Oleh: Samsul Huda
(Mahasiswa Program Pascasarjana STAIN Kediri)
foto Samsul Huda. Sumber foto dari: facebook
PENDAHULUAN
Pendidikan Islam sudah
berlangsung di Indonesia sejak lama. Dalam definisi yang agak longgar,
pendidikan Islam bisa dikatakan sudah berlangsung sejak penetrasinya Islam ke
teritorial ini. Hanya saja kegiatan pendidikan Islam baru dianggap fenomenal
dan mendapat perhatian serius dari para historian pada fase jayanya
kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam eksistensi
dan maju mundurnya aktivitas pendidikan Islam sepenuhnya tergantung pada
struktur dan perhatian yang diberikan kerajaan kepadanya. Namun demikian, dalam
kenyataan di lapangan sangat terlihat jelas bahwa pendidikan Islam
memperoleh support yang relatif baik dari para raja dan sultan
muslim. Hal ini terbukti dengan jumlah saintis muslim dan literatur yang mereka
tinggalkan sebagai khazanah klasik Islam Nusantara (Braginsky, 1998). Para
saintis Nusantara bahkan diketahui telah membangun scientific network yang
berwatak kosmopolitan, melibatkan pusat-pusat kegiatan ilmiah terkemuka di
dunia Islam.[1]
PEMBAHASAN
- Kelahiran
Persis
Tampilnya jam’iyyah Persatuan Islam
(Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah
memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir
sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam
kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang
berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik,
rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan
kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian
kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya,
melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indinesia
untuk melakukan pembaharuan Islam. Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya
suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin
oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah,
berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat
kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan
karateristik yang khas. [2]
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”
- Kepemimpinan
Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama
(1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad
Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa
penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan
ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945),
ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis
bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang.
Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan, Persis mulai
melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan
selama pendudukan Jepang. Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis
dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari
sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin
Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada
pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya
mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden
Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideologi
Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).[3]
Setelah berakhirnya periode
kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh
K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal
dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran
keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah,
Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman
dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien
(1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada
eksponen organisasi otonom kepemudaannya (Pemuda Persis). Pada masa ini
terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul
dengan isu-isu kontrofersial yang bersifat gebrakan shock therapy dan pada masa
ini pula Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif
dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.[4]
- Tujuan
dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis
ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai
macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum,
tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah
(pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai
aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam
secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah,
Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai
dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. Dari pesantren
Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul
Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan
berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam
(1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa
(1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah
Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda, serta berbagai majalah yang
diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan
rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di
daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari
cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta
masyarakat luas.
- Perkembangan
Organisasi
Pada masa kini Persis berjuang
menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan
kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan-persoalan ibadah
dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan
oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian
pemikiran keIslaman.
Sebagai upaya untuk mewujudkan
tujuan tersebut maka timbul kiat-kiat para tokoh dan pimpinan mengadakan
kegiatan-kegiatan berikut:[5]
- Bidang
Publikasi dan Jurnalistik
Dalam berbagai kesempatan, Persis
selalu menggunakan publikasi dan jurnalistik untuk menyebarkan
pemikiran-pemikirannya. Upaya ini dimaksudkan agar masyarakat luas dapat
memahami secara tepat kedudukan Persis sebagai organisasi sosial keagamaan dengan
tugas mendidik masyarakat Islam sesuai dengan dasar-dasar Al-Qur'an dan As
Sunnah. Untuk kepentingan ini, Persis membuat majalah yang bernama Pembela
Islam. Adapun latar belakang terbitnya majalah ini dimuat dalam edisi
perdananya sebagaimana ditulis oleh Ajip Rosyidi.
"Maksud kami ialah akan membela
Islam secara sabar dan sopan, tetapi kalau perlu dengan secara apa saja, kita
akan mengatakan hak dengan beralasan Al-Qur an dan al-Hadits. Saudara-saudara
kami yang Islam, harap memperingatkan kami jikalau kami keluar dari garis
Al-Qur an dan As Sunnah, sebagaimana kami mengatakan begitu jikalau
perbuatan-perbuatan saudara-saudara kita itu bersalahan dengan Islam sejati.
