Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

ARAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENYIKAPI MODERNITAS



ARAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENYIKAPI MODERNITAS
Arah mata angin (sumber gambar sijai)


Pengantar
Pendidikan di Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada berbagai problematika. Hal ini terjadi pula pada pendidikan Islam yang dihadang oleh berbagai macam permasalahan. Salah satu hal yang menjadi hambatan bagi pendidikan Islam dalam berperan aktif untuk menyumbang ilmu pengetahuan bagi masyarakat adalah karena PAI dianggap sebagai materi pelajaran yang terlalu normatif[1]. Yang mana PAI dipandang hanya menyumbang aspek pengetahuan ibadah, nilai-nilai moralitas, dan cara beragama saja tanpa adanya bentuk penerapan dari pengetahuan tersebut. Sehingga wajar jika PAI dinilai tidak memiliki peran aktif dalam pembangunan peradaban, terutama peradaban dalam jenis produktivitas ilmu pengetahuan dan teknologi.  

Walaupun pada faktanya sekarang ini pendidikan Islam secara kelembagaan serta adminsitrasi misalnya Madrasah dan Pondok pesantren mengalami perkembangan pesat, mulai dari sarana prasarana, jumlah siswa, kualitas, dan sistem organisasi yang terstruktur. Namun dari segi Kurikulum sepertinya Pendidikan Islam baik secara isi maupun metode masih tunduk pada pengaruh-pengaruh pendidikan umum. Sehingga diharapkan kedepannya nanti bisa tercipta Kurikulum ‘baru’ yang relevan berisikan kurikulum umum dengan kurikulum Islami secara integral.  Mengingat para generasi Islam berikutnya yang sekarang ini menjadi peserta didik akan dihadapkan pada sebuah masalah yang sama sekali berbeda dengan masa-masa kita sekarang ini  apalagi jika laju modernitas global masih terus  berjalan dengan konstan bahkan secara dinamis.








Oleh karena itu PAI sebagai ilmu pengetahuan harus mengambil jalan sendiri agar memiliki identitas jelas, memiliki ciri khas tersendiri, dan memiliki kemandirian. Ini bukan berarti PAI harus meninggalkan pengetahuan Umum, bahkan untuk memiliki ciri khas tersendiri hendaknya PAI berintegrasi dengan ilmu pengetahaun umum. Karena jika ditelusuri secara konteks bahwa kebudayaan dan peradaban manusia akan lahir dari hasil proses akumulasi perjalanan hidup yang berhadapan dengan proses dialog antara ajaran normatif (wahyu) yang permanen secara historis dengan pengalaman kekhalifahannya di muka bumi secara dinamis.[2]
Sebagaian besar pengalaman kekhalifahan manusia di bumi ini adalah pengelaman yang bisa mengahasilkan atau dihasilkan dari ilmu pengetahuan umum seperti ilmu politik, ilmu alam, dan ilmu sosial. Pendapat penulis tersebut diperkuat oleh pernyataan Muzayyin Arifin bahwa “Pendidikan yang benar adalah yang memberikan kesempatan kepada keterbukaan terhadap pengaruh dari dunia luar dan perkembangan dari dalam diri anak didik. Dengan demikian, barulah fitrah itu diberi hak untuk membentuk pribadi anak dan dalam waktu bersamaan faktor dari luar akan mendidik dan mengarahkan kemampuan dasar (fitrah) anak.”[3]
Oleh karena itu perlu pembahasan lebih lanjut atas permasalahan mengenai peran PAI dalam membangun budaya Unggul, tentu budaya unggul ini bukan budaya yang normatif. Sehingga PAI benar-benar bisa dinilai memiliki peran dalam menyumbang Ilmu pengetahuan baik secara konsep (gagasan) maupun hasil yang nyata. Menurut penulis PAI tidak bisa dikatakan berfungsi aplikatif jika hanya untuk kejayaan di akhirat tanpa adanya tujuan kejayaan di Dunia. Dengan kata lain PAI bukan hanya untuk menyelematkan manusia dari siksa neraka namun PAI juga harus mampu menciptkan generasi yang berdaya saing menyelamatkan diri dari hegemoni cengkraman dunia. Maka berdasarkan penjelasan tersebut metode, tujuan, dan strategi PAI harus mengadakan modernisasi (pembaruan) agar PAI masih bisa dikatakan relevan dengan perubahan zaman.
 Kiranya sebagai pemertajam argumentasi di atas maka perlu dipahami bahwa kemunduran umat Islam yang di awali Abad 12 hingga dirasakan sampai akhir-akhir ini lebih banyak disebabkan oleh faktor internal umat Islam sendiri. Beberapa indikasinya adalah bahwa Islam tidak dipahami lagi secara utuh (kaffah), melainkan hanya sebatas bagian dari kehidupan, yaitu hanya menyangkut di seputar  ketuhanan, ritual, dan moralitas sehingga Islam lebih dipahami bersifat  teosentris serta dianggap sebagai ilmu pengetahuan sejarah agama dan tata cara beragama.[4]
Padahal berdasarkan fakta sejarah bahwa umat Islam pernah berhasil membangun peradaban unggul dan selalu berada pada posisi terdepan. Budaya unggul tersebut bisa tercipta karena al Qur’an dipahami secara mendalam dan difungsikan sebagaimana mestinya. Berdasarkan analisis sejarah, kemajuan tersebut terjadi karena ilmu pengetahuan tidak didikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum[5]. Lingkup ajaran Islam yang sedemikian luas ternyata diakui oleh ilmuwan barat Gibb, dengan mengatakan bahwa Islam tidak sebatas agama melainkan juga civilization atau peradaban.[6]
Sebab al Qur’an sendiri juga memerintahkan umat Islam, selain banyak melafadzkan dzikir juga merenungkan serta meneliti penciptaan langit dan bumi, dan bahkan al Qur’an mengingatkan bahwa semua penciptaan itu tidak ada yang sia-sia. Dengan kata lain ada hikmah tersembunyi dibalik penciptaan tersebut. Oleh karena itu Hakikat Pendidikan Islam seharusnya melahirkan generasi yang mengusai kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat diperlukan bagi peningkatan kemaslahatan dan kesejahteraan umat manusia. Tujuan Pendidikan Islam juga harus mampu membangun budaya Unggul yang akan membekali generasi islam menjalankan misi dan fungsinya sebagai anak manusia, anak bangsa, dan hamba-Nya yang bertaqwa.[7]
            Berangkat dari tema besar dan dari pembahasan di atas dan supaya makalah ini memiliki nilai guna khusus dalam bahasan tertentu maka penulis perlu mengklasifikasikan menjadi tiga sub tema, yaitu; 1) Arah Pendidikan Agama Islam, 2) Upaya PAI dalam Membangun Budaya Unggul, dan 3) PAI Menyikapi Modernitas.

