PENGAMBILAN
KEPUTUSAN GURU YANG BERORIENTASI PADA
KEBERAGAMAN SISWA DALAM KELAS
Oleh: A. Rifqi Amin
I. FENOMENA
Berikut
ini adalah paparan tentang peristiwa seorang guru dan pengelola pendidikan
(yayasan) yang tidak mengakomodir keberagaman latar belakang dan kondisi
kejiwaan siswa terjadi di Depok, tepatnya di SMP Budi Utomo. Siswi yang menjadi
korban penculikan dan pemerkosaan oleh teman fb barunya tersebut tidak
mendapatkan apa yang semestinya ia harus dapat selayaknya sebagai peserta didik
dan sebagai seorang anak yang masih harus mendapat bimbingan dan dorongan dari
orang yang lebih tua. Ibarat jatuh tertimpa tangga, siswi tersebut sebenarnya
adalah korban tindak pidana yang masih membutuhkan pengakuan dengan cara
diterima oleh semua kalangan sekolah untuk beraktivitas di sekolah. Namun
tampaknya ia malah dicampakan oleh pihak sekolah, dengan kata lain sekolah
hanya mau siswa yang baik-baik saja (keadaan normal) namun ketika statusnya
menjadi lain (dipandang negatif) siswa tersebut dibuang di tengah perjalanan.[1]
Perlakuan
tidak menyenagkan diterima oleh siswi yang berinisial ASS ini. Kenapa tidak
menyenangkan????? Coba anda bayangkan jika ini terjadi pada anak anda atau diri
anda sendiri. Ketika anak anda atau anda yang masih di bawah umur menjadi korban
pemerkosaan yang masih memiliki harapan dan masa depan panjang diputuskan untuk
tidak boleh meneruskan sekolah (dikeluarkan) begitu saja oleh pihak sekolah
dengan alasan mempermalukan nama sekolah. Penulis menganalisa bahwa pihak
sekolah tidak mengakomodir dan mengakui keberagaman sosio kultur siswa yang
terus mengalami perkembangan seiring perjalanan waktu. Dengan kata lain siswa
yang dipandang tidak seragam karena ‘mengotori’ tatanan mapan yang ada di
sekolah akan disingkirkan.
Kronologi
kejadian ini terjadi pada saat ASS mengikuti upacara bendara pada hari pertama
ia masuk sekolah setelah beberapa hari diculik dan diperkosa oleh pelaku yang
berprofesi sebagai sopir angkot (08/10/2012). Dalam forum upacara siswi
tersebut mendapatkan kekerasan psikis yang tentu penulis yakin peristiwa itu
akan ia ingat sampai mati. Betapa tidak??? bukannya kata tutur yang baik dan
kata-kata penyemangat yang ia terima, atau kata-kata yang bisa membuat seluruh
siswa dan guru memaklumi peristiwa yang dialami ASS tersebut dan mengajak untuk
mendukung dia secara moral. Namum ia malah menerima sindiran walaupun tidak
menyebutkan nama secara jelas, tapi perkataan pembina upacara tersebut sudah
bisa dipahami bahwa yang dimaksud dalam objek pembicaraan itu adalah ASS. Maka
tak pelak ASS menjadi pusat perhatian bagi teman-teman yang lain di saat
upacara berlangsung. Lebih parahnya setelah upacara selesai sang anak
diberitahu pihak sekolah untuk meng-sms ibunya memberitahukan untuk datang ke
sekolah. Setelah sang ibu datang bukannya
dukungan moral yang ia terima namun malah pemberitahuan bahwa sang anak
yaitu ASS dikeluarkan dari sekolah.[2]
Coba
anda bayangkan jika itu terjadi pada anda atau anak anda???? Dari tinjauan
agama manakah yang dosa? Apakah ASS yang dianggap telah mempermalukan nama
sekolah atau Oknum pengelola sekolah tersebut yang telah melakukan kekerasan
Psikis pada anak itu dengan dalih agar teman-teman lain tidak menirunya??? Di
referensi lain penulis memperoleh data bahwa dua hari kemudian setelah kasus
ini menyebar ke suluruh media massa nasional pihak sekolah dan pihak keluarga
korban mengadakan upaya mediasi untuk mencapai kesepakatan.[3]
Salah
satu contoh lain yang penulis pandang tidak bisa mengakomodir keberagaman
keadaan siswa adalah ketika penulis dulu
masih masa SMA. Salah satu guru agama Islam yang menjadi wali kelas di salah
satu kelas paralel melarang siswa kelas di bawah tanggung jawabnya tersebut
untuk mengikuti salah satu kegiatan ekstrakurikuler keagamaan Islam karena
dipandang ekstra tersebut tidak memiliki nilai-nilai yang sepaham dengannya.
