Arah mata angin (sumber gambar sijai) |
Pengantar
Pendidikan di
Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada berbagai problematika. Hal ini
terjadi pula pada pendidikan Islam yang dihadang oleh berbagai macam
permasalahan. Salah satu hal yang menjadi hambatan bagi pendidikan Islam dalam
berperan aktif untuk menyumbang ilmu pengetahuan bagi masyarakat adalah karena
PAI dianggap sebagai materi pelajaran yang terlalu normatif[1]. Yang
mana PAI dipandang hanya menyumbang aspek pengetahuan ibadah, nilai-nilai
moralitas, dan cara beragama saja tanpa adanya bentuk penerapan dari
pengetahuan tersebut. Sehingga wajar jika PAI dinilai tidak memiliki peran
aktif dalam pembangunan peradaban, terutama peradaban dalam jenis produktivitas
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Walaupun pada
faktanya sekarang ini pendidikan Islam secara kelembagaan serta adminsitrasi
misalnya Madrasah dan Pondok pesantren mengalami perkembangan pesat, mulai dari
sarana prasarana, jumlah siswa, kualitas, dan sistem organisasi yang
terstruktur. Namun dari segi Kurikulum sepertinya Pendidikan Islam baik secara
isi maupun metode masih tunduk pada pengaruh-pengaruh pendidikan umum. Sehingga
diharapkan kedepannya nanti bisa tercipta Kurikulum ‘baru’ yang relevan berisikan
kurikulum umum dengan kurikulum Islami secara integral. Mengingat para generasi Islam berikutnya yang
sekarang ini menjadi peserta didik akan dihadapkan pada sebuah masalah yang
sama sekali berbeda dengan masa-masa kita sekarang ini apalagi jika laju modernitas global masih
terus berjalan dengan konstan bahkan
secara dinamis.
Oleh karena itu
PAI sebagai ilmu pengetahuan harus mengambil jalan sendiri agar memiliki
identitas jelas, memiliki ciri khas tersendiri, dan memiliki kemandirian. Ini
bukan berarti PAI harus meninggalkan pengetahuan Umum, bahkan untuk memiliki
ciri khas tersendiri hendaknya PAI berintegrasi dengan ilmu pengetahaun umum.
Karena jika ditelusuri secara konteks bahwa kebudayaan dan peradaban manusia
akan lahir dari hasil proses akumulasi perjalanan hidup yang berhadapan dengan
proses dialog antara ajaran normatif (wahyu) yang permanen secara historis
dengan pengalaman kekhalifahannya di muka bumi secara dinamis.[2]
Sebagaian besar
pengalaman kekhalifahan manusia di bumi ini adalah pengelaman yang bisa
mengahasilkan atau dihasilkan dari ilmu pengetahuan umum seperti ilmu politik,
ilmu alam, dan ilmu sosial. Pendapat penulis tersebut diperkuat oleh pernyataan
Muzayyin Arifin bahwa “Pendidikan yang benar adalah yang memberikan kesempatan
kepada keterbukaan terhadap pengaruh dari dunia luar dan perkembangan dari
dalam diri anak didik. Dengan demikian, barulah fitrah itu diberi hak untuk
membentuk pribadi anak dan dalam waktu bersamaan faktor dari luar akan mendidik
dan mengarahkan kemampuan dasar (fitrah) anak.”[3]
Oleh karena itu
perlu pembahasan lebih lanjut atas permasalahan mengenai peran PAI dalam
membangun budaya Unggul, tentu budaya unggul ini bukan budaya yang normatif. Sehingga
PAI benar-benar bisa dinilai memiliki peran dalam menyumbang Ilmu pengetahuan
baik secara konsep (gagasan) maupun hasil yang nyata. Menurut penulis PAI tidak
bisa dikatakan berfungsi aplikatif jika hanya untuk kejayaan di akhirat tanpa
adanya tujuan kejayaan di Dunia. Dengan kata lain PAI bukan hanya untuk
menyelematkan manusia dari siksa neraka namun PAI juga harus mampu menciptkan
generasi yang berdaya saing menyelamatkan diri dari hegemoni cengkraman dunia. Maka
berdasarkan penjelasan tersebut metode, tujuan, dan strategi PAI harus
mengadakan modernisasi (pembaruan) agar PAI masih bisa dikatakan relevan dengan
perubahan zaman.
Kiranya sebagai pemertajam argumentasi di atas
maka perlu dipahami bahwa kemunduran umat Islam yang di awali Abad 12 hingga dirasakan
sampai akhir-akhir ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal umat Islam
sendiri. Beberapa indikasinya adalah bahwa Islam tidak dipahami lagi secara
utuh (kaffah), melainkan hanya
sebatas bagian dari kehidupan, yaitu hanya menyangkut di seputar ketuhanan, ritual, dan moralitas sehingga
Islam lebih dipahami bersifat teosentris
serta dianggap sebagai ilmu pengetahuan sejarah agama dan tata cara beragama.[4]
Padahal
berdasarkan fakta sejarah bahwa umat Islam pernah berhasil membangun peradaban
unggul dan selalu berada pada posisi terdepan. Budaya unggul tersebut bisa
tercipta karena al Qur’an dipahami secara mendalam dan difungsikan sebagaimana
mestinya. Berdasarkan analisis sejarah, kemajuan tersebut terjadi karena ilmu
pengetahuan tidak didikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum[5].
Lingkup ajaran Islam yang sedemikian luas ternyata diakui oleh ilmuwan barat
Gibb, dengan mengatakan bahwa Islam tidak sebatas agama melainkan juga civilization
atau peradaban.[6]
Sebab
al Qur’an sendiri juga memerintahkan umat Islam, selain banyak melafadzkan
dzikir juga merenungkan serta meneliti penciptaan langit dan bumi, dan bahkan
al Qur’an mengingatkan bahwa semua penciptaan itu tidak ada yang sia-sia.
Dengan kata lain ada hikmah tersembunyi dibalik penciptaan tersebut. Oleh
karena itu Hakikat Pendidikan Islam seharusnya melahirkan generasi yang
mengusai kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat diperlukan bagi
peningkatan kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Tujuan Pendidikan Islam
juga harus mampu membangun budaya Unggul yang akan membekali generasi islam
menjalankan misi dan fungsinya sebagai anak manusia, anak bangsa, dan hamba-Nya
yang bertaqwa.[7]
Berangkat
dari tema besar dan dari pembahasan di atas dan supaya makalah ini memiliki
nilai guna khusus dalam bahasan tertentu maka penulis perlu mengklasifikasikan
menjadi tiga sub tema, yaitu; 1) Arah Pendidikan Agama Islam, 2) Upaya PAI
dalam Membangun Budaya Unggul, dan 3) PAI Menyikapi Modernitas.
Arah
Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama
Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar mampu memahami (knowing), terampil melaksanakan (doing), dan mengamalkan (being) agama Islam melalui kegiatan
pendidikan. Titik tekan PAI adalah mencetak generasi islam yang mampu
mengamalkan (being) di kehidupan
nyata. Karena ciri utama PAI adalah banyaknya muatan komponen being, di samping sedikit komponen knowing dan doing. Di sisi lain upaya peningkatan kualitas Pendidikan Agama
Islam (PAI) untuk menciptakan budaya unggul tidak berarti penambahan jumlah jam
pelajaran di sekolah, tetapi melalui optimalisasi upaya pendidikan agama Islam.
Itu berupa optimalisasi mutu guru agama Islam dan optimalisasi atau pembaharuan
sarana beserta metodenya.[8] Hal
inilah menurut penulis yang akan menghasilkan pembelajaran PAI yang berbasis
pada penciptaan kultur Islami.
Membahas tentang
arah Pendidikan Agama Islam maka tidak akan bisa lepas dari pembahasan tujuan
pendidikan agama Islam[9] itu sendiri.
Oleh sebab itu, menurut penulis PAI sebagai ilmu yang membicarakan masalah
kemanusiaan beserta gejala dan akibatnya harus mempunyai tujuan praktis dan
ideologis. Tujuan praktis PAI adalah menghasilkan generasi Islam yang tidak
hanya pintar beribadah secara vertikal, namun cerdas secara horizontal.
Kecerdasan ibadah horizontal di sini tidak hanya berkaitan dengan perintah
ibadah rutin seperti zakat, Korban, Aqiqoh, shodaqoh, dan infaq. Namun PAI juga
mampu menciptkan generasi yang memiliki semangat dalam mengkaji ilmu-ilmu alam
dan ilmu sosial serta senantiasa bermusyawarah dan melakukan penelitian dalam
memecahkan masalah untuk kemaslahatan umat.
Yang kedua
tujuan ideologis, sudah sepatutnya PAI sebagai pilar utama pembentukan aqidah
dan ketauhidan bagi generasi selanjutnya harus mampu menghasilkan generasi yang
mampu menguasai ilmu pengetahuan umum namun tetap memiliki kemantapan dalam
bertauhid. Sehingga kedepannya diharapkan PAI mampu mencetak generasi ilmuwan
yang beriman. Inilah yang penulis sebut sebagai sebuah langkah konkrit dalam
melakukan modernisasi PAI sebagai respon dari fenomena umat islam di dunia
global yang semakin tertinggal dari segi ilmu pengetahuan umum dan teknologi.
Sebagai contoh orang islam yang menguasi ilmu Kesehatan ia akan senantiasa
memegang tradisi islam, menjadi ahli Kesehatan yang berkarakter islam, yang
tidak hanya memunculkan simbol-simbol Islam saja dalam berkarier di dunia
Kesehatan. Jika ini bisa berjalan sesuai dengan semestinya maka tujuan PAI
untuk menciptakan kultur islami bisa
tercapai.
Pendidikan Agama
Islam tidak hanya mengantarkan manusia untuk menguasai berbagai ajaran yang ada
pada Islam. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana manusia dapat mengamalkan
ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Agama Islam
menekankan keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, afektif dan
psikomotornya. Tujuan akhir dari Pendidikan Agama Islam adalah terbentuknya
peserta didik yang memiliki akhlak mulia[10].
Tujuan inilah yang sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan agama Islam.
Mencapai akhlak yang mulia adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.[11]
Dengan terciptanya masyarakat yang berakhlak mulia maka akan terciptalah kultur
islami dalam masyarakat tersebut.
Di sisi lain, jika Pendidikan Agama Islam dimaknai
sebagai sesuatu yang statis maka Pendidikan Islam hanyalah menjadi rutinitas
yang kurang memiliki makna, kecuali hanya dianggap akan memiliki jaminan pahala
jika mempelajari Islam. Selain itu pendidikan islam hendaknya didasarkan dan
digerakkan pada keimanan dan komitmen tinggi terhadap ajaran agama islam.[12]
Sehingga walaupun generasi muda menjadi ahli ilmu di bidangnya masing-masing
namun mereka masih memiliki jati diri, identitas, dan semangat keislaman.
Misalnya seorang dokter menjadi dokter yang islami, seorang pengusaha menjadi
pengusaha yang berkultur islami, dan ahli-ahli ilmu di bidang masing-masing.