Arah Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar mampu memahami (knowing), terampil melaksanakan (doing), dan mengamalkan (being) agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Titik tekan PAI adalah mencetak generasi islam yang mampu mengamalkan (being) di kehidupan nyata. Karena ciri utama PAI adalah banyaknya muatan komponen being, di samping sedikit komponen knowing dan doing. Di sisi lain upaya peningkatan kualitas Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk menciptakan budaya unggul tidak berarti penambahan jumlah jam pelajaran di sekolah, tetapi melalui optimalisasi upaya pendidikan agama Islam. Itu berupa optimalisasi mutu guru agama Islam dan optimalisasi atau pembaharuan sarana beserta metodenya.[8] Hal inilah menurut penulis yang akan menghasilkan pembelajaran PAI yang berbasis pada penciptaan kultur  Islami.
Membahas tentang arah Pendidikan Agama Islam maka tidak akan bisa lepas dari pembahasan tujuan pendidikan agama Islam[9] itu sendiri. Oleh sebab itu, menurut penulis PAI sebagai ilmu yang membicarakan masalah kemanusiaan beserta gejala dan akibatnya harus mempunyai tujuan praktis dan ideologis. Tujuan praktis PAI adalah menghasilkan generasi Islam yang tidak hanya pintar beribadah secara vertikal, namun cerdas secara horizontal. Kecerdasan ibadah horizontal di sini tidak hanya berkaitan dengan perintah ibadah rutin seperti zakat, Korban, Aqiqoh, shodaqoh, dan infaq. Namun PAI juga mampu menciptkan generasi yang memiliki semangat dalam mengkaji ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial serta senantiasa bermusyawarah dan melakukan penelitian dalam memecahkan masalah untuk kemaslahatan umat.
Yang kedua tujuan ideologis, sudah sepatutnya PAI sebagai pilar utama pembentukan aqidah dan ketauhidan bagi generasi selanjutnya harus mampu menghasilkan generasi yang mampu menguasai ilmu pengetahuan umum namun tetap memiliki kemantapan dalam bertauhid. Sehingga kedepannya diharapkan PAI mampu mencetak generasi ilmuwan yang beriman. Inilah yang penulis sebut sebagai sebuah langkah konkrit dalam melakukan modernisasi PAI sebagai respon dari fenomena umat islam di dunia global yang semakin tertinggal dari segi ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Sebagai contoh orang islam yang menguasi ilmu Kesehatan ia akan senantiasa memegang tradisi islam, menjadi ahli Kesehatan yang berkarakter islam, yang tidak hanya memunculkan simbol-simbol Islam saja dalam berkarier di dunia Kesehatan. Jika ini bisa berjalan sesuai dengan semestinya maka tujuan PAI untuk menciptakan kultur  islami bisa tercapai.
Pendidikan Agama Islam tidak hanya mengantarkan manusia untuk menguasai berbagai ajaran yang ada pada Islam. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana manusia dapat mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Agama Islam menekankan keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotornya. Tujuan akhir dari Pendidikan Agama Islam adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia[10]. Tujuan inilah yang sebenarnya merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian pendidikan akhlak adalah jiwa dari pendidikan agama Islam. Mencapai akhlak yang mulia adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan.[11] Dengan terciptanya masyarakat yang berakhlak mulia maka akan terciptalah kultur islami dalam masyarakat tersebut.
Di sisi lain, jika Pendidikan Agama Islam dimaknai sebagai sesuatu yang statis maka Pendidikan Islam hanyalah menjadi rutinitas yang kurang memiliki makna, kecuali hanya dianggap akan memiliki jaminan pahala jika mempelajari Islam. Selain itu pendidikan islam hendaknya didasarkan dan digerakkan pada keimanan dan komitmen tinggi terhadap ajaran agama islam.[12] Sehingga walaupun generasi muda menjadi ahli ilmu di bidangnya masing-masing namun mereka masih memiliki jati diri, identitas, dan semangat keislaman. Misalnya seorang dokter menjadi dokter yang islami, seorang pengusaha menjadi pengusaha yang berkultur islami, dan ahli-ahli ilmu di bidang masing-masing.
Membicarakan Pendidikan Islam tidak hanya semata-mata membahas tentang bagaimana umat islam dalam beragama namun secara umum juga membahas permasalahan yang lebih luas tentang kepentingan pendidikan yang menciptakan ‘sukses’ bagi umat islam di dunia hingga akhirat. Ini berarti bahwa pendidikan ‘umum’ dipandang sejajar dengan pendidikan agama jika hal tersebut bisa menciptakan sistem pendidikan dan hasilnya yang bisa diharapkan oleh agama.[13]
Dalam upaya pembaruan pendidikan Islam perlu adanya kontekstualisasi PAI sesuai dengan persoalan hidup seperti yang diajarkan al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Agar terdapat relevansi pendidikan islam dengan persoalan zaman. Walaupun Pendidikan Islam menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, tetapi tidak mengabaikan nilai-nilai spiritualitas dan akhlakul karimah.[14] Sehingga menurut penulis inilah yang akan menjadi pembeda antara konsep pendidikan umum yang berlandaskan ilmu pengetahuan umum dengan PAI yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Yang masih menjadi diskusi panjang tentang pendidikan Islam adalah apakah Islam mempunyai konsep tersendiri mengenai Pendidikan versi Islam ataukah tidak sama sekali.[15] Pada kenyataan secara historis kemajuan peradaban Islam di masa Keemasan dahulu diperoleh umat islam karena mengambil, beradapatasi, dan mengadopsi sistem lembaga pendidikan dari peradaban masyarakat yang ia jumpainya sebagai implikasi politik ekspedisi. Dikotomi antara pendidikan umum dengan pendidikan Islam dipandang sebagain umat islam sebagai permasalahan yang sangat mengganggu bagi kepentingan kemajuan peradaban umat islam. Bukankah pendidikan hadir untuk menyiapkan manusia beserta segala akibat turunannya menghadapi segala permasalahan kehidupan.[16]  
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa sesungguhnya pendidikan islam harus memiliki corak tersendiri dan tidak dibayang-bayangi oleh pendidikan umum. Sebagaimana yang dilakukan oleh Sutrisno yang menawarkan model PAI yang humanis religius.[17] Adapun jika terpaksa untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat maka solusinya adalah bukan dengan cara mencampurkan antara pendidikan umum dengan pendidikan islam seperti mencampurkan air dengan minyak. Namun melakukan integrasi, integrasi dilakukan untuk tercapainya efisiensi seperti hemat waktu  serta biaya dan tercapainya efektifitas sehingga siswa menjadi lebih fokus pada materi yang integral. Yang mana siswa tidak akan lagi membedakan mana mata pelajaran/pendidikan agama dan mana mata pelajaran/pendidikan non agama, namun semuanya terintegral menjadi satu menjadi pendidikan berbasis agama Islam.