Oknum guru tersebut mengancam jika salah satu siswa di bawah asuhannya tetap
ikut ekstra tersebut maka ia akan memberikan nilai mapel PAI yang diampunya dengan
nilai terendah sehingga kemungkinan besar tidak bisa naik kelas. Sebagai wali
kelas tentu Guru tersebut mempunyai wibawa dan kekuatan untuk ‘menginterfensi’
anak asuhnya.
Fenomena
lain juga terjadi pada Anna, seorang
pelajar yang menjadi subjek penelitian. Anna mengalami penurunan prestasi
belajar, tentu penurunan prestasi tersebut disebabkan karena dia belum
menemukan gaya belajar yang sesuai dengan dirinya. Setelah ditelusuri ternyata
Anna memiliki darah Meksiko, temuan ini menjadi dugaan bahwa ia lebih menyukai bekerja bersama orang lain
dari pada bekerja sendiri, mungkin dalam suatu kelompok belajar atau dalam
tugas-tugas yang menuntu kerjasama. Selain itu, Anna memiliki ketrampilan
membaca yang baik, hal ini mengindikasikan bahwa ia dapat belajar dengan efektif dari buku
teks dan dari materi-materi tertulis lainnya. Walaupun dua temuan beserta
analisisnya ini masih memerlukan pendalaman lebih lanjut, namun analisis ini
dapat menyumbang konsep untuk menggunakan strategi pembelajaran yang cocok bagi
Anna. Sehingga bisa tercapainya kefektifan belajar dalam kelas.[4]
II. TEMUAN PENELITIAN
Berdasarkan hasil sebuah penelitian lapangan
menunjukkan bahwa perlakuan atau aturan yang berbeda antara siswa atau kelompok
siswa akan menyebabkan tekanan psikologis pada siswa tersebut. Dan tentunya ini
akan menyebabkan tidak stabilnya kondisi sosial seluruh siswa di sekolah.
Sebagaimana dari hasil penelitian tentang pengawasan kebijakan sekolah mengenai
tunjangan makan siang dari program pemerintah bagi siswa tertentu di Sekolah
Menengah Atas. Yang mana siswa yang mengikuti program tunjangan tersebut diberi
tunjangan ‘makan siang’ di kantin sekolah dengan waktu dan cara-cara pemberian
sesuai ketentuan sekolah. Ketentuan yang harus dilakukan oleh para penerima
tunjangan tersebut adalah harus membuat barisan khusus ketika mengantri makanan
di kantin. Tak pelak maka para penerima tunjangan tersebut merasa risih karena
mereka mudah teridentifikasi dan dijuluki ‘barisan’ miskin di kantin. Sehingga
membuat mereka tak mau lagi makan di kantin.[5]
Tentu kebijakan dari sekolah
tersebut menurut penulis sangat diskrimintif dan bisa menyebabkan efek domino
bagi tercapainya tujuan proses pembelajaran. Sehingga seorang guru dan
pengambil kebijakan sekolah harus memiliki kepekaan/sensitif mengenai isu-isu
seperti ini yang telah berkembang di sekolah. Memahami kondisi psikologis siswa
tentung sangat penting, karena pada dasarnya setiap manusia tidak mau
dimarginalkan dan dipandang lebih rendah dari pada manusia lain.
Hasil beberapa penelitian lain juga
menunjukkan bahwa beberapa peneliti melakukan metaanalisis (analisis lanjut) tentang pendidikan
inklusif. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang bisa mengakomodir seluruh
keberagaman siswa tanpa memandang latar belakang apapun. Sehingga semua manusia
(siswa) dipandang sama. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale
(1980) terhadap 50 buah
penelitian,
Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13
buah penelitian
menunjukkan
bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun
sosial anak berkelainan
dan
teman sebayanya.[6]
Pada era modern sekarang ini para
pakar pendidikan dalam merancang pendidikan berangkat dari kondisi obyektif
subyek didik. Mereka meneliti dan mempelajari kondisi subyek didik secara
mendalam, kemudian melakukan analisis hal-hal apa saja yang diperlukan oleh
subyek didik bahkan melakukan diaknosis sampai ditemukan persoalan-persoalan
yang ada pada subyek didik. Dari temuan-temuan itu kemudian dirancang pendidikan
yang beroirentasi pada problem subjek didik. John P. Miller, misalnya, melakukan
penelitian terhadap subyek didik lebih dari tujuh tahun. Penelitian Miller
menemukan bahwa siswa mengalami keterasingan di sekolah. Keterasingan siswa di
sekolah ini menjadi pemicu munculnya berbagai penyimpangan siswa, seperti
tawuran, pergaulan bebas, putus sekolah, narkoba bahkan sampai bunuh diri.
