Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul:
Rincian buku:
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
PENCERMINAN KEIMANAN DALAM KEHIDUPAN PRIBADI DAN KELUARGA
Oleh: Eny Faridatunnisa
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyimpangan dan dekadensi akhlak yang terjadi pada
kebanyakan manusia itu disebabkan mereka tumbuh dan berkambang dalam atmosfir
tarbiyah atau pendidikan yang buruk. Maka dari sini, betapa pentingnya sebuah
pendidikan yang mampu membawa generasi muslim ke puncak ketinggian akhlak yang
menebarkan kebahagiaan dan ketentraman, tentunya dengan benteng iman yang kokoh
dan terealisasi dalam pencerminan kehidupan sehari-hari.
Kebutuhan kapada pendidikan moral yang berlandaskan keimanan
dan ketakwaan ini mengharuskan seorang pendidik agar menjauhkan anak didiknya
dari kebatilan dan kejelekan, seperti tempat yang menebarkan permusuhan,
diskotik, dan tempat yang penuh dengan kemungkaran, karena dalam pendidikan
Islam, proses penghayatan sebenarnya terhadap moralitas akhlak menjadi tolak
ukur keberhasilan. Memahami moralitas belum tentu secara otomatis dapat
menghayatinya. Pemahaman terhadap moralitas bararti segala sesuatu tentang
moralitas sudah jelas baik dan pentingnya untuk dimiliki setiap muslim. Namun
pemahaman tersebut barulah terjadi dalam pemikiran, belum tentu meresap kedalam
hati dan perasaan. Tentunya dengan pencerminan keimanan dengan akhlak terpuji,
kemungkinan tidak akan melakukan perbuatan buruk seperti melakukan kejahatan,
kekejaman, dan kesewenang-wenangan, sebab hal-hal yang buruk tersebut apabila
telah masuk dan melekat pada pendengarannya (di masa kecil), maka akan sulit
lepas di masa besarnya dan para orang tua atau pengasuhnya akan menemui
kesulitan dalam menyelamatkan generasi muda muslim dari hal-hal yang buruk
tersebut.
Pendidikan akhlak dan tasawuf sangat dibutuhkan oleh setiap
individu maupun masyarakat, karena pengaruh positifnya yang indah akan
dirasakan oleh individu dan masyarakat dalam porsi yang sama, sebagaimana
dampak negatifnya, ketika ia diremehkan, akan menyebar kepada individu dan
masyarakat dan bentuk pendidikan ruhani secara vertikal adalah dapat berakhlak
dan beribadah dengan baik kapada Allah SWT dan secara horizontal berakhlak baik
kepada setiap mahluk. Seperti kenakalan para pelajar yang terjadi pada
akhir-akhir ini, terjangkit obat-obatan terlarang, dan bergaya hidup bebas dan
pergaulan bebas, hal ini yang sangat meresahkan kaum terdidik dan pendidik.
Oleh karena itu pendidikan tasawuf dalam diri seorang mukmin sejati ini harus
diperhatikan sejak awal marh}alah (fase) umur manusia,
yaitu dari sejak masa kanak-kanak.
Dengan demikian orang yang selalu meningkatkan prestasi
imannya melalui amal saleh dan riya>d}ah
(usaha-usaha yang dilakukan oleh jiwa dan ruhani seseorang agar bisa mengurangi
sifat-sifat yang suka terhadap kemewahan dunia) akan diikuti dengan semakin
meningkatnya prestasi iman (taqwa), sedemikian dekatnya nafsiyyah manusia
dengan Tuhannya, dan komitmennya terhadap ajaran-ajaran dan
petunjuk-petunjuk-Nya, serta meningkatkan ke ahsan
at-taqwi>m (kualitas manusia yang terbaik sesuai dengan asal
kejadiannya). Sebaliknya jika nafsiyyah
manusia dalam hidup dan kehidupan lebih tertarik pada dan dikuasai oleh
kepentingan jismiyyah,
sehingga yang diinginkan, diingat-ingat, dipikirkan, dirasakan dan ditingkatkan
hanya kenikmatan jismiyyah
belaka, maka kualitas prestasi iman (taqwa) kedekatan dan keyakinan kapada
Tuhan akan semakin merosot, jatuh ke asfala
as-safili>n (kualitas terendah) bahkan lebih rendah dari pada
binatang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa dalil tentang tanda-tanda iman atau tidak
iman dalam kehidupan sehari-hari?
2.
Bagaimana penerjemahan dalil tersebut dalam
kehidupan sehari-hari?
3.
Bagaimana standarisasi perilaku mukmin sejati
dalam kehidupan pribadi dan keluarga sesuai dengan keadaan kontemporer
Indonesia?
PEMBAHASAN
A.
Pemaparan Dalil tentang Tanda-Tanda Iman
atau Tidak Iman dalam Kehidupan Sehari-Hari
Keimanan[1]
merupakan unsur terpenting seorang muslim, sebab iman menentukan nasib seorang
di dunia dan akhirat. Bahkan kebaikan dunia dan akhirat bersandar kepada iman
yang benar. Dengan iman seorang akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia
dan akhirat dan keselamatan dari segala keburukan dan adzab Allah. Dengan iman
seorang akan mendapatkan pahala besar yang menjadi sebab masuk ke dalam syurga
dan selamat dari neraka. Lebih dari itu semua, mendapatkan keridhaan Allah yang
maha kuasa sehingga Dia tidak akan murka kepadanya dan dapat merasakan
kelezatan melihat wajah Allah di akhirat kelak. Dengan demikian permasalahan
ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari kita semua.