Terhadap kaum-kaum yang tidak seagama dengan kami, kami suka sekali bertukar
pikiran dengan cara yang bijaksana; kami menjawab sekalian pertanyaan yang
bersangkutan dengan agama Islam, yaitu: tidak saja mereka yang hendak
merobohkan Islam, tetapi mereka yang mencaci, menghina agama junjungan
kita Muhammad saw., kita mengambil sikap lelaki dengan artian yang
seluas-luasnya. Selama nyawa ada di badan, kita tidak akan berhenti bekerja
memerangi dan memusnahkan mereka itu. Ketahuilah bahwa musuh yang berbahaya
sekali ialah mereka yang menamakan dirinya Islam, tetapi bukan sebenarnya
Islam."
M. Natsir memanfaatkan kesempatan
emas untuk memberikan konstribusi pemikirannya melalui majalah Pembela Islam.
Di dalam majalah ini, M. Natsir mencurahkan pemikirannya dan mendapat
tanggapan dari rohaniawan selain Islam. Dengan pemikirannya yang dituangkan
dalam Pembela Islam, ternyata mengundang pro dan kontra, baik yang datang dari
dalam tubuh umat Islam sendiri maupun dari kalangan masyarakat luas. Hal ini
adalah lumrah dan wajar-wajar saja, mengingat misi agama yang dikembangkan oleh
Persis itu memang radikal. sehingga kesiapan masyarakat termasuk para
intelktualnya tentunya masih perlu penyesuaian dengan apa yang dikembangkan
oleh Persis tersebut. Syafiq A. Mughni menulis bukunya, Hassan Bandung
Pemikiran Islam Radikal yang menguraikan itu. Pemikiran yang tertuang didalam
buku tersebut, termasuk tulisan M. Natsir, memang sepintas telihat radikal
dalam arti yang positif. Karenanya, bisa dipahami mengapa Pembela Islam dengan
pemikiran M. Natsir di dalamnya, dikenal radikal pula.[6]
Disamping Pembela Islam, Persis
dengan Ahmad Hassan sebagai penyandang dana, juga mnerbitkan majalah Al-Fatwa
(1933-1935) yang mebicarakan masalah masalah agama semata tanpa ada tendensi
politik menentang pihak-pihak bukan Islam. Al Lisan (1935-1942) At Taqwa
(1937-1941), Soal-Jawab (1931-1940) yang mebicarakan dan melaporkan masalah
agama dan perdebatan yang diadakan oleh Persis dengan pihak lain serta jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh para pembaca. Melalui publikasi inilah
menurut Howard Federspiel, Persis menjadi dikenal oleh masyarakat Islam
Indonesia.
- Bidang
Tabligh – Dakwah
Untuk mencapai tujuan yang telah
digariskan, Persis sejak didirikan telah melaksanakan dakwah terhadap
masyarakat kecil, terutama anggota dan simpatisan serta masyarakat banyak.
Dakwah ini digelar setiap Minggu, Kamis malam, atau Jumat di tempat-tempat yang
telah ditentukan dengan mubaligh- mubaligh yang telah ditentukan pula. Setiap
bulan, jadwal tablig diatur dan materinya dimuat dalam majalah Pembela Islam
dan Al Lisan. Dalam kesempatan ini, mubalig menjelaskan ibadah-ibadah yang
berdasarkan kepada Al-Qur'an dan hadits, serta ibadah-ibadah yang tidak ada
dasarnya dalam kedua sumber hukum Islam itu, sehingga harus dijauhkan.
