PAI sebagai salah satu dari keompok mata pelajaran agama dinyatakan pada Pasal
64 Ayat (3) menyatakan penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama
dan akhlak mulia dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan
sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta
ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.[11]
Dari pernyataan tersebut maka penulis dapat menafsirkan bahwa sesungguhnya
proses evaluasi PAI dilakukan tidak hanya dalam aspek kognitif saja yang selama
ini ada di UTS, UAS, dan UAMBN namun juga dalam aspek afeksi dan peniliain
kepribadaian (psikomotorik) peserta didik.
B. Model-model
Pengembangan Kurikulum
Kata model secara etimologi
memiliki arti pola (acuan dan contoh dari sesuatu yang dibuat).[12] Sedangan
menurut analisis penulis sesungguhnya model pengembangan kurikulum bisa juga
diartikan sebagai sebuah pendekatan atau pola ‘apa’ yang digunakan untuk
mengembangkan kurikulum. Sehingga dalam proses pengembangan kurikulum bisa
terlaksana secara tepat guna, tepat sasaran, dan tepat pembiayaanya.
Pemilihan salah satu dari model
pengembangan kurikulum bukan hanya di dasarkan pada kelebihan, kebaikan, dan
bisa ke tingkat pencapaian optimal. Tetapi juga harus disesuaikan dengan sistem pendidikan dan
sistem pengelolalan pendidikan serta model konsep pendidikan yang digunakan.[13]
Dengan kata lain model pengembangan kurikulum pada tiap satuan pendidikan harus
di dasari dari penelitian dan pendalaman masing-masing dari lembaga bukan
karena faktor gengsi atau ikut-ikutan dari lembaga lain yang telah
mengadakan pengembangan. Padahal belum
tentu model pengembangan yang telah diterapkan di lembaga lain cocok untuk
lembaga tersebut.
Menurut Robert S. Zais yang dikutip
oleh Zainal Arifin menyatakan bahwa ada delapan model pengembangan kurikulum.
Dasar teoritisnya adalah lembaga atau orang yang mengadakan pengembangan,
pengambilan keputusan, penetapan kegiatan pembelajaran, realitas implementasinya,
penelitian sistematis tentang masalah, dan pemanfaatan teknologi dalam
pengembangan kurikulum.[14]
Sebelum penulis memaparkan model
pengembangan kurikulum yang sesuai dengan niali-nilai Islam yang mengambil
i’tibar dari Nabi Muhammad ketika melakukan ‘proses pembelajaran’ di lapangan
(masyarakat, saat perang, dan berekonomi) maka penulis akan memaparkan beberapa
model pengembangan kurikulum yang berasal dari penelitaian ilmuwan barat. Menurut
Dakir ia kutip dari pendeta Rober S.
Zain dan menurut ilmuawan dan menurut para ahli lain menjabarkan model
pengembangan kurikulum secara garis besar yang adalah sebagai berikut:
1.
Model
Administratif
Model ini merupakan model prosedur
garis staf yang bersifat top down. Model pengembangan kurikulum ini bermuara atau berhulu
dari pejabat atas (pemerintah dan ahli pendidikan) kemudian diterapkan oleh
tingkat daerah yaitu oleh masing-masing lembaga. Dengan asumsi setiap guru
bahkan lembaga tidak mempunyai wewenang untuk mengembangkan kurikulum, kecuali
hanya berperan sebagai masukan informasi bagi para pejabat atas dalam
mengembangkan kurikulum. Jika penulis deskripsikan alur pengembangan kurikulum
model Administratif ke dalam skema maka dapat penulis gambarkan sebagai
berikut:
2.
Model
dari Bawah (Grass-Roats)
3.
Model
Beauchamp
Model ini dikembangkan oleh seorang
ahli kurikulum yang bernama Beauchamp. Ide
gagasan yang berasal dari kelas pembelajaran tertentu kemudian diterapkan ke
sekolah, beberapa sekolah, dan kemudian secara regioanl maupun nasional.
Pengembangan ini harus melibatkan semua elemen seperti para ahli kurikulum dan
dewan-dewan atau organisasi kependidikan sebagai pedamping dan pengawas
pengembangan kurikulum. Secara gamblang model pengembangan Beauchamp dapat
diklasifikasikan ke dalam langkah-langkah berikut ini:
4.
Model
Terbalik Hilda Taba
Pengembangan kurikulum
model Taba dapat dijelaskan menuru Ella yang dikutip oleh Zainal Arifin
menyatakan bahwa model taba merupakan hasil modifikasi dari model Tayler
terutama modifikasi pada penekanan yang memusatkan perhatian pada guru yang
akan penulis bahas pada sesien berikutnya. Teori Taba mempercayai bahwa peran
guru adalah sebagai pengembang utama kurikulum. Hal ini berbeda dengan model
Tyler.[15]
Penngembangan dilakukan
dengan cara induktif yaitu mencari data dahulu dari lapangan dengan cara
mengadakan percobaan, kemudian di susun teori atas dasar hasil nyata, baru
diadakan pelaksanaan. Taba tidak sepakat dengan model pengembangan tradisional
yang berpola deduktif sebab tidak merangsang bagi guru untuk melakukan berbagai
inovasi. Menurut Taba ada lima langkah dalam mengembangkan kurikulum yaitu
adalah sebagai berikut:
5.
Model
Hubungan Interpersonal dari Rogers
Bertujuan untuk mengembangkan
individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri
berkomunikaisi secar intrapersonal. Ada 3 asusmsi dasar model pengembangan
kurikulum yang dikemukakan oleh Rogers, diantaranya adalah pertama kemampuan untuk lulus ujian adalah kriteria terbaik untuk
pemilihan mahasiswa, dan untuk penetapan profesi, kedua evaluasi adalah pendidikan, dan pendidikan merupakan evaluasi,
ketiga Pengetahuan merupakan
akumulasi bagian-bagian dari sebuah materi informasi.[16] Ada
empat langkah pengembangan kurikulum model rogers yaitu:
1)
Pemilihan target dari sistem pendidikan
2)
Partisipasi gur dalam pengalaman
kelompok yang insetif
3)
Pengembangan pengalaman kelompok yang
insetif untuk satu kelas atau satu unit pelajaran
4)
Partisipasi orang tua dalam kegiatan
kelompok.[17]
6. Model Action Research yang Sistematis;
Model pengembangan kurikulum ini
dilakukan atas dasar tindakan penelitian secara sistematis dan mendalam. Dalam
penyusunan kurikulum mempertimbangkan hubungan antar manusia, keadaan
organisasi sekolah, situasi masyarakat, dan otoritas ilmu pengetahuan. Yang
mana untuk mengetahui semua situasi di sekolah, masyarakat, dan suasan ilmu
pengetahuan harus diadakan penelitian lebih mendalam agar tidak terjadi kesalah
pamahan dan agar tidak terjadi penyimpangan.[18]
7.
