FILSAFAT PENDIDIKAN ESSENSIALISME
Oleh: Luthfi Damayanti
( Mahasiswa Program Pascasarjana STAIN Kediri Angkatan II)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara sederhana filsafat dapat dijelaskan sebagai proses
pemikiran dan perenungan, namun ternyata filsafat memiliki makna dan pengertian
yang jauh lebih dalam. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok
orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan.
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa
dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi
yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Kata filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu Philosophia
yang terdiri dari kata philos yang berarti cinta dan Sophia yang berarti
kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Jadi, filsafat berarti cinta pada
kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. Ada juga yang menyatakan bahwa
filsafat berasal dari bahasa arab, falsafah yang berarti hikmah.[1]
Pengertian dari segi bahasa ini belum cukup menjelaskan tentang
filsafat. Berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran tentang segala
sesuatu dengan mengunakan pemikiran secara serius. Filsafat adalah pencarian
kebenaran melalui alur berfikir yang sistematis, artinya perbincangan mengenai
segala sesuatunya dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku
sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti dan tidak meloncat-loncat.[2]
Pendidikan
adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi
fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan
dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Filsafat pendidikan adalah filsafat
yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Filsafat
pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka salama membahas filsafat
pendidikan akan berangkat dari filsafat umum. Dalam arti bahwa filsafat
pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat umum dan akan
menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia
tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Dunia pendidikan berkembang seiring kemajuan zaman yang
tidak terbantahkan lagi. Keadaan ini menimbulkan banyak permasalahan yang perlu
dipecahkan. Oleh karena itu, muncullah filsafat pendidikan. Menurut E. J. Power
dalam bukunya Phylosophi of Education (1982) sebagaimana dikutip
kembali oleh Nur Wati bahwa, filsafat pendidikan bertujuan memberikan inspirasi
bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal.[3]
Filsafat dan pendidikan dengan demikian sangat berkaitan.
Keduanya tidak dapat dipisahkan, hal ini juga disebabkan karena kehadiran
filsafat memang lebih dahulu hadir dari ilmu pengetahuan. Filsafat adalah ibu
dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal-hal penting yang dilakukan oleh filsafat
pendidikan adalah :
1.
Memberikan inspirasi, yakni
menyatakan/mengemukakan tujuan pendidikan Negara bagi masyarakat. Di Indonesia,
tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989
tentang Sisten Pendidikan Nasional.
2. Melaksanakan analisis, yaitu menemukan dan
menginterpretasikan dalam kegiatan pembahasan teori pendidikan ataupun praktik
pendidikan.
3. Memberikan pengarahan, artinya memberikan arah yang jelas
dan tepat untuk melaksanakan praktik pendidikan sebagai implementasi dari
perencanaan.
4. Melaksanakan penyelidikan dan mengajukan pertanyaan. Dalam
hal ini filsafat pendidikan menanyakan kebijakan pendidikan dan praktik di
lapangan dengan tujuan memberikan kritik, persetujuan atau kalau perlu
mengadakan perubahan/modifikasi.[4]
Filsafat pendidikan
memiliki banyak sekali aliran, Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab atau aliran-aliran
seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena
filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat
beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan akan temukan berbagai
aliran. Dalam makalah ini, penulis ingin membahas permasalahan filsafat pendidikan
essensialisme.
B. Rumusan Masalah
-
Bagaimanakah
teori filsafat pendidikan essensialisme?
-
Siapa
saja tokoh essensialisme?
-
Bagaimana
implikasi logis dari filsafat pendidikan essensialisme?
C. Tujuan Pembahasan
-
Untuk
mengetahui teori filsafat pendidikan essensialisme
-
Untuk
mengetahui tokoh essensialisme
-
Untuk
mengetahui implikasi logis dari filsafat pendidikan essensialisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Filsafat Pendidikan
Essensialisme
1. Filsafat Essensialisme
Teori filsafat essensialisme di
dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat
manusia. Essensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan
ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Idealisme dan realisme
adalah aliran filsafat yang membentuk corak essensialisme. Dua aliran ini
bertemu sebagai pendukung essensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu
dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.[5]
Renaissance
adalah pangkal sejarah timbulnya essensialisme karena timbul pada zaman itu. Essensialisme
adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Essensialisme
pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan
dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Beberapa
tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley (1874-1946), George Wilhelm
Friedrich Hegel (1770 – 1831), Thomas Briggs, Frederick Breed dan
Isac L. Kandell.
