Terima
kasih, blog Banjir Embun telah dipercaya untuk digunakan sebagai referensi
karya tulis oleh beberapa akademisi dan calon ilmuwan muda. Berikut puluhan BUKTI blog Banjir Embun mendapat kepercayaan masyarakat ilmiah (ilmuwan):
Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul:
FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENGKAJI TIPOLOGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh: A. Rifqi Amin
PENDAHULUAN
Pendidikan dewasa ini
tengah dihadapkan pada berbagai permasalahan. Hal ini terjadi pula pada
pendidikan Islam yang dihadang oleh berbagai macam problema mulai dari sistem
pendidikan yang tidak integral, kurikulum ahistoris karena lebih mengekor pada
pendidikan umu yang pada praktiknya enggan untuk diterapkan secara menyatu,
metode yang masih terus menyesuaikan diri, dan tujuan pendidikan yang secara
praktis belum terfokus. Walaupun pada faktanya sekarang ini pendidikan Islam
secara kelembagaan serta adminsitrasi misalnya Madrasah dan Pondok pesantren
mengalami perkembangan pesat, mulai dari sarana prasarana, jumlah siswa,
kualitas, dan sistem organisasi yang terstruktur. Namun dari segi Kurikulum
sepertinya Pendidikan Islam baik secara isi maupun metode masih tunduk pada
pengaruh-pengaruh pendidikan umum. Inilah tugas penting generasi Islam ke depan
dalam mentransformasikan pendidikan supaya sistem pendidikan memiliki jiwa-jiwa
Islami. Sehingga bukan sistem pendidikan Islam yang dimuati oleh Kurikulum Umum
namun bisa terciptanya Kurikulum Umum yang dimuati kurikulum dan sistem
pendidikan Islami secara integral.
Islam memandang
pendidikan sebagai pemberi warna perjalanan hidup manusia. Yang mana islam telah menetapkan
pendidikan menjadi suatu kewajiban bagi laki-laki dan perempuan, tak ada batas
wilayah maupun kajian serta dari siapa sumbernya (walaupun ke negeri Cina), dan
berlangsung bagi setiap umur dari lahir sampai mati. Dengan
kata lain semua manusia bagaimanapun bentuknya berhak untuk mendapatkan
pendidikan secara adil dan merata. Dan juga tentu Islam sebagai agama universal
tidak memandang manusia memiliki potensi berbeda sejak lahir, karena sejak
lahir manusia berstatus sama yaitu hamba Allah SWT. Selain itu pembedaan
manusia satu dengan yang lain antar sesama manusia bukanlah berdasarkan warna
kulit, bentuk tubuh, etnis, maupun kecerdasannya. Tapi dimata Allah pembeda
manusia satu sama lain adalah ketaqwaannya. Oleh karena itu dalam memandang peserta didik, seorang Muslim harus memandang
secara seimbang atau memandang semua peserta didik secara hak dan kewajiban
memiliki porsi yang sama. Peserta didik yang bodoh tidak ditenggelamkan
sehingga semakin bodoh, yang miskin tidak disingkirkan sehingga tidak pernah merasakan
pendidikan formal, dan yang nakal tidak dibuang untuk mengamankan peserta didik
lain yang baik. Inilah konsep mengakomodasi keberagaman peserta didik yang
memiliki perbedaan aspek fisik (bentuk tubuh, jenis kelamin, penyakit, cacat, dan warna tubuh) serta aspek
non fisik (kecerdasan, pengalaman hidup, dan doktrin dari keluarga).
Walaupun menurut sebagian
para ahli yang dikutip oleh Khushik Basu bahwa manusia secara determinis biologis
memiliki kecerdasaan bawaan berbeda yang didasarkan pada perbedaaan bentuk
fisik, kecacatan, dan perbedaan warna kulit. Mereka mengemukakan bahwa perbedaan
tersebut akan mempengaruhi kecerdasaan bawaan dari lahir. Namun Basu tidak
sependapat, ia membantah dan memandang pendapat mereka terlalu
berlebih-lebihan. Namun ironis pada faktanya sistem pendidikan diam-diam
mengakui perbedaan ini dan menyediakan banyak waktu “khusus” bagi mereka yang
lebih pandai maupun mereka yang cacat dan dianggap memiliki kebutuhan khusus. Lantas bagaimanakah peran pendidikan islam menghadapi
fenomena tersebut, apakah islam juga memperlakukan hal berbeda pada peserta
didik yang memiliki keberagaman.
Padahal jika ditelusuri
secara konteks bahwa kebudayaan dan peradaban manusia akan lahir dari hasil
proses akumulasi perjalanan hidup yang berhadapan dengan proses dialog antara
ajaran normatif (wahyu) yang permanen secara historis dengan pengalaman
kekhalifahannya di muka bumi secara dinamis. Pengalaman
kekhalifahan manusia bisa tercapai dengan sempurna jika ia dihadapankan pada
sebuah kondisi yang beragam atau tidak satu warna tertentu. Hal ini guna
menghindari terjadinya sikap fanatisme atau primordialisem yang cenderung
bersifat agresif padba kelompok lain yang ‘mencoba’ memasuki kelompoknya
tersebut untuk diadakan asimilasi. Oleh sebab itu, peserta didik sebagai
manusia dinamis yang mempunyai potensi material dan spiritual sebagai fitrah
harus diberi pengalaman-pengalaman sama sekali baru (belum pernah ia alami dan
ketahui) agar potensi spiritual yang bersifat transendental bisa lebih melekat
pada jiwanya. Pendapat penulis tersebut diperkuat oleh pernyataan Muzayyin
Arifin bahwa “ Pendidikan yang benar adalah yang memberikan kesempatan kepada
keterbukaan terhadap pengaruh dari dunia luar dan perkembangan dari dalam diri
anak didik. Dengan demikian, barulah fitrah itu diberi hak untuk membentuk
pribadi anak dan dalam waktu bersamaan faktor dari luar akan mendidikan dan
mengarahkan kemampuan dasar (fitrah) anak.”
Filsafat Pendidikan
Islam hadir seharusnya tidak hanya memberi tawaran dalam menyumbang ilmu-ilmu
pendidikan yang ‘kaku’, sulit diterapkan, dan monoton. Tapi juga mengambil
peran secara praktis dalam memecahkan permasalahan pendidikan dalam konteks
kekinian.Walaupun
demikian bukan berarti Filsafat Pendidikan Islam adalah ilmu filsafat
pendidikan yang tak memiliki batas. Oleh karena itu sangat penting sekali
sebelum mendalami ilmu Filsafat Pendidikan Islam alangkah lebih baiknya
mempelajari terlebih dahulu hakikat dan wilayah kajian Filsafat Pendidikan
Islam itu sendiri. Hal tersebut agar dalam mempelajari dan memanfaatkan ilmu Filsafat
Pendidikan Islam seorang praktisi bisa lebih fokus atau tepat guna sesuai
dengan sasaran dan permasalahan yang menjadi kunci ‘mandek’nya konsep baru yang berbeda dalam sistem pendidikan islam.
Dari penjabaran dia
atas maka penulis berani memberikan penguatan terhadap gagasan terdahulu
tentang integrasi ilmu pengetahuan di lembaga pendidikan islam. Sikap kuat
penulis dalam mendukung gagasan integrasi ilmu bukanlah tanpa alasan, karena
pada zaman sekarang ini jika madrasah sebagai mercusuar modernitas kelembagaan
pendidikan islam jika secara kurikulum tetap mengekor pada kurikulum pendidikan
umum maka bisa dipastikan kemudian nanti madrasah akan tetap tidak memiliki
identitas murni/ciri khusus. Persiapan integrasi harus segera dimantapkan,
karena sekarang ini madrasah sudah mulai mengalami perkembangan pada tahap
penggunaan simbol-simbol islam dalam tata tertib atau pengelolaan lembaga
pendidikan. Agar terjadinya pembahasan yang fokus dan supaya makalah ini
memiliki nilai guna khusus dalam bahasan tertentu maka penulis perlu menyusun
sebuah rumusan masalah. Sehingga dari pembahasan di atas penulis bisa
menentukan rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1.
Bagaimana seharusnya tipologi Filsafat
Pendidikan Islam dalam menghadapi arus gagasan pendidikan umum?
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Sebelum
membahas tentang hakikat Filsafat Pendidikan Islam lebih mendalam, maka supaya
lebih jelas dan terukur makna hakikat Filsafat Pendidikan Islam lebih baik penulis paparkan terlebih
dahulu pengertiannya secara etimologi dan terminologi. Istilah “Filsafat
Pendidikan Islam” terdiri dari tiga kata yaitu filsafat, pendidikan, dan islam.
Ketiga kata tersebut jika disendirikan memiliki kandungan makna yang bisa
berdiri sendiri, sehingga tidak membutuhkan kata lain untuk dimaknai dengan
sempurna. Pemecahan istilah Filsafat Pendidikan Islam menjadi tiga kata bukan
untuk mencari persamaannya tapi membangun perbedaan. Perbedaan tersebut digali
untuk membangun pondasi konsep Filsafat Pendidikan Islam secara utuh. Karena
filsafat, pendidikan, dan islam masing-masing merupakan kajian ilmu tersendiri
yang berbeda dengan makna integral Filsafat Pendidikan Islam.
Kata
"Filsafat" berasal bahasa Yunani yang digali dari dua kata yaitu philein
atau philos artinya cinta dan sofein,sophi atau Sophia
artinya kebijaksanaan. Kemudian digunakan dalam bahasa Inggris, yaitu filosophy.
Kata kebijaksanaan dalam bahasa arab diistilahkan dengan al-hikmah. Oleh
karena itu filsafat juga bisa disebut dengan al hikmah.
Jika
kita kaji arti kata filsafat maka ada beberapa pendapat, menurut Hamdani dan
Fuad mengemukakan bahwa filsafat adalah kajian ilmu yang mempelajari dengan
sungguh-sungguh tentang hakikat kebenaran sesuatu. Menurut mereka semua
filsafat menggunakan pemikiran (rasio) namun tidak semua proses berfikir bisa
dikatakan filsafat.
Sedangkan menurut Hasan Langlunglung yang dikutip oleh Abd. Aziz mengatakan
bahwa filsafat adalah cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya. Dengan
deimikian seorang filosof adalah orang yang mencintai hikmah dan berusaha
memperolehnya, memusatkan perhatian, dan menciptkan setiap hal positif padanya. Dari
pernyataan tersebut penulis berasumsi bahwa hikmah merupakan sesuatu yang
berada di balik kenyataan (hidden),
maka untuk melihatnya membutuhkan keberanian, pengakuan, dan kemauan untuk
membuka tabir kenyataan tersebut.
Apabila
ditarik kesimpulan secara khusus maka Filsafat Pendidikan Islam dapat diartikan
suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal,
sistematis, dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat
pendidikan.
Menurut penulis makna dari kata ‘hakikat pendidikan; bisa berarti sesuatu
‘hikmah’ yang masih tersembunyi. Perlu berfilsafat untuk mengetahui sesuatu
tersebut sehingga manusia memandang pendidikan tidak hanya pada satu sudut
(parsial) dan satu kepentingan sehingga nampak jelas subjektifitasnya.
Filsafat
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang pandangan filosofis dari
sistem dan aliran filsafat dalam Islam terhadap masalah-masalah kependidikan,
dan bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan Umat Islam.
Dengan kata lain Filsafat Pendidikan Islam merupakan kajian tentang bagaimana
menerangkan serta menggunakan metode filsafat Islam untuk memecahkan masalah
pendidikan khususnya bagi umat islam. Sehingga al Quran dan Hadith adalah dasar
dan landasan utama bagi Filsafat Pendidikan Islam, yang menjadi standar
kebenaran bagi pemikir pendidikan islam dalam berijtihad dan mengamalkannya dalam dunia pendidikan. Sehingga
dapat disimulkan bahwa Filsafat Pendidikan Islam merupakan sebuah kajian
disiplin ilmu tersendiri.
Muzayyin
Arifin mengatakan bahwa Filsafat Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep
berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandas ajaran-ajaran agama
islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan dikembangkan serta
dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran
islam. Ada
yang menyamakan antara Filsafat Pendidikan Islam dengan Pemikiran Pendidikan
Islam, yang asumsinya secara hakikat (esensi) memiliki kesamaan namun secara
istilah memiliki perbedaan. Hal ini menurut hemat penulis adalah karena faktor
selera dalam menggunakan istilah-istilah tertentu yang dipandang cocok menjadi
‘title’ bagi objek kajian pendidikan islam.
Dalam
mengkaji studi Filsafat Pendidikan Islam dituntut untuk menguasai ilmu
pengetahuan yang dapat melengkapi sebagai
sumber potensi rujukan pemikiran. Menurut Muzayyin Arifin seorang
pemikir Filsafat Pendidikan Islam haru menguasai ilmu pegetahuan
sekurang-kurangnya sebagai berikut:
1.
Ilmu agama islam yang luas dan mendalam
2.
Ilmu pengetahuan kebudayaan islam dan
umum serta sejarahnya.
3.
Filsafat islam dan umum dan
cabang-cabangnya yang kontemporer.
4.
Ilmu tentang perkembangan jiwa manusia
yang berkaitan dengan pendidikan.
5.
Science
dan teknologi yang bisa bermanfaat dalam dunia pendidikan.
6.
Ilmu tentang sistem approach serta ilmu tentang metode dan penelitian pendidikan.
7.
Berpengalaman di bidang teknik
operasional kependidikan dan masyarakat.
8.
Ilmu pengetahuan tentang kemasyarakatan
dan sosiologi kependidikan.
9.
Ilmu pengetahuan sosial yang
mempengaruhi pendidikan.
10. Ilmu
tentang teori pendidikan atau pedagogis.
B.
Wilayah Kajian Filsafat Pendidikan
Islam
Membicarakan
Filsafat Pendidikan Islam maka ruang lingkup pemikirannya lebih bersifat
universal yang berarti cakupan yang dipikirkan menyangkut hal-hal yang
menyeluruh dan mengadung generalisasi bagi semua jenis dan tingkat kenyataan
yang ada di alam ini, yang termasuk di dalamnya kehidupan umat manusia. Secara
waktu kajian Filsafat Pendidikan Islam mengkaji tentang persoalan yang terjadi
pada masa sekarang maupun untuk antisipasi di masa yang akan datang. Ibarat
pisau yang mengiris, Filsafat Pendidikan Islam sebagai pisau memiliki tugas
menyayat gagasan pendidikan secara umum secara halus, tepat, dan baik. Filsafat
Pendidikan Islam bertugas melakukan kritik-kritik tentang metode-metode yang
digunakan dalam proses pendidikan islam. Serta memberikan pengarahan mendasar tentang
bagaimana metode tersebut dapat didayagunakan atau diciptakan agar tercapai
tujuan secara efektif. Dengan demikian maka Filsafat Pendidikan Islam
seharusnya bertugas dalam tiga dimensi, yaitu sebagai berikut:
1.
Memberikan landasan sekaligus mengarahkan
proses pelaksanaan pendidikan yang berdasarkan nilai Islam.
2.
Melakukan kritik dan koreksi terhadap proses
pelaksanaan tersebut.
3.
Melakukan evaluasi terhadap metode dari
proses pendidikan tersebut.
Filsafat
Pendidikan Islam adalah falsafah tentang pendidikan yang tidak dibatasi oleh
lingkungan kelembagaan islam atau oleh kajian ilmu pengetahuan tertentu, dan berdasarkan
pengalaman keislaman semata-mata. Namun menjangkau segala aspek ilmu,
pengalaman, dan aspirasi masyarakat muslim. Maka pandangan dasar yang dijadikan
titik tolak kajian studinya adalah illmu pengetahuan teoritis-praktis dalam
segala bidang keilmuan yang berkaitan dengan masalah kependidikan yang ada dan
yang akan ada dalam masyarakat yang berkembang terus tanpa mengalami kemandekan
untuk menyiapkan diri karena zaman modern sekarang ingin dinamika kehidupan
mengalir sangat deras.
Bagaimanapun
juga sesederhana apapun sebuah peradaban masyarakat pasti di dalamnya terdapat
suatu proses pembelajaran dan lebih umumnya adalah proses pendidikan. Walaupun
kurikulum dan manajeman dalam pendidikan yang berlangsung tersebut tidak
dibukukan (tidak tertulis). Dengan kata lain pendidikan sudah ada sejak adanya
manusia berhidup di muka bumi ini. Asumsi ini berdasarkan dari sifat manusia
yang terus belajar sehingga masih bisa bertahan hingga sekarang. Menurut
Hamdani dan Fuad bahwa pendidikan adalah proses, yang mana modalitas yang
dimiliki oleh manusia mudah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan, yang kemudian
disempurnakan dengan memberikan kebiasaan-kebiasaan yang baik.
Wilayah
kajian pendidikan dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu dimensi lingkungan
pendidikan, dimensi jenis permasalahan pendidikan, dimensi waktu, dan dimensi
ruang secara geografis. Jika dilihat dari beberapa dimensi tersebut maka
berdasarkan dimensi lingkungan pendidikan memiliki wilayah kajian yang meliputi
pendidikan lingkungan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan luar
sekolah. Sedang dilihat dari dimensi jenis permasalahan pendidikan, memiliki wilayah
kajian pendidikan meliputi masalah landasan pendidikan (foundational problems of education), masalah struktru lembaga
pendidikan (strutural problems of
education), dan masalah operasional pendidikan (operational problems of education). Adapun dilihat dari dimensi
waktu terdapat tiga masalah pendidikan yaitu masalah kontemporer, masalah
kesejarahan, dam masalah masa depan. Kemudian jika dilihat dari dimensi ruang
geografis terdapat dua masalah yaitu maslah pendidikan di Indonesia dan masalah
pendidikan di negara-negara atau masyarakat luar Indonesia.
Membicarakan
ruang lingkup kajian Filsafat Pendidikan Islam tidak hanya semata-mata membahas
tentang bagaimana umat islam dalam beragama namun secara umum juga membahas
permasalahan yang lebih luas tentang kepentingan pendidikan yang menciptakan ‘sukses’
bagi umat islam di dunia hingga akhirat. Ini berarti bahwa pendidikan ‘umum’
dipandang sejajar dengan pendidikan agama jika hal tersebut bisa menciptakan
sistem pendidikan dan hasilnya yang bisa diharapkan oleh agama. Sebagaimana
pendapat Zuhairini bahwa metode dan sistem serta aliran filsafat Islam dapat
mempengaruhi bahkan mengarahkan jalannya pendidikan di kalanganumat islam.
Hal
ini sejalan dengan pendapat Ma’arif yang dikutip oleh Muhaimin bahwa terjadi
dualisme dan pendikotomian antara pendidikan agama memiliki kedudukan wajib
untuk dilakukan dengan pendidikan umum (sekuler) menduduki posisi wajib kifayah
yang seringkali terabaikan bahkan tercampakkan. Di samping itu kegiatan
pendidikan islam yang seharusnya berorientasi ke langit nampaknya belum
tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan Filsafat Pendidikan Islam. Maka
Muhaimin menarik argumentasi bahwa penyusunan suatu Filsafat Pendidikan Islam
merupakan tugas strategis dalam usaha pembaruan pendidikan islam.
Objek
kajian Filsafat Pendidikan Islam meliputi objek material yang mengkaji tentang
hakikat Tuhan, hakikat alam, dan kakikat manusia. Serta objek formal yang
berarti usaha mencarai keterangan secara radikal tentang objek material.
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Abdul Munir Mulkhan bahwa objek
material Filsafat Pendidikan Islam adalah bahan dasar yang dikaji dan
dianalisis. Sementara objek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang
terhadap bahan dasar tersebut. Atau dengan kata lain bahwa objek-material Filsafat
Pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia secara
sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya kecerdasan,
pengetahuan, dan kepribadian peserta didik. Sementara objek-formalnya adalah
aspek khusus usaha manusia secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi
peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan, dan kepribadian peserta didik. Adapun
menurut pendapat yang lain mengemukakan bahwa objek yang dibahas dalam Filsafat
Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1. Objek Material: Yaitu sama
halnya filsafat pada umumnya objek ini adalah sesuatu yang ada, baik itu yang
tampak ataupun tidak tampak karena keterbatasan indra manusia. Yang mana objek
yang tampak adalah dunia empiris dan objek yang tak tampak adalah metafisika.
