Sejarah Peserta didik (murid) dari Abad I Hijirah Hingga Abad 7 Hijriah
Disadur
(diambil sebagaian) dari BAB IV dalam bukunya: Ahmad
Sjalabi, SEDJARAH PENDIDIKAN ISLAM, penerjemah Muchtar Jahja dan Sanusi Latif
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Oleh: Istifadah
1. Islam dan Pengajaran
Para pelajar Islam telah
memperlihatkan semangat yang berkobar-kobar dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Walaupun pada masa itu jalan yang akan ditempuh untuk menuntut ilmu pengetahuan
belumlah begitu rata dan penghidupan tidaklah begitu mudah, namun para pelajar islam
maju terus tanpa ragu-ragu untuk mencapai tujuannya. Faktor pendorong semangat
mereka adalah ayat-ayat al-Qur’an, Hadis Rasulullah, pepatah-pepatah dan
kata-kata mutiara dari para cendekiawan dan pemimpin-pemimpin Islam. Diantara
ayat-ayat al-Qur’an itu adalah: Surat al-Mujadalah ayat 11, Surat Al-Zumar ayat
9,Surat al-Taubah ayat 122, Surat Taha ayat 114 dan Surat al-Nahl ayat 43.
Selanjutnya, diantara hadis-hadis
yang berhubungan dengan masalah ini antara lain:
a.
“Suatu waktu yang pendek di pagi hari
digunakan untuk menuntut ilmu, adalah lebih disukai Allah dari pada berperang
seratus kali”.
b.
“Barang siapa dikehendaki Allah untuk
mendapat kebaikan, maka Allah mengaruniainya pengetahuan yang mendalam tentang
agama”.
c.
“Orang yang berilmu pengetahuan itu
adalah pewaris para Nabi”.
d.
“Orang yang terbaik ialah orang yang
beriman, lagi berilmu pengetahuan”.
e.
“carilah ilmu pengetahuan itu walaupun
ilmu pengetahuan itu berada di negeri Cina”.
Dan masih banyak lagi hadis-hadis
lain tentang ilmu pengetahuan
Adapun Kata-kata mutiara dari
para cendekiawan Islam antara lain:
a.
Ucapan Ali Ibnu Abi Talib kepada Kamil
yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu leih baik dari pada harta benda,
sebab ilmu pengetahuan dapat menjaga dirimu, sedangkan harta itu engkaulah yang
menjaganya, ilmu pengetahuan adalah pihak yang berkuasa, sedangkan harta benda
adalah pihak yang dikuasai.
b.
Ali juga berkata: “Setiap hari dimana
aku tidak dapat menambah ilmu pengetahuan, maka aku tidak mendapatkan
keberkatan dengan terbitnya matahari pada hari itu. Dan ketahuilah bahwa yang
dikatakan kebaikan itu bukanlah bertambahnya harta benda dan anakmu, melainkan
bertambahnya ilmu pengetahuanmu”.
c.
Al-Ahnaf juga berkata: “Setiap kemuliaan
yang tidak ditunjang oleh ilmu pengetahuan pasti membawa kepada kehinaan”.
d.
Al-Zubair Ibnu Abi Bakr berkata: “Ayahku
di Irak pernah menulis surat kepadaku, memesankankan seagai berikut: Tuntutlah
ilmu pengetahuan, karena dengan adanya ilmu pengetahuan itu, jika kamu jatuh
miskinniscaya kamu akan memilliki keindahan”.
2.
Melatih
Kanak-Kanak Menurut Pandangan Beberapa Filosof Islam
Menurut
al-Ghazali, metode untuk melatih kanak-kanak adalah salah satu dari hal yang
sangat penting, karena anak merupakan amanat yang dipercayakan kepada ibu
bapaknya. Hatinya yang masih murni itu merupakan permata yang amat berharga,
sederhana dan bersih dari ukiran dan gambaran apapun. Ia dapat menerima setiap
ukiran yang digoreskan padanya, dan ia
akan condong ke arah mana dia kita condongkan. Wali harus menyadari bahwa
mendidik anak tidaklah terbatas pada usaha-usaha untuk memberikan pelajaran
kepada mereka, melainkan mencakup bermacam-macam usaha lainnya yang tidak
kurang pentingnya dari pelajaran itu. Wali haruslah mengawasinya dengan
sebaik-baiknya. Anak harus diberi kesibukan di Madrasah-Madrasah dasar untuk
mempelajari al-Qur’an. Dan cerita-cerita tentang orang baik-baik dan hal ihwal
mereka supaya tertanam dalam jiwanya kecintaan kepada orang-orang saleh.