Membicarakan
Pendidikan Islam tidak hanya semata-mata membahas tentang bagaimana umat islam
dalam beragama namun secara umum juga membahas permasalahan yang lebih luas
tentang kepentingan pendidikan yang menciptakan ‘sukses’ bagi umat islam di
dunia hingga akhirat. Ini berarti bahwa pendidikan ‘umum’ dipandang sejajar
dengan pendidikan agama jika hal tersebut bisa menciptakan sistem pendidikan
dan hasilnya yang bisa diharapkan oleh agama.[13]
Dalam upaya pembaruan pendidikan
Islam perlu adanya kontekstualisasi PAI sesuai dengan persoalan hidup seperti
yang diajarkan al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Agar terdapat relevansi pendidikan
islam dengan persoalan zaman. Walaupun Pendidikan Islam menyesuaikan diri
dengan kebutuhan zaman, tetapi tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan
akhlakul karimah.[14]
Sehingga menurut penulis inilah yang akan menjadi pembeda antara konsep
pendidikan umum yang berlandaskan ilmu pengetahuan umum dengan PAI yang
berlandaskan nilai-nilai Islam.
Yang masih
menjadi diskusi panjang tentang pendidikan Islam adalah apakah Islam mempunyai
konsep tersendiri mengenai Pendidikan versi Islam ataukah tidak sama sekali.[15] Pada
kenyataan secara historis kemajuan peradaban Islam di masa Keemasan dahulu
diperoleh umat islam karena mengambil, beradapatasi, dan mengadopsi sistem
lembaga pendidikan dari peradaban masyarakat yang ia jumpainya sebagai
implikasi politik ekspedisi. Dikotomi antara pendidikan umum dengan pendidikan
Islam dipandang sebagain umat islam sebagai permasalahan yang sangat mengganggu
bagi kepentingan kemajuan peradaban umat islam. Bukankah pendidikan hadir untuk
menyiapkan manusia beserta segala akibat turunannya menghadapi segala
permasalahan kehidupan.[16]
Sehingga dapat
penulis simpulkan bahwa sesungguhnya pendidikan islam harus memiliki corak
tersendiri dan tidak dibayang-bayangi oleh pendidikan umum. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Sutrisno yang menawarkan model PAI yang humanis religius.[17]
Adapun jika terpaksa untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat maka
solusinya adalah bukan dengan cara mencampurkan antara pendidikan umum dengan
pendidikan islam seperti mencampurkan air dengan minyak. Namun melakukan
integrasi, integrasi dilakukan untuk tercapainya efisiensi seperti hemat
waktu serta biaya dan tercapainya
efektifitas sehingga siswa menjadi lebih fokus pada materi yang integral. Yang
mana siswa tidak akan lagi membedakan mana mata pelajaran/pendidikan agama dan
mana mata pelajaran/pendidikan non agama, namun semuanya terintegral menjadi
satu menjadi pendidikan berbasis agama Islam.
Upaya
PAI Membangun Budaya Unggul
Menurut penulis
untuk menciptakan budaya unggul atau lebih luasnya lagi adalah peradaban unggul
maka terlebih dahulu harus menciptkan manusia yang unggul dan untuk
menghasilkan manusia yang unggul maka harus ada sistem pendidikan (pengkaderan)
yang unggul pula. Padahal untuk menciptkan sistem pendidikan yang unggul
diperlukan konsep, penyatuan visi serta misi, dan kurikulum yang bermutu. Oleh
karena itu PAI sebagai salah satu pilar Pendidikan perlu mengadakan pembenahan
kurikulum, pembenahan yang utama dan
pertama bukan pada pembenahan materi/muatan pelajaran namun pada konsep
dan tujuan sebagai penyemangat generasi muda untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan umum.
Budaya unggul dalam pandangan PAI merupakan
budaya yang memiliki kandungan nilai-nilai Islam. Cinta pada ilmu pengetahuan
merupakan salah satu ciri perbuatan yang berdasarkan nilai Islam. Termasuk ilmu
pengetahuan umum, misalnya cinta pada ilmu Perhitungan (matematika), jika
seseorang menguasi ilmu matematika maka secara praktis bisa digunakan untuk
dasar ilmu pengetahuan Ekonomi, ilmu waris, dan ilmu Zakat.
Islam sebagai agama yang kental dengan Pendidikan
sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mendorong ummatnya untuk menuntut
segala bidang ilmu sampai ajal datang. Karena itu pendidikan Islam sangat
menghargai ilmu, banyak sejarah yang menciratakan tentang penerjemahan buku
serta tawanan perang yang memiliki keahliaan membaca dan menulis diperintahkan
untuk mengajar itu merupakan indikasi bahwa Allah memerintah umatnya untuk
cinta ilmu agama dan juga ilmu umum.[18]
ini sudah diedit. Sehingga dari pernyataan tersebut sudah jelas bahwa PAI
adalah sebagai pembangun budaya unggul, budaya yang mencintai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tidak hanya budaya yang mencetak tradisi-tradisi
simbolik islami, namun hatinya tidak sejalan dengan simbol-simbol yang telah
dimunculkan tersebut inilah yang penulis sebut sebagai kamuflase budaya.
Berbicara
mengenai budaya unggul maka sesungguhnya budaya unggul merupakan budaya yang
berdaya saing serta memiliki upaya untuk mencapai puncak kualitas. Pernyataan
tersebut sesuai dengan pengertian budaya Unggul menurut Kemendiknas sebagai
berikut:
Budaya unggul dapat diartikan cara
hidup yang beorientasi pada mutu (memberikan penghargaan tinggi terhadap mutu).
Seseorang yang memiliki budaya unggul senantiasa berupaya melakukan yang
terbaik untuk menghasilkan sesuatu dengan mutu setingggi-tingginya. Orang yang
unggul adalah siapa saja yang selalu berupaya melakukan tugas dan tanggung
jawabnya dengan optimal dan tidak asal-asalan. Ciri-ciri orang memiliki
keunggulan antara lain berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, cerdas,
berdemokrasi dan bertanggung jawab, kerja keras dan kerja cerdas, bersikap
hemat dan selalu ingin mengembangkan potensi dirinya. Hanya dengan budaya
unggul maka seseorang dapat mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang
globalisasi.[19]
Dari pernyataan
di atas maka penulis perlu menambahkan kata baru dalam istilah Budaya Unggul
yaitu Budaya unggul Islam. Karena bagimanapun juga pernyataan di atas bukanlah
tindakah yang dilandaskan oleh Al-quran dan hadith, walupun isinya sangat
sesuai dengan keduanya. Dengan berbudaya Unggul yang islami maka umat islam
akan mampu mencetak generasi muda yang Unggul yang bernilaikan islam. Budaya
unggul tersebut terbentuk membutuhkan waktu, kesebaran, dan keseriusan. Selain
itu budaya unggul bisa terbentuk dengan cara membanung lingkungan Islami, tentu
tidak berhenti pada ranah simbolik semati tapi penanaman semangat nilai-nilai
keislaman dalam segala bidang.
Kehidupan yang Islami tentu tercermin dalam berbagai
suasana, baik dalam pergaulan antar sesama, penampilan lingkungan fisik
sekolah, kehidupan spiritual, intelectual dan sosialnya. Suasana kultur islam
tercapai manakala di komunitas sekolah atau madrasah terbangun saling memahami,
menghargai, mencintai dan tolong menolong antar sesama.
Selain itu rasa tanggung jawab, integritas dan disiplin diusahakan agar berhasil ditegakkan. Tidak hanya menjalankan tugas sebatas hanya untuk memenuhi tuntutan formal. Islam membimbing umatnya dalam beramal harus dimulai dari niat yang ikhlas, bahwa segala apa yang dilakukan termasuk difikirkan semuanya dilandaskan hanya untuk Allah SWT.[20] Sehingga inilah yang seperti penulis sebutkan pada pembahasan sebelumnya dengan istilah profesional yang islami.
Selain itu rasa tanggung jawab, integritas dan disiplin diusahakan agar berhasil ditegakkan. Tidak hanya menjalankan tugas sebatas hanya untuk memenuhi tuntutan formal. Islam membimbing umatnya dalam beramal harus dimulai dari niat yang ikhlas, bahwa segala apa yang dilakukan termasuk difikirkan semuanya dilandaskan hanya untuk Allah SWT.[20] Sehingga inilah yang seperti penulis sebutkan pada pembahasan sebelumnya dengan istilah profesional yang islami.
Namun pekerjaan rumah bagi PAI yang masih ada adalah apakah
PAI bisa mendapatkan kesan yang membekas pada diri anak-anak. Pada kenyataannya
semakin tinggi jenjang yang ditempuh belum tentu menggambarkan peningkatan
kualitas kultur islami. Sebagai contoh banyak sekali koruptur dan politikus
jahat yang pernah mengeyam pendidikan islam. Dalam al Qur’an dijelaskan, tugas
Rasulullah sebagai Maha Guru adalah membimbing para sahabat. Apa yang ia
ajarkan kemudian segera dilakukan oleh sahabat secara istiqomah. Itulah
sebabnya apa yang diajarkan oleh nabi telah mendarah daging ke dalam diri
sahabat. Sayangnya pendidikan Islam sekarang ini kebanyakan baru menyentuh aspek
formalnya dan bahkan hasil yang diharapakan hanya dinilai dari hasil ujian
dalam bentuk angka-angka yang kadang belum menggambarkan capaian yang
sesungguhnya diinginkan.[21]
Agar pembentukan kultur islami berhasil di Lembaga
Pendidikan maka kegiatan mulia ini harus dimulai dari pimpinannya, gurunya,
para karyawannya dan akhirnya akan diikuti oleh para siswanya. Jika kultur
islami ini berhasil diwujudkan, maka pada suasana apapun termasuk dalam
genggaman persaingan global maka lembaga pendidikan Islam dimaksud akan tetap
diminati dan bahkan akan diminati banyak orang. Dan sebaliknya, jika apa yang
diupayakan tersebut hanya sebatas memberi simbol atau nama yang indah tetapi di
dalamnya tidak mencerminkan nilai-nilai islami yang sebenarnya, maka cepat atau
lambat akan ditinggalkan orang.[22]
Seperti dalam
pembahasan sebelumnya bahwa PAI tidak hanya sebagai sebuah kajian wawasan
tentang keislaman (islamologi) saja, namun PAI juga harus bisa mendorong
generasi Islam untuk meningkatkan kualitas diri menjadi manusia yang
profersional dan berdaya saing. Maka menurut penulis PAI hendaknya juga mendorong
sistem masyarakat untuk melakukan human
investment. Human investment merupakan
upaya peningkatan kualitas manusia. Semakin banyak SDM berkualitas yang
dimiliki sebuah masyarakat akan semakin besar peluang yang dimiliki sistem
masyarakat tersebut untuk bisa memenangi persaingan global.
Berbudaya
Unggul Islami adalah budaya yang bisa menghasilakan generasi unggul, tentu
tidak hanya unggul dalam berdaya saing, tapi juga mampu mengendalikan diri
untuk tidak menyalahgunakan ilmunya tersebut untuk hal-hal yang merugikan orang
lain. Orang yang berbudaya unggul islami akan memanfaatkan ilmu yang dia miliki
untuk mencari ridho Allah SWT dengan cara menghasilkan karya yang bisa
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut
Motivator Djajendra, ada 13 Nilai dan karekter yang dapat menghasilkan budaya
unggul yaitu: Bersikap Adil, Jujur Dan Terpercaya, Memperlakukan Orang Dengan
Hormat, Menghasilkan Organisasi Pembelajar, Mengakui Kinerja Dan Prestasi,
Berkomunikasi Dengan Persuasif, Mendelegasikan Tugas Dan Tanggung Jawab, Membangun
Hubungan, Membangun Kepercayaan, Menghargai Perbedaan, dan Membangun
Skill/Keterampilan.[23]
PAI
dalam Menyikapi Modernitas
Modernisasi berawal dari abad 18 ketika Eropa mengalami transformasi
baru akibat dari adanya ‘pencerahan’, masyarkat Eropa lebih menekankan
pentingnya ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan menjunjung tinggi akal manusia.
hadirnya teknologi baru turunan dari Revolosi Industri yang menggejala di sebagian besar
Eropa. Hal inilah yang menjadi
titik balik dalam sejarah, yang mana Eropa mulai mendapatkan kekuasaan dan
pengaruh di dunia. Pada akhir
abad ke-18 tumbuh kesenjangan antara keterampilan teknis dari beberapa negara
Eropa barat dan utara denga masyarakat di seluruh dunia yang lebih luas.[24]
Persaingan
global merupakan fenomena efek domino atas laju modernitas dengan
produk-produknya misalnya adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
mutakhir yang dihasilkan dari proses penelitian-penelitian yang terbaru dan
yang dilakukan dengan matang. Dampak selanjutnya dalam dunia global adalah
menghasilkan dua tipikal sifat ekonomi yaitu yang menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi akan menghegomoni dan bertindak sebagai produsen dan tipe satunya
menjadi manusia yang cenderung menjadi konsumen.
Menurut penulis
salah satu langkah konkrit untuk menghadapi persaingan global adalah umat islam
harus mendirikan lembaga atau badan riset (penelitian) dalam bidah ilmu
pengetahuan umum (pengetahuan alam dan sosial). Langkang selanjutnya adalah
mengadakan penerjemahan-penerjamahan teks-teks barat yang dinilai bermanfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Setelah itu adalah membentuk sistem
pendidikan islam yang integral baik secara konsep, kurikulum, maupun
kelembagaan (lembaga saling tukar menukar ilmu pengetahuan).
Oleh karena itu
untuk menghadapi era Globalisasi maka ilmu Pendidikan Agama Islam hendaknya
tidak sekedar berupaya untuk memberikan pengetahuan yang beroerientasi pada target penguasan materi (peserta didik
lebih banyak menghafal dari pada memahami dan mengimani materi) yang diberikan
pendidik. Akan tetapi hendaknya pendidik juga memberikan sebuah pedoman hidup (pesan pembelajaran) kepada
peserta didik yang akan dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain. Tentu
pedoman hidup ini bukan berisi materi bagaiman caranya bertahan hidup (aspek
materi/ekonomi), tapi pedoman hidup di sini adalah bagaimana cara menghadapi
kehidupan (aspek efeksi/semangat Ilahiah).
Pendidikan Islam
adalah pendidikan yang tidak dibatasi oleh lingkungan kelembagaan islam atau
oleh kajian ilmu pengetahuan tertentu, dan berdasarkan pengalaman keislaman
semata-mata. Namun menjangkau segala aspek ilmu, pengalaman, dan aspirasi
masyarakat muslim. Maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak ilmu
pengetahuan PAI adalah aspek teoritis-praktis dalam segala bidang keilmuan yang
berkaitan dengan masalah yang ada dan yang akan ada dalam masyarakat.
Permasalah di masyarakat terus berkembang tanpa mengalami kemandekan. Oleh
karena itu PAI sebagai solusi antisipatif untuk menyiapkan diri tidak hanya
secara moralitas namun semangat perjuangan untuk berdaya saing mengembangkan
ilmu pengetahuan. Karena zaman modern sekarang ingin dinamika kehidupan
mengalir sangat deras.[25]
Bagaimanapun
juga walaupun sederhananya sebuah peradaban masyarakat pasti di dalamnya
terdapat suatu proses pembelajaran dan lebih umumnya adalah proses pendidikan.
Walaupun kurikulum dan manajeman dalam pendidikan yang berlangsung tersebut
tidak dibukukan (tidak tertulis). Dengan kata lain pendidikan sudah ada sejak
adanya manusia berhidup di muka bumi ini. Asumsi ini berdasarkan dari sifat manusia
yang terus belajar sehingga masih bisa bertahan hingga sekarang. Sehingga
sebenarnya tanpa Agamapun manusia bisa menyelenggarakan pendidikan tanpa berisi
nilai-nilai agama.
Mengahadapi arus Globalisai
selayaknya Pendidikan Islam melakukan Asimilasi ilmu pengetahuan dan teknologi modern barat, hal tersebut
merupakan salah satu cara untuk mengejar ketertinggalan umat islam dari
peradaban barat. Namun asimilasi tersebut jika tidak dibaca lebih teliti akan
berdampak ‘sikap mengekor’ secara membabi buta tanpa filterasi yang selektif dari segala sesuatu yang berasal dari
barat. Dan inilah yang penulis sebut sebagai proses westernisasi materialistik.
Bagi Umat Islam, tauhid memang
merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental, sehingga aktifitas apapun
dalam kehidupan mereka senatiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut.
Dalam banyak literatur sejarah, dibuktikan bahwa keberhasilan umat islam
mengembangkan dakwah dan kekuatan peradabanaya pada abad ke 7-14 M tidak
terlepas dari kekuatannya semangat mereka untuk mempertahankan citra
tauhid tersebut.
[26] Sehingga tidaklah menjadi kemustahilan jika apa
yang terjadi pada sekarang ini disebabkan karena PAI sebagai ujung tombak
perubahan peradaban kehilangan esensi nilai-nilai ketauhidan. Salah satu esensi
ketauhidan yang ada pada zaman keemasan Islam adalah adanya semangat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan melalui penerjemahan, pendirian perpustakaan,
dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan (madrasah). Karena Allah menjanjikan
derajat tinggi bagi orang yang berilmu.
Tranfomasi
ilmu pengetahuan telah dilakukan oleh umat islam pada masa-masa kebangkitannya,
yaitu dimulai dengan menerjemhkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa mereka.
Berarti gerakan penerjemahan telah menentukan dalam menstimulasi kebangkitan
intelektual Islam. Dan ini juga dilakukan oleh barat sebelum adanya Renaissance barat telah menerjemahkan
buku-buku umat islam.[27] Oleh
karena itu pada era globalisasi sekarang ini merupakan sebuah kebutuhan bagi
umat islam untuk mengadakan penerjemahan-penerjemahan ilmu pengetahuan modern
yang berasal dari barat, yaitu ilmu pengetahuan yang berasal dari penelitian
dan uci coba ilmiah.
Berbeda hal dengan Kuntowijoyo, ia
berpendapat tentang adanya modernitas di erag globalisasi ini. Pernyataannya
adalah sebagai berikut:
Di balik kemajuanilmu dan teknologi, dunia modern
sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia.
Umat manusia telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik,
serta membangun peradaban yang maju untuk dirinyas sendiri; tapi pada saat yang
lain, kita juga melihat bahwa umat manusia telah menjadi tawanan dari
hasil-hasil ciptaanya sendiri itu.[28]
Pada
awal berdirinya agama Islam telah mengindikasikan bahwa Islam adalah agama yang
rasional dan mendorong untuk berpikir rasional. Itu sebabnya peradaban Islam di
masa lampau melahirkan ilmu pengetahuan matematika dan fisika yang kemudian
juga diambil oleh dunia Barat. Namun sekalipun demikian juga kita tidak dapat
menghindari kenyataan bahwa di banyak lingkungan telah terjadi kehidupan
peradaban Islam yang diliputi oleh tradisionalisme yang kuat. Mungkin karena
itu pula belum ada bangsa yang menganut agama Islam yang berhasil menciptakan
peradaban yang dapat mengimbangi paradaban Barat, sejak peradaban Islam di masa
lampau surut. Jadi tantangan pertama adalah adanya tradisionalisme dalam
pelaksanaan ajaran agama.[29]
Pendapat Nasution tersebut di atas meiliki beberapa
alasan mengapa Islam dianggap sebagai penghambat proses modernitas bagi hidup
umatnya antara lain:
a.
Islam adalah agama dogmatis yang mengacu pada doktrin-doktrin sehingga
bisa menimbulkan statis.
b. Agama Islam tidak hanya mengurus masalah akhirat dan
ketuhanan saja, tetapi juga ‘ikut campur’ dalam mengurus tatanan kehidupan
sosial budaya, politik, dan ekonomi umatnya.[30]
c.
Menurut al Afghani Islam adalah agama
yang paling dekat dengan pengetahuan dan pembelajaran dan tidak ada kontradiksi
antara (modern) pengetahuan dan prinsip-prinsip dasar Islam. Dan dia juga
berpendapat bahwa Eropa telah dimodernisasi karena mereka tidak lagi
benar-benar Kristen, dan Muslim sebaliknya, lemah karena mereka tidak
benar-benar Muslim.[31] Atau
dapat penulis padankan dengan pernyataan bahwa umat islam mundur karena
meninggalkan nilai-nilai al-qur’an dan barat maju karena meninggalkan injil
walaupun simbol-keagamaan tetap meraka gunakan.
d.
Realitas sekarang banyak orang yang menggunakan produk modernitas seperti
hp, laptop, dan produk teknologi modern lain namun menolak sikap dan moralitas
kaum modern. Di sisi lain ada juga pihak yang tidak menggunakan produk modern
(dianggap kolot dan tradisioal) namun memiliki pemikiran yang modern.
Modernisasi
masuk ke kehidupan masyarakat melalui berbagai media, terutama media elektronik
seperti internet. Karena dengan fasilitas ini semua orang dapat dengan
bebas mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Pengetahuan dan
kesadaran seseorang sangat menentukan sikapnya untuk menyaring informasi yang
didapat. Apakah nantinya berdampak positif atau negatif terhadap dirinya,
lingkungan, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman agama yang baik
sebagai dasar untuk menyaring informasi. Kurangnya filter dan selektivitas
terhadap budaya barat yang masuk ke dalam masyarakat islam, budaya tersebut
dapat saja masuk pada masyarakat yang labil terhadap perubahan terutama remaja
dan terjadilah penurunan etika dan moral pada masyarakat Islam.[32]
Modernisasi dan globalisasi dapat mempengaruhi sikap masyarakat dalam bentuk positif maupun negatif. Diantaranya adalah penerimaan secara terbuka (open minded); lebih dinamis, tidak terbelenggu hal-hal lama yang bersikap kolot dan mengembangkan sikap antisipatif dan selektif dalam menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi. Selain itu juga modernitas dapat menyebabakan masyarakat akan lebih tertutup dan was-was (apatis), masyarakat yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada menjadi acuh tah acuh, masyarakat awam yang kurang memahami arti strategis modernisasi dan globalisasi, kurang selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi, dan dengan menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi/filter
Sebagai penutup menurut penulis tantangan yang di hadapi oleh PAI pada era
globalisasi di mana teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi mengalami
modernisasi secara terus menerus sehingga masyarakat menampilkan fenomena baru yaitu
gaya hidup masyarakat yang lebih rasionalistik, pragmatis, dan berdaya saing.
Akibat yang terjadi adalah masyarakat akan lebih mementingkan kepentingan dunia
dari pada kepentingan akhirat. Inilah tugas PAI untuk menyeimbangkan antara
kedua hal tersebut. Jika PAI tetap mengacu pada pendidikan yang bergaya
normatif dan hanya menyentuh aspek idealitas kesucian diri saja maka penulis
meyakini PAI kedepannya lagi tidak akan bisa diterima oleh masyarakat. Sehingga
wajar jika PAI dianggap sebagai materi pelajaran tambahan yang tidak memiliki
nilai penting apa-apa.
DAFTAR RUJUKAN
“Dampak Modernisasi dan Globlalisasi, dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/01/dampak-modernisasi-dan-globalisasi/, 4 Januari 2012.
Diakses tanggal 19 Juni 2012 pada pukul 12.50 WIB.
“Islam
And Modernity,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_and_modernity, diaskses
05 April 2012. Pada pukul 19.29 WIB.
Al
Qur'an Membangun Peradaban Unggul, Kamis, http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3282:al-quran-membangun-peradaban-unggul&catid=25:artikel-rektor, 09
Agustus 2012. Diakses pada tanggal 29 November 2012.
Alaydroes,
Fahmy. Strategi pendidikan islam dalam
menghadapi globalisasi. http://blog.umy.ac.id/arumcreat/2012/11/20/strategi-pendidikan-islam-dalam-menghadapi-globalisasi/.
Diakses pada tanggal 29 November 2012.
Arifin,
Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Depdiknas. Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus
dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Depdiknas, 2003.
Kuntowijoyo,
Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,
Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008.
Memaknai
Buaya Ugngul dan Aspek Pembentuknya, dalam http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1070-memaknai-budaya-unggul-dan-aspek-pembentuknya.html, 02 Juli 2011. Diakses tanggal 29 November.
Muhaimin.
Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001.
Mujtahid,
Arah Masa Depan Pendidikan Islam, http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2650:arah-masa-depan-pendidikan-islam&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
Munir,
Lily Zakiyah. “Islam, Modernitas, dan Keadilan untuk Perempuan,” dalam http://www.law.emory.edu/ihr/worddocs/lily1.doc,
diakses 05 April 2012 pada pukul 19.34.
Mustofa, M. Lutfi. Tauhid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim, dalam “Intelektualisme Islam: Melacak
Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,” ed. M. Lutfi Mustofa, et. al. Malang: LKQS
UIN, 2007.
Nasution,
Harun. Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995.
Pendidikan
Islam Mengahadapai Tantang Global, dalam http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=446:12-07-2008&catid=25:artikel-rektor, 15 Desember 2008. Diakses tanggal 29
November 2012.
Roqib,
Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan
Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta:
Lkis, 2009.
Suryohadiprojo,
Sayidiman. “Makna Modernitas dan Tantangnya terhadap Iman,” http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html, di up load pada
05 Desember 2007. Diakses 05 April 2012 Pukul: 19.50 WIB.
Susanto,
Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
Amzah, 2009), 2.
Sutrisno,
“Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah
disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.
Tafsir,
A. Pendidikan Agama Islam Di Sekolah.
Dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=arah%20pendidikan%20agama%20islam&source=web&cd=7&cad=rja&ved=0CEkQFjAG&url=http%3A%2F%2Fidb1.wikispaces.com%2Ffile%2Fview%2Fjj1001.pdf&ei=3mS3UN_FJ4jVrQe47YCIDw&usg=AFQjCNHotVTioLVQyzJIy3QGlOKj4wIWAQ.
Undang
Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Zuhairini,
dkk. Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
* Penulis adalah mahasiswa
Program Pascasarjana STAIN Kediri, angkatan kedua.
[1]Proses pembelajaran PAI secara normatif merupakan
salah satu bentuk ilmu terapan yang tersistem dan berlaku formal bagi peserta
didik terutama pada Pendidik, di mana
proses pembelajaran ini memiliki
keterbatasan ruang dan waktu. Ditentukan tema dan prosedural (terdapat
RPP: kegiatan awal, inti, dan akhir). Tapi pandangan ini bukan berarti bahwa
formalitas bukanlah hal yang penting, karena formalitas merupakan salah satu
indikator manusia tersebut profesional atau tidak. Formaliatas tetap penting
karena manusia harus memiliki aturan main serta prosedur yang jelas untuk
pertanggung jawaban sehingga bisa tercapai keefektifan dan efisiensi. Namun
diharapkan pendidikan Agama Islam tidak hanya berhenti di aspek itu saja. Lebih
dari sekedar itu, PAI harus menciptakan nilai-nilai dan kultur yang islami.
Dengan kata lain PAI tidak hanya berhenti pada mempelajari simbol-simbol islam,
namun menamkan semangat mengembakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lihat Sutrisno,
“Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah
disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.
[2]Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta:
Amzah, 2009), 2.
[3]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 18.
[4]Al
Qur'an Membangun Peradaban Unggul, Kamis, http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3282:al-quran-membangun-peradaban-unggul&catid=25:artikel-rektor, 09
Agustus 2012. Diakses pada tanggal 29 November 2012.
[5]Secara
ontologis ilmu pengetahuan umum lebih cenderung bersifat netral, dengan arti
tidak dapat bersifat islami, kapitalis, sosialis, komunis atau yang lainnya.
Akan tetapi ketika seorang ilmuwan menjelaskan tentang perubahan yang telah
atau akan terjadi, menerangkan cara memanfaatkan hukum alam, dan mengarahkan
pengetahuan tersebut ke arah tertentu maka ilmu pengetahuan tersebut tidak bisa
dikatakan netral. Karena analisis yang dilakukan oleh ilmuwan tersebut bisa
jadi karena dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang telah ia lalui
sebelumnya, misalnya adanya doktrin ideologi, agama, ataupun pengalaman
pribadi. Lihat Muhaimin, Paradigma Pendidikan
Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001 ), 65.
[6]Al Qur'an Membangun
Peradaban Unggul, Kamis, http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3282:al-quran-membangun-peradaban-unggul&catid=25:artikel-rektor, 09 Agustus 2012.
Diakses pada tanggal 29 November 2012.
[7]Fahmy
Alaydroes, Strategi pendidikan islam dalam
menghadapi globalisasi. http://blog.umy.ac.id/arumcreat/2012/11/20/strategi-pendidikan-islam-dalam-menghadapi-globalisasi/.
Diakses pada tanggal 29 November 2012.
[9]Tujuan
Pendidikan Agama Islam terkandung dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang mendiskripsikan bahwa Pendidikan nasional
bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Berdasarkan tujuan Pendidikan Nasional
tersebut maka PAI peran penting dalam usaha pencapaian tujuan tersebut tidak
hanya penekanan pada aspek keimanan dan ketakwaan, tetapi PAI juga bisa menjadi
pendorong generasi manusia Indonesia untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan
yang bermanfaat bagi manusia lain. Karena itu berdasarkan Undang-undang bahwa
Pendidikan Agama Islam, mempunyai kedudukan dan wilayah yang sangat strategis
untuk pencapaian tujuan Nasional, maka oleh karena itu penulis mendukung upaya
integrasi ilmu di dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam. Lihat UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
[10]Indikator sesoarang yang
memiliki akhlak mulia adalah perbuatan baik yang diperintahkan dalam Al-quran
dan Hadith. Tidak hanya perbuatan saja, tapi juga nilai-nilai semangat serta
kemantapan hati dalam menerapkannya tanpa dipengaruhi nilai-nilai selain dari
pada itu.
[11]Depdiknas,
Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus
Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
(Jakarta: Depdiknas, 2003), hlm. 2.
[12]Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan
Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat (Yogyakarta:
Lkis, 2009), 18-19.
[13]Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), 128.
[14]Mujtahid, Arah Masa Depan
Pendidikan Islam, http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2650:arah-masa-depan-pendidikan-islam&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
[15]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001 ), 31.
[16]Zuhairini, Filsafat Pendidikan, 127.
[17]Sutrisno, “Pendidikan Agama
Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah disajikan dalam Seminar
Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.
[18]Mujtahid, Arah Masa Depan
Pendidikan Islam, http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2650:arah-masa-depan-pendidikan-islam&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
[20]Pendidikan Islam
Mengahadapai Tantang Global, dalam http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=446:12-07-2008&catid=25:artikel-rektor, 15
Desember 2008. Diakses tanggal 29 November 2012.
[21] http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=446:12-07-2008&catid=25:artikel-rektor Pendidikan
Islam Menghadapi Tantangan Global Senin, 15 Desember 2008 11:47
[22]http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=446:12-07-2008&catid=25:artikel-rektor Pendidikan
Islam Menghadapi Tantangan Global Senin, 15 Desember 2008 11:47
[23]
Memaknai Buaya Ugngul dan Aspek Pembentuknya, dalam http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1070-memaknai-budaya-unggul-dan-aspek-pembentuknya.html, 02 Juli 2011. Diakses tanggal 29 November.
[24] “Islam
And Modernity,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_and_modernity, diaskses
05 April 2012. Pada pukul 19.29 WIB.
[25]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 28.
[26]M. Lutfi Mustofa, Tauhid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim, dalam “Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,” ed. M. Lutfi Mustofa, et. al (Malang: LKQS UIN, 2007), hal 3.
[27]Nurcholish Madjid, Islam,
Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008), 356.
[28]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi,
Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 112-113.
[29]Sayidiman Suryohadiprojo,
“Makna Modernitas dan Tantangnya terhadap Iman,” http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html,
di up load
pada 05 Desember 2007. Diakses 05 April 2012 Pukul: 19.50 WIB.
[30]Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung:
Mizan, 1995), 157.
[31]Lily
Zakiyah Munir
, “Islam, Modernitas, dan Keadilan untuk Perempuan,” dalam http://www.law.emory.edu/ihr/worddocs/lily1.doc, diakses 05 April 2012
pada pukul 19.34.
[32]“Dampak
Modernisasi dan Globlalisasi, dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/01/dampak-modernisasi-dan-globalisasi/, 4 Januari 2012.
Diakses tanggal 19 Juni 2012 pada pukul 12.50 WIB.
terima kasih mas Rimfqi atas sharenya. saya setuju, penyebab ummat Islam mundur adalah karena pemahaman ummat Islam yang tidak kaffah terhadap islam. yaitu adanya dikotomi, Islam itu ritual dan tidak membicarakan aspek politik, ekonomi dan sosial budaya
BalasHapus
BalasHapusSangat bermanfaat. Ditunggu tulisan berikutnya Mas Rifqi.