Model Pengembangan Kurikulum menurut Ralfp Tayler.
Ralph
Tayler pada tahun 1950 menciptakan suatu mata pelajaran baru dengan judul
prinsip prinsip kurikulum pengajaran. Kemudian beliau mengidentifikasi 4
pertanyaan fundamental yang memerlukan jawaban dan pengembangan untuk setiap
kurikulum dan perencanaan pengajaran. Pertanyaan pertanyaan tersebut adalah:
a.
Tujuan tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh
sekolah lembaga pendidikan?
b.
Pengalaman pendidikan apakah yang sangat perlu disediakan?
c.
Bagaimanakah pengalaman pendidikan dapat diorganisasikan?
d.
Bagaimana dapat diketahui dan ditentukan bahwa tujuan tujuan
tersebut telah dicapai?
Pemikiran
Ralph Tayler tersebut telah banyak mendasari dalam pengembangan kurikulum masa
sekarang. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kurikulum Tayler mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan. Pandangan ini yang menyarankan suatu pendekatan linier
dalam pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh Wheler 1967. Dia menyatakan
bahwa proses pengembangan kurikulum terdiri atas lima komponen yaitu; tujuan
dan sarana, penentuan pengalaman belajar, penentuan isi atau materi pelajaran,
organisasi dan integrasi pengalaman proses belajar mengajar di kelas, evaluasi
terhadap efektifitas semua aspek dari komponen di atas dalam mencapai tujuan.[19]
8.
Pendekatan-pendakatan Pengembangan Kurikulum menurut
Abdullah Idi.
a. Pendekatan
Bidang Studi (mata pelajaran); mengidentifikasi secara teliti pokok-pokok
bahasan yang akan dibahas. Prioritas pendekatan ini adalah mengutamakan
penguasaan bahan dan proses dalam disiplin ilmu tertentu.
b. Pendekatan
berorientasi pada tujuan; menempatkan rumusan atau tujuan yang hendak dicapai
dalam posisi sentral, sebab tujuan merupakan pemberi arah dalam pelaksanan
proses belajar mengajar.
c. Pendekatan
pada pola organisasi bahan; pendekatan ini dilihat dari pola pendekatan Subject matter curriculum, correlated
curriculum, dan integrated curriculum.
d. Pendekatan
rekonstruksionalisme; memfokuskan kurikulum pada masalah-masalah penting yang
dihadapi dalam masyarakat, seperti polusi, ledakan penduduk, dampak kemajuan
teknologi dan lain sebagainya.
e. Pendekatan
humanistik; kurikulum dari siswa dan dipersembahkan untuk siswa. Sehingga
mengutamakan perkembangan efektif siswa dalam pembelajaran yang dilandasi dari
tanggapan minat, kebutuhan, dan kemampuana siswa.
f. Pendekatan
Accountability; pertanggungjawaban
lembaga terhadap masyarakat yang disusun secara sistematis. Diharapkan bisa
menentukan standar dan tujuan spesifik yang jelas serta mengukur efektifitasnya
berdasarkan taraf keberhasilan siswa mencapai standar itu.[20]
C. Model
dan Langkah-langkah Pengembangan Kurikulum Madrasah
Di Madrasah perubahan dan
pengembangan kurikulum hendaknya dilakukan atas dasar musayawarah sebagaimana
yang telah di ajarakan dalam Islam, yaitu musyawarah yang universal
mengakomodir semua elemen lembaga dan masyarakat sehingga tidak terkesan
diskriminatif. Selain itu madrasah sebagai lembaga keislaman dalam
mengembangkan kurikulum menurut penulis harus memperhatikan prinsip-prinsip
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Prinsip
cinta ilmu pengetahuan; Madrasah memberikan peluang bagi siswa-siswanya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan umum dengan cara memberi fasilitas, mengarahkan,
dan memotivasi siswa untuk cinta ilmu pengetahuan.
2. Prinsip
menanamkan nilai-nilai islam dalam setiap komponen kurikulum; penanaman
nilai-nilai islam tidak hanya pada materi pembelajaran saja namun juga
menanamkan pada aspek media, metode/strategi, dan tujuan pembelajarannya.
3. Prinsip
melakukan syiar islam yang rahmatalillalamin;
madrasah mengakomodir keberagaman siswa dan guru.
4. Dan
prinsip yang segala sesuatu dalam kurikulum dilandaskan karena untuk beribadah
Allah SWT; segala apa yang dilakukan dalam mengembangkan kurikulum semuanya
dinisbatkan untuk keridhaan Allah.
Langkah-langkah pengembangan
kurikulum di Madrasah secara teknik dapat digambarkan dalam skema berikut ini:
1. Mengadakan
musyawarah merumuskan rancangan (draf) pengembangan kurikulum yang melibatkan; pertama; dewan ahli yang meliputi para
ahli agama islam, ahli pendidikan, ahli
kurikulum, ahli manajemen, kedua dewan pengelola meliputi kepala
madrasah, para guru, dan pegawai, ketiga
dewan pengguna/pemanfaat kurikulum
madrasah yang meliputi perwakilan masyarakat sekitar madrasah, perwakilan
siswa, dan perwakilan tokoh masyarakat.
2. Guru
dan siswa mempraktekan pengembangan kurikulum sesuai dengan draf, guru dan
siswa saling memberi umpan balik atas pembelajaran yang dilakukan guna mencari
kelemahan dan peluang untuk mengembangkan kurikulum yang lebih baik, kemudian
kepala madrasah mengolah dan menganalisis data-data yang telah masuk.
3. Dewan
ahli memberikan solusi berdasarkan pemasukan dari guru, siswa, dan kepala
sekolah serta berdasarkan dari penelitian di lapangan. Setalah itu
mengembangkan kurikulum berdasarkan masukan dari guru serta siswa, kenyataan di
lapangan, dan berdasarkan teori-teori penddiikan yang berkembang di masyarakat.
4. Guru
dan siswa mencoba menerapkan solusi yang telah ditawarkan oleh para dewan ahli,
kemudian secara aktif mengadakan improfisasi sesuai dengan keadaan.