Disamping itu, apabila ada anak yang menampakkan suatu pekerti yang baik atau
suatu perbuatan yang terpuji, maka sepantasnyalah kita memberikan pujian,
penghormatan atau tanda penghargaan berupa sesuatu yang dapat
menggembirakannya. Anak hendaklah di didik pula supaya ketika duduk bersama
orang lain, dengan mengajarkan tata tertib yang baik dan sopan santun, cegahlah
anak dari ucapan-ucapan kotor dan bergaul dengan orang-orang yang mempunyai
kebiasaan jelek.
Menurut
Ibnu Sina, kita harus menumpahkan perhatian untuk memelihara akhlak kanak-kanak
dengan cara menjaga agar ia jangan sampai menjadi pemarah dan penakut. Dari
buku Minhajul Muta’allim dapat kita baca sebagai berikut: Ayah harus mendidik
anaknya dan menyerahkannya kepada seseorang untuk mengajarinya. Apabila si ayah
tidak mendidiknya dan tidak menyerahkannya kepada seorang guru, niscaya akan
tampaklah perubahan-perubahan yang tidak sehat pada anggota badannya, terutama
pada lidahnya.
Persamaan Kesempatan untuk Belajar
Kesempatan belajar di dunia Islam
adalah sama-sama terjamin bagi setiap lapisan rakyat, baik kaya maupun miskin,
karena kemiskinan itu tidak pernah menjadi penghalang bagi orang-orang yang
ingin menuntut ilmu pengetahuan. Pengajaran telah dimulai di masjid yang selalu
terbuka lebar bagi semua morang. Dan kelompok-kelompok pelajar selalu siap
menerima pelajaran secara cuma-cuma tanpa ada suatu ikatan atau persyaratan.
Peraturan yang berlaku bagi kelompok belajar itu adalah bahwa bagi mereka yang
baru, yang ingin menggabungkan diri kepada kelompok itu untuk mendengar dan
mendapatkan ilmu pengetahuan, disediakan tempat duduk. Mereka semua dihadapan
guru dan kelompok-kelompok belajarnya adalah sama derajatnya, tidak ada
perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Perhatian guru terhadap
murid-muridnya yang miskin itu tidak hanya terbatas pada bidang pengajaran
saja, melainkan juga sampai kepada perbelanjaannya, dimana guru juga memberikan
bantuan uang kepada mereka dari milik pribadinya sebagaimana yang dicontohkan
oleh Imam Abu Hanifah. Namun bukan hanya guru-guru saja yang memberikan
perhatian kepada murid-murid yang miskin, bahkan mereka ini mendapat bagian
yang cukup banyak dari wakaf para hartawan yang disediakan untuk para pelajar.
Hal ini mempunyai pengaruh yang nyata terhadap situasi pengajaran di dunia
Islam, karena dengan itu muncullah di kalangan kaum muslimin sejumlah besar
sarjana ulung yang berasal dari kalangan yang miskin, seperti: Abu Tammam
al-Thay, al-Djahizh dan Imam Syafi’i.
Setelah berdirinya Madrasah-Madrasah
di negeri-negeri Islam maka kesempatan untuk belajar bagi anak-anak yang miskin
menjadi semakin nyata dan lebih merata. Para pendiri Madrasah-Madrasah Islam
mengetahui bahwa sebagian besar sarjana yang cakap dalam ilmu pengetahuan itu
justru timbul dari keluarga-keluarga yang miskin yang mengalami
kesukaran-kesukaran dalam hidupnya yang dijadikan motivasi untuk terus semangat
dalam menuntut ilmu. Sultan Nizamul Muluk adalah pelopor dalam bidang ini.
Beliau memaklumkan bahwa menuntut ilmu di Madrasah-Madrasah yang didirikannya
adalah menjadi hak bagi semua orang, dan beliau memberikan kesempatan itu kepada
masyarakat tanpa imbangan pembelajaran apapun. Kemudian beliau memperluas lagi
kesempatan cuma-cuma ini dengan menetapkan adanya gaji yang teratur bagi para
pelajar yang miskin. Diantara para pelajar yang memanfaatkan kesempatan ini
adalah Imam Abu Hamid al-Gazali dan saudaranya yang bernama Ahmad.