Upaya PAI Membangun Budaya Unggul
Menurut penulis untuk menciptakan budaya unggul atau lebih luasnya lagi adalah peradaban unggul maka terlebih dahulu harus menciptkan manusia yang unggul dan untuk menghasilkan manusia yang unggul maka harus ada sistem pendidikan (pengkaderan) yang unggul pula. Padahal untuk menciptkan sistem pendidikan yang unggul diperlukan konsep, penyatuan visi serta misi, dan kurikulum yang bermutu. Oleh karena itu PAI sebagai salah satu pilar Pendidikan perlu mengadakan pembenahan kurikulum, pembenahan yang utama dan  pertama bukan pada pembenahan materi/muatan pelajaran namun pada konsep dan tujuan sebagai penyemangat generasi muda untuk mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
 Budaya unggul dalam pandangan PAI merupakan budaya yang memiliki kandungan nilai-nilai Islam. Cinta pada ilmu pengetahuan merupakan salah satu ciri perbuatan yang berdasarkan nilai Islam. Termasuk ilmu pengetahuan umum, misalnya cinta pada ilmu Perhitungan (matematika), jika seseorang menguasi ilmu matematika maka secara praktis bisa digunakan untuk dasar ilmu pengetahuan Ekonomi, ilmu waris, dan ilmu Zakat.
Islam sebagai agama yang kental dengan Pendidikan sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, mendorong ummatnya untuk menuntut segala bidang ilmu sampai ajal datang. Karena itu pendidikan Islam sangat menghargai ilmu, banyak sejarah yang menciratakan tentang penerjemahan buku serta tawanan perang yang memiliki keahliaan membaca dan menulis diperintahkan untuk mengajar itu merupakan indikasi bahwa Allah memerintah umatnya untuk cinta ilmu agama dan juga ilmu umum.[18] ini sudah diedit. Sehingga dari pernyataan tersebut sudah jelas bahwa PAI adalah sebagai pembangun budaya unggul, budaya yang mencintai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak hanya budaya yang mencetak tradisi-tradisi simbolik islami, namun hatinya tidak sejalan dengan simbol-simbol yang telah dimunculkan tersebut inilah yang penulis sebut sebagai kamuflase budaya.
Berbicara mengenai budaya unggul maka sesungguhnya budaya unggul merupakan budaya yang berdaya saing serta memiliki upaya untuk mencapai puncak kualitas. Pernyataan tersebut sesuai dengan pengertian budaya Unggul menurut Kemendiknas sebagai berikut:

Budaya unggul dapat diartikan cara hidup yang beorientasi pada mutu (memberikan penghargaan tinggi terhadap mutu). Seseorang yang memiliki budaya unggul senantiasa berupaya melakukan yang terbaik untuk menghasilkan sesuatu dengan mutu setingggi-tingginya. Orang yang unggul adalah siapa saja yang selalu berupaya melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan optimal dan tidak asal-asalan. Ciri-ciri orang memiliki keunggulan antara lain berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, cerdas, berdemokrasi dan bertanggung jawab, kerja keras dan kerja cerdas, bersikap hemat dan selalu ingin mengembangkan potensi dirinya. Hanya dengan budaya unggul maka seseorang dapat mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang globalisasi.[19]

Dari pernyataan di atas maka penulis perlu menambahkan kata baru dalam istilah Budaya Unggul yaitu Budaya unggul Islam. Karena bagimanapun juga pernyataan di atas bukanlah tindakah yang dilandaskan oleh Al-quran dan hadith, walupun isinya sangat sesuai dengan keduanya. Dengan berbudaya Unggul yang islami maka umat islam akan mampu mencetak generasi muda yang Unggul yang bernilaikan islam. Budaya unggul tersebut terbentuk membutuhkan waktu, kesebaran, dan keseriusan. Selain itu budaya unggul bisa terbentuk dengan cara membanung lingkungan Islami, tentu tidak berhenti pada ranah simbolik semati tapi penanaman semangat nilai-nilai keislaman dalam segala bidang.  
Kehidupan yang Islami tentu tercermin dalam berbagai suasana, baik dalam pergaulan antar sesama, penampilan lingkungan fisik sekolah, kehidupan spiritual, intelectual dan sosialnya. Suasana kultur islam tercapai manakala di komunitas sekolah atau madrasah terbangun saling memahami, menghargai, mencintai dan tolong menolong antar sesama.
Selain itu rasa tanggung jawab, integritas dan disiplin diusahakan agar berhasil ditegakkan. Tidak hanya menjalankan tugas sebatas hanya untuk memenuhi tuntutan formal. Islam membimbing umatnya dalam beramal harus dimulai dari niat yang ikhlas, bahwa segala apa yang dilakukan termasuk difikirkan semuanya dilandaskan hanya untuk Allah SWT.[20] Sehingga inilah yang seperti penulis sebutkan pada pembahasan sebelumnya dengan istilah profesional yang islami.
Namun pekerjaan rumah bagi PAI yang masih ada adalah apakah PAI bisa mendapatkan kesan yang membekas pada diri anak-anak. Pada kenyataannya semakin tinggi jenjang yang ditempuh belum tentu menggambarkan peningkatan kualitas kultur islami. Sebagai contoh banyak sekali koruptur dan politikus jahat yang pernah mengeyam pendidikan islam. Dalam al Qur’an dijelaskan, tugas Rasulullah sebagai Maha Guru adalah membimbing para sahabat. Apa yang ia ajarkan kemudian segera dilakukan oleh sahabat secara istiqomah. Itulah sebabnya apa yang diajarkan oleh nabi telah mendarah daging ke dalam diri sahabat. Sayangnya pendidikan Islam sekarang ini kebanyakan baru menyentuh aspek formalnya dan bahkan hasil yang diharapakan hanya dinilai dari hasil ujian dalam bentuk angka-angka yang kadang belum menggambarkan capaian yang sesungguhnya diinginkan.[21]
Agar pembentukan kultur islami berhasil di Lembaga Pendidikan maka kegiatan mulia ini harus dimulai dari pimpinannya, gurunya, para karyawannya dan akhirnya akan diikuti oleh para siswanya. Jika kultur islami ini berhasil diwujudkan, maka pada suasana apapun termasuk dalam genggaman persaingan global maka lembaga pendidikan Islam dimaksud akan tetap diminati dan bahkan akan diminati banyak orang. Dan sebaliknya, jika apa yang diupayakan tersebut hanya sebatas memberi simbol atau nama yang indah tetapi di dalamnya tidak mencerminkan nilai-nilai islami yang sebenarnya, maka cepat atau lambat akan ditinggalkan orang.[22]
Seperti dalam pembahasan sebelumnya bahwa PAI tidak hanya sebagai sebuah kajian wawasan tentang keislaman (islamologi) saja, namun PAI juga harus bisa mendorong generasi Islam untuk meningkatkan kualitas diri menjadi manusia yang profersional dan berdaya saing. Maka menurut penulis PAI hendaknya juga mendorong sistem masyarakat untuk melakukan human investment. Human investment merupakan upaya peningkatan kualitas manusia. Semakin banyak SDM berkualitas yang dimiliki sebuah masyarakat akan semakin besar peluang yang dimiliki sistem masyarakat tersebut untuk bisa memenangi persaingan global.
Berbudaya Unggul Islami adalah budaya yang bisa menghasilakan generasi unggul, tentu tidak hanya unggul dalam berdaya saing, tapi juga mampu mengendalikan diri untuk tidak menyalahgunakan ilmunya tersebut untuk hal-hal yang merugikan orang lain. Orang yang berbudaya unggul islami akan memanfaatkan ilmu yang dia miliki untuk mencari ridho Allah SWT dengan cara menghasilkan karya yang bisa bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Menurut Motivator Djajendra, ada 13 Nilai dan karekter yang dapat menghasilkan budaya unggul yaitu: Bersikap Adil, Jujur Dan Terpercaya, Memperlakukan Orang Dengan Hormat, Menghasilkan Organisasi Pembelajar, Mengakui  Kinerja Dan Prestasi, Berkomunikasi Dengan Persuasif, Mendelegasikan Tugas Dan Tanggung Jawab, Membangun Hubungan, Membangun Kepercayaan, Menghargai Perbedaan, dan Membangun Skill/Keterampilan.[23]