Lebih lanjut Miller menemukan bahwa salah satu sebab utama siswa mengalami
keterasingan di sekolah adalah karena model pembelajaran yang melanggar
nilai-nilai kemanusiaan siswa. Salah satu bentuk pelanggaran nilai kemanusiaan
adalah melakukan diskriminasi terhadap siswa. Dari penelitian tersebut, kemudian
dirancang model pendidikan yang terkenal dengan judul 'Humanizing the Classroom, Models of Teaching in Affective
Education".[7]
III.
KEADAAN SEHARUSNYA
Setiap siswa memiliki perbedaan satu
sama lain, walaupun perbedaan antar siswa biasanya sangat sulit untuk
diidentifikasikan. Perbedaan tersebut mencakup emosi, laju pembelajaran, gaya
belajar, tingkat perkembangan, kemampuan, kecerdasan, bakat, perasaan dan sifat
akademis dan non akademis serta kebutuhannya. Di sisi lain Pembelajaran
merupakan proses konstruktif, artinya proses membangun tatatan yang belum mapan
menjadi lebih tertata dan tersistem. Dan juga Pembelajaran terjadi sangat baik
jika di dalam lingkungan positif, yaitu interaksi dan hubungan antar person
yang positif dimana siswa merasa dihargai, diperhatikan, dihormati dan diakui.[8]
Dengan kata lain Pembelajaran
merupakan proses alamiah yang sangat mendasar dari diri siswa yang tentu setiap
siswa akan merespon berbeda satu sama lain. Oleh karena itu para guru
diharapkan mampu memberikan strategi pengajaran yang sesuai dengan keunikan
mereka, seperti adanya perbedaan tingkat
kecerdasan dalam memahami suatu pelajaran. Maka strategi pengajarannya
seharusnya bisa mengakomodasi keberbedaan ini. Apabila hal ini dilakukan maka
akan memberikan kesempatan kepada para siswa terutama yang cenderung relatif
kurang untuk memaksimalkan motivasi, pembelajaran, dan prestasi mereka.[9]
Sesuai
dengan konstitusi negara yag tertuang dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003,
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.[10]
Berdasarkan pernyataan tersebut maka kita dapat mengambil benang merahnya bahwa
melalui pendidikanlah, semua peserta didik tanpa kecuali termasuk peserta didik
berkelainan (berkebutuhan khusus) dibentuk menjadi warganegara yang demokratis
dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai keanekaragaman dan
berpartisipasi dalam masyarakat yang juga beranekaragam. Dengan situasi kelas
yang beranekaragam maka akan bisa melatih siswa untuk hidup demokratis,
mandiri, dan terbiasa menghadapi kesulitan-kesulitan yang diperoleh dari
keberagaman kondisi kelas.
Di
sisi lain semua manusia Indonesia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang sama tidak membeda-bedakan satu sama lain, baik berbeda fasilitas maupun
kurikulumnya. Hal ini sudah diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat
1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab
III ayat 5 menyatakan ”bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh pendidikan”. Hal tersebut memperlihatkan bahwa semua anak (siswa)
termasuk normal dan anak berkebutuhan khusus berhak untuk memperoleh kesempatan
dan perlakuan yang sama dalam pendidikan.[11]
Hal ini juga tertuang dalam Undang-undang Sisdiknas nomo 20
Tahun 2003 BAB II Pasal 4 mengemukakan secara tersirat bahwa sekolah merupakan lembaga
yang diharapkan
mampu menjadi pesemaian benih-benih bagi kekuatan kehidupan masyarakat di
masa datang yang utuh, kokoh, dan rukun.
Pendidikan merupakan bagian dari proses pembudayaan nurani dan
pemerdekaan berpikir. Semuanya diarahkan pada upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia yang
beriman dan bertaqwa dan berbudi pekerti luhur, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[12]
Dari pembahasan di atas maka jika
dikaitkan dengan fenomena Kasus Perlakuan tidak mengenakan yang terjadi pada
ASS di depan forum Upacara maka sesungguhnya siswa tersebut masih mempunyai hak
yang sama dengan siswa lainnya untuk tetap beraktivitas sekolah sebagaimana
siswa-siswa lain tanpa ada “cap” negatif yang diberikan padanya oleh pihak
sekolah. Di sisi lain sebenarnya kasus korban ASS bisa dipakai alat kampanye
agar peserta didik lainnya tidak jadi korban seperti dia. Wakil dari Komnas perlindungan
Anak mengatakan bahwa "Anak ini punya hak atas pendidikan meski dia pelaku
dan korban. Apalagi sebagai korban, ASS punya hak untuk melanjutkan sekolah.
Fungsi sekolah melindungi bukan mengeluarkan," pungkasnya.[13]
IV.