Sultan Nuruddin juga mengikuti
jejak Nizamul Muluk. Ia membangun Madrasah-Madrasah di Damaskus dan menyediakan
wakaf yang cukup untuk menjamin para pelajar dan guru-guru sehingga mereka
dapat menikmati kehidupannya. Begitu juga yang ada di al-Azhar Mesir Kairo,
disana juga ditemukan adanya perhatian yang sangat besar terhadap para pelajar,
serta usaha-usaha untuk meringankan hidup mereka. Sedang pada zaman
pemerintahan Bani Ayyub, setiap pelajar di Mesir memperoleh tempat tinggal yang
dapat menampung, dan seorang guru yang akan mengajarinya ilmu pengetahuan.
Dengan adanya bantuan tersebut, maka pelajar-pelajar dari kalangan miskin telah memperoleh jalannya menuju kemuliaan
dalam bidang ilmiah, dan mereka dapat membekali diri dengan ilmu pengetahuan
dalam berbagai bidang tanpa mengalami suatu kesukaran dan kesulitan apapun.
Penyediaan kesempatan untuk menuntut ilmu itu tidak hanya terdapat di Madrasah-Madrasah
dan masjid-masjid, tetapi juga disediakan pada kuttab-kuttab (Madrasah-Madrasah
dasar atau Madrasah-Madrasah rendah), sehingga anak-anak yatim dan miskin dapat
memulai pelajaran sejak masa kanak-kanak mereka tanpa ada suatu hambatan apapun
sehingga bakat dan kecakapan mereka dapat berkembang dengan baik. Kuttab-kuttab
yang diadakan secara Cuma-Cuma ini terdapat pada setiap penjuru negeri-negeri
Islam.
3.
Pengarahan
Murid-Murid Menurut Bakatnya Masing-Masing
Pada abad-abad pertengahan, kaum
muslimin telah mengenal ide tentang pengarahan murid-murid menurut bakatnya
masing-masing. Praktek pengarahan ini dimulai setelah murid memilih tahap
pertama dari pendidikanya. Setiap anak harus mempelajari suatu kelompok ilmu
pengetahuan dasar yang vital dalam kehidupan sehari-hari, seperti membaca,
menulis dan berhitung. Setelah itu ia harus menjurus kepada suatu ilmu atau
kejuruan sesuai dengan bakat dan pembawaannya karena tidaklah setiap orang
cocok untuk mempelajari dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan. Menurut
al-Zarnuji, jangan memilih sendiri macam ilmu yang akan dipelajarinya,
melainkan hal itu harus diserahkan kepada Ustaz, sebab Ustaz tersebut telah
mempunyai pengalaman-pengalaman yang cukup dalam hal itu sehingga ia lebih tahu
tentang apa yang patut bagi seseorang, dan apa yang lebih sesuai dengan
pembawaannya. Adapun masing-masing pengajar berkewajiban untuk memilih dan
memperhatikan betul-betul pelajaran-pelajarannya. Dan seharusnya ia tidak
mengizinkan seseorang mengikuti pelajaran pada kelompoknya, kecuali orang-orang
yang betul-betul mampu untuk mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan dalam
kelompok itu. Sebab tiadalah setiap kepandaian yang diinginkan anak benar-benar
dapat dipelajari dan difahaminya, melainkan hanya apa yang benar-benar sesuai
dengan bakat dan pembawaannya.
4.