5. Evaluasi
bersama antara dewan ahli, dewan pengelola, dan dewan pengguna/pemanfaan kurikulum
madrasah.
DAFTAR
RUJUKAN
Arifin,
Zainal. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011.
________.
Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam. Jogjakarta: Diva, 2012.
Dakir, Perencanaan dan pengembangan kurikulum. Jakarta:Rineka
Cipta, 2004.
Depdiknas, Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Idi,
Abdullah. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
Sanjaya,
Wina&Andayani, Dian. “Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum,” dalam Kurikulum dan Pembelajaran. Tim
Pengembang MKDP. Jakarta: Rajawali, 2011.
Subandijah,
Pengembangan dan Inovasi kurikulum. Jakarta, PT. Raja Grafindo, 1993.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek.. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002.
________. Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Syarief, A.
Hamid. Pengembangan Kurikulum. Surabaya:
Bina Ilmu, 1996.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
KOMPONEN-KOMPONEN DAN MODEL PENGEMBANGAN
KURIKULUM MADRASAH
MAKALAH
Makalah Dikerjakan untuk memenuhi sebagian
tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Dosen Pengampu:
Prof.
Dr. H. Nur Ahid, M.Ag.
A. RIFQI AMIN
92100211001
Semester III
Kelas A
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
REVISI YANG
TELAH DILAKUKAN
NO.
|
YANG
DIREVISI
|
SEBELUM
DIREVISI
|
SESUDAH
DIREVISI
|
ALASAN
REVISI
|
1.
|
Ukuran Margin
|
Top: 2,5 cm, bottom: 2,5 cm, left: 3
cm, dan right: 2 cm
|
Top: 4 cm, bottom: 3 cm, left: 4
cm, dan right: 3 cm
|
Memenuhi
standar pedoman penulisan karya tulis ilmiah Program Pasca Sarjana STIAN
Kediri
|
2.
|
Spasi
|
1,5
|
2 (double)
|
Memenuhi
standar pedoman penulisan karya tulis ilmiah Program Pasca Sarjana STIAN
Kediri
|
3.
|
Rumusan masalah
|
1. Hanya
berjumlah dua
2. Tidak
ada unsur madrasah
|
1.
Berjumlah tiga
2.
Bagiaman model dan langkah-langkah
pengembangan Kurikulum Madrasah?
|
Agar Pembahasan Makalah lebih terfokus
Dan masukan dari teman mahasiswa agar
pembahasan lebih membumi (aplikatif)
|
4.
|
Judul Makalah
|
Komponen-Komponen dan Model Pengembangan Kurikulum
|
Komponen-komponen dan pengembangan
kurikulum madrasah
|
1. Penajaman Tema yang di bahas, agar
permasalahan yang dibahas bisa lebih fokus dan untuk menyesuaikan dengan
rumusan masalah.
|
5.
|
Sub Pembahasan Poin C
|
(penambahan)
|
Model-model dan
langkah-langkah pengembangan kurikulum di Madrasah
|
Masukan dari teman mahasiswa agar
pembahasan lebih membumi (aplikatif)
|
6.
|
Pembetulan susuna
(format) dan salah ketik
|
Banyak susunan yang
rancu, kalimat yang tidak bisa dipahami, dan adanya salah ketik.
|
Lebih rapi, ada tabel,
gambar,atau skema sehingga bisa dipahami dengan gampang.
|
Agar
sesui dengan stadar penulisan karya ilmiah dan layak untuk diterbitkan.
|
Penulis menambahi dan menitik tekankan
pengembangan kurikulum pada madrasah karena selama ini masih jarang buku atau
karya tulis di internet yang menulis tentang langkah-langkah, model-model
pengembangan, dan komponen-komponen kurikulum di madrasah. Padahal madrasah
merupakan lembaga pendidikan yang secara nilai berbeda dengan sekolahan umum.
Madrasah memiliki ciri khas tertentu yaitu terdapat nilai-nilai islam di
dalamnya. Oleh karena itu komponen-komponen kurikulum di dalamnya pun
hendaknnya menyesuikan dengna ciri khas yang dimiliki madrasah sebagai
lembaga pendidikan.
|
[1]Depdiknas, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) 453.
[2]A. Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum (Surabaya: Bina
Ilmu, 1996), 77.
[3]Nana
Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2002, 102.
[4]A. Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum (Surabaya: Bina
Ilmu, 1996), 79.
[5]Subandijah, Pengembangan dan
Inovasi kurikulum, Cet. 1,( Jakarta, PT. Raja Grafindo, 1993), 4-6.
[6]Wina Sanjaya&Dian Andayani,
“Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum,” dalam Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2011), 46-47.
[7]Undang-Undang RI no. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[8]Wina Sanjaya&Dian Andayani,
“Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum,” dalam Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2011), 53-54.
[9]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 110-111.
[10]Badan Standar Nasional
Pendidikan, Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Agama dan Akhlak Mulia
(BSNP: Jakarta, 2007), 4.
[11]Badan Standar Nasional
Pendidikan, Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Agama dan Akhlak Mulia
(BSNP: Jakarta, 2007), 4.
[12]Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka,1989), 589.
[13]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997), 161. PENDAHULUAN
Pengembangan kurikulum
merupakan sebuah kebutuhan dan kewajiban. Pernyataan tersebut didasarkan pada
perubahan iklim masyarakat yang pasti terjadi dan terus menerus mengalami
dinamisasi, sehingga kebutuhan masyarakat juga berubah. Oleh karena itu kurikulum juga harus
dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman yang semakin berkembang. Jika tidak
diadakan pengembangan maka bisa dipastikan kurikulum tersebut tidak lagi
relevan, mandek, ketinggalan jaman, sehingga menyebabkan lembaga ditinggalkan
oleh masyarakat. Jika kurikulum diibaratkan organisme (manusia) maka jika organisme tersebut tidak
menyesuikan diri terhadap lingkungan atau keadaan habibat yang ada maka secara
hukum alam organisme tersebut akan mati
atau bisa tersengkir dari komunitasnya.
Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu
organisme yang memiliki susunan organ-organ tertentu seperti otak, jantung,
paru-paru yang merupakan organ vital adanya kehidupan. Kemudian kaki serta
tangan yang merupakan organ gerak dan
organ panca indera. Organ-organ tersebut memiliki fungsi satu sama lain
adakalaya saling bergantung. Jika organ-organ seluruh tubuh berjalan dengan
normal maka bisa dipastikan fungsinya akan berajalan lancar sehingga bisa
menbentuk organisme (manusia) secara utuh yang sehat dan berdaya guna. Namun
setelah organ-organ tersebut berjalan dengan lancar apakah langkah selanjutnya
yang dilakukan, ingin ke mana manusia tersebut beraktivitas, dan seberapa
efektif dan efisienkah manusia tersebut bisa memanfaatkan organ-organ tersebut.
Oleh karena itu perlu adanya pengembangan diri pada diri organisme tersebut
agar bisa menyesuaikan diri pada lingkungan luar.
Dari penjelasan di atas
sesungguhnya kurikulum bisa diibaratkan dengan organisme, salah satu alasannya
adalah karena keduanya sama-sama merupakan sistem yang memiliki tujuan. Sistem
tersebut bisa saja terbangun dari organ-orang yang bekerja baik secara sadar
maupun tidak sadar. Maka komponen kurikulum bisa diartikan bagian dari
keseluruah yang ada, atau bisa berarti unsur dari sesuatu yang utuh.[1] Seperti
organisme maka kurikulum juga perlu mengadakan pengembangan diri untuk menjaga
eksistensinya agar bisa tetap berguna dan bisa mendapat legitimasi dari
lingkungan. Dalam mengembangkan kurikulum perlu mempertahikan komponen-komponen
dan model pengembangan kurikulum. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mendiagnosis dari sudut mana dan arah pengembangannya ke mana pengembangan
tersebut dilakukan.
Sudah menjadi
pengetahuan jamak bahwa komponen atau Organ dari anatomi organanisme kurikulum
yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan
media serta evaluasi.[2] Organ-organ
tersebut harus memiliki keterkaitan, kesinambungan, dan saling membangun satu
sama lain sehingga bisa menjadi sebuah sistem yang utuh dan bisa berjalan
dengan normal. Inilah yang kemudian disebut sebagai organisme kurikulum. Oleh
karena itulah sangat penting dalam mengembangkan kurikulum perlu mengkaji
tentang komponen-komponen (organ) yang terbangun di dalamnya.
Selain menekankan pada
komponen dalam mengembangkan kurikukulum
juga perlu mengkaji tentang model atau pola pengembangan kurikulum. Model
pengembangan kurikulum merupakan cara untuk mendeskirpsikan, menganalisis, dan
mebuat skema dari organisme kurikulum. Seperti halnya manusia untuk menemukan
penyakit yang ada di dalam tubuhnya perlu adanya pemeriksaan atau penelitian
secara mendalam. Ataupun karena adanya tekanan psikologi maka perlu cara-cara
khusus. Karena setiap manusia mempunya latar belakang yang berbeda bisa jadi
penyakitnya juga berbeda, oleh karena itu penangannya juga harus menggunakan
model pengembangan yang berbeda. Dengan demikian maka pengguanaan model-model
pengembangan kurikulum di setiap Tingkat satuan pendidikan juga harus berbeda
karena setiap sekolah tersebut memiliki ciri khas, kurikulum, gejala penyakit,
dan sumber daya yang berbeda.
Mengacu dari pembahasan di atas, untuk lebih fokusnya pembahasan tentang
Komponen-komponen dan Model Pengembangan Kurikulum. Oleh karena itu penulis
telah membuat rumusan masalah dalam makalah ini sebagagai berikut:
1. Bagaimana komponen-komponen Kurikulum
Madrasah?
2. Bagaimana Model-model Pengembangan Kurikulum?
3. Bagiaman model dan langkah-langkah
pengembangan Kurikulum Madrasah?
PEMBAHASAN
A. Komponen-Komponen
Kurikulum Madrasah
Komponen
kurikulum secara umum dalam dunia pendidik yang luas menurut Syaodih
Sukmadinata teridentifikasi dalam unsur atau anatomi tubuh kurikulum yang utama
adalah terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut yaitu tujuan, isi atau materi,
proses atau sistem penyampaian dan media, dan evaluasi, yang mana keempatnya
berkaitan erat satu dengan lainnya.[3]
Sedangkan Hamid Syarief menguraikan kurikulum secara struktural terbagi menjadi
beberapa Komponen diantaranya adalah tujuan kurikulum, komponen isi/bahan,
komponen strategi pelaksanaan, dan komponen evaluasi.[4]
Berdasarkan penjelasan di atas maka dalam lembaga Madrasah penulis dapat
menambahakan penanaman nilai-nilai Islam yang integratif sehingga hubungan dari
ke empat komponen tersebut dengan integrasi nilai-nilai Islam dapat di
gambarakan ke dalam skema berikut ini:
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
komponen kurukulum Madrasah satu sama lain memiliki hubungan dan keterkaitan
sebagai bentuk kerjasama dalam menjadikan kurikulum tetap relevan dengan
realatias dan waktu serta tetap menanamkan nilai-nilai Islam sebagai sumbu
utama yang menjadi ciri khas kurikulum madrasah. Dengan asumsi bahwa integrasi
untuk mata pelajaran umum tidak harus guru mapel umum tidak harus menguasi
bahasa arab, dalil-dalil, dan ilmu Ke-PAI-an secara khusus, namum guru tersebut
cukup memasukkan nilai-nilai Islam atau menyisipkan simbol-simbol keislaman ke
dalam setiap mata pelajaran umum tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
rumpun mapel PAI melakukan doktrin-doktrin verbal dan nonverbal sedangkan guru
mapel umum melakukan doktrin-doktri keislaman secara non verbal.
Jika
sebelumnya kita membagi kurikulum menjadi empat komponen maka berbeda lagi
dengan Subandijah yang menyatakan bahwa ada lima komponen kurikulum yaitu:[5]
a. Komponen
Tujuan
Komponen tujuan berhubungan erat dengan arah atau
hasil yang diharapan secara mikro maupun makro. Tujuan pendidikan memiliki
klasifikasi dari mulai tujuan yang sangat umum sampai tujuan khusus yang
bersefat spesifik dan dapat diukur, yang kemudian dinamakan dengan kompetensi.
Pembahasan lebih lanjut tujuan pendidikan nasional diklasifikasikan menjadi
empat yaitu: [6]
1)
Tujuan Pendidikan
Nasional (PTN); merupakan tujuan dan arah pendidikan secara umum yang harus
dijadikan patokan atau pedoman bagi setiap lembaga pendidikan di seluruh
Indonesia. Maka untuk setiap madrasah di seluruh Indonesia tidak boleh membuat
rumusan tujuan sendiri yang keluar dari koridor Tujuan pendidikan Nasional. Aturan
main atau pedoman tujuan pendidikan nasional tertuang dalam Undang-undang RI
terbaru yang telah disahkan oleh anggota DPR RI. Sebagaimana dalam UU RI no. 20
tahun 2003 pasal 3 tentang SISDIKNAS bahwa tujuan pendidikan nasional adalah:
“Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warg
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[7]
2) Tujuan Intstitusional (TI) atau lembaga; dalam
lembaga Madrasah tujuan institusional hendaknya dilakukan secara integratif dan
saling mendukung antara bidang mata pelajaran pendidikan agama dengan
penddiikan umum. Tujuan kelembagaan Madrasah dirumuskan oleh masing-masing
lembaga sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan lembaga dalam mencapai tujuan
pendidikan nasional. Ini berarti bahwa tujuan Insitusional tidak boleh keluar
dari bingkai tujuan pendidkan Nasional yang telah ditetapkan oleh
Undang-undang. Tujuan Isntitusional biasanya juga melihat dari jenjang
masing-masing lembaga atau sesuai dengan tingkat usia siswa, sehingga setiap
jenjang harus memiliki keterkaitan satu sama lain yang mana jenjang yang paling
dasar mendukung tujuan institusional secara umum jenjang yang lebih tinggi. Dengan
demikian maka setiap madrasah mempunyai mempunyai wewenang untuk mengembangkan
kurikulumnya sesuai dengan tingkat perkembangan sosio-kultur agama pada
masyarakat. Misalnya karena lingkungan madrasah sekitar banyak pemeluk NU nya maka
madrasah kurikulum madrasah diafiliasisaikan ke dalam kegiatan ke-NU-an
walaupun madrasah tersebut bukan milik organiasasi NU.
3)
Tujuan
Kurikuler (TK); tujuan yang harus dicapai oleh setiap
bidang studi atau mata pelajaran merupakan bagian dari salah satu cakupan
tujuan lembaga Madrasah. Berdasarkan skema hubungan komponen kurikulum pada
pembahasan sebelumnya maka setiap guru mata pelajaran umum di Madrasah
diharuskan menamkan nilai-nilai islam baik berupa semangat keislaman,
memberikan simbol-simbol islam pada setiap soal atau materi pelajaran, dan
semangat mempelajari ilmu pengetahuan umum yang berlandaskan islam. Tujuan
kurikuler merupakan salah satu usaha untuk mewujudkan tujuan institusional. Tujuan
kurikuler juga pada dasarnya merupakan tujuan antara untuk mencapai tujuan
lembaga pendidikan. Dengan demikian, setiap tujuan kurikuler harus dapat
mendukung dan diarahkan untuk mencapai tujuan institusional. Maka setiap mata
pelajaran rumpun PAI dengan Mapel Umum di Madrasah sedapatnya harus mengadakan
penyamaan persepsi dengan mengadakan pelatihan bersama agar penyampaian di
kelas tidak saling tumpang tindih dan saling bertentangan.
4) Tujuan Intruksional atau tujuan pembelajaran (TP);
dalam madrasah tujuan intruksional merupakn bagian dari
tujuan kurikuler. Tujuan pembelajaran adalah tujuan yang harus dicapai oleh
guru dan siswa dalam satu kali tatap muka atau satu kali pertemuan. Dalam
setiap sesi pertemuan merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan
kurikuler. Dapat disimpulkan bahwa dalam setiap pertemuan harus memiliki tujuan
terntentu yang ingin dicapai. Misalahnya siswa mampu meningkatkan perilaku
terpuji di dalam kelas, siswa mampu mengkitu game pembelajaran Matematika yang
Islami dengan ceria dan termotivasi.
Berdasarkan pemaparan di atas tertuama berdasarkan
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
dalam lembaga Madrasah memiliki kewenangan dan hak untuk mengembangkan,
mengelaborasi, dan menyusun atau memprogram komponen-komponen kurikulum yang
berlandaskan nilai-nilai yang menjadi ciri khas bagi madrasah. Sehingga ini
yang akan mebedakan antara sekolah umum
dengan Madrasah yang berupakan berlabel islam. Sehingga menurut penulis dalam
madrasah tujuan pendidikan dari tingkat
Nasional hingga ranah tujuan intruksional dapat dikembangkan ke dalam
urutan gambar di bawah ini:
b. Komponen
Media atau Sarana Prasarana
Media
merupakan perantara untuk menjelaskan isi kurikulum apa yang lebih muda
dipahami oleh peserta didik baik media tersebut didesain atau digunakan
kesemuanya, diharapkan dapat mepermudah proses belajar. Oleh karena itu
pemamfaatan dan pemakaian media dalam pembelajaran secara tepat terhadap pokok
bahasan yang disajikan kepada peserta didik untuk menanggapi, memahami isi
sajian guru dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain ketepatan memilih
media yang digunakan oleh guru akan membantu kelancaran penyampaian maksud
pengajaran.
Media Pembelajaran di dunia madrasah merupakan
kebutuhan penting, menurut penulis guru tidak hanya sebagai sumber pembelajaran
atau fasilitator namun guru juga bisa menjadi media pembelajaran bagi siswa.
Dengan asumsi bahwa guru menjadi contoh atau model bagi siswa dalam
berperilaku, selain itu guru juga bisa menjadikan dirinya sebagai media dalam
arti yang sebenarnya misalnya guru memakai baju ilmuan muslim yang kemudian
memraktekan bagaimana cara ilmuan muslim dalam menemukan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
c. Komponen
Strategi
Stategi dan pendekatan pembelajaran yang digunakan
antara sekolah umum dengan madrasah sangat berbeda karena di madrasah memiliki
ciri khas keislaman yang harus di wujudkan dalam tujuan pembelajaran yang
berbeda sehingga perlu strategi yang berbeda pula. Komponen strategi dan metode merupakan komponen yang memiliki
peran yang sangat penting, dikarenakan berhubungan dengan implementasi
kurikulum. Strategi pembelajaran merupakan pola dan urutan umum perbuatan
guru-siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan. Dengan kata lain strategi memiliki dua hal yang penting
yaitu rencana yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan dan strategi disusun untuk
mencapai tujuan terentu. Sedangkan metode adalah upaya untuk mengimplementasikan
rencana yang sudah disusun dalam kegiatan belajar nyata agar tujuan yang telah
disusun tercapai secara optimal.[8]
Strategi menuju pada pendekatan, metode serta
peralatan mengajar yang digunakan dalam pengajaran. Pada hakekatnya strategi
pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu saja, tetapi menyangkut berbagai
macam yang diusahakan oleh guru dalam membelajarakan siswa tersebut. Dengan
kata lain mengatur seluruh komponen, baik pokok maupun penunjang dalam sistem
pengajaran. Subandijah, memasukkan komponen evaluasi kedalam komponen strategi.