Disamping itu, sejak tahun 1927, Persis mengadakan grup-grup diskusi yang
dipelopori M. Natsir dalam perkumpulan JIB (Jong Islamieten Bond) Bandung. Ia
dianggap telah mempunyai pengetahuan luas tentang agama Islam sehingga ia
dimasukkan ke dalam anggota lembaga inti, Kern-lichaam, yang harus memberi
ceramah dan bimbingan bagi para anggota yang masih dangkal pengetahuan
dan kesadarannya tentang agama Islam.[7]
Tampaknya, kegiatan dakwah melalui
bidang tabligh ini dapat dikatakan sebagai tombak Persis yang diatur secara
serius dan digerakkan secara sungguh-sungguh sehingga hasilnya dapat dirasakan
secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini sesuai dengan laporan
pendirinya, Haji Zam Zam, pada kongres Persis tahun 1938 di Bogor, Beliau
mengatakan:
" Adapun pekerjaan yang sudah
terlebih dahulu kita lakukan ialah tabligh, menyampaikan seruan Nabi Muhammad
Al-Qur an dan As Sunnah saw. kepada umat Islam di Negeri kita ini, memberi ajaran
Islam sejati dari bermacam-macam serangan yang menimpanya, baik dari luar
maupun dari dalam. Mubaligh kita dikirim dari satu cabang ke cabang lain atau
ke tempat lain yang belum ada cabangnya"
Haji Zam Zam memang benar-benar
memberikan perhatian terhadap perkembangan Persis sehingga tidaklah heran kalau
di saat-saat berdirinya Persis menjadi cemoohan masyarakat. tetapi akhirnya
dapat diterima sebagaimana ormas-ormas Islam yang lain. Hanya saja, Persis ini
tidak sebesar NU dan Muhammadiyah yang banyak pengikut dan amal usahanya dalam
berbagai bidang sosial-keagamaan. Keberadaan Persis dengan segala amal usahanya
diakui oleh semua pihak termasuk tokoh-tokoh Masumi seperti Moehammad Roem.
Dalam satu pidatonya yang berjudul
Persatuan Islam, Moehammad Roem mengatakan:
" Kalau saya katakan bahwa
Persatuan Islam mempunyai riwayat sudah setengah abad, maka jelasnya bahwa
Persatuan Islam didirikan tanggal 12 September 1923. Akan tetapi, salah seorang
pendirinya, yaitu Haji Zam Zam, pada tahun 1910 sudah menjadi guru sekolah
agama Darul Muta'allimin di Bandung. Sebelum itu, ia sudah bermukim
selama tiga setengah tahun di tanah suci untuk mempelajari ilmu agama Islam.
Saya berkenalan dengan Haji Zam Zam di Kongres Jong Islamieten Bond di Bandung
1928. Di kalangan pemuda Islam Bandung, ia terkenal sebagai seorang mubaligh
dan usahawan yang berhasil dan senantiasa siap sedia membantu JIB dengan apa
yang dimilikinya, berupa kebendaan dan pengetahuan tentang Islam. Orangnya agak
gemuk, tidak besar atau tinggi, dengan wajah bersih yang senantiasa senyum,
Orang kedua yang saya berbahagia masih mengalami dalam hidup saya adalah Bapak
Ahmad Hassan, di tempat ini sesudah tanah air kita merdeka, ayah dari Ustadz A.
Kadir Hassan yang sekarang memimpin Pesantren Persatuan Islam. Orang yang saya
tidak berbahagia pernah berkenalan ialah Haji Muhammad Yunus."
Federspiel, setelah mempelajari
sepak terjang Persis selama 45 tahun, mengatakan:[8]
"Persatuan Islam sangat penting
karena ia sudah berusaha memberi pola bagi masyarakat Islam, apakah sebenarnya
Islam itu. Apakah dasar-dasar pokok dari agama itu, dan bagaimana seorang
muslim harus mengatur kehidupannya. Dalam penyajian tentang hal ini, Persatuan
Islam mengelak memberi konsep yang remang-remang atau dalam garis-garis besar.
Ini adalah suatu hal yang tidak biasa di Indonesia, yaitu menganggap cara hidup
menurut agama dengan tegas dan teliti. Anggota-anggotanya menentukan sikapnya
yang tegas terhadap kebudayaan Indonesia Tradisional, terhadap
perkembangan-perkembangan zaman yang berlangsung dalam abad XX, terhadap
kebudayaaan Barat dan terhadap pemikiran dan praktik orang Islam yang
tradisional..."
Meskipun Persis sebagai penggerak tidak
pernah besar, tidak mempunyai anggota sampai ratusan ribu atau berjuta-juta,
tetapi pikiran-pikiran yang dilancarkannya dengan tegas tidak separo-separo,
menggerakkan banyak orang. Terbitan-terbitannya, baik dalam bentuk brosur,
majalah, dan buku-buku, mencapai kalangan lebih luas dan lebih besar dari
batas-batas anggotanya. Pikirannya yang mencapai kalangan yang sangat luas,
bersifat merangsang, menggugah, malah menantang untuk menyambutnya. Orang
merasa terpaksa menanggapi dan menyatakan setuju atau tidak terhadap apa yang
dikemukakan oleh Persis. Kalau tidak setuju, orang harus mencari alasan dan
mengatakan mengapa tidak setuju. Persis adalah gerakan yang mengolah otak dan
fikiran, salah satu karunia Tuhan yang paling berharga bagi manusia. Akal dan
pikiran memerlukan lisan, sarana komunikasi yang penting dari manusia.
Memang sepintas lalu sepak terjang
Persis mengingatkan kita pada majalah Pembela Islam, suara komunikasi dengan
seluruh masyarakat di masa tahun 1920-an dan 1930-an. Nama majalah itu tepat
sekali untuk zamannya, Islam perlu dibela karena mendapat serangan
bertubi-tubi, terutama dari dunia Barat yang orangnya banyak berkeliaran di
tanah air. Termasuk mereka yang mendapat pelajaran dan pengaruh dari dunia
Barat itu adalah kalangan terpelajar bangsa Indonesia sendiri. Di masyarakat
kita di tahun 1920-an itu, cukup kesempatan untuk membela agama Islam. Karena
serangan itu bertubi-tubi maka pengaruh pembela-pembela Islam seolah-olah
tumbuh menjadi pembela-pembela yang cakap dan berpengalaman, Serangan ilmiah
dijawab dengan pembelaan ilmiah.[9]
Sasaran Pembela Islam tidak saja
ditujukan kepada dunia Barat yang terpelajar, tetapi juga terhadap
pengertian-pengertian atau kebiasaan-kebiasaan yang salah menurut penglihatan
pembela Islam. Di sini, sebenarnya tidak membela, tetapi menyerang
pengertian-pengertian yang salah. Caranya sering tajam dan tegas seperti sudah
menjadi kebiasaan di Persis.Yang terkena serangan itu tentunya merasa sakit.
Ada kalanya Persis mendapat kritik bahwa cara pemimpin-pemimpinnya memperbaiki
itu terlalu tajam sehingga menyakiti hati orang. Dalam pada itu, kita
mengetahui perkataan yang menyebutkan bahwa kebenaran itu memang sering terasa
pahit; sedangkan membela dengan cara menyerang adalah sesuai dengan ilmu
militer, yaitu pembelaan yang paling baik adalah dengan menyerang. Akan tetapi,
akibat yang abadi dari penulisan di majalah Pembela Islam adalah bahwa
pembaca-pembacanya dirangsang untuk memikirkan lebih saksama akan ajaran-ajaran
Islam.
" Saya (Moh. Roem) berbahagia
dapat mengenal golongan muda dari Persis, generasi kedua setelah
pendiri-pendirinya, yang sekarang usianya sudah tua seperti saya, mendekati 70
tahun. Ada yang masih hidup (sewaktu pidato ini diucapkan) seperti M. Natsir
dan Fachruddin al-Khairi, dan yang sudah tidak ada adalah Sabirin dan Isa
Anshary. Di waktu mudanya, mereka itu mempunyai pena yang tajam, berbicara
tegas, dan melihat persoalan dengan pendekatan langsung. Yang masih hidup itu
sekarang sudah lebih matang. Karena itu, mungkin agak lain dengan waktu mereka
masih muda, dengan tetap teguh kepada cita-citanya."
Di tahun 1920, bangsa kita dengan
sadar dan tekun memakai bahasa melayu sebagai bahasa sendiri, sehingga diadakan
Sumpah Pemuda tahun 1928. Persiapan untuk itu sudah berlangsung puluhan tahun.
Sehubungan dengan ini, dalam ikut mengembangkan bahasa Melayu, Persis telah
memberikan darma bakti yang tidak sedikit, terutama bahasa yang ditulis oleh
Persis. Kalau dilihat keanggotaannya, Persis bukan gerakan yang besar, tetapi
kalau dilihat apa yang ditulis dan diterbitkan barangkali Persislah yang paling
besar, setidaknya yang paling rajin. Brosur dan Buku, Persis, terutama dari A.