Usia Belajar
Rasulullah bersabda: “Tuntutlah
ilmu pengetahuan mulai sejak dari buaian sampai ke liang lahat”. Berdasarkan
hadis ini maka tidak ada batas umur untuk menuntut ilmu pengetahuan. Bahkan
setiap orang Islam wajib untuk menuntut ilmu dimana saja ada kesempatan, pada
tingkatan manapun dari usianya bahkan sampai pada saat dimana usianya telah
lanjut. Seluruh usia kita ini hendaknya dimanfaatkan untuk belajar. Para ahli
didik Islam mengetahui dengan jelas bahwa mempercepat usia belajar itu sangat
bermanfaat. Menurut Hj. Chalifah, salah satu dari syarat-syarat memperoleh ilmu
pengetahuan ialah bahwa pelajar adalah seorang yang muda usianya, tidak
terpengaruh oleh hal-hal duniawi dan masih sedikit penghalang-penghalangnya. Sahal
ibnu Abdillah Ats-Tsaury telah selesai menghafal al-Qur’an ketika ia masih
berusia tujuh tahun. Imam Syafi’I juga telah menghafal al-Qur’an letika beliau
berusia tujuh tahun dan menghafal kitab al-Muwatta’ ketika ia berusia sebelas
tahun. Ibnu Sina dalam usia sepuluh tahun telah menguasai ilmu yang berhubungan
dengan al-Qur’an dan sastra Arab, dan telah menghafal beberapa masalah dalam
ilmu usuluddin, ilmu hitung, aljabar dan al-Muqabalah.
5.
Jumlah Murid
dalam Satu Kelas atau Satu Kelompok
Salah satu dari prinsip ilmu
pendidikan yang diperhatikan oleh para ahli didik modern ialah bahwa mereka
harus memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat berkumpul bersama anak-anak
lainnya yang sebaya dengannya, agar ia dapat bercakap-cakap dengan mereka dan
dapat pula mendengarkan ucapan mereka. Hal ini dipandang sebagai suatu cara
untuk memperkembangkan anak dengan perkembangan yang baik. Mendidik anak bersama
anak-anak yang lainnya merupakan suatu cara untuk suksesnya anak dalam belajar
dan untuk mempertinggi kegemaran dan kesuksesan mereka kepada pelajaran itu.
Adapun jumlah para pelajar yang belajar di masjid berbeda dengan jumlah para
pelajar yang belajar di madrasah. Kendatipun jumlah mereka yang tergabung dalam
kelompok-kelompok di masjid-masjid itu ada yang banyak dan ada pula yang
sedikit, sesuai dengan kemasyhuran sang guru dan kemahirannya yang mendalam
pada bidang ilmunya, namun jumlah pelajar dalam kelompok-kelompok yang belajar
pada masjid itu pada umumnya lebih besar dari pada yang belajar di madrasah.
Hal ini dikarenakan masjid-masjid itu terbuka untuk umum dan jumlah pelajar
pada tiap-tiap kelompok tidak di batasi. Sedangkan di Madrasah-Madrasah, jumlah
pelajarnya tertentu, tidak boleh melebihi kuota.
6.
Tubuh dan Akal
Kaum Muslimin sejak masa-masa
permulaan telah mengetahui bahwa ada hubungan yang amat kuat antara tubuh dan
akal, sebagaimana yang diungkapkan dalam kata-kata mutiara: “Akal yang sehat
terdapat pada jiwa yang sehat”. Oleh karena itu, mereka sangat berhati-hati
dalam menjaga kesehatan tubuh. Mereka berusaha untuk meringankan pikulan tubuh
supaya tubuh tersebut dapat memikul jiwa yang besar, dan dapat membantu akal
untuk belajar dan mengajar. Para ahli pendidik Islam telah mengetahui bahwa
tubuh yang sedang payah atau sakit tidak sanggup membantu akal untuk berfikir
dan memahami sesuatu. Menurut al-Asyfihani, cara memelihara kesegaran jiwa
dalam belajar yaitu dengan cara mencegah murid dari belajar maupun bekerja
secara terus-menerus tanpa diselingi waktu untuk istirahat dan olahraga. Karena
kerja keras yang berlangsung terus-menerus akan membawa kegagalan. Menurutnya,
seorang pelajar hendaklah terus belajar selama akalnya masih giat dan dapat
memahami pelajaran. Tetapi, apabila ia telah merasakan adanya kelelahan pada
akalnya, maka ia harus berhenti, lalu beristirahat sebab fikiran yang sedang payah
itu tidak akan mendatangan hasil. Lembaga-lembaga pendidikan Islam telah
melaksanakan peraturan-peraturan yang sangat bermanfaat dan latihan yang
teratur untuk memberikan istirahat kepada murid-murid dan menyegarkan kembali
perhatian mereka terhadap pelajaran. Ada bermacam-macam latihan olah raga yang
dilakukan oleh murid-murid. Khalifah Umar ibn Khattab menasehatkan agar
murid-murid di ajar berenang, memanah dan naik kuda dan latihan berlari.
7.
Budi Pekerti
Murid-Murid dan Kewajiban-Kewajiban Mereka
Banyak diantara ahli didik Islam
yang menumpahkan perhatian mereka untuk menulis buku-buku tentang budi pekerti
murid-murid dan kewajiban mereka. Pertama, pelajar hendaklah menjaga kesucian
dirinya terhadap pekerti yang rendah dan sifat-sifat tercela, sebab kesucian
jiwa dan kebaikan akhlak itu adalah merupakan dasar untuk mencapai kemahiran
dalam ilmu pengetahuan. Kedua, pelajar hendaklah mengurangi hubungannya dengan
masalah-masalah duniawi, serta jauh dari sanak keluarga dan kamung halaman
supaya hal tersebut jangan sampai mengganggunya dalam perjuangannya mencari
ilmu.. ia juga harus membersihkan niatnya, jangan sampai niatnya ingin menarik
perhatian orang lain, atau karena mengharapkan harta benda duniawi. Ketiga,
pelajar hendaklah bersikap rendah hati kepad guru. Ia harus memuliakan dan
menghormati guru serta mematuhi nasehat-nasehatnya.
Al-Zarnuji telah menyebutkan
beberapa peraturan sopan santun yang harus diperhatikan oleh pelajar terhadap
gurunya. Pelajar janganlah sekali-kali berjalan di hadapan gurunya, jangan
duduk pada tempat yang biasa diduduki guru, jangan mulai berbicara dihadapannya
kecuali dengan seizinnya, kalau berbicara dihadapannya janganlah berbicara
terlalu banyak, janganlah menanyakan sesuatu kepadanya bila ia sedang marah,
dan ikutilah perintahnya selama perintah itu tidak menyuruh kepada kemaksiatan.
Pelajar haruslah memulai dengan mempelajari masing-masing ilmu pengetahuan yang
berfaedah, sehingga ia dapat mengetahui maksud dan tujuan masing-masing.
Kemudian barulah ia memilih diantara satu diantara ilmu-ilmu tersebut untuk
diperdalam dengan ketentuan bahwa janganlah ia memperdalami ilmu tersebut
secara sekaligus, melainkan harus memperhatikan tata tertib dan sistematikanya,
dan memulainya dengan bagian-bagian yang terpenting. Pelajar juga harus dapat
membuat dirinya kepada ilmu, sehingga ia benar-benar menyenangi ilmu tersebut
dan mempelajarinya dengan penuh kesetiaan. Janganlah ia segan-segan mempelajari
ilmu dan budi pekerti yang luhur dari siapapun juga walaupun dari seor ang yang
berasal dari kalangan rendah, sebab mutiara yang mahal itu tidaklah akan
menjadi hina lantaran kehinaan orang yang menghasilkannya. Pelajar juga harus
selalu semangat dan menghadapi tugasnya dengan penuh minat.
8.
Hubungan
Antara Murid dengan Murid
Antara murid dengan murid lainnya
terdapat suatu hubungan yang menurut ahli didik Islam tidak kurang pentingnya
dari pada hubungan seseorang dengan kerabatnya sendiri, atau hubungan seseorang
dengan saudara kandungnya. Apabila para pelajar sama-sama menerima pelajaran
dari seorang guru, atau pada Madrasah yang sama, maka hubungan yang terjalin
diantara mereka itu tentulah lebih kokoh dan lebih kuat, karena mereka adalah
anak-anak didik. Al-Zarnuji menasehatkan kepada pelajar bahwa hendaklah memilih
teman yang berhati mulia dan hidup sederhana serta berwatak jujur. Dan
sebaliknya, ia hendaklah menjauhi teman-teman yang bersifat malas, suka
menganggur, berpangku tangan dan banyak bicara.
9.
Kesungguhan
Murid-Murid untuk Mencari Ilmu
Para pelajar Islam telah
mengikuti jejak guru-guru mereka tentang kegiatan dan semangat menuntut ilmu
itu. Keinginan pelajar untuk mengambil dan mempelajari ilmu pengetahuan itu
adalah pemantulan dari kegairahan guru-guru mereka untuk memberikan pelajaran.
10.