- Objek
Formal: Yaitu sudut pandang yang menyeluruh,
radikal dan objektif tentang pendidikan Islam untuk diketahui hakikatnya. Objek
formal ini terbagi menjadi dua kerangka bahasan, yakni :
a. Secara
Makro: Objek filsafat pendidikan secara makro adalah objek filsafat itu
sendiri, mencari keterangan secara radikal mengenai Tuhan, manusia dan alam
semesta yang tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan biasa. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Abd. Aziz yang mengemukakan bahwa ‘kosmologi’ (pemikiran
yang berhubungan dengan alam semesta dan penciptaannya) merupakan salah satu
pola dan sistem berfikir filosofis. Oleh
karena itu penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam Filsafat Pendidikan Islam
juga tidak akan bisa lepas dari bahasan kosmologi, hal ini digunakan untuk
dapat memahami, menghayati, dan mengambil hikmah dibalik segala sesuatu yang
ada di alam semesta ini. Dan banyak sekali ayat-ayat al Qur’an yang
membicarakan tentang kosmologi.
b. Secara
Mikro: Adapun secara mikro adalah segala hal yang merupakan faktor-faktor dan
komponen dalam pendidikan. Menurut
Muhaimin beberapa persoalan komponen pokok aktivitas pendidikan yang menjadi
perhatian Filsafat Pendidikan Islam
dapat diringkas menjadi lima macam yaitu persoalan hakikat meliputi:
tujuan pendidikan Islam, kurikulum atau program pendidikan (materi pendidikan
Islam), pendidikan dan peserta didik, metode pendidikan Islam, dan lingkungan
belajar (konteks pembelajaran). Sedangkan evaluasi pendidikan menurut Rasyad
yang dikutip oleh Muhaimin menyatakan bahwa evaluasi pendidikan merupakan
faktor pendukung atau bukan masalah pokok karena hanya merupakan implikasi dari
kurikulum dan metode pendidikan. Atau
dengan kata lain dapat penulis pahami bahwa evaluasi hanya sebagai insturmen
untuk mengetahui sejauh mana perkembangan belajar peserta didik, mengetahui
efektivitas metode belajar, dan untuk mengetahui pencapain kurikulum yang telah
ditentukan.
C.
Tipologi
Filsafat Pendidikan Islam dalam Mengahadapi Arus Gagasan Pendidikan Umum
Secara
ontologis ilmu pengetahuan umum lebih cenderung bersifat netral, dengan arti
tidak dapat bersifat islami, kapitalis, sosialis, komunis atau yang lainnya.
Akan tetapi ketika seorang ilmuwan menjelaskan tentang perubahan yang telah
atau akan terjadi, menerangkan cara memanfaatkan hukum alam, dan mengarahkan
pengetahuan tersebut ke arah tertentu maka ilmu pengetahuan tersebut tidak bisa
dikatakan netral. Karena
analisis yang dilakukan oleh ilmuwan tersebut bisa jadi karena dipengaruhi oleh
latar belakang kehidupan yang telah ia lalui sebelumnya, misalnya adanya
doktrin ideologi, agama, ataupun pengalaman pribadi.