Adapun secara shar’i
(agama), iman yang sempurna mencakup qaul (perkataan) dan ‘amal (perbuatan).
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan di antara prinsip Ahlus sunnah wal
jama’ah adalah ad-din (agama/amalan) dan al-iman adalah perkataan dan
perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati, lisan dan anggota badan.”[2]
Dari perkataan Syaikhul Islam di atas, nampak bahwa iman
menurut Ahlus sunnah wa
al-jama>’ah mencakup lima perkara, yaitu perkataan hati,
perkataan lisan, perbuatan hati, perbuatan lisan dan perbuatan anggota badan. Banyak
dalil yang menunjukkan masuknya lima perkara di atas dalam kategori iman, di
antaranya adalah sebagai berikut:[3]
1.
Perkataan hati, yaitu
pembenaran dan keyakinan hati. SWT berfirman:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا
وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ
الصَّادِقُونَ (١٥)
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang hanya beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang
yang benar. (Qs. Al-Hujurat/49:15).
2.
Perkataan lisan,
yaitu mengucapkan syahadat La ila>ha illallah dan syahadat
Muhammad Rasulullah SAW dengan lisan dan mengakui kandungan shahadatain
tersebut. Di antara dalil hal ini adalah sabda Nabi SAW:
أُمِرْتُ أَنْ
أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللَّهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزَّكَاةَ
فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ
بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Artinya:
Aku diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi
bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, dan sampai mereka menegakkan shalat, serta membayar zakat. Jika mereka
telah melakukan itu, maka mereka telah mencegah darah dan harta mereka dariku
kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka pada tanggungan Allah.
(HR. al-Bukhâri, no: 25, dari `Abdullâh bin Umar radhiallahu ‘anhu)[4]
Pada
hadits lain disebutkan dengan lafazh:
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
…
Artinya:
Aku diperintah (oleh Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan
‘La ilaaha illallah’. (HR. al-Bukhâri, no: 392, dari Anas bin
Mâlik rahimahullah)[5]
3.
Perbuatan hati, yaitu
gerakan dan kehendak hati, seperti ikhlas, tawakal, mencintai Allah SWT,
mencintai apa yang dicintai oleh Allah SWT, raja`’
(berharap rahmat atau ampunan Allah SWT), takut kepada siksa Allah SWT,
ketundukan hati kepada Allah SWT, dan lain-lain yang mengikutinya. Allah SWT
berfirman:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ (٢)
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah, hati mereka gemetar, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabbnya mereka
bertawakkal.
(Qs. Al-Anfâl/8:2)
Maksud dari kata bergetar hati mereka ketika mendengarkan
nama Allah disebutkan adalah hati mereka bergetar karena rasa takut akan
kebesaran-Nya, tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya, menjauhi segala
larangan-Nya, dan sopan dalam berzikir kepada-Nya. Dan apabila ayat-ayatNya di
bacakan mereka meyakini bahwa kata-kata tersebut berasal dari Allah, maka
kepercayaan dan pembenaran mereka terhadap perkataan Allah tersebut semakin
bertambah dan semakin terpatri, dan hanya kepada Allah mereka bergantung dan
menyerahkan sega urusan baik dunia maupun akhirat.[6]
Keadaan ini terjadi disebabkan karena kecintaan mereka kepada Allah melebihi
cinta mereka kepada selain-Nya bahkan terhadap dirinya sendiri
4.
Perbuatan lisan,
yaitu amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan lidah. Seperti membaca
al-Qur’ân, dzikir kepada Allah SWT, doa, istighfâr, dan lainnya. Allah SWT
berfirman:
وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ كِتَابِ رَبِّكَ لا
مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَنْ تَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا (٢٧)
Artinya:
Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Rabb-mu (al-Qur’ân).
Tidak ada (seorang pun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya.
(Qs. Al-Kahfi/18:27)
5.
Perbuatan anggota
badan.Yaitu amalan yang tidak dilakukan kecuali dengan anggota badan. Seperti:
berdiri shalat, ruku’, sujud, haji, puasa, jihad, membuang barang mengganggu
dari jalan, dan lain-lain. Allah berfirman yang artinya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا
وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٧٧)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah, sujudlah, sembahlah Rabbmu dan
berbuatlah kebajikan supaya kamu mendapat kemenangan.
(Qs. al-Hajj/22:77)
Adapun lawannya dari orang yang beriman yaitu kufur. Arti Kufur Secara etimologi, kufur artinya menutupi,
sedangkan menurut terminology syariat, kufur artinya ingkar terhadap Allah swt,
atau tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan mendustakannya
maupun tidak. Perbedaannya, kalau mendustakan berarti menentang dan menolak,
tetapi kalau tidak mendustakan artinya hanya sekedar tidak iman dan tidak
percaya. Dengan demikian kufur yang disertai pendustaan itu lebih berat dari
pada kufur sekedar kufur.[7]
Sedangkan tanda-tanda sifat kufur yaitu:
1. Mendustakan agama
Dalilnya adalah
firman Allah.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ
افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ أَلَيْسَ
فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ (٦٨)
Artinya
: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta
terhadap Allah atau mendustakan kebenaran tatkala yang hak itu datang kepadanya
? Bukankah dalam Neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir ? (Q.S Al
Ankabut : 68)
2. