Oleh: Ustadz Zaenal Hamam
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Integrasi ilmu merupakan salah satu tipologi hubungan
ilmu dan agama sebagaimana tiga tipologi yang lain, yaitu tipologi konflik,
independensi dan dialog. Integrasi memiliki dua makna. Pertama, bahwa integrasi
mengandung makna implisit reintegrasi, yaitu menyatukan kembali ilmu dan
agama setelah keduanya terpisah. Kedua, integrasi mengandung makna unity, yaitu
bahwa ilmu dan agama merupakan kesatuan primordial.[1]
Makna yang pertama populer di Barat karena kenyataan
sejarah menunjukan keterpisahan itu. Berawal dari temuan Copernicus (1473-1543)
yang kemudian diperkuat oleh Galileo Galilei (1564-1642) tentang struktur alam
semesta yang heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) berhadapan dengan
gereja yang geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), telah melahirkan
ketegangan antara ilmu dan agama. Penerimaan atas kebenaran ilmu dan agama (gereja)
menjadi satu pilihan yang dilematis.
Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di dunia
Islam karena secara ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah
satu, perbedaannya pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai
dari pembacaan Al-Qur’an, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran
keduanya saling mendukung dan tidak saling bertentangan.
Perbedaan paradigmatik antara ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu
integralistik, bila dilihat dari teorinya Thomas Kuhn (The Strukture of
Scientific Revolution) maka ilmu-ilmu sekuler diposisikan sebagai normal sciences
dan ilmu-ilmu integralistik sebagai suatu revolusi. Kedudukan paradigma baru ilmu-ilmu
integralistik mirip dengan kedudukan ilmu-ilmu social Marxistis terhadap
ilmu-ilmu social Barat yang dianggap kapitalis.[3]
Revolusi terhadap ilmu-ilmu sekuler ini (integrasi
ilmu dan agama), baik dalam makna reintegrasi maupun unity adalah suatu
keniscayaan, karena jika itu tidak dilakukan maka akan mendorong terjadinya
malapetaka sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an Surah al-Rūm (30): 41 yang
artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tang manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagai dari (akibat)
perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”[4]
Makalah ini merupaka usaha penulis untuk memberikan
gambaran sebagai pengantar untuk memahami integrasi ilmu dan agama dalam tiga
hal yang paling dasar, yaitu ontology, epistimologi dan aksiologi integrasi
ilmu dan agama. Makalah ini merupakan bentuk tanggung jawab penulis atas tugas
mata kuliah yang diamanatkan oleh bapak dosen kepada penulis.
B.
Rumusan masalah
Dari rumusan masalah tersebut di atas, penulis dapat
rumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana hakikat integrasi ilmu dan
agama dalam ranah ontologis?
2.
Bagaimana hakikat integrasi ilmu dan
agama dalam ranah epistemologis?
3.
Bagaimana hakikat integrasi ilmu dan
agama dalam ranah aksilogis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Integrasi Ontologi Ilmu Dan Agama
Ontologi
adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah ‘yang ada’, baik
bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak berbicara tentang
hakikat ‘yang ada, sehingga seringkali disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu
yang membicarakan tentang ‘ yang ada’ di balik benda-benda fisik yang oleh
Aristoteles disebut sebagai proto philosophia (filsafat pertama).[5]
‘Yang ada’
dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu mustahil ada (mustaḥīl al-wujūd),
mungkin ada (jawāz al-wujūd) dan wajib ada (wājib al-wujūd). Wajib
ada adalah keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada bukan karena sesuatu
yang lain namun justru menjadi penyebab atas keberadaan segala sesuatu.
Inilah yang oleh Aristoteles disebut sebagai Kausa Prima, yang dalam bahasa
agama disebut dengan Tuhan. Tuhan yang wajib ada bersifatan sifat-sifat wajib
yang di antaranya adalah ilmu (al-‘ilmu) sehingga wujud (eksistensi) ilmu
dan agama adalah identik dan menyatu dalam wujud Tuhan.
Dengan
demikian, Secara ontologis, hubungan ilmu dan agama bersifat
integratif-interdependentif, artinya eksistensi (keberadaan) ilmu dan agama
saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan tidak ada
agama tanpa ilmu. Ilmu dan agama secara primordial berasal dari dan merupakan
bagian dari Tuhan.
Pandangan
ontologis demikian diharapkan dapat menumbuhkan sikap etis bagi ilmuwan maupun
agamawan untuk ‘rendah hati’ dalam menyikapi kebenaran, yaitu bahwa kebenaran
yang saya pahami hanyalah satu potong puzzle dari gambar keseluruhan alam
semesta. Beragam pandangan para ilmuwan maupun agamawan yang lain dapat
dipandang sebagai potongan-potongan puzzle yang berguna untuk saling melengkapi
pemahaman akan kebenaran mutlak.
Penjelasan ini menegaskan bahwa wujud ilmu dan agama dalam dirinya sendiri tidak mengalami konflik jika ada konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi konflik pemahaman ilmuwan dan agamawan.
Penjelasan ini menegaskan bahwa wujud ilmu dan agama dalam dirinya sendiri tidak mengalami konflik jika ada konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi konflik pemahaman ilmuwan dan agamawan.
B.
Integrasi Epistemologis Ilmu dan
Agama
Setiap pandangan epistemologi pasti disadari oleh
suatu pemahaman ontologi tertentu. Seseorang yang meyakini bahwa hakikat segala
sesuatu adalah materi, maka bangunan epistemologinya pun akan bercorak
materialisme. Pemahaman ini akan mengarahkan setiap penyelidikannya pada apa
yang dianggapnya sebagai kenyataan hakiki, yaitu materi. Pemahaman ini dapat
dilihat misalnya pada empirisme, rasionalisme dan positivisme Demikian pula
bagi seseorang yang secara ontologis meyakini bahwa kenyataan hakiki adalah
yang non-materi, mereka juga akan mengarahkan penyelidikannya pada yang non
materi, pemahaman ini dapat dilihat misalnya pada intuisionisme.
Pandangan
ontologis yang integratif-interdependentif antara ilmu dan agama secara
epistemologis akan menghasilkan konsep hubungan ilmu dan agama yang
integratif-komplementer. Sumber ilmu tidak hanya rasio dan indra, namun juga
intuisi dan wahyu. Keempat sumber ilmu tersebut saling melengkapi satu sama
lain. Oleh karena itu, para filsuf muslim seperti al-Kindī mengelompokkan pengetahuan
menjadi dua: 1) ‘ilm ’ilāhī (pengetahuan ilahi) seperti tercantum dalam
al-Qu’an, yaitu pengetahuan yang diperoleh nabi langsung dari Tuhan dan 2) ‘ilm
insānī (human science) atau filsafat yang didasarkan atas pemikiran
(ration reason).[6]
Kedua
pengetahuan tersebut saling melengkapi satu sama lain dan menjadi satu kesatuan
(integratif-komplementer). ‘ilm ’ilāhī seperti yang tercantum dalam al-Qur’an
diposisikan sebagai grand theory ilmu[7]
atau dengan kata lain, ‘ilm ’ilāhī grand theory-nya diambil
dari ayat qaulīyah sedangkan ‘ilm insānī, grand theory-nya diambil
dari ayat kaunīyah. Dari titik tolak yang berlawanan itu, keduanya bertemu pada
satu titik kebenaran. Di antara keduanya tidak mengalami konflik jika ada
konflik sesungguhnya bukan konflik antara ilmu dan agama, tetapi konflik pemahaman
ilmuwan dan agamawan.
C.
Integrasi Aksiologis Ilmu dan Agama[8]
Aksiologi
adalah salah satu cabang filsafat yang membahas masalah nilai sehingga
aksiologi diartikan sebagai filsafat nilai. Beberapa persoalan yang dibahas
antara lain adalah: apa sesungguhnya nilai itu, apakah nilai bersifat objektif
atau subjektif, apakah fakta mendahului nilai atau nilai mendahului fakta.
Nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai ‘kualitas’. Kualitas ini dapat
melekat pada sesuatu (pengemban nilai). Sebagai contoh patung batu itu indah.
Patung batu adalah pengemban nilai sedangkan indah merupakan kualitas (nilai)
yang melekat pada patung.
Nilai
memiliki sifat polaris dan hierarkis. Polarisasi nilai menggambarkan bahwa
dalam penilaian terdapat dua kutub yang saling berlawanan, misalnya:
benar-salah, baik-buruk, idah-jelek. Salah, buruk, jelek, bukan sesuatu yang
tidak bernilai, akan tetapi memiliki nilai yang bersifat negatif . Adapun
hierarki nilai menunjukkan bahwa terdapat gradasi nilai yaitu amat buruk, buruk,
cukup baik, baik dan baik sekali.
Berangkat
dari prinsip dasar bahwa hubungan ilmu dan agama secara ontologis bersifat
integratif-interdependentif, dan secara epistemologis bersifat
integratif-komplementer, maka secara aksiologis ilmu dan agama dapat dikatakan
memiliki hubungan yang integratis-kualifikatif. Artinya nilai-nilai (kebenaran,
kebaikan, keindahan dan keilahian) secara simultan terkait satu sama lain
dijadikan pertimbangan untuk menentukan kualitas nilai.
Berbicara
tentang ilmu tidak hanya berbicara masalah nilai kebenaran (logis) saja, namnun
juga nilai-nilai yang lain. Dengan kata lain, yang benar harus juga yang baik,
yang indah dan yang ilahiah. Pandangan bahwa ilmu harus bebas nilai disatu sisi
telah mengakselerasi secara cepat perkembangan ilmu namun disisi yang lain
telah menghasilkan dampak negatif yang sangat besar. Berbagai problem
keilmuan terutama aplikasinya dalam bentuk teknologi telah menghasilkan beragam
krisis kemanusiaan dan lingkungan, oleh karena diabaikannya berbagai nilai
diluar nilai kebenaran.
Integrasi
antara Ilmu dan Agama. Ilmu dan agama bukan sesuatu yang terpisah dan bukan
sesuatu yang satu berada diatas yang lain. Pandangan bahwa agama lebih tinggi
dari ilmu adalah pengaruh dari konsep tentang dikotomi ilmu dan agama. Ilmu
dianggap sebagai ciptaan manusia yang memiliki kebenaran relatif yang oleh
karenanya memiliki posisi lebih rendah dibandingkan agama sebagai ciptaan tuhan
yang memiliki kebenaran absolut.
Kesempurnaan
ilmu Tuhan dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam ini,yaitu tidak ada satupun
ciptaan yang sia-sia, segala sesuatu bermanfaat dan mendukung kelestarin alam
ini dan bersifat non-residu. Satu contoh dapat ditunjukkan bahwa kotoran hewan,
sekalipun seakan-akan merupakan benda yang terbuang dan tidak berguna, namun
keberadaannya tetap memberikan manfaat, misalnya untuk menyuburkan tanaman dan
dapat menghasilkan gas untuk keprluan rumah tangga. Hal ini bisa dibandingkan
dengan buatan manusia berupa kendaraan bermotor yang mengeluarkan asap yang
dapat merugikan kesehatan. Akan tetapi manusia selalu berusaha memperbaiki
kelemahan teorinya dari kesalahan yang mereka perbuat. Kesalahan manusia ketika
membaca ilmu Tuhan di alam ini, sesungguhnya merupakan bagian dari proses
pencarian kebenaran dan bukan pula karena ada kesalahan ilmu Tuhan tetapi
karena ke-belum-mampu-an manusia menemukan kebenaran ilmu Tuhan yang
sesungguhnya.
Jelaslah
kiranya bahwa Integrasi ilmu dan agama memerlukan landasan filosofis, yang
didalamnya terdiri atas tiga pilar besar yaitu ontologi, epistemologi dan
aksiologi, sehingga agama tidak hanya menjadi landasan etis namun lebih luas
menjadi landasan filosofis bagi perkembangan ilmu. Dengan demikian outcome yang
dihasilkan dari institusi yang mengintegrasikan ilmu dan agama adalah bukan hanya
ilmuwan muslim namun ilmuwan Islam. Ilmuwan muslim yang dimaksud adalah ilmuwan
yang beragama Islam, yaitu seseorang yang menguasai ilmu dan kuat imannya,
sedangkan ilmuwan Islam adalah, ilmuwan yang tidak hanya kuat imannya, namun
yang dapat menjadikan Islam sebagai paradigma bagi perkembangan ilmu.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Secara ontologis, hubungan ilmu dan
agama bersifat integratif-interdependentif, artinya eksistensi (keberadaan)
ilmu dan agama saling bergantung satu sama lain. Tidak ada ilmu tanpa agama dan
tidak ada agama tanpa ilmu. Ilmu dan agama secara primordial berasal dari dan
merupakan bagian dari Tuhan, oleh karena Al-‘Ilm adalah salah satu dari nama
Tuhan, sehingga wujud (eksistensi) ilmu dan agama adalah identik dan menyatu
dalam wujud Tuhan.
2.
Secara epistemologis, hubungan ilmu
dan agama bersifat intagratif-komplementer, artinya seluruh metode yang
diterapkan dalam ilmu dan agama saling melengkapi satu sama lain. Dalam
pencarian kebenaran ilmu tidak hanya menerima sumber dari kebenaran dari
empiris dan rasio saja, namun juga menerima sumber kebenaran dari intuisi dan
wahyu.
3.
Secara aksiologi, hubungan ilmu dan
agama bersifat integratif-kualifikatif, artinya seluruh nilai (kebenaran,
kebaikan, keindahan, dan keilahian) saling mengkualifikasi satu dengan yang
lain. Nilai kebenaran, yang sering kali menjadi tolak ukur utama ilmu,
merupakan kebenaran yang baik, yang indah dan yang ilahiah sekaligus.
Justifikasi ilmu tidak hanya benar-salah (nilai kebenaran) saja, namun juga
termasuk didalamnya baik-buruk (nilai kebaikan), indah-jelek (nilai keindahan)
dan sacral-profan, halal-haram (nilai keilahian). Ilmu tidak bebas nilai, ilmu
tidak hanya untuk ilmu tetapi ilmu harus disinari oleh-terutama-nilai
tertinggi, yaitu nilai keilahian (ketuhanan). Implikasi atas saling
mengkualifkasinya keseluruhan nilai dalam ilmu akan mengarahkan perkembangan
ilmu menjadi ilmu yang bermoral.
4.
Dengan demikian, kesimpulan akhir
dari integrasi ilmu dan agama adalah bahwa integrasi ilmu dan agama adalah
integrasi yang interdependentif-komplementer-kualifikatif, yaitu integrasi yang
dibangun merupakan kristalisasi dari landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis atas ilmu.
5.
Jadi, kesimpulan paling akhir, Jelaslah
kiranya bahwa konsep integrasi ilmu dan agama sesungguhnya berpusat pada tauhid
karena dari-Nya semua berasal dan kepada-Nya semua kembali, Innā Lillāhi wa
Innā Ilayhi Rāji‘ūn.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Islamic
Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Departeman Agama
RI. al-Qur’an dan terjemahnya. Bandung: al-Jumānatul ‘Alī, 2005.
Kuntowijoyo. Islam
Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006.
Kuswanjono, Arqom.
“Integrasi ilmu dan agama”
sadra.or.id/Filsafat-Irfan/integrasi-ilmu-dan-agama.html, , 20 Mei
2011, diakses tanggal 4 Januari 2012.
Mustansyir, Izal,
dan Misnal Munir. Filsafat ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Praja,Juhaya S. Aliran-aliran
Filsafat & Etika. Jakarta: Prenada Media, 2003.
[1] Arqom Kuswanjono, “Integrasi ilmu dan agama” sadra.or.id/Filsafat-Irfan/integrasi-ilmu-dan-agama.html,
, 20 Mei 2011, diakses tanggal 4 Januari
2012.
[2] Ibid.; Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat ilmu
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002), 70.
[3] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi,
dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 49.
[4] Departeman Agama RI, al-Qur’an dan terjemahnya (Bandung:
al-Jumānatul ‘Alī, 2005), 409.
[5] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, 11.
[6] Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat & Etika (Jakarta:
Prenada Media, 2003), 196.
[7] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan
Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 102.
[8] Arqom Kuswanjono, “Integrasi ilmu dan agama”
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "INTEGRASI ILMU DAN AGAMA"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*