Hassan, M. Natsir, Sabirin dan lain-lain, sudah menulis di majalah dan
penerbitan lainnya, tentang berbagai persoalan dengan menggunakan bahasa
Indonesia. A. Hassan mulai menulis tafsir Al-Qur an pada bulan Juli 1928, empat
bulan sebelum Sumpah Pemuda. Tulisan tulisan A. Hassan ini mempunyai ciri –ciri
khas.
Kalau Rendra sebagai penyair merasa
bersyukur karena bangsa Indoonesia mempunyai bahasa sendiri maka ia menekankan
keindahan bahasa. Akan tetapi, A. Hassan yang menafsirkan Al Qur an dan
menerangkan sebagai ajaran, dalam bahasannya yang menyangkut hukum, diutamakan
tidak mencari keindahan, melainkan kejelasan, ketertiban dan ketegasan. Agar
hukum benar-benar dimengerti maka janganlah dipakai kata-kata yang
remang-remang, agar yang membaca mengetahui apa yang dikehendaki oleh hukum.
Begitulah ciri-ciri dari tulisan pemimpin-pemimpin Persis. Buku Tanya Jawab
yang mengalami cetak berulang-ulang, tentu mengutamakan pemberian jawaban yang
terang dan tegas. Kebiasaan ini sudah berjalan seperempat abad, sebelum bangsa
Insonesia benar-benar memerlukan pemakaian bahasa untuk kepentingan hukum
sebagai negara yang merdeka. Saya pikir, dalam bidang ini, Persis sudah
berperan dalam mengembangkan bahasa nasional.
Sebagaimana diketahui, dalam pidato
Mochamamad Roem tersebut, nama M. Natsir disebut dua kali dengan kegiatan dan
fungsi yang berbeda dalam Persis, Pertama, M. Nastsir disebut sebagai generasi
kedua sesudah pendiri-pendiri Persis, pemilik pena yang tajam, berbicara tegas
terhadap persoalan-persoalan yang mengyangkut agama Islam. Pada sisi ini, M.
Natsir di mata Mochammad Roem adalah sebagai generasi penerus Persis dengan kemampuannya
sebagai jurnalis dan mubalig yang andal. Kedua, M. Natsir disebut sebagai salah
satu diantara pemimpin-pemimpin Persis yang secara organisatoris mempunyai
andil yang besar terhadap Persis dan Dakwah Islam secara keseluruhan. Hal ini
berarti peran dan fungsi yang dilakukan oleh M. Natsir dalam Persis diakui
sebagai satu asset nasional Indonesia. Secara langsung atau tidak, tulisan M.
Natsir dan kawan-kawan dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam majalah
Pembela Islam itu, ikut membangkitkan bangsa Indonesia menggunakan
bahasanya sendiri. Karenanya bagaimanapun juga dalam peristiwa Sumpah Pemuda
tahun 1928, M. Natsir dan kawan-kawan bersama Persis yang mereka pimpin itu
mempunyai jasa terhadap bangsa Indonesia.[10]
- Bidang
Pendidikan
Selain bidang dakwah (tablig),
Persis juga menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana dan wahana bagi
tercapainya tujuan Persis, Pada tahun 1930, di Bandung diselenggarakan
pertemuaan antara Persis dengan tokoh umat Islam yang menaruh perhatian
terhadap pendidikan generasi muda Islam. Pertemuan tersebut telah menghasilkan
satu keputusan untuk mendirikan sebuah yayasan pendidikan Islam, berusaha
memadukan dan mengembangkan pelajaran dan pengetahuan modern dengan pendidikan
dan pengajaran Islam dalam arti yang seluas-luasnya. Program yang telah
disetujui dalam pertemuan tersebut adalah sebagai berikut :[11]
a.
Memenuhi kekurangan pelajaran bagi
generasi muda mengingat mereka haus sekali terhadap pengetahuan modern dan
sesusai pula dengan penghematan pemerintah dalam pendidikan
b.
Mengatur pendidikan dan pengajaran
generasi muda dengan berdasarkan kepada jiwa Islam dan mempraktikannya secara
lebih rapi
c.
Mengatur dan menjaga pendidikan
generasi muda agar mereka tidak bergantung kepada gaji dan honor setelah keluar
dari sekolah dan dapat bekerja dan percaya kepada kemampuan sendiri.
Untuk mencapai tujuan itu, usaha
yang dilakukan ialah mendirikan sekolah-sekolah seperti Taman Kanak-kanak, HIS,
MULO, pertukangan dan perdagangan, kursus kursus, dan ceramah-ceramah.
Pada tahun 1930, salah seorang
anggota yang bernama A.A. Banama mendirikan sekolah yang diberi nama "
Pendidikan Islam". Sekolah tersebut kemudian dipimpin oleh M. Natsir. Dua
tahun kemudian (tahun 1932), Persis mendirikan Kweekscshool di Bandung,
kemudian di beberapa daerah luar kota. Bagi Persis, keberadaan pendidikan sudah
tentu mengikutsertakan M. Natsir di dalamnya, apakah sebagai pemrakarsa ataukah
sebagai pengelola. Hal tersebut mengingat bahwa M. Natsir termasuk salah satu
anggota aktif Persis yang dalam momen-momen tertentu mengikuti A. Hassan untuk
kepentingan kegiatan Persis, Karenanya, bukan merupakan satu hal yang mustahil
bahwa suksesnya Persis dalam bidang pendidikan adalah karena jasa M. Natsir
Juga. Dengan pengertian lain, Persis dalam mendayagunakan pendidikan sebagai
salah satu wahana dakwah Islamiyah, tidak bisa dilepaskan dari peranan M.
Natsir dalam pendidikan tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Abdullah
Puar:
"Motivasi M. Natsir terjun ke
lapangan pendidikan yang dilaksanakan oleh Persis ialah suatu pemikiran dan
cita-cita hendak membangun suatu system pendidikan yang sesuai dengan hakikat
ajaran Islam. Hal ini sebagai akibat system pendidikan yang pincang dari
kolonial Belanda dan system pendidikan Indonesia sendiri dalam pesantren dan
madrasah yang tidak memenuhi hajat-hajat atau keinginan masyarakat pada jaman
itu."
M. Natsir tampaknya sangat tanggap
terhadap masalah-masalah social kemasyarakatan termasuk masalah pendidikan pada
lembaga pesantren dan madrasah-madrasah. Sikap tanggapnya ini kemudian diantisipasi
dengan konsep atau pemikiran-pemikiran sekaligus keterlibatannya di dalam
pendidikan sebagai pengelola dan pendidik.
Khusus untuk pesantren yang
dilaksanakan oleh Persis, M. Natsir memang sebagai pengurus, pengelola, dan
tenaga pendidik. Hal tersebut ditulis oleh Syafig A. Mughni:
"Di samping itu, didirikan pula
lembaga pendidikan berupa pesantren dengan nama " Pesantren Persatuan
Islam" di Bandung pada bulan Maret 1936, sebagai hasil pertemuan di Masjid
Persatuan Islam Jalan Pangeran Sumedang, Bandung. Pengurus dan guru-gurunya
terdiri atas orang-orang yang dengan sukarela mengorbankan waktu dan tenaganya
untuk pesantren. Mereka itu antara lain R. Abdul Kadir (Alumnus Sekolah Teknik
Bandung) yang mengajar ilmu teknik, M. Natsir yang mengajar ilmu
pendidikan disamping Penasehat, serta A. Hassan yang merangkap sebagai kepala
pesantren."
KESIMPULAN
Pada tanggal 12 September 1923,
bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi
mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis
ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan
kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan
rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini
didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang
teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan
janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”
DAFTAR PUSTAKA
Rosyada, Dede, Metode Kajian
Hukum Dewan Hisbah Persis, Jakarta :
PT Logos Wacana Ilmu, 1999
http://hilmanrasyidamienullah.blogspot.com/2011/04/m-natsir-dan-persatuan-islam-persis.html,
diakses 04 Juni 2012
http://nineteenboy.blogspot.com/2011/07/hassan-tokoh-persis-persatuan-islam.html,
diakses 05 Juni 2012
http://imansetiawanlatief.blogspot.com/2011/01/persatuan-islam-makin-kaya.html,
diakses 05 Juni 2012
[1] http://nineteenboy.blogspot.com/2011/07/hassan-tokoh-persis-persatuan-islam.html,
diakses 05 Juni 2012
[4] http://imansetiawanlatief.blogspot.com/2011/01/persatuan-islam-makin-kaya.html,
diakses 05 Juni 2012
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "PERSATUAN ISLAM (PERSIS)"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*