Secara ontologis essensialisme mengakui adanya realita
obyektif di samping pre-determinasi, supernatural dan transendental. Semesta ini merupakan satu kesatuan yang mekanis, menurut
hukum alam obyektif (Kausalitas). Manusia adalah subyek dan bagian alam semesta, serta tunduk pada
hukum alam. Karena essensialisme berangkat dari
dialektika antara rasionalisme dan eksistensialisme, maka ada sebuah kata kunci
untuk bisa membongkar faham essensialisme. Baik rasionalisme dan
eksistensialisme mengedepankan akal dalam memandang segala sesuatunya. Sehingga
kebenaran atau pengetahuan terlahir dari proses penelaahan akal fikiran.[6]
Pandangan epistemologi
essensialisme berangkat dari teori kepribadian manusia. Manusia sebagai
refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi Essensialisme. Sebab,
jika manusia mampu menyadari realita dirinya sebagai mikrokosmos dalam
makrokosmo, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat/kualitas apa rasionya mampu
memikirkan kesemestaan itu.[7]
Dari berdasarkan kualitas itulah dia memproduksi secara tepat pengetahuannya
dalam bidang-bidang: Ilmu alam, Biologi, Sosial, Estetika, dan Agama.
Pandangan
ontologi dan epistemologinya amat mempengaruhi pandangan axiologi. Bagi essensialisme, nilai,
seperti juga kebenaran berakar dalam dan berasal dari sumber objektif. Watak sumber ini
dari mana nilai
itu berasal. Teori nilai dalam essensialisme terbagi menjadi
dua, idealisme dan eksistensialisme. Karena essensialisme memang dibangun dari
dua akar filsafat tersebut.
a.
Menurut Idealisme
1) Idealisme:
“Menurut aliran ini bahwa hukum etika adalah kosmos, karena itu seseorang
dikatakan baik hanya jika ia secara aktif berada di dalam dan melaksanakan
hukum-hukum itu”.
2) Idealisme Modern: “Idealisme lebih di
ungkapkan oleh E. Kant: Bahwa manusia yang baik adalah manusia yang bermoral”.
3) Teori
Sosial Idealisme: “Disini E. Kant menekankan akan adanya rasa sosialis,
kekluargaan, patriotisme, dan nasionalisme. Yang dimaksud E. Kant adalah adanya
kemerdekaan individu agar bisa bersosialisasi dengan manusia lainnya.
4) Teori
Estetika: “Bahwa yang disebut nilai adalah suatu keindahan” (E. Kant).
b.
Menurut eksistensialisme
1)
Etika Determinisme: “Semua unsur semesta, termasuk
manusia adalah satu kesatuan dalam satu rantai yang tak berakhir dan dalam
kesatuan hukum kausalitas. Seseorang tergantung seluruhnya pada sebab-akibat
kodrati itu dan yang menentukan keadaannya sekarang, baik ataupun buruk.
2)
Teori Sosial: Teori ini lebih menekankan kepada
unsure ekonomi, social, politi dan Negara. Free man (Bertrand Russel).
Dan lebih menekankan kepada kehidupan sekarang.
3)
Teori Estetika: Menurut paham ini bahwa keindahan itu
tidak hanya sesuatu yang bagus, namun ada pula yang buruk.
Aliran filsafat essensialisme pertama kali muncul sebagai
reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Filsafat ini
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena kebudayaan
lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia. Prinsip-prinsip
essensialisme berakar pada ungkapan eksistensialisme objektif dan idealisme objektif yang
moderen. Yaitu alam semesta
diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam
rangka penyesuaian diri dan pengelolaannya. Nilai (kebenaran
bersifat korespondensi ) berhubungan antara gagasan dengan fakta secara objekjtif. Bersifat
konservatif (pelestarian budaya) dengan merefleksikan humanisme klasik yang
berkembang pada zaman renaissance.[8]
2. Pandangan Essensialisme di Bidang Pendidikan
Essensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata yang jelas. Faham idealisme sebagai dasar dari essensialisme, memulai
tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan pada
aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah
memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif.
Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.[9]
Segala
pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera memerlukan unsur
apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu. Bila orang
berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai
bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi
manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah
bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada budi.
Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Esessensialisme
modern dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme
dan sinisme dari gerakan Progresivisme terhadap nilai-nilai yang
tertanam dalam warisan budaya/sosial. Menurut Esessensialisme, nilai-nilai yang
tertanam dalam warisan budaya/sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan yang
terbentuk secara berangsur-angsur dengan melalui kerja keras dan susah payah
selama beratus tahun, dan di dalamnya telah teruji dalam gagasan-gagasan dan
cita-cita yang telah teruji dalam perjalanan waktu.[10]
Dengan
mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa
yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan
menciptakan diri sendiri. Pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua
jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
1)
Determinisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah
mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada,
yang bersama-sama membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh
penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
2)
Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya
sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang
kausatif di dunia ini berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap
mereka, namun kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
Pada
prinsipnya, proses belajar menurut Essensialisme adalah melatih daya jiwa
potensial yang sudah ada dan proses belajar sebagai proses menyerap apa yang
berasal dari luar. Yaitu warisan-warisan sosial yang disusun dalam
kurikulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.
b.
Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa
tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada
landasan idiil dan organisasi yang kuat. Kurikulum itu bersendikan alas
fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang
ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang
serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak
terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Menurut
Essensialisme: “Kurikulum yang kaya, yang berurutan dan sistematis yang
didasarkan pada target yang tidak dapat dikurangi sebagai suatu kesatuan
pengetahuan, kecakapan- kacakapan dan sikap yang
berlaku di dalam kebudayaaan yang demokratis.
Kurikulum dibuat memang sudah didasarkan pada urgensi yang ada di dalam
kebudayaan tempat hidup si anak”.
c.
Peranan Sekolah menurut Essensialisme
Sekolah
berfungsi sebagai pendidik warga negara supaya hidup sesuai dengan prinsip-prinsip dan
lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakatnya serta membina
kembali tipe dan mengoperkan kebudayaan, warisan sosial, dan membina
kemampuan penyesuaian diri individu kepada masyarakatnya dengan
menanamkan pengertian tentang fakta-fakta, kecakapan-kecakapan dan ilmu
pengetahuan.
d.
Penilaian Kebudayaan menurut Essensialisme
Essensialisme
sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan bahwa lembaga-lembaga
dan praktik-praktik kebudayaan modern telah gagal dalam banyak hal untuk
memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk menyelamatkan manusia dan
kebudayaannya, harus diusahakan melalui pendidikan.
e.
Teori Pendidikan
1)
Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti
pengetahuan yang telah terhimpun, yang telah bertahan sepanjang waktu dan
dengan demikian adalah berharga untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan
ini diikuti oleh keterampilan. Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan
nilai-nilai yang tepat, membentuk unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah
pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi,
pengembangan intelek atau kecerdasan.
2) Metode
Pendidikan
a) Pendidikan
berpusat pada guru (teacher centered). Umumnya
diyakini bahwa pelajar tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan, dan
mereka haru dipaksa belajar. Oleh karena itu pedagogi yang bersifat
lemah-lembut harus dijauhi, dan memusatkan diri pada penggunaan metode-metode
tradisional yang tepat.
b) Metode utama
adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas; dan
penguasan pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
3)
Kurikulum
Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan hal-hal
yang lebih jelas tentang kurikulum. Ia menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata
pelajaran yang satu dengan yang lain.[11] Kurikulum
dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian.
Keempat bagian
tersebut ialah: Universum, pengetahuan yang merupakan latar belakang dari segala
manifestasi hidup manusia, diantaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam,
asal-usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu
pengetahuan alam kodrat yang diperluas. Civilization. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan
sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar
kebutuhan, hidup aman dan sejahtera. Kebudayaan. Karya manusia yang mencakup diantaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan,
agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan. Kepribadian. Bagian yang bertujuan
pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan
kepribadian yang ideal.[12]
Tujuan umum aliran essensialisme adalah membentuk pribadi bahagia didunia
dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala
hal yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi essensialisme
merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran
kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya,
kurikulum essensialisme menerapkan berbagai pola kurikulum, seperti pola
idealisme, realisme dan sebagainya. Sehingga peranan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan
kenyataan sosial yang ada dimasyarakat.
Dengan demikian
ada beberapa hal penting yang menjadi perhatian essensialisme dalam merumuskan
kurikulum, antara lain adalah:
1) Kurikulum
berpusat pada mata pelajaran yang mencakup mata-mata pelajaran akademik yang
pokok.
2) Kurikulum
Sekolah Dasar ditekankan pada pengembangan keterampilan dasar dalam membaca,
menulis, dan matematika.
3) Kurikulum
Sekolah Menengah menekankan pada perluasan dalam mata pelajaran matematika,
ilmu kealaman, humaniora, serta bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap
mata-mata pelajaran tersebut dipandang sebagai suatu dasar utama bagi
pendidikan umum yang diperlukan untuk dapat hidup sempurna. Studi yang ketat
tentang disiplin tersebut akan dapat mengembangkan kesadaran pelajar, dan pada
saat yang sama membuat mereka menyadari dunia fisik yang mengitari mereka.
Penguasaan fakta dan konsep-konsep pokok dan disiplin-disiplin yang inti adalah
wajib.
f.
Pelajar
Siswa adalah
makhluk rasional dalam kekuasaan fakta dan keterampilan-keterampilan pokok yang
siap melakukan latihan-latihan intelektif atau berpikir.[13]
Sekolah bertanggungjawab atas pemberian pelajaran yang logis atau dapat
dipercaya. Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa.
g.
Pengajar
Peranan guru
kuat dalam mempengaruhi dan mengawasi kegiatan-kegiatan di kelas. Guru berperan sebagai sebuah
contoh dalam pengawalan nilai-nilai dan penguasaan pengetahuan atau
gagasan-gagasan.[14] Dengan demikian guru harus
benar-benar menjadi contoh yang baik dari muridnya sendiri.
B. Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan
Essensialisme dan Pemikirannya
Beberapa tokoh terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran
essensialisme dan sekaligus memberikan pola dasar pemikiran mereka adalah:
1. Desidarius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke15
dan permulaan abad ke 16, adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup
yanag berbijak pada “dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah
bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga dapat diikuti oleh
kaum tengahan dan aristokrat.
2.
Johan Amos Comeniuc (1592-1670), tokoh Reinaissance yang pertama yang
berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang
dogmatis, dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban
pendidikan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
3.
John Lock (1632-1704), tokoh dari inggris dan populer sebagai “pemikir
dunia” mengatakan bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan
kondisi.
4.
Johan Henrich Pestalozzi (1746-1827), mempunyai kepercayaan bahwa
sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia
terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia percaya kepada hal-hal
yang transendental, dan manusia mempunyai hubungan transendental langsung
dengan Tuhan.
5.
Johan Frederich Frobel (1782-1852), seorang tokoh transendental pula yang
corak pandangannya bersifat kosmissintetis, dan manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini. Oleh karena itu ia tunduk dan
mengikuti ketentuan dari hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan ia memandang
anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, dan tugas pendidikan adalah
memimpin peserta didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah
kejadiannya.
6.
Johan Fiedrich Herbart (1776-1841), salah seorang murid Immanuel Kant yang
berpandangan kritis. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan dari Yang Mutlak, berarti penyesuaian dengan
hukum-hukum kesusilaan, dan ini pula yang disebut “pengajaran yang mendidik”
dalam proses pencapaian pendidikan.
7.
Tokoh terakhir dari Amerika Serikat, William T. Harris (1835-1909)-pengikut
Hegel, berusaha menerapkan Idealisme Obyektif pada pendidikan umum. Menurut dia
bahwa tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan
susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah
sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan
menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada masyarakat.[15]
C. Implikasi Logis Filsafat Pendidikan
Essensialisme
Essensialisme
sebagai filsafat sangat menekankan arti tentang manusia dan pengembangan diri
secara pribadi agar ia memahami perannya dalam alam ini.. Setiap individu
dipandang sebagai makhluk yang tidak bisa melepaskan diri dari keterikatan
dengan alam semesta Essensialisme berhubungan sangat erat dengan pendidikan
karena keduanya bersinggungan satu sama lain pada masalah-masalah yang sama,
yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, dan hakikat keberadaan manusia.
Impilkasi aliran
filsafat essensialisme dalam dunia pendidikan. Tujuan pendidikan adalah untuk
mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik
berkaitan dengan pemenuhan dirinya. Hal ini dilakukan agar pendidikan
benar-benar mampu memberikan penyadaran kepada manusia akan peran dan fungsinya
di alam semesta.
Kurikulum ideal
adalah kurikulum yang mampu mendorong para siswa kepada pemahaman yang benar.
Dalam arti memahami akan eksistensi dan essensi mereka sebagai manusia di alam
semesta. Tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada
yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat
menemuian dirinya dan kesadaran akan dunianya.
Mata
pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas adalah mata pelajaran IPA,
Sejarah, Sastra, Filsafat, dan Seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat
membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin
saja bisa Sejarah, Filsafat, Sastra, dan lain sebagainya.
Essensialisme
memberikan perhatian yang besar pada humaniora dan seni. Karena kedua materi
tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan
gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat mengembangkan keterampilan yanag dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan
yang diharapkan.
Konsep belajar
mengajar essensialisme lebih banyak menekankan peran guru atau teacher
centered. Pendidikan merupakan paksaaan. Anak dipaksa menyerah pada kemauan
guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi
penguasanya.[16]
Hal ini karena pada sebenarnya murid belum memiliki bekal apapun dalam menuntut
ilmu. Karenanya ia harus patuh dan menerima apapun yang diberikan oleh gurunya.
Guru berbeda
dengan seorang instruktur, karena ia hanya akan merupakan perantara yang
sederhana antara materi pelajaran dengan siswa. Kalau guru dianggap sebagai
instruktur, ia akan turun martabatnya, hanya sekedar alat untuk mentransfer
ilmu pengetahuan, dan murid akan menjadi hasil dari transfer itu. Pengetahuan
akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari
pengetahuan itu. Disinilah pentingnya keteladanan guru kepada murid. Dengan
keteladanan tersebut guru menjadi cermin bagi murid dalam menuntut ilmu.[17]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aliran filsafat Essensialisme adalah suatu aliran filsafat yang
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Aliran Essensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang
bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi
sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah, kurang terarah,
tidak menentu dan kurang stabil.
Beberapa hal yang menjadi perhatian
essensialisme adalah proses pembelajaran, kurikulum, peran sekolah, murid,
guru, dan orientasi dari pembelajaran itu sendiri. Tokoh-tokoh terkemuka yang berperan dalam penyebaran aliran essensialisme
diantarnya adalah Desidarius Erasmus, Johann Amos Comenius, John Locke, Johann
Henrich Pesta Lozzi, Johann Friederich Frobel, Johann Friedrich Herbart dan
William T. Harris.
Implikasi logis dari adanya filsafat
essensialisme dalam bidang pendidikan ini adalah bahwa pendidikan harus
diwujudkan secara ideal. Karena dengan pendidikan yang baik manusia baru akan
mengerti eksistensi dan essensinya. Pengaturan kurikulum, rekruitmen guru, serta
peraturan sekolah wajib dipertimbangkan dan dilihat kembali.
B. Saran
Gagasan tentang filsafat pendidikan essensialisme merupakan
sebuah tawaran yang menarik untuk coba diterapkan kembali dalam iklim pembelajaran modern. Karena
jika melihat dari karakteristiknya, sistem ini telah berhasil mengantarkan
santri pondok pesantren yang masih memegang tradisi salafy. Jika mau jujur,
banyak kedekatan antara sistem pendidikan essensialisme dengan sistem
pendidikan yang ada di pondok pesantren salafy.
Daftar Pustaka
Abdul
hakim, Atang, Filsafat umum, Bandung:Setia, 2008.
Barnadib,
Imam, Filsafat Pendidikan, Yogjakarta:Andy Offset, 1990.
F.
Oneil, William, Ideologi-Ideologi Pendidikan, pent. Omi Intan Naomi, Yogjakarta:Pustaka
Pelajar, 2008.
Mudyahardjo, Redja, dkk.,
Dasar-dasar Kepependidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 1993.
Russel,
Bertrand, Sejarah Filsafat Barat:dan kaitannya dengan sosio-politik dari
zaman kuno hingga sekarang, pent:Sigit Djatmiko dkk, Yogjakarta:Pustaka
Pelajar, 2007.
Salam,
Burhanudin, Pengantar Pedagogik, Jakarta:Rineka Cipta, 2006.
Sa’dullah, Uyoh,
Pengantar Filsafat Pendidikan,
Bandung:Alfabeta, 2006.
Surahman,
Dadang, “Filsafat Pendidikan
Essensialisme”, dalam, http://dadanggani. blogspot.com/essensialisme-dalam-filsafat, diakses 17 Oktober 2012.
Tim,
“Filsafat Pendidikan Essensialisme”, dalam, http://
kumpulanmakalahdanartikelkuliah. blogspot .com/ filsafat/
pendidikan/essensialisme.html,
diakses pada 17 Oktober 2012.
[1] Atang abdul
hakim, Filsafat umum, (Bandung:Setia, 2008) 14.
[2] Ibid, 15.
[3] Nurwati,
“Filsafat Pendidikan”, dalam, http://nurwatiazzah.blogspot.com, diakses 15
Oktober 2012
[4] ibid.
[5] Bertrand
Russel, Sejarah Filsafat Barat:dan kaitannya dengan sosio-politik dari zaman
kuno hingga sekarang, pent:Sigit Djatmiko dkk, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar,
2007) 675.
[6] Atang abdul
hakim, Filsafat umum, 247.
[7]Ibid., 334.
[8]
Bertrand Russel,
Sejarah Filsafat Barat:dan kaitannya dengan sosio-politik dari zaman kuno
hingga sekarang, 680.
[9]
Hal ini
disandarkan pada pernyataan essensialisme bahwa: alam semesta beserta segala
unsurnya diaturoleh hukum yang mencakup semuanya serta tatanan yang sudah mapan
sebelumnya. Karena itu tugas manusia adalah memahami hukum dan tatanan itu
hingga bisa menghargai dan menyesuaikan diri. William F. Oneil, Ideologi-Ideologi
Pendidikan, pent. Omi Intan Naomi, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2008) 22.
[10]
Dadang Surahman, “Filsafat Pendidikan Essensialisme”, dalam, http://dadanggani.blogspot.com/essensialisme-dalam-filsafat,
diakses 17 Oktober 2012.
[11]Tim,
“Filsafat Pendidikan Essensialisme”, dalam, http://kumpulanmakalahdanartikelkuliah.blogspot .com/
filsafat/ pendidikan/essensialisme.html, diakses
pada 17 Oktober 2012
[12]Ibid.
[13]Redja Mudyahardjo, dkk., Dasar-dasar Kepependidikan, (Jakarta:
Universitas Terbuka, 1993), 3.
[14] Ibid.
[15] Imam Barnadib,
Filsafat Pendidikan, (Yogjakarta:Andy Offset, 1990) 11-12.
[16] Uyoh
Sa’dullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung:Alfabeta, 2006) 57.
[17] Burhanudin
Salam, Pengantar Pedagogik, (Jakarta:Rineka Cipta, 2006) 73.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "FILSAFAT PENDIDIKAN ESSENSIALISME"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*