Yang
masih menjadi diskusi panjang tentang pendidikan Islam adalah apakah Islam
mempunyai konsep tersendiri mengenai Pendidikan versi Islam ataukah tidak sama
sekali. Pada
kenyataan secara historis kemajuan peradaban Islam di masa Keemasan dahulu
diperoleh umat islam karena mengambil, beradapatasi, dan mengadopsi sistem
lembaga pendidikan dari peradaban masyarakat yang ia jumpainya sebagai
implikasi politik ekspedisi. Jika kita tarik pada permasalahan pendidikan Islam
di Indonesia sekarang ini maka kita dapat jumpai bahwa konsep pendidikan di
madrasah dan mata pelajara PAI di Sekolah umum belum mengalami perkembangan
yang berarti. ‘Intervensi’ secara tak sengaja dari konsep pendidikan umum masih
tercium tajam, sehingga terkesan bahwa konsep pendidikan Islam selalu mengekor
pada konsep pendidikan Umum. Tentu pembahasan ini masih jauh dengan gagasan
bahwa di lembaga madrasah Indonesia harus diadakan kurikulum yang integratif.
Dikotomi
antara pendidikan umum dengan pendidikan Islam dalam bingkai Filsafat
Pendidikan Islam dipandang sebagain umat islam sebagai permasalahan yang sangat
mengganggu bagi kepentingan kemajuan peradaban umat islam. Bukankah pendidikan hadir
untuk menyiapkan manusia beserta segala akibat turunannya menghadapi segala
permasalahan kehidupan. Lantas salahkah jika Ulama pada zaman sekarang
melakukan ijtihad baru untuk menjawab permasalahan pendidikan Islam zaman
sekarang ini yang dihadapkan dengan pendidikan umum? Pernyataan penulis di atas
sejalan dengan pernyataan Zuhairini dkk. bahwa ilmu Kalam, ilmu tasawuf, dan
ilmu fiqh merupakan ilmu yang
dikembangan dalam dunia islam yang dikembangkan melalui metode yang kahs
islami, yang disebut dengan metode Ijtihad. Yang mana metode ijtihad merupakan
metode khas dari filsafat islam.
Membicarakan
ruang lingkup kajian Filsafat Pendidikan Islam tidak hanya semata-mata membahas
tentang bagaimana umat islam dalam beragama namun secara umum juga membahas
permasalahan yang lebih luas tentang kepentingan pendidikan yang menciptakan
‘sukses’ bagi umat islam di dunia hingga akhirat. Ini berarti bahwa pendidikan
‘umum’ dipandang sejajar dengan pendidikan agama jika hal tersebut bisa
menciptakan sistem pendidikan dan hasilnya yang bisa diharapkan oleh agama.
Sebagaimana pendapat Zuhairini bahwa metode dan sistem serta aliran filsafat
Islam dapat mempengaruhi bahkan mengarahkan jalan dan isi pendidikan di
kalangan umat islam.
Yang
membedakan antara Filsafat Pendidikan Islam dengan Filsafat Pendidikan pada
umumnya adalah bahwa di dalam Filsafat Pendidikan Islam, semua masalah
kependidikan tersebut selalu didasarkan pada ajaran Islam yang bersumberkan
al-Qur'an dan al-Hadits. Dengan kata lain bahwa kata Islam yang mengiringi kata
falsafat pendidikan ini menjadi sifat, yakni sifat dari filsafat pendidikan
tersebut. Dalam hubungan ini Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa Filsafat
Pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tak terbatas. Selanjutnya ia
mengomentari kata ‘radikal’ yang menjadi salah satu ciri berpikir filsafat
mengatakan bahwa pandangan ini keliru. Radikal bukan berarti tanpa batas. Tidak
ada di dunia ini disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan bahwa
seorang muslim yang telah menyakini isi keimanannya, akan mengetahui dimana
batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan, dan jika ia berfikir,
berfilsafat mensyukuri nikmat Allah, berarti ia radikal (konsekuen) dalam
batas-batas itu. Inilah yang menurut dia disebut sebagai sifat radikal dari
filsafat Islam.
Hal
esensial yang membedakan Filsafat Pendidikan Islam dengan Filsafat Pendidikan
serta filsafat lainnya adalah objek yang dijadikan sasaran untuk dianalisis.
Kemudian untuk mengetahui hakikat tentang pendidikan islam itu sendiri adalah
dengan melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar mengenai kegiatan
apa yang sesungguhnya dapat dinamakan dengan pendidikan versi Islam. Di sinilah
fungsi filsafat sebagai jalan menemukan metode dan kerangka analisis berbagai
permasalahan mengenai pendidikan Islam.