Merantau untuk
Menuntut Ilmu
Rasulullah saw. bersabda:“ Barang
siapa yang mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu, maka ia adalah pejuang
fi-sabilillah, dan barang siapa meninggal dunia dalam perjalanan untuk menuntut
ilmu, maka matinya adalah mati syahid”. Prinsip yang telah ditetapkan
Rasulullah ini telah tersiar luas, untuk memberikan dorongan kepada masyarakat
supaya menuntut ilmu, dan bersedia menghadapi kesusahan dan penderitaan yang
biasa ditemui oleh orang-orang yang menuntut ilmu. Para pelajar Islam telah
mengadakan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu. Padahal pada masa itu
perjalanan adalah merupakan sesuatu yang amat sulit dan sangat memayahkan,
karena belum adanya jalan-jalan yang tetap dan qafilah-qafilah yang teratur.
Namun demikian, para pelajar ini tidak mengindahkan semua kesulitan dan
kepayahan itu. Bahkan mereka meninggalkan kampong halaman dengan tekad dan
keuletan yang tinggi dengan mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu.
Perjalanan jauh untuk menuntut ilmu sangatlah berfaedah karena manusia dapat
mengambil dan mempelajari ilmu pengetahuan dan akhlak dengan dua cara: pertama,
dengan mengetahuinya sendiri, mengajarkan dan memberikannya kepada orang lain.
Kedua, dengan mencontoh atau dengan diajarkan oleh orang kepada kita secara langsung.
Akan tetapi tertanamnya pelajaran itu pada jiwa dan melekatnya pada fikiran
kita adalah lebih kokoh dan lebih kuat, bila pelajaran itu diajarkan langsung
oleh seorang guru kepada kita. Penilaian masyarakat terhadap para pelajar di
masa itu tergantung pada banyaknya perjalanan-perjalanan ilmiah yang mereka
lakukan, dan jumlah guru-guru yang pernah mereka hubungi untuk menuntut ilmu.
Fator-faktor yang telah memberikan dorongan yang kuat kepada para pelajar dan
penyelidik-penyelidik ini untuk melakukan perjalanan itu ialah bantuan dan
fasilitas yang luar biasa, yang tak putus-putusnya mereka peroleh dimanapun
mereka berada, dan di negeri manapun mereka singgah.
11.
Pendidikan dan
Pengajaran pada Kaum Wanita
Kaum wanita pada masa abad-abad
pertengahan, baik di timur maupun di barat, hanya memperoleh bagian yang kecil
sekali dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Dan bahwa kesempatan-kesempatan
yang diberikan kepada mereka jauh lebih sedikit dibanding kesempatan-kesempatan
yang diberikan kepada kaum pria yang sezaman dengan mereka. Selama abad-abad
pertengahan, perhatian yang diberikan kepada kaum wanita Eropa adalah sangat
terbatas, sesuai dengan aliran fikiran katolik yang menganggap kaum wanita itu
sebagai makhluk yang rendah martabatnya. Orang-orang pada abad itu sangat
cenderung untuk membatasi kekuasaan wanita-wanita Eropa, dan enggan memberikan
wewenang dalam bentuk apapun kepada mereka, selain dalam bidang yang amat
sempit dimana mereka hidup, yaitu dalam rumah tangga.
Adapun mengenai anak-anak
perempuan dari para pembesar istana dan anak para hakim, para dokter dan yang
sederajat dengan mereka, menurut John Langdon Davies, mereka telah menerima
bagian dari pendidikan dan pengajaran kanak-kanak dari guru-guru pribadi. Pada
masa itu, para wanita yang bukan dari kalangan keluarga raja belumlah sampai
pada tingkatan pendidikan yang lumayan, seperti yang telah dicapai oleh kaum
wanita kalangan atas. Mengenai keadaan kaum wanita di Inggris sebelum akhir
abad pertengahan, perhatian yag diberikan kepada kaum wanita juga amat kurang.
Menurut Abram, pada masa itu memang tidak diinginkan agar kaum wanita mencapai
taraf pendidikan yang lebih tinggi. Karena itu, wakaf-wakaf yang disediakan
sebagai dana-dana pendidikan hanyalah terbatas untuk pendidikan anak laki-laki saja,
sedang anak perempuan tidak mendapat bagian.
Kembali kepada wanita-wanita
Islam, bahwa pendidikan dan pengajaran bagi kaum wanita Islam belum merata.