IDENTIFIKASI MASALAH
Pembelajaran
atau belajar merupakan proses perubahan
tingkah laku yang disebabkan oleh respon pembelajar terhadap lingkungannya. Bagaimana
siswa akan cepat belajar jika suasa lingkungannya homogen? Bukankah lingkungan
juga ikut berperan dalam perubahan hasil belajar siswa? Perubahan diri
(terutama perubahan moral dan sosial) peserta didik akan berjalan cepat jika
siswa dihadapkan pada keberagaman di kelas. Dengan adanya keberagaman maka
pembelajaran di kelas tidak akan hanya menyentuh aspek ilmu pengetahuan saja
namun juga aspek moral, value, empati, dan melatih siswa untuk menggali potensi
yang ada pada dirinya serta potensi teman lainnya.
Jika
kita meninjau kembali pembahasan sebelumnya tentang FENOMENA yang dialami oleh
ASS sebagai korban perilaku pihak sekolah yang tidak bisa mengakomodir
keberagaman latar belakang siswa (ASS berlatar belakang Korban pemerkosaan)
maka penulis dapat mengidentifikasikan beberapa masalah dari fenomena tersebut.
Masalah yang terjadi pada ASS merupakan masalah yang bisa menyebabkan efek
traumatis mendalam karena ini terjadi pada ASS yang masih dalam fase masa
perkembangan remaja awal. Masalah lain adalah sikap dan keputusan dalam pihak
sekolah yang tidak mau bertanggung jawab terhadap ASS, seakan mau cuci tangan
dari permasalah yang dihadapi oleh ASS meskipun sebagain besar teman, orang
tuanya, serta tetangganya memberikan dukungan moral kepada ASS untuk pergi
sekolah, tentunya juga ASS sendiri masih memiliki semangat untuk masuk sekolah
lagi meskipun perlu waktu untuk menenangkan diri terlebih dahulu sebelum masuk
lagi.
Pihak sekolah kurang tanggap (peka) terhadap
isu-isu yang berkembang di masyarkat dewasa ini, salah satunya adalah isu
penculikan yang dilakukan oleh teman FB.
Seharusnya pihak sekolah melakukan antisipasi untuk mencegah hal
tersebut terjadi pada siswa-siwanya, misalnya melakukan bimbingan moral,
meningkatkan nilai spritualitas, dan membibing siswa untuk memanfaatkan
teknologi informasi dengan baik dan efektif.
Di sisi lain pihak sekolah juga harus selalu mengadakan pendekatan
kekeluargaan kepada wali murid, walaupun tetap menggunakan cara-cara
formalistik dalam proses pendekatan kepada meraka.
V. RUMUSAN MASALAH
Dari
identifikasi masalah dalam pembahasan sebelumnya maka penulis dapat merumuskan
beberapa masalah dari fenomena yang terjadi pada ASS, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Jenis keberagaman seperti apa yang
terjadi pada kasus Fenomena siswa yang berinisial ASS?
2.
Bagaimana tindakan guru untuk pengambil
keputusan dalam kelas sebagai bentuk mengakomodasi keberagaman dalam kelas
berdasarkan Fenomena siswa yang berinisial ASS?
VI.
LANDASAN TEORI
A. Psikologi
pendidikan
Psikologi
Pendidikan (educational psychologi)
adalah disiplin ilmu yang sistematis dalam mempelajari hakikat pembelajaran,
perkembangan peserta didik, motivasi, dan topik-topik yang terkait. Selain itu
Psikologi Pendidikan juga menerapkan hasil-hasil penelitiannya untuk
mengidentifikasi dan mengembangkan praktik-praktik intruksional yang efektif.[14] Dalam
kacamata psikoligi pendidikan Guru dipandang sebagai pakar mata pelajaran yang
diampu, sebagai tutor, sebagai konsultan, manajer perilaku, konselor, mediatro,
evaluator, dan sebagai fasilitator yang mana semua itu merupakan bukanlah suatu
profesi yang mudah.[15]
Psikologi
pendidikan merupakan kajian yang menggunakan metode ilmiah. Artinya guru
sebelum proses pengambilan keputusan di kelas memerlukan sebuah penelitiah
ilmiah terlebih dahulu kemudian menarik sebuah kesimpulan dari hasil penelitian
tersebut. [16]
B. Ruang
Lingkup Psikologi Pendidikan
Psikologi
pendidikan merupakan ilmu yang membahas tentang permasalahan-permasalah
mengenai terjadinya miskonsepsi, peran sumber daya dalam membantu guru untuk
membuat keputusan-keputusan, dan mempelajari prinsip-prinsip dasar yang dapat
memudahkan proses pembelajaran mengenai suatu topik tertentu. Oleh karena
peserta didik merupakan manusia yang sangat dinamis maka menuntut guru untuk
senantiasa memberbaiki dan mengembangkan pengetahuan serta ketrampilan agar
tidak tertinggal dengan peserta didik.[17]
Para
peneliti termasuk guru umumnya pada awal sering membuat spekulasi mengenai
mekanisme yang mendasari (seringkali tidak kasat mata) terjadinya proses
berfikir, belajar, berkembang, motivasi, dan sejumlah aspek lain yang terkait
dengan kinerja siswa dalam proses pembelajaran. Sehingga pada dasarnya mempelajari psikologi secara
praktek jauh lebih sulit karena sangat tidak mudah untuk mengindentifikasi apa
yang ada di ‘dalam’ diri siswa. Apalagi setiap apa yang ada di ‘dalam’ diri
siswa satu sama lain berbeda. Dengat kata lain melihat dan mengidenfitikasi
keberagaman yang dibalik tubuh siswa (keberagaman nonfisik) jauh lebih sulit
dari pada keberagaman tubuh siswa (keberagaman fisik).[18]
C. Guru
sebagai Pengambil Keputusan
Guru
adalah pengambil keputusan yang secara terus menerus memilih strategi yang
tepat untuk membatu siswa dalam belajar, berkembang, dan berprestasi. Faktanya
berdasarkan dua orang peneliti yaitu C. M. Clark & Peterson pada tahun 1986
memperkirakan bahwa para guru harus membuat keputusan yang penting dalam
mengajar setiap dua menit. Beberapa diantara sebagian besar keputusan tersebut
dapat memiliki dampak yang signifikan terhadapan pembelajaran, perkembangan,
dan pencapaian kesuksesan jangka panjang bagi siswa.[19] Dalam
proses pembelajaran efektif di kelas, seorang guru seharusnya tidak hanya fokus
pada bagaimana mampu dalam mempresentasikan topik dan mendemonstrasikan
ketrampilan sehingga peserta didik dapat memahami dan menguasai materi
tersebut. Namun ada faktor lain yang
perlu diperhatikan guru, yaitu bagaimana guru bisa menjadi perhatian peserta
didik, memotivasi peserta didik untuk sadar dan berminat dalam belajar, dan
juga guru harus menciptakan suasana pembelajaran yang rukun, produktif, serta
saling menghargai. Selain itu guru juga harus memiliki fungsi diferensial,
yaitu bisa menentukan kedudukan atau level peserta didik untuk belajar sesuai
dengan bakat minat dan kemampuan. Tentunya hal inilah yang akan menjadi
sumbangan bagi guru dalam mengambil keputusan dalam kelas.[20]
Dengan kata lain suasana kelas yang beragam merupakan suasana pembelajaran yang
sangat dinamis, terlebih lagi jika para siswanya berjumlah banyak dan bersifat
heterogen.
Dari
pembahasan di atas maka guru sebagai penentu kebijakan atau pengambil keputusan
di kelas harus memiliki sikap yang bisa mengakomodasi keberagaman latar
belakang para siswa, keberagaman ‘warna’ serta bentuk fisik peserta didik,
kognitifnya, dan perilaku unik yang dimiliki oleh peserta didik. Memang
ketrampilan mengajar yang efektif memerlukan waktu berposes dan latihan, selain
itu juga memerlukan pengetahuan wawasan guru mengenai proses pembelajaran
manusia pada umumnya, motivasi, tren
atau prediksi perkembangan, perbedaan individual, dan mempraktikkan instruksi
serta penilaian kinerja peserta didik secara efektif. Akan tetapi bagaimanapun
juga pengalaman guru dalam mengajar secara berangsur akan membuatnya semakin
lebih matang dan peka dalam menemukan perbedaan-perbedaan individu dalam kelas.[21]
Keputusan-keputusan
bijaksana yang diambil oleh guru tidaklah tercipta begitu saja tanpa ada sebuah
alasan yang bisa dipertanggung jawabkan. Beberapa keputusan yang akan diambil
oleh guru harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah (penelitian), pengetahuan
tentang strategi pembelajaran yang efektif, teori-teori yang sudah kokoh
tentang bagaimana anak belajar serta berkembang, dan asesmen secara simultan
tentang ketrampilan dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh tiap-tiap siswa.
Sehingga guru akan bisa membedakan siswa satu dengan siswa lain yang kemudian
ditindaklanjuti dengan mengakomodasi keberagaman dalam kelas.[22]
D. Mengakomodasi
Keberagaman dalam Kelas
Tugas
guru sangat berat, pernyataan ini tidak omong kosong belaka, bagaimana tidak?
Salah satu tugas guru adalah mentranformasikan hubungan-hubungan antar pribadi
siswa yang kadang salang bersahabat dan kadang tidak. Sehingga bagaimana kelas
menjadi komunitas pembelajaran yang kohesif, produktif, dan penuh perasaan
saling menghargai. Sealin itu proses mengajar yang efektif juga melibatkan
kemampuan guru dalam menentukan ‘posisi’ siswa dalam level pembelajaran sampai
tingkat mana, misalnya apa saja yang telah diketahui siswa, apa saja yang dapat
dilakukan siswa, ketrampilan sosial apa yang sudah dapat dilakukan oleh siswa dan
lain sebagaina.
Siswa
merupakan individu yang memiliki kekuatan, kelemahan, dan latar belakang yang
berbeda. Satu sama lain memiliki potensi yang berbeda. Inilah salah satu unsur
pembentuk keberagaman dalam kelas.
Beberapa keberagaman yang terjadi di kelas bisa dimungkinan terjadi
karena adanya perbedaan keompok (group
differences) misalnya perbedaan –perbedaan dalam hal jenis kelamin,
kelompok etnis, tngkat penghasilan keluarga, situasi lingkungan tempat tinggal,
dan sebagainya. Selain itu keberagaman bisa terjadi karena bersumber dari
perbedaan individu (individual
differences) misalnya perbedaan dalam intelegensi, kepribadian, kelincahan
fisik, dan sebagainya. Oleh karena itu guru harus mencermati kedua jenis
kebergaman tersebut ketika mengidentifikasi strategi-strategi yang diperuntukan
bagi setiap siswa.
Selain
dua jenis keberagaman di atas, ada sejumlah siswa yang sedemikian berbeda
dengan yang rekan-rekannya yang lain sehingga memerlukan adaptasi secara khusus
untuk membatu mereka memaksimalkan pembelajarn dan perkembangannya. Siswa
tersebut disebut sebagai siswa yang memiliki kebutuhan khusus (student with special needs), pada masa
sekarang ini siswa yang memiliki kebutuhan khusus ditempatkan pada kelas-kelas
umum. Praktek ini disebut sebagai pendidikan inklusi.
VII.
ANALISIS
Jika
kita meninjau tentang Pendididikan Agama Islam di sekolah selama ini kebanyakan
guru PAI terutama di Madrasah telah melakukan penyeragaman berfikir dengan
memfokuskan materi dalam satu titik, tanpa melibatkan peserta didik untuk
memberikan sumbangan pemikiran. Padahal Guru dalam melakukan proses
pembelajaran hendaknya berpanduan pada ‘sesuatu’ yang ada pada peserta didik,
baik peserta didik secara pribadi maupun kolektif satu kelas. Bukan perbanduan
pada materi ajar yang memaksakan peserta didik harus menerima doktrin tanpa
mengetahui esensi materi ajarnya. Karena pada dasarnya peserta didik sudah
memiliki modalitas yaitu berupa ‘doktrin’ dari keluarganya, baik doktrin yang
sengaja diberikan oleh orang tuanya, maupun doktrin yang diterima oleh peserta
didik melalui pengamatan tingkah laku keluarganya.
Di sisi
lain PAI pada lembaga pendidikan formal selama ini lebih menekankan pada aspek
normatif dari pada berorietasi pada peserta didik. Pendidik dalam merancang PAI
biasanya berorientasi mengejar materi pelajaran pada SK (standar kompetensi)
dan KD (kompetensi dasar) yang telah ditetapkan. Padahal peserta didik sebagai
manusia mempunyai nalar dan kesadaran (walaupun adakalnya peserta didik belum
mempu menjelaskan secara verbal pada orang lain) tentang apa yang peserta didik
lebih butuhkan[23].
Dengan kata lain, Proses pembelajaran PAI hendaknya lebih didasarkan pada
kebutuhan subjek didik dari pada secara normatif, karena peserta didik memiliki
latar belakang sosio-kultur dan madhab atau organisasi keagamaan berbeda-beda
yang telah ia bawa dari rumah.
Berdasarkan analisis penulis di
atas maka jika kita tinjau lebih lanjut hal tersebut akan sesuai dengan apa
yang ungkapan oleh Siti Barokah sebagai berikut:
Pelayanan pendidikan yang selama ini diberlakukan
seakan membentuk kotak-kotak pelayanan pendidikan, yang
secara psikhologis sangat merugikan peserta didik dalam
bersosialisasi, yang mustinya dalam peletakan dasar dalam
pembelajaran ini harus diberikan dengan suguhan-suguhan menyeluruh tentang
kehidupannyata, bahwa disekeliling kehidupannya ada kehidupan yang berbeda dari
dirinya, namun kenyataan yang sering ditemukan dalam dunia
pendidikan hanyalah keterbatasan-keterbatan yang tidak mampu
memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan
peserta didik khususnya perkembangan moralnya dalam menuju
kedewasaannya, karena dalam masa pembelajaran, peserta
didik/remaja sekolah adalah masa untuk belajar menjadi orang
dewasa, bukan untuk menjadi remaja yang sukses (Elias, Maurice
J.et all, 2003: 33)[24]
Untuk
mengantisipasi terjadinya dampak yang lebih jauh maka sistem pendidikan multikultural sangat penting diterapkan,
hal ini guna
meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah
yang sekarang sedang hangat-hangatnya jadi sorotan media masa. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset
(pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Selain
itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran
peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras,
dan antargolongan. Di sisi lain pendidikan merupakan social production,
menyiapkan generasi muda untuk mengambil alih peran pendahulunya. Di samping
mempelajari hal-hal yang bersifat akademis, pembekalan kepribadian penting
artinya untuk menghadapi lingkungan dalam situasi apapun. Pendidikan diarahkan
untuk memekarkan eksistensi kemanusiaan dan bukan sekadar agar manusia dapat
hidup secara biologis meteriil semata.[25]
Masalah
yang terjadi pada ASS merupakan bukti ketidak seriusan sekolah dalam mendidik
siswa. Karena siswa tidak mampu dan tidak mau memfasilitasi, mengakui, serta
mengidentifikasi keberagaman yang terjadi di sekolah. Sehingga hal ini juga
tentu akan berimbas pada seluruh civitas sekolah, terutama pada guru sebagai
ujung tombak pembelajara. Jika pihak pengelola sekolah (pengambil keputusan)
memberi contoh yang tidak baik seperti fenomena tersebut pada guru serta siswa
maka tentu iklim pembelajaran di sekolah tersebut akan terkesan kaku dan
diktator.
Padahal
berdasarkan hukum indonesia setiap warga negara Indonesia berhak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, satu sama lain tidak boleh dibedakan. Tentu
juga bagi ASS, dia adalah seorang anak yang masih belum bisa mengambil
keputusan secara rasional seperti halnya orang dewasa. Oleh karena itu ia masih
perlu bimbingan, seandainya ia tidak mendapatkan konseling dari pihak sekolah
maka bisa dimungkinakan dia akan menjadi tambah merasa bersalah pada diri
sendiri. Menyesali dan menghina diri tanpa mengembil pelajaran positif dibalik
peristiwa yang telah dilaluinya.
Oleh
karena itu tidaklah pantas jika pihak sekolah mengeluarkan ASS. Seharusnya
sekolah memfasilitasi ‘kejiwaan’ siswa yang mengalami perubahan diri sehingga
menimbulkan perkembangan keberagaman. Hal ini juga bisa terjadi pada siswa yang
mengalami trauma-trauma lain, misalkan kecelakaan sehingga mengakibatkan
kecatatan. Siswa yang pada awalnya memiliki keutuhan fisik, namun mengalami
perubahan fisik sehingga menjadi cacat. Apakah sekolah akan mengeluarkan siswa
yang cacat tersebut? Karena dipandang siswa tersebut sudah tidak ‘seragam’ lagi
dengan siswa yang lainnya sehingga ditakutkan akan meperhambat/mempersulit
proses pembelajaran. Bagaimanapun juga tugas sekolah adalah mendidik siswa
bukan semata-mata menakut-nakuti dan memberi ancaman pada siswa.
VIII. SOLUSI
Jika kita tinjau lebih lanjut
tentang feonemen yang terjadi pada ASS maka dapat penulis temukan bahwa jenis
keberagaman yang dapat didentifikasikan adalah jenis keberagaman non fisik,
artinya secara fisik hampir dipastikan ASS tidak mengalami perubahan (kecuali
alat kelaminnya yang mengalami robek akibat pemerkosaan). ASS tentu mengalami
perubahan non fisik (psikis), hal ini bisa terjadi karena dua penyebab utama
yang pertama adalah akibat diperkosa, dan yang kedua adalah akibat kekerasan
psikis yang diterimanya di depan umum (forum upacara bendera). Kedua hal
tersebut tentu menyebabkan tekanan jiwa tersendiri bagi ASS, sehingga walaupun
ASS diterima kembali di sekolah akan membutuhkan penanganan khusus. Dan gurupun
juga akan mengubah strategi pembelajaran, atau lebih spesifik pengambilan
keputusan guru di kelas ASS bisa berubah drastis dari rancangan awal.
Pengambilan keputusan guru dalam
kelas ASS membutuhkan langkah
operasional yang hati-hati, bagaimana seorang guru tidak terlalu perhatian
(fokus) pada ASS dan juga tidak ‘bersandiwara’ seakan kasus ASS tidak pernah
ada. Guru juga harus membuat suasana kelas lebih ceria, hal ini digunakan untuk
menanggulangi efek domino dalam kelas akibat peristiwa yang di alami ASS. Efek
domino seperti apa yang ditakutkan? Bisa
saja ASS akan mendapatkan perlakuan berbeda dari teman-temannya dari
sebelumnya. Langkah selanjutnya setelah beberapa saat (diperkirakan isu tentang
peristiwa ASS di sekolah sedikit mereda) guru harus melakukan strategi
pembelajaran yang bisa mengakomodir keberagaman siswa, contohnya mengadakan
bermain peran yang mana siswa memiliki peran masing-masing satu sama lain
memiliki perbedaan yang mencolok, kemudian beberapa siswa tersebut diberi beberapa
masalah yang harus diselesaikan di tengah perbedaan tersebut. Sehingga
diupayakan pengambilan keputusan guru di kelas bisa terciptanya proses
pembelajaran yang efektif.
DAFTAR
RUJUKAN
Barokah, Siti. “Moralitas Peserta Didik pada Pendidikan Inklusif (Studi
Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang).” Tesis,
IAIN Walisongo, Semarang, 2008.
Efendi, Anwar. “Sekolah sebagai Tempat
Persemaian Nilai Multikulturalisme,” FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Ormrod, Jeanne Ellis. “Psikologi Pendidikan: Membantu
Siswa Tumbuh dan Berkembang Jilid I,” dalam Educational Psychology Developing
Learners, ed. Wahyu Indianti, dkk. Jakarta: Erlangga, 2008.
Prihandoko, Gatot. “observasi kelas “the learners – learner
level” Strategi pengajaran guru dalam mengakomodasi keberagaman siswa dengan
tingkat kecerdasan yang berbeda (Sebuah Studi Kasus di SD Kelas 2 – “A”
School, Bumi
Serpong Damai – Tangerang Selatan).” Laporan Penelitian, Universitas Pelita
Harapan, Jakarta, 2010.
Santrock, John W. “Psikologi Pendidikan,” dalam
Educational Psychology, ed. Diana Angelica. Jakarta: Salemba Humanika, 2009.
Sutrisno,
“Pendidikan Agama Islam Berorientasi
pada Problem Subyek Didik” Makalah disajikan dalam Seminar Pasca Sarjana STAIN
Kediri, Kediri, 15 Maret 2012.
Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
[1]http://id.berita.yahoo.com/korban-pemerkosaan-teman-facebook-tak-bisa-sekolah-074259749.html diakses pada tanggal 11 Oktober
2012.
[2]
ibid
[3]http://www.beritasatu.com/megapolitan/76379-korban-penculikan-perkosaan-diusir-dari-sekolah.html diakses pada tanggal 11 Oktober
2012.
[4]Jeanne Ellis Ormrod “Psikologi
Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang Jilid I,” dalam Educational
Psychology Developing Learners, ed. Wahyu Indianti, dkk. (Jakarta: Erlangga,
2008), 17.
[5]John
W. Santrock. “Psikologi Pendidikan,” dalam Educational Psychology, ed. Diana
Angelica. (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), 209-210.
[6]Siti
Barokah, “Moralitas Peserta Didik pada Pendidikan Inklusif (Studi Kasus pada
Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang),” (Tesis, IAIN Walisongo, Semarang,
2008), 70-71.
[7]Sutrisno, “Pendidikan
Agama Islam Berorientasi pada Problem Subyek Didik” Makalah disajikan dalam
Seminar Pasca Sarjana STAIN Kediri, Kediri, 15 Maret 2012, 1.
[8]Gatot
Prihandoko, “observasi
kelas “the learners – learner level” Strategi pengajaran guru dalam
mengakomodasi keberagaman siswa dengan tingkat kecerdasan yang berbeda (Sebuah
Studi Kasus di SD Kelas 2 – “A” School,
Bumi Serpong Damai – Tangerang Selatan),” (Laporan Penelitian, Universitas Pelita
Harapan, Jakarta, 2010), 6.
[10]Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
[12]Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
[13]http://www.beritasatu.com/megapolitan/76379-korban-penculikan-perkosaan-diusir-dari-sekolah.html diakses pada tanggal 11 Oktober
2012
[14]Ormrod “Psikologi Pendidikan:
Membantu, 4.
[15]
Ibid., 6.
[16]
Ibid., 10.
[17]Ibid.,
4.
[18]Ibid., 14.
[19]Ormrod “Psikologi Pendidikan:
Membantu, 6.
[20]Ibid.,
3.
[21]Ibid.
[22]Ormrod “Psikologi Pendidikan:
Membantu, 6.
[24]Siti
Barokah, “Moralitas Peserta Didik pada Pendidikan Inklusif (Studi Kasus pada
Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati Semarang),” (Tesis, IAIN Walisongo, Semarang,
2008), 71.
[25]Anwar Efendi, “Sekolah sebagai
Tempat Persemaian Nilai Multikulturalisme,” FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "PENGAMBILAN KEPUTUSAN GURU YANG BERORIENTASI PADA KEBERAGAMAN SISWA DALAM KELAS "
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*