Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Sejarah Pendidik (Guru) dari Abad I Hijirah Hingga Abad 7 Hijriah


Sejarah Pendidik (Guru) dari Abad I Hijirah Hingga Abad 7 Hijriah

Disadur (diambil sebagaian) dari BAB IIIdalam bukunya: Ahmad Sjalabi, SEDJARAH PENDIDIKAN ISLAM, penerjemah Muchtar Jahja dan Sanusi Latif (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Oleh: DEWI ISROIYAH


GURU-GURU

       Pada abad – abad  pertengahan ulama’ yang bekerja sebagai guru dan yang tidak bekerja sebagai guru perbedaannya belum begitu mencolok, mereka sama-sama berusaha untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat. Telah menjadi hal umum jika kaum muslimin menumpahkan perhatian yang sangat besar untuk mengambil ilmu pengetahuan dari para guru, mereka tidak suka kalau  seseorang belajar hanya dari buku-buku belaka. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i dengan ucapannya sebagai berikut : “ Barang siapa yang hanya belajar dari lembaran buku-buku saja berarti ia telah menyia-nyiakan hukum-hukum”[1]
       Salah satu dari kebanggaan Kaum Muslimin ialah bahwa mereka telah mengetahui benar-benar bahwa ilmu pengetahuan  semata-mata tidaklah cukup untuk menjadi senjata bagi seorang guru, guru juga harus dilengkapi pula dengan     ilmu mendidik, supaya dapat menjadi jembatan dalam mentransfer ilmu pengetahuan kedalam fikiran para murid. Suatu syarat yang sangat penting bagi seorang guru ialah  ia harus fasih dan lancar lidahnya, yang  ia   peroleh dari pembiasaan musyawarah dan berdiskusi dan selalu berusaha memperoleh bakat kecakapan mengajar. Salah satu dasar penyelenggaraan pendidikan di kalangan umat islam adalah pentingnya kerjasama antara rumah tangga dan Madrasah memungkinkan pelajar mencapai sukses yang gemilang. Az Zarnuji berkata : “Untuk belajar diperlukan ketentuan dari tiga orang, yaitu : pelajar, guru dan ayah”[2].

HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH DAN GURU-GURU
       Rasulullah adalalah pemimpin agama dan politik yang sukses, sepeninggal Beliau tempatnya digantikan oleh Khulafaur Rasyidin, masing-masing mereka mengatur urusan urusan Negara, dan mengerahkan balatentara, kemudian sekaligus juga memberikan fatwa-fatwa kepada rakyat dan mengajari mereka tentang urusan-urusan agama. Saat kota Makkah ditaklukkan oleh umat Islam dan sebelum kembali ke Madinah, Rasulullah memerintahkan Sahabatnya Mu’az untuk mengajar kaum Muslimin yang baru masuk Islam. Dan juga Khalifah Umar ibnul Khathab dimasa pemerintahannya, beliau kirimkan ulama-ulama shahabat ke beberapa kota di daerah-daerah untuk memberikan pelajaran, diantara mereka adalah Abdullah ibnu Mas’ud ke Kuffah dan Abu Musa Al Asy ‘ari ke Basrah.  Pada masa selanjutnya para ilmuwan Muslimin senantiasa  menyertai pasukan-pasukan Islam kemanapun mereka pergi. Dengan demikian , maka pasukan-pasukan Muslimin tidak hanya semata-mata merupakan pasukan –pasukan tempur, tetapi juga merupakan pusat tenaga-tenaga yang menggerakkan da’wah dalam penyiaran agama Islam.
       Pada masa Daulah Umayyah, khalifah-khalifahnya hanya sebagai pemegang kekuasaan politik saja, sedang tanggung jawab memberikan fatwa-fatwa dan pelajaran-pelajaran kepada rakyat adalah tugas para ulama. Para ulama saat itu memilih masjid sebagai tempat memberikan fatwa-fatwa dan pelajaran-pelajaran agama Islam kepada masyarakat. Bisa dikatakan bahwa pemerintah saat itu ikut campur tangan dalam pembelajaran agama Islam , dengan mengangkat guru-guru untuk digaji yang ditempatkan pada perguruan-perguruan. Adapun materi pelajarannya adalah tentang cerita-cerita. Di Mesir materi cerita ini telah ada sejak tahun 38 H. Adalah Taubah al Hadlrami, Abu Ismail ibn Nu’aim dan Abu rajab ibnu ‘Ashim, adalah guru-guru yang ditunjuk sebagai ahli-ahli  cerita di masjid jami’ Amr.
       Khalifah-khalifah Bani Abbas mendirikan Baitul Hikmah, dengan mengangkat sejumlah besar para ulama’ untuk melakukan penterjemanahan, penggandaan buku, dan pengawasan. Khalifah-khalifah memberikan gaji yang tinggi kepada para ulama’, dan sejak itu pula khalifah-khalifah mempunyai hak penuh untuk menguasai Baitul hikmah, dengan materi cerita sekehendak mereka.

KEDUDUKAN SOSIAL GURU-GURU
       Kedudukan social guru-guru dilihat dari segi kedudukan dan penghasilan mereka terbagi menjadi tiga bagian :
1.      Para Mu’allim kuttab
2.      Para Muaddib
3.      Para guru yang memberikan di masjid-masjid dan Madrasah-Madrasah.


GURU BESAR-GURU BESAR MADRASAH-MADRASAH NIZAMIYAH
       Madrasah-Madrasah Nizamiyah adalah merupakan perguruan-perguruan yang menjadikan sebagian  besar  ulama’-ulama’ termasyhur sebagai pemikul tanggung jawab di perguruan-perguruan tinggi mereka. Di antara para ulama’ yang mengajar di perguruan-perguruan tinggi Nizamiyah adalah :
1.      Abu Ishaq asy Syirazi
2.      Abu nashr ash Shabbagh
3.      Imam Al Haramain Abul Ma’ali Yusuf al jawaini
4.      Abu bakr Muhammad Ibnu Tsabit Al; Hujandi
5.      Abu Hamid Al Ghazali
6.      Dll

KEADAAN MENTAL GURU-GURU DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN MEREKA
       Syarat fisik yang harus dimiliki seorang guru menurut Al-Qalqasyandi adalah :
1.      Perawakannya bagus
2.      Keningnya jelas
3.      Dahinya lebar dan tiada ditumbuhi rambut
Adapun syarat yang berhubungan dengan pikiran adalah:
1.      Kecerdasan fikiran
2.      Lekas memahami

Sedangkan untuk akhlaq dan budi pekerti disyaratkan :
1.      Keadilan
2.      Kesucian batin
3.      Lapang dada
       Guru hendaknya bersikap kasih sayang terhadap murid-muridnya, dan memperlakukan para murid seperti    anak-anaknya sendiri, janganlah segan memberikan  nasehat kepada murid, memperingatkan kepada muridnya bahwa tujuan menuntut ilmu adalah untuk memperoleh pendidikan  dan mendekatkan    diri kepada Allah. Mencurahkan  perhatian yang besar terhadap akhlaq murid-muridnya sebagaimana ia berusaha memajukan akal mereka, dll.

IJAZAH-IJAZAH ILMIAH
       Apabila seorang pelajar telah bertekun mendengarkan pelajaran-pelajaran yang didektekan gurunya dalam ilmu sastra atau lain-lainnya, atau pensyarahan yang dilakukan oleh guru terhadap suatu kitab tertentu, dan guru tersebut telah yakin bahwa pelajar itu telah memahami benar-benar, maka guru itu menulis syahadah (surat keterangan). Pada halaman pertama atau pada halaman terakhir dari buku itu, misalnya disana dikatanya : sifulan telah selesai membaca kitab ini…dan aku telah memberikan izin baginya untuk mengajarkannya. Adapun ijazah yang paling tua yang dapat dikenal  ialah yang dikeluarkan    pada tahun 304 H, yang diberikan oleh Muhammad  ibnu Abdullah ibnu   Ja’far al Himyari kepada Abu ‘Amir Sa’id ibnu ‘Amr, adapun kitab yang telah dipelajari sehingga berhak mendapatkan   syahadah itu ialah Qurbul Isnad.

HUKUMAN-HUKUMAN
       Dalam proses belajar mengajar terkadang diperlukan adanya hukuman-hukuman bagi peserta didik, adapun tahapan-tahapannya adalah:
1.      Hukuman badan hanya boleh dilakukan  terhadap anak yang telah berusia lebih dari 10 tahun, dan belum mencapai usia remaja. Maka tidak boleh memukul kanak-kanak yang belum berusia 10 tahun, dan tidak pula kepada pelajar-pelajar yang berusia lanjut.
2.      Guru dapat menggunakan hukuman badan itu dalam keadaan yang sangat perlu, akan  tetapi tidak boleh terlalu sering, dan jika terpaksa, maka hendaknya dilakukan dengan rasa kasih sayang sebagai seorang pendidik, jangan terlalu kasar dan semata-mata untuk melampiaskan kemarahannya.
3.      Pukulan tersebut hendaknya dengan cambuk yang lembut dan tidak menimbulkan kerusakkan pada anak, guru janganlah memukul kepala murid atau mukanya, melainkan pada pahanya dan bagian-bagian bawah kakinya, karena pada bagian-bagian tersebut tidak dikuatirkan     terjadinya cacat atau menimbulkan penyakit.

HADIAH-HADIAH DAN TANDA-TANDA PENGHARGAAN
       Penghargaan yang diberikan kepada seorang murid ada bermacam-macam antara lain :
a.       Pujian-pujian dan dorongan-dorongan
b.      Tanda penghargaan berupa benda
       Al-Ghazali berkata : “Anak-anak yang sopan hendaklah diberi pujian, dan apabila  kelihatan  ia berkelakuan baik, melakukan perbuatan terpuji, maka sepantasnyalah ia dimuliakan dan diberi hadiah apa-apa yang dapat menggembirakan hatinya, dan dipuji dihadapan orang banyak[3].

PAKAIAN  GURU-GURU
        Pakaian Rasulullah SAW telah menjadi model yang tiru oleh putra khalifah, sarjana-sarjana  fiqh, dan penguasa di daerah-daerah, sampai pada masa berdirinya Daulat Umawiyah. Pakaian Beliau adalah mudah dan praktis, biasanya terdiri dari ; sehelai sarung, celana, kemeja panjang, jubah, sorban, dan sepatu pantufel, dan warna putih adalah warna yang disukai Rasulillah. Setelah  berdirinya Daulah Umawiyah, mulailah khalifah  dan pembesar-pembesar meniru pakaian-pakaian yang dipakai dinegeri-negeri yang takluk kepada Islam , seperti daerah Romawi dan Persia.

ORGANISASI PERSATUAN PEKERJA KAUM GURU
       Kaum Muslimin pada abad-abad pertengahan telah mengenal adanya persatuan pekerja. Dan syarikat-syarikat atau persatuan tersebut telah meliputi bermacam-macam organisasi, bahkan tukang-tukang sapupun telah memiliki suatu ikatan yang berkewajiban memelihara kepentingan-kepentingan dan hak-hak mereka. Al Maqrizi meriwayatkan ; “ Bahwa Abu Thalib Ali Ibnu Abdissami’ Al Abbasi telah menjadi khatib tetap di masjid Jami’ Rasyidah, atas izin dari Qadli Qudlah yang berkedudukan sebagai pemimpin agung Syarikat Pekerja para Sarjana.”


[1] Tazkiratus Sami’, hal. : 87
[2] Kitabul Irsyad Wat Ta’lim, hal : 542 : 543.
[3] Ihya’ ‘Ulumiddin, III : 58.




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Sejarah Pendidik (Guru) dari Abad I Hijirah Hingga Abad 7 Hijriah "

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*