Penentuan identitas yang jelas pada pendidikan islam menjadi sebuah kebutuhan.
Pendidikan barat tidak secara terus-menerus bisa menyumbang bagi kemajuan
pendidikan islam karena pendidikan umum (barat) dipandang terlalu liberal dalam
memanusiakan manusia (peserta didik), padahal dalam agama islam sendiri
terdapat batas-batas tertentu, salah satu contohnya adalah ada batas hubungan
tertentu antara guru dengan murid sebagaimana yang terjadi pada cerita nabi
Musa dengan nabi Kidzir di dalam al Quran.
Sehingga
dapat penulis simpulkan bahwa sesungguhnya pendidikan islam harus memiliki
corak tersendiri dan tidak dibayang-bayangi oleh pendidikan umum. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Sutrisno yang menawarkan model PAI yang humanis religius.
Adapun jika terpaksa untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat maka
solusinya adalah bukan dengan cara mencampurkan antara pendidikan umum dengan
pendidikan islam seperti mencampurkan air dengan minyak. Namun melakukan
integrasi, integrasi dilakukan untuk tercapainya efisiensi seperti hemat
waktu serta biaya dan tercapainya
efektifitas sehingga siswa menjadi lebih fokus pada materi yang integral. Yang
mana siswa tidak akan lagi membedakan mana mata pelajaran/pendidikan agama dan
mana mata pelajaran/pendidikan non agama, namun semuanya terintegral menjadi
satu menjadi pendidikan berbasis agama.
KESIMPULAN
Berangkat dari rumusan
masalah yang telah ditetapkan sejak awal penulisan makalah ini dan dari
pembahasan materi di atas. Maka dapat penulis simpulkan beberapa temuan jawaban
dari permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwasanya berdasarkan dari pengertian
Filsafat Pendidikan Islam, perbedaan Filsafat Pendidikan Islam dengan
Pendidikan Umum, dan berdasarkan kebutuhan mendesak umat islam di era modern
sekarang ini untuk memodernisasikan sistem pendidikan islam maka secara konkrit
dipandang perlu untuk mengadakan pembaruan pendidikan islam. Hal ini karena
salah satu alasan pokonya adalah untuk memasukkan nilai-nilai agama Islam ke
dalam sistem pendidikan secara utuh, terutama pendidikan pada madrasah.
Pendidikan madrasah masa-masa sekarang ini mengalami perkembangan yang sangat
pesat, namun perkembangan tersebut masih dalam tahapan yang hanya menyentuh
simbol-simbol agama dan hanya bersifat normatif. Sehingga secara kasat mata
pendidikan madrasah mengalami perkembangan pesat namun pada segi esensi,
kurikulum, dan nilai guna masih belum nampak.
Dari penejelasan di
atas dapat kita ketahui bagaiman seharusnya tipologi Filsafat Pendidikan Islam dalam
upaya menghadapi arus gagasan Pendidikan Umum yang secara terus-menerus
mendahului gagasan Pendidikan Islam. Maka dari itu tipologi Filsafat Pendidikan
Islam harus segara menunjukkan jati diri yang jelas, yang memiliki ciri khas
sendiri, dan tidak selalu mengekor pada Pendidikan Umum. Di sisi lain
Pendidikan Islam secara fenomenologi harus mencari dasar penerapan pembelajaran
tersendiri yang tidak selalu mengekor pada hasil penelitian-penelitian barat.
Karena pendidikan barat dipandang terlalu liberal dalam memanusiakan manusia
(peserta didik), padahal dalam agama islam sendiri terdapat batas-batas
tertentu, salah satu contohnya adalah ada batas hubungan tertentu antara guru
dengan murid sebagaimana yang terjadi pada cerita nabi Musa dengan nabi Kidzir
di dalam al Quran.
DAFTAR RUJUKAN
Aziz,
Abd. Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah
Gagasan Membangung Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.
Muhaimin,
Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001.
Mulkhan,
Abdul Munir. Paradigma Intelektual
Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta:
Sipress, 1993.
Sutrisno, “Pendidikan Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik”
Makalah disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret
2012.