Kaum terpelajar wanita lebih kecil jumlahnya dari pada kalangan pria. Faktor
yang menghalangi kaum wanita Islam untuk menyamai kaum pria dalam menuntut ilmu
pada masa itu tidak lain hanyalah kesukaran-kesukaran yang dihadapi para
penuntut ilmu pada masa itu. Oleh sebab itu, maka jumlah kaum terpelajar dari
kalangan wanita adalah sangat rendah. Akan tetapi, banyak juga diantara para
wanita Islam telah berhasil mengatasi kesukaran-kesukaran itu dengan berbagai
cara, sehingga mereka berhasil memperoleh pendidikan yang dapat dikatakana
mendalam dan beraneka ragam, dan hal ini dapat dicapai oleh wanita-wanita Eropa
pada masa itu. Dalam buku al-Aghany disebutkan bahwa anak-anak perempuan juga
belajar pada Madrasah-Madrasah Dasar pada abad kedua hijriyah. Dr. Muhammad
Fuad al-Ahwani pada awalnya menyebutkan bahwa anak-anak perempuan itu juga ikut
belajar pada Madrasah-Madrasah Dasar. Tetapi kemudian Dr. al-Ahwani berbalik
dari pendapatnya, dan berpendapat lain bahwa anak-anak perempuan diberi
pelajaran di rumah mereka sendiri, atau dari seorang guru yang didatangkan
untuk mereka.
Al-Baladzuri meriwayatkan bahwa ketika
lahirnya agama Islam, ada lima orang wanita-wanita Arab yang pandai membaca dan
menulis, yaitu Hafshah binti Umar, Ummu Kultsum binti ‘Aqabah, Aisyah binti
Sa’ad, Karimah binti al-Miqdad dan asy-Syifa’ binti Abdillah al-Adawiyyah, yang
pernah memberikan pelajaran kepada Hafsah, dan kemudian Nabi memintanya untuk
terus memberikan pelajaran kepada Hafsah. Al-A’sya telah mendidik dan
memberikan pelajaran kepada anak perempuannya sendiri, sehingga anak tersebut
menjadi seorang sastrawati dan kritikus sastra yang ulung. Isa ibn Miskin,
biasa memberikan pelajaran kepada murid-muridnya sampai waktu asar. Sesudah itu
lalu dipanggilnya dua anak perempuannya, dan anak perempuan saudaranya, serta
cucu-cucunya yang perempuan untuk diberinya pelajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu
lainnya.
Beberapa wanita Islam yang telah
mencapai kemasyhuran dalam bidang keahliannya masing-masing, diantaranya:
Bidang ilmu-ilmu agama: Nafisah binti al-Hasan ibni
Zaid ibni al-Hasan ibni ‘Ali, Syaikhah Syuhdah yang bergelar “Fahrun Nisa’,
Zainab binti Abdirrahman asy-Sya’ry dan ‘Unaidah.
Di bidang ilmu sastra: An-Nadzar bint Haris, istri
al-Farazdaq, Rabi’ah al-Adawiyyah, Zubaidah Ummu Ja’far istri Harun al-Rasyid),
Hamdah binti Zijjad, Maryam binti Ya’qut al-Ansary, Badaniyah dan Hafsah binti
al-Rakuny.
Bidang musik dan nyanyi: Jamilah (bekas hamba sahaya
Bani Salim), Dananir (bekas hamba sahaya Yahya ibn Khalid), ‘Ulaiyah binti
al-Mahdi (saudara perempuan Harun al-Rasyid), Mutaiyam al-Hasyimiyyah, Khadijah
(putri Khalifah al-Ma’mun), ‘Unaidah at-Tanburiyyah.
Bidang ilmu kedokteran: Zaenab, Ummul Hasan binti
al-Qadhi Abi Ja’far at-Tanjaly dan saudara perempuan dari al-Hafid ibnu Zahr.
Dalam urusan peperangan: Nashibah istri Zaid ibn
‘Ashim dalam perang Uhud, Hindun binti ‘Utbah dalam pertempuran di Yarmuk,
al-Zarqa’ binti ‘Ady al-Hamdaniyyah dan Ikrisyah binti al-Athrasy dalam
pertempuran di Shiffin.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sejarah Peserta didik (murid) dari Abad I Hijirah Hingga Abad 7 Hijriah"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*