PAI dalam Menyikapi Modernitas
Modernisasi berawal dari abad 18 ketika Eropa mengalami transformasi baru akibat dari adanya ‘pencerahan’, masyarkat Eropa lebih menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan menjunjung tinggi akal manusia. hadirnya teknologi baru turunan dari Revolosi Industri yang menggejala di sebagian besar Eropa. Hal inilah yang menjadi titik balik dalam sejarah, yang mana Eropa mulai mendapatkan kekuasaan dan pengaruh di dunia. Pada akhir abad ke-18 tumbuh kesenjangan antara keterampilan teknis dari beberapa negara Eropa barat dan utara denga masyarakat di seluruh dunia yang lebih luas.[24]
Persaingan global merupakan fenomena efek domino atas laju modernitas dengan produk-produknya misalnya adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir yang dihasilkan dari proses penelitian-penelitian yang terbaru dan yang dilakukan dengan matang. Dampak selanjutnya dalam dunia global adalah menghasilkan dua tipikal sifat ekonomi yaitu yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghegomoni dan bertindak sebagai produsen dan tipe satunya menjadi manusia yang cenderung menjadi konsumen.
Menurut penulis salah satu langkah konkrit untuk menghadapi persaingan global adalah umat islam harus mendirikan lembaga atau badan riset (penelitian) dalam bidah ilmu pengetahuan umum (pengetahuan alam dan sosial). Langkang selanjutnya adalah mengadakan penerjemahan-penerjamahan teks-teks barat yang dinilai bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Setelah itu adalah membentuk sistem pendidikan islam yang integral baik secara konsep, kurikulum, maupun kelembagaan (lembaga saling tukar menukar ilmu pengetahuan).
Oleh karena itu untuk menghadapi era Globalisasi maka ilmu Pendidikan Agama Islam hendaknya tidak sekedar berupaya untuk memberikan pengetahuan yang beroerientasi pada target penguasan materi (peserta didik lebih banyak menghafal dari pada memahami dan mengimani materi) yang diberikan pendidik. Akan tetapi hendaknya pendidik juga memberikan sebuah  pedoman hidup (pesan pembelajaran) kepada peserta didik yang akan dapat bermanfaat bagi dirinya dan manusia lain. Tentu pedoman hidup ini bukan berisi materi bagaiman caranya bertahan hidup (aspek materi/ekonomi), tapi pedoman hidup di sini adalah bagaimana cara menghadapi kehidupan (aspek efeksi/semangat Ilahiah).
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang tidak dibatasi oleh lingkungan kelembagaan islam atau oleh kajian ilmu pengetahuan tertentu, dan berdasarkan pengalaman keislaman semata-mata. Namun menjangkau segala aspek ilmu, pengalaman, dan aspirasi masyarakat muslim. Maka pandangan dasar yang dijadikan titik tolak ilmu pengetahuan PAI adalah aspek teoritis-praktis dalam segala bidang keilmuan yang berkaitan dengan masalah yang ada dan yang akan ada dalam masyarakat. Permasalah di masyarakat terus berkembang tanpa mengalami kemandekan. Oleh karena itu PAI sebagai solusi antisipatif untuk menyiapkan diri tidak hanya secara moralitas namun semangat perjuangan untuk berdaya saing mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena zaman modern sekarang ingin dinamika kehidupan mengalir sangat deras.[25]
Bagaimanapun juga walaupun sederhananya sebuah peradaban masyarakat pasti di dalamnya terdapat suatu proses pembelajaran dan lebih umumnya adalah proses pendidikan. Walaupun kurikulum dan manajeman dalam pendidikan yang berlangsung tersebut tidak dibukukan (tidak tertulis). Dengan kata lain pendidikan sudah ada sejak adanya manusia berhidup di muka bumi ini. Asumsi ini berdasarkan dari sifat manusia yang terus belajar sehingga masih bisa bertahan hingga sekarang. Sehingga sebenarnya tanpa Agamapun manusia bisa menyelenggarakan pendidikan tanpa berisi nilai-nilai agama.
Mengahadapi arus Globalisai selayaknya Pendidikan Islam melakukan Asimilasi ilmu pengetahuan  dan teknologi modern barat, hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mengejar ketertinggalan umat islam dari peradaban barat. Namun asimilasi tersebut jika tidak dibaca lebih teliti akan berdampak ‘sikap mengekor’ secara membabi buta tanpa filterasi yang selektif dari segala sesuatu yang berasal dari barat. Dan inilah yang penulis sebut sebagai proses westernisasi materialistik.
Bagi Umat Islam, tauhid memang merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental, sehingga aktifitas apapun dalam kehidupan mereka senatiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat tersebut. Dalam banyak literatur sejarah, dibuktikan bahwa keberhasilan umat islam mengembangkan dakwah dan kekuatan peradabanaya pada abad ke 7-14 M tidak terlepas dari kekuatannya semangat mereka untuk mempertahankan citra tauhid  tersebut. [26] Sehingga tidaklah menjadi kemustahilan jika apa yang terjadi pada sekarang ini disebabkan karena PAI sebagai ujung tombak perubahan peradaban kehilangan esensi nilai-nilai ketauhidan. Salah satu esensi ketauhidan yang ada pada zaman keemasan Islam adalah adanya semangat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui penerjemahan, pendirian perpustakaan, dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan (madrasah). Karena Allah menjanjikan derajat tinggi bagi orang yang berilmu.
Tranfomasi ilmu pengetahuan telah dilakukan oleh umat islam pada masa-masa kebangkitannya, yaitu dimulai dengan menerjemhkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa mereka. Berarti gerakan penerjemahan telah menentukan dalam menstimulasi kebangkitan intelektual Islam. Dan ini juga dilakukan oleh barat sebelum adanya Renaissance barat telah menerjemahkan buku-buku umat islam.[27] Oleh karena itu pada era globalisasi sekarang ini merupakan sebuah kebutuhan bagi umat islam untuk mengadakan penerjemahan-penerjemahan ilmu pengetahuan modern yang berasal dari barat, yaitu ilmu pengetahuan yang berasal dari penelitian dan uci coba ilmiah.
Berbeda hal dengan Kuntowijoyo, ia berpendapat tentang adanya modernitas di erag globalisasi ini. Pernyataannya adalah sebagai berikut:

Di balik kemajuanilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun peradaban yang maju untuk dirinyas sendiri; tapi pada saat yang lain, kita juga melihat bahwa umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil-hasil ciptaanya sendiri itu.[28]


Pada awal berdirinya agama Islam telah mengindikasikan bahwa Islam adalah agama yang rasional dan mendorong untuk berpikir rasional. Itu sebabnya peradaban Islam di masa lampau melahirkan ilmu pengetahuan matematika dan fisika yang kemudian juga diambil oleh dunia Barat. Namun sekalipun demikian juga kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa di banyak lingkungan telah terjadi kehidupan peradaban Islam yang diliputi oleh tradisionalisme yang kuat. Mungkin karena itu pula belum ada bangsa yang menganut agama Islam yang berhasil menciptakan peradaban yang dapat mengimbangi paradaban Barat, sejak peradaban Islam di masa lampau surut. Jadi tantangan pertama adalah adanya tradisionalisme dalam pelaksanaan ajaran agama.[29]
Pendapat Nasution tersebut di atas meiliki beberapa alasan mengapa Islam dianggap sebagai penghambat proses modernitas bagi hidup umatnya antara lain:
a.    Islam adalah agama dogmatis yang mengacu pada doktrin-doktrin sehingga bisa menimbulkan statis.
b.    Agama Islam tidak hanya mengurus masalah akhirat dan ketuhanan saja, tetapi juga ‘ikut campur’ dalam mengurus tatanan kehidupan sosial budaya, politik, dan ekonomi umatnya.[30]
c.       Menurut al Afghani Islam adalah agama yang paling dekat dengan pengetahuan dan pembelajaran dan tidak ada kontradiksi antara (modern) pengetahuan dan prinsip-prinsip dasar Islam. Dan dia juga berpendapat bahwa Eropa telah dimodernisasi karena mereka tidak lagi benar-benar Kristen, dan Muslim sebaliknya, lemah karena mereka tidak benar-benar Muslim.[31] Atau dapat penulis padankan dengan pernyataan bahwa umat islam mundur karena meninggalkan nilai-nilai al-qur’an dan barat maju karena meninggalkan injil walaupun simbol-keagamaan tetap meraka gunakan.
d.      Realitas sekarang banyak orang yang menggunakan produk modernitas seperti hp, laptop, dan produk teknologi modern lain namun menolak sikap dan moralitas kaum modern. Di sisi lain ada juga pihak yang tidak menggunakan produk modern (dianggap kolot dan tradisioal) namun memiliki pemikiran yang modern.

Modernisasi masuk ke kehidupan masyarakat melalui berbagai media, terutama media elektronik seperti internet. Karena dengan fasilitas ini  semua orang dapat dengan bebas mengakses informasi dari berbagai belahan dunia. Pengetahuan dan kesadaran seseorang sangat menentukan sikapnya untuk menyaring informasi yang didapat. Apakah nantinya berdampak positif atau negatif terhadap dirinya, lingkungan, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemahaman agama yang baik sebagai dasar untuk menyaring informasi. Kurangnya filter dan selektivitas terhadap budaya barat yang masuk ke dalam masyarakat islam, budaya tersebut dapat saja masuk pada masyarakat yang labil terhadap perubahan terutama remaja dan terjadilah penurunan etika dan moral pada masyarakat Islam.[32]







Modernisasi dan globalisasi dapat mempengaruhi sikap masyarakat dalam bentuk positif maupun negatif. Diantaranya adalah penerimaan secara terbuka (open minded); lebih dinamis, tidak terbelenggu hal-hal lama yang bersikap kolot dan mengembangkan sikap antisipatif dan selektif dalam menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi. Selain itu juga modernitas dapat menyebabakan masyarakat akan lebih tertutup dan was-was (apatis), masyarakat yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada menjadi acuh tah acuh, masyarakat awam yang kurang memahami arti strategis modernisasi dan globalisasi, kurang selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi, dan dengan menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi/filter

Sebagai penutup menurut penulis tantangan yang di hadapi oleh PAI pada era globalisasi di mana teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi mengalami modernisasi secara terus menerus sehingga masyarakat menampilkan fenomena baru yaitu gaya hidup masyarakat yang lebih rasionalistik, pragmatis, dan berdaya saing. Akibat yang terjadi adalah masyarakat akan lebih mementingkan kepentingan dunia dari pada kepentingan akhirat. Inilah tugas PAI untuk menyeimbangkan antara kedua hal tersebut. Jika PAI tetap mengacu pada pendidikan yang bergaya normatif dan hanya menyentuh aspek idealitas kesucian diri saja maka penulis meyakini PAI kedepannya lagi tidak akan bisa diterima oleh masyarakat. Sehingga wajar jika PAI dianggap sebagai materi pelajaran tambahan yang tidak memiliki nilai penting apa-apa.



   
DAFTAR RUJUKAN


 “Dampak Modernisasi dan Globlalisasi, dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/01/dampak-modernisasi-dan-globalisasi/, 4 Januari 2012. Diakses tanggal 19 Juni 2012 pada pukul 12.50 WIB.

“Islam And Modernity,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_and_modernity, diaskses 05 April 2012. Pada pukul 19.29 WIB.

Al Qur'an Membangun Peradaban Unggul, Kamis, http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3282:al-quran-membangun-peradaban-unggul&catid=25:artikel-rektor, 09 Agustus 2012. Diakses pada tanggal 29 November 2012.


Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Depdiknas. Kurikulum  2004 SMA, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Depdiknas, 2003.


Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 2008.

Memaknai Buaya Ugngul dan Aspek Pembentuknya, dalam http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1070-memaknai-budaya-unggul-dan-aspek-pembentuknya.html, 02 Juli 2011. Diakses tanggal 29 November.

Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.


Munir, Lily Zakiyah. “Islam, Modernitas, dan Keadilan untuk Perempuan,” dalam http://www.law.emory.edu/ihr/worddocs/lily1.doc, diakses 05 April 2012 pada pukul 19.34.

 

Mustofa, M. Lutfi. Tauhid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim, dalam “Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,” ed. M. Lutfi Mustofa, et. al. Malang: LKQS UIN, 2007.

Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995.

Pendidikan Islam Mengahadapai Tantang Global, dalam http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=446:12-07-2008&catid=25:artikel-rektor, 15 Desember 2008. Diakses tanggal 29 November 2012.

Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: Lkis, 2009.

Suryohadiprojo, Sayidiman. “Makna Modernitas dan Tantangnya terhadap Iman,” http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html, di up load pada 05 Desember 2007. Diakses 05 April 2012 Pukul: 19.50 WIB.

Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 2.

Sutrisno, “Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.


Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.



* Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana STAIN Kediri, angkatan kedua.
[1]Proses pembelajaran PAI secara normatif merupakan salah satu bentuk ilmu terapan yang tersistem dan berlaku formal bagi peserta didik terutama pada Pendidik, di mana  proses pembelajaran ini memiliki  keterbatasan ruang dan waktu. Ditentukan tema dan prosedural (terdapat RPP: kegiatan awal, inti, dan akhir). Tapi pandangan ini bukan berarti bahwa formalitas bukanlah hal yang penting, karena formalitas merupakan salah satu indikator manusia tersebut profesional atau tidak. Formaliatas tetap penting karena manusia harus memiliki aturan main serta prosedur yang jelas untuk pertanggung jawaban sehingga bisa tercapai keefektifan dan efisiensi. Namun diharapkan pendidikan Agama Islam tidak hanya berhenti di aspek itu saja. Lebih dari sekedar itu, PAI harus menciptakan nilai-nilai dan kultur yang islami. Dengan kata lain PAI tidak hanya berhenti pada mempelajari simbol-simbol islam, namun menamkan semangat mengembakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lihat Sutrisno, “Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.
[2]Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 2.
[3]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam  (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 18.
[4]Al Qur'an Membangun Peradaban Unggul, Kamis, http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3282:al-quran-membangun-peradaban-unggul&catid=25:artikel-rektor, 09 Agustus 2012. Diakses pada tanggal 29 November 2012.
[5]Secara ontologis ilmu pengetahuan umum lebih cenderung bersifat netral, dengan arti tidak dapat bersifat islami, kapitalis, sosialis, komunis atau yang lainnya. Akan tetapi ketika seorang ilmuwan menjelaskan tentang perubahan yang telah atau akan terjadi, menerangkan cara memanfaatkan hukum alam, dan mengarahkan pengetahuan tersebut ke arah tertentu maka ilmu pengetahuan tersebut tidak bisa dikatakan netral. Karena analisis yang dilakukan oleh ilmuwan tersebut bisa jadi karena dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan yang telah ia lalui sebelumnya, misalnya adanya doktrin ideologi, agama, ataupun pengalaman pribadi. Lihat Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001 ), 65.
[6]Al Qur'an Membangun Peradaban Unggul, Kamis, http://uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3282:al-quran-membangun-peradaban-unggul&catid=25:artikel-rektor, 09 Agustus 2012. Diakses pada tanggal 29 November 2012.
[9]Tujuan Pendidikan Agama Islam terkandung dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mendiskripsikan bahwa Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Berdasarkan tujuan Pendidikan Nasional tersebut maka PAI peran penting dalam usaha pencapaian tujuan tersebut tidak hanya penekanan pada aspek keimanan dan ketakwaan, tetapi PAI juga bisa menjadi pendorong generasi manusia Indonesia untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang bermanfaat bagi manusia lain. Karena itu berdasarkan Undang-undang bahwa Pendidikan Agama Islam, mempunyai kedudukan dan wilayah yang sangat strategis untuk pencapaian tujuan Nasional, maka oleh karena itu penulis mendukung upaya integrasi ilmu di dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam.  Lihat UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[10]Indikator sesoarang yang memiliki akhlak mulia adalah perbuatan baik yang diperintahkan dalam Al-quran dan Hadith. Tidak hanya perbuatan saja, tapi juga nilai-nilai semangat serta kemantapan hati dalam menerapkannya tanpa dipengaruhi nilai-nilai selain dari pada itu.
[11]Depdiknas, Kurikulum  2004 SMA, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Depdiknas, 2003), hlm. 2.
[12]Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat (Yogyakarta: Lkis, 2009), 18-19.
[13]Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 128.
[15]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001 ), 31.
[16]Zuhairini, Filsafat Pendidikan, 127.
[17]Sutrisno, “Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.
[20]Pendidikan Islam Mengahadapai Tantang Global, dalam http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=446:12-07-2008&catid=25:artikel-rektor, 15 Desember 2008. Diakses tanggal 29 November 2012.
[21] http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=446:12-07-2008&catid=25:artikel-rektor Pendidikan Islam Menghadapi Tantangan Global Senin, 15 Desember 2008 11:47
[23] Memaknai Buaya Ugngul dan Aspek Pembentuknya, dalam http://www.pekalongankab.go.id/fasilitas-web/artikel/sosial-budaya/1070-memaknai-budaya-unggul-dan-aspek-pembentuknya.html, 02 Juli 2011. Diakses tanggal 29 November.
[24] “Islam And Modernity,” dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_and_modernity, diaskses 05 April 2012. Pada pukul 19.29 WIB.
[25]Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam  (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 28.

[26]M. Lutfi Mustofa, Tauhid: Akar Tradisi Intelektual Masyarakat Muslim, dalam “Intelektualisme Islam: Melacak Akar-akar Integrasi Ilmu dan Agama,” ed. M. Lutfi Mustofa, et. al (Malang: LKQS UIN, 2007), hal 3.

[27]Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 2008),  356.
[28]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 112-113.
[29]Sayidiman Suryohadiprojo, “Makna Modernitas dan Tantangnya terhadap Iman,” http://otodidakilmu.blogspot.com/2007/12/makna-modernitas-dan-tantangannya.html, di up load pada 05 Desember 2007. Diakses 05 April 2012 Pukul: 19.50 WIB.
[30]Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), 157.
[31]Lily Zakiyah Munir , “Islam, Modernitas, dan Keadilan untuk Perempuan,” dalam http://www.law.emory.edu/ihr/worddocs/lily1.doc, diakses 05 April 2012 pada pukul 19.34.
[32]“Dampak Modernisasi dan Globlalisasi, dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/01/dampak-modernisasi-dan-globalisasi/, 4 Januari 2012. Diakses tanggal 19 Juni 2012 pada pukul 12.50 WIB.




Baca tulisan menarik lainnya:

2 Tanggapan untuk "ARAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MENYIKAPI MODERNITAS"

  1. terima kasih mas Rimfqi atas sharenya. saya setuju, penyebab ummat Islam mundur adalah karena pemahaman ummat Islam yang tidak kaffah terhadap islam. yaitu adanya dikotomi, Islam itu ritual dan tidak membicarakan aspek politik, ekonomi dan sosial budaya

    BalasHapus

  2. Sangat bermanfaat. Ditunggu tulisan berikutnya Mas Rifqi.

    BalasHapus

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*