Hal ini berbeda pula dengan pendapat para ahli lainnya yang mengatakan bahwa
komponen evaluasi adalah komponen yang berdiri sendiri.
d. Komponen
Proses Belajar Mengajar
Yang dimaksud dengan komponen proses belajar
mengajar yaitu bahan atau isi yang diajarkan oleh guru dan yang dipelajari oleh
murid. Pengembangan komponen ini sangat penting dalam sistem pengajaran
khususnya di madrasah, sebab selama ini materi-materi pelajaran Agama masih
dipandang terlalu normatif dan materi-materi pelajaran umum di madrasah masih
dicurigai mengekor atau meniru dari mata pelajaran umum di sekolah-sekolah umum.
Oleh karena itu idealnya semua isi atau bahan ajar pada setiap pelajaran di
Madrasah harus disesuaikan dengan ciri madrasah yang menjujung nilai-nilai
islam. Materi pelajaran umum tidak melulu untuk kepentingan dunia, dan materi
PAI tidak melulu untuk kepentingan akhirat tapi bagaimana keduanya memiliki
posisi penting bagi kehidupan dunia dan akhirat.
e. Komponen
Evaluasi
Evaluasi kurikulum sangat berbeda dengan evaluasi
pembelajaran (Ulangan Harian, UTS, UAS, dan UN), tapi keduanya memiliki
keterkatiatan satu sama lain. Evaluasi pembelajaran menjadi salah satu
instrumen dalam melakukan evaluasi kurikulum, yaitu sebagai salah satu alat
ukur dalam mengukur sejauh mana keberhasilan dari perolehan proses pembelajaran
dan mengetahui pelaksanaan kegiatan pembelajaran untuk mengetahui keberhasilan
tujuan kurikulum. Dengan kata lain evaluasi kurikulum merupakan sebuah upaya
untuk mengadakan penyempurnaan kurikulum ke arah yang lebih baik dari
sebelumnya.
Pernyataan penulis di atas didukung oleh pendapat
Nana Syaodih Sukmadinata yang mengungkapkan bahwa evaluasi kurikulum
dilakukan guna menilai pencapaian
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan serta menilai proses pelakasanaan
pembelajaran secara menyeluruh. Karena dalam setiap kegiatan pembelajaran dan
upaya dalam mencapi tujuan-tujuan kruikulum pasti terdapat umpan balik dari
berbagai pihak atau komponen lain. Umpan balik tersebut bermanfaat untuk
mengadakan berbagai usaha penyempurnaan bagi penentuan dan perumusan
komponen-komponen kurikulum yang lain.[9]
Dalam pendidikan agama khsusunya di
madrasah mengenai proses dan tujuan evaluasi pendidikan agama menurut BSNP dalam
Pasal 64 ayat (1) menyatakan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir a dilakukan secara
berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam
bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan
ulangan kenaikan kelas. Selanjutnya dalam Pasal 64 ayat (2) penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk: menilai pencapaian
kompetensi peserta didik; bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar;
memperbaiki proses pembelajaran.[10]
Lebih fokusnya lagi tentang evaluasi
PAI sebagai salah satu dari keompok mata pelajaran agama dinyatakan pada Pasal
64 Ayat (3) menyatakan penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama
dan akhlak mulia dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan
sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta
ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.[11]
Dari pernyataan tersebut maka penulis dapat menafsirkan bahwa sesungguhnya
proses evaluasi PAI dilakukan tidak hanya dalam aspek kognitif saja yang selama
ini ada di UTS, UAS, dan UAMBN namun juga dalam aspek afeksi dan peniliain
kepribadaian (psikomotorik) peserta didik.
B. Model-model
Pengembangan Kurikulum
Kata model secara etimologi
memiliki arti pola (acuan dan contoh dari sesuatu yang dibuat).[12] Sedangan
menurut analisis penulis sesungguhnya model pengembangan kurikulum bisa juga
diartikan sebagai sebuah pendekatan atau pola ‘apa’ yang digunakan untuk
mengembangkan kurikulum. Sehingga dalam proses pengembangan kurikulum bisa
terlaksana secara tepat guna, tepat sasaran, dan tepat pembiayaanya.
Pemilihan salah satu dari model
pengembangan kurikulum bukan hanya di dasarkan pada kelebihan, kebaikan, dan
bisa ke tingkat pencapaian optimal. Tetapi juga harus disesuaikan dengan sistem pendidikan dan
sistem pengelolalan pendidikan serta model konsep pendidikan yang digunakan.[13]
Dengan kata lain model pengembangan kurikulum pada tiap satuan pendidikan harus
di dasari dari penelitian dan pendalaman masing-masing dari lembaga bukan
karena faktor gengsi atau ikut-ikutan dari lembaga lain yang telah
mengadakan pengembangan. Padahal belum
tentu model pengembangan yang telah diterapkan di lembaga lain cocok untuk
lembaga tersebut.
Menurut Robert S. Zais yang dikutip
oleh Zainal Arifin menyatakan bahwa ada delapan model pengembangan kurikulum.
Dasar teoritisnya adalah lembaga atau orang yang mengadakan pengembangan,
pengambilan keputusan, penetapan kegiatan pembelajaran, realitas implementasinya,
penelitian sistematis tentang masalah, dan pemanfaatan teknologi dalam
pengembangan kurikulum.[14]
Sebelum penulis memaparkan model
pengembangan kurikulum yang sesuai dengan niali-nilai Islam yang mengambil
i’tibar dari Nabi Muhammad ketika melakukan ‘proses pembelajaran’ di lapangan
(masyarakat, saat perang, dan berekonomi) maka penulis akan memaparkan beberapa
model pengembangan kurikulum yang berasal dari penelitaian ilmuwan barat. Menurut
Dakir ia kutip dari pendeta Rober S.
Zain dan menurut ilmuawan dan menurut para ahli lain menjabarkan model
pengembangan kurikulum secara garis besar yang adalah sebagai berikut:
1.
Model
Administratif
Model ini merupakan model prosedur
garis staf yang bersifat top down. Model pengembangan kurikulum ini bermuara atau berhulu
dari pejabat atas (pemerintah dan ahli pendidikan) kemudian diterapkan oleh
tingkat daerah yaitu oleh masing-masing lembaga. Dengan asumsi setiap guru
bahkan lembaga tidak mempunyai wewenang untuk mengembangkan kurikulum, kecuali
hanya berperan sebagai masukan informasi bagi para pejabat atas dalam
mengembangkan kurikulum. Jika penulis deskripsikan alur pengembangan kurikulum
model Administratif ke dalam skema maka dapat penulis gambarkan sebagai
berikut:
2.
Model
dari Bawah (Grass-Roats)
3.
Model
Beauchamp
Model ini dikembangkan oleh seorang
ahli kurikulum yang bernama Beauchamp. Ide
gagasan yang berasal dari kelas pembelajaran tertentu kemudian diterapkan ke
sekolah, beberapa sekolah, dan kemudian secara regioanl maupun nasional.
Pengembangan ini harus melibatkan semua elemen seperti para ahli kurikulum dan
dewan-dewan atau organisasi kependidikan sebagai pedamping dan pengawas
pengembangan kurikulum. Secara gamblang model pengembangan Beauchamp dapat
diklasifikasikan ke dalam langkah-langkah berikut ini:
4.
Model
Terbalik Hilda Taba
Pengembangan kurikulum
model Taba dapat dijelaskan menuru Ella yang dikutip oleh Zainal Arifin
menyatakan bahwa model taba merupakan hasil modifikasi dari model Tayler
terutama modifikasi pada penekanan yang memusatkan perhatian pada guru yang
akan penulis bahas pada sesien berikutnya. Teori Taba mempercayai bahwa peran
guru adalah sebagai pengembang utama kurikulum. Hal ini berbeda dengan model
Tyler.[15]
Penngembangan dilakukan
dengan cara induktif yaitu mencari data dahulu dari lapangan dengan cara
mengadakan percobaan, kemudian di susun teori atas dasar hasil nyata, baru
diadakan pelaksanaan. Taba tidak sepakat dengan model pengembangan tradisional
yang berpola deduktif sebab tidak merangsang bagi guru untuk melakukan berbagai
inovasi. Menurut Taba ada lima langkah dalam mengembangkan kurikulum yaitu
adalah sebagai berikut:
5.
Model
Hubungan Interpersonal dari Rogers
Bertujuan untuk mengembangkan
individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri
berkomunikaisi secar intrapersonal. Ada 3 asusmsi dasar model pengembangan
kurikulum yang dikemukakan oleh Rogers, diantaranya adalah pertama kemampuan untuk lulus ujian adalah kriteria terbaik untuk
pemilihan mahasiswa, dan untuk penetapan profesi, kedua evaluasi adalah pendidikan, dan pendidikan merupakan evaluasi,
ketiga Pengetahuan merupakan
akumulasi bagian-bagian dari sebuah materi informasi.[16] Ada
empat langkah pengembangan kurikulum model rogers yaitu:
1)
Pemilihan target dari sistem pendidikan
2)
Partisipasi gur dalam pengalaman
kelompok yang insetif
3)
Pengembangan pengalaman kelompok yang
insetif untuk satu kelas atau satu unit pelajaran
4)
Partisipasi orang tua dalam kegiatan
kelompok.[17]
6. Model Action Research yang Sistematis;
Model pengembangan kurikulum ini
dilakukan atas dasar tindakan penelitian secara sistematis dan mendalam. Dalam
penyusunan kurikulum mempertimbangkan hubungan antar manusia, keadaan
organisasi sekolah, situasi masyarakat, dan otoritas ilmu pengetahuan. Yang
mana untuk mengetahui semua situasi di sekolah, masyarakat, dan suasan ilmu
pengetahuan harus diadakan penelitian lebih mendalam agar tidak terjadi kesalah
pamahan dan agar tidak terjadi penyimpangan.[18]
7.
Model Pengembangan Kurikulum menurut Ralfp Tayler.
Ralph
Tayler pada tahun 1950 menciptakan suatu mata pelajaran baru dengan judul
prinsip prinsip kurikulum pengajaran. Kemudian beliau mengidentifikasi 4
pertanyaan fundamental yang memerlukan jawaban dan pengembangan untuk setiap
kurikulum dan perencanaan pengajaran. Pertanyaan pertanyaan tersebut adalah:
a.
Tujuan tujuan pendidikan apakah yang harus dicapai oleh
sekolah lembaga pendidikan?
b.
Pengalaman pendidikan apakah yang sangat perlu disediakan?
c.
Bagaimanakah pengalaman pendidikan dapat diorganisasikan?
d.
Bagaimana dapat diketahui dan ditentukan bahwa tujuan tujuan
tersebut telah dicapai?
Pemikiran
Ralph Tayler tersebut telah banyak mendasari dalam pengembangan kurikulum masa
sekarang. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan kurikulum Tayler mengembangkan
pertanyaan-pertanyaan. Pandangan ini yang menyarankan suatu pendekatan linier
dalam pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh Wheler 1967. Dia menyatakan
bahwa proses pengembangan kurikulum terdiri atas lima komponen yaitu; tujuan
dan sarana, penentuan pengalaman belajar, penentuan isi atau materi pelajaran,
organisasi dan integrasi pengalaman proses belajar mengajar di kelas, evaluasi
terhadap efektifitas semua aspek dari komponen di atas dalam mencapai tujuan.[19]
8.
Pendekatan-pendakatan Pengembangan Kurikulum menurut
Abdullah Idi.
a. Pendekatan
Bidang Studi (mata pelajaran); mengidentifikasi secara teliti pokok-pokok
bahasan yang akan dibahas. Prioritas pendekatan ini adalah mengutamakan
penguasaan bahan dan proses dalam disiplin ilmu tertentu.
b. Pendekatan
berorientasi pada tujuan; menempatkan rumusan atau tujuan yang hendak dicapai
dalam posisi sentral, sebab tujuan merupakan pemberi arah dalam pelaksanan
proses belajar mengajar.
c. Pendekatan
pada pola organisasi bahan; pendekatan ini dilihat dari pola pendekatan Subject matter curriculum, correlated
curriculum, dan integrated curriculum.
d. Pendekatan
rekonstruksionalisme; memfokuskan kurikulum pada masalah-masalah penting yang
dihadapi dalam masyarakat, seperti polusi, ledakan penduduk, dampak kemajuan
teknologi dan lain sebagainya.
e. Pendekatan
humanistik; kurikulum dari siswa dan dipersembahkan untuk siswa. Sehingga
mengutamakan perkembangan efektif siswa dalam pembelajaran yang dilandasi dari
tanggapan minat, kebutuhan, dan kemampuana siswa.
f. Pendekatan
Accountability; pertanggungjawaban
lembaga terhadap masyarakat yang disusun secara sistematis. Diharapkan bisa
menentukan standar dan tujuan spesifik yang jelas serta mengukur efektifitasnya
berdasarkan taraf keberhasilan siswa mencapai standar itu.[20]
C. Model
dan Langkah-langkah Pengembangan Kurikulum Madrasah
Di Madrasah perubahan dan
pengembangan kurikulum hendaknya dilakukan atas dasar musayawarah sebagaimana
yang telah di ajarakan dalam Islam, yaitu musyawarah yang universal
mengakomodir semua elemen lembaga dan masyarakat sehingga tidak terkesan
diskriminatif. Selain itu madrasah sebagai lembaga keislaman dalam
mengembangkan kurikulum menurut penulis harus memperhatikan prinsip-prinsip
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Prinsip
cinta ilmu pengetahuan; Madrasah memberikan peluang bagi siswa-siswanya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan umum dengan cara memberi fasilitas, mengarahkan,
dan memotivasi siswa untuk cinta ilmu pengetahuan.
2. Prinsip
menanamkan nilai-nilai islam dalam setiap komponen kurikulum; penanaman
nilai-nilai islam tidak hanya pada materi pembelajaran saja namun juga
menanamkan pada aspek media, metode/strategi, dan tujuan pembelajarannya.
3. Prinsip
melakukan syiar islam yang rahmatalillalamin;
madrasah mengakomodir keberagaman siswa dan guru.
4. Dan
prinsip yang segala sesuatu dalam kurikulum dilandaskan karena untuk beribadah
Allah SWT; segala apa yang dilakukan dalam mengembangkan kurikulum semuanya
dinisbatkan untuk keridhaan Allah.
Langkah-langkah pengembangan
kurikulum di Madrasah secara teknik dapat digambarkan dalam skema berikut ini:
1. Mengadakan
musyawarah merumuskan rancangan (draf) pengembangan kurikulum yang melibatkan; pertama; dewan ahli yang meliputi para
ahli agama islam, ahli pendidikan, ahli
kurikulum, ahli manajemen, kedua dewan pengelola meliputi kepala
madrasah, para guru, dan pegawai, ketiga
dewan pengguna/pemanfaat kurikulum
madrasah yang meliputi perwakilan masyarakat sekitar madrasah, perwakilan
siswa, dan perwakilan tokoh masyarakat.
2. Guru
dan siswa mempraktekan pengembangan kurikulum sesuai dengan draf, guru dan
siswa saling memberi umpan balik atas pembelajaran yang dilakukan guna mencari
kelemahan dan peluang untuk mengembangkan kurikulum yang lebih baik, kemudian
kepala madrasah mengolah dan menganalisis data-data yang telah masuk.
3. Dewan
ahli memberikan solusi berdasarkan pemasukan dari guru, siswa, dan kepala
sekolah serta berdasarkan dari penelitian di lapangan. Setalah itu
mengembangkan kurikulum berdasarkan masukan dari guru serta siswa, kenyataan di
lapangan, dan berdasarkan teori-teori penddiikan yang berkembang di masyarakat.
4. Guru
dan siswa mencoba menerapkan solusi yang telah ditawarkan oleh para dewan ahli,
kemudian secara aktif mengadakan improfisasi sesuai dengan keadaan.
5. Evaluasi
bersama antara dewan ahli, dewan pengelola, dan dewan pengguna/pemanfaan kurikulum
madrasah.
DAFTAR
RUJUKAN
Arifin,
Zainal. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011.
________.
Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam. Jogjakarta: Diva, 2012.
Dakir, Perencanaan dan pengembangan kurikulum. Jakarta:Rineka
Cipta, 2004.
Depdiknas, Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Idi,
Abdullah. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
Sanjaya,
Wina&Andayani, Dian. “Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum,” dalam Kurikulum dan Pembelajaran. Tim
Pengembang MKDP. Jakarta: Rajawali, 2011.
Subandijah,
Pengembangan dan Inovasi kurikulum. Jakarta, PT. Raja Grafindo, 1993.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek.. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2002.
________. Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Syarief, A.
Hamid. Pengembangan Kurikulum. Surabaya:
Bina Ilmu, 1996.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
[1]Depdiknas, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) 453.
[2]A. Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum (Surabaya: Bina
Ilmu, 1996), 77.
[3]Nana
Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 2002, 102.
[4]A. Hamid Syarief, Pengembangan Kurikulum (Surabaya: Bina
Ilmu, 1996), 79.
[5]Subandijah, Pengembangan dan
Inovasi kurikulum, Cet. 1,( Jakarta, PT. Raja Grafindo, 1993), 4-6.
[6]Wina Sanjaya&Dian Andayani,
“Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum,” dalam Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2011), 46-47.
[7]Undang-Undang RI no. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[8]Wina Sanjaya&Dian Andayani,
“Komponen-komponen Pengembangan Kurikulum,” dalam Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta: Rajawali, 2011), 53-54.
[9]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 110-111.
[10]Badan Standar Nasional
Pendidikan, Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Agama dan Akhlak Mulia
(BSNP: Jakarta, 2007), 4.
[11]Badan Standar Nasional
Pendidikan, Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran Agama dan Akhlak Mulia
(BSNP: Jakarta, 2007), 4.
[12]Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka,1989), 589.
[13]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1997), 161.
[14]Zainal Arifin, Konsep
dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),
137-138.
[15]Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam (Jogjakarta: Diva, 2012), 64.
[17]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 169-171.
[18]Dakir, Perencanaan dan pengembangan kurikulum,(Jakarta:Rineka Cipta,2004),
95-98.
[19]Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum (Jakarta: RajaGrafindon, 1996),
70.
[20]Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), 128-131.
[14]Zainal Arifin, Konsep
dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011),
137-138.
[15]Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan Islam (Jogjakarta: Diva, 2012), 64.
[17]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 169-171.
[18]Dakir, Perencanaan dan pengembangan kurikulum,(Jakarta:Rineka Cipta,2004),
95-98.
[19]Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum (Jakarta: RajaGrafindon, 1996),
70.
[20]Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), 128-131.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Komponen-Komponen dan Model Pengembangan Kurikulum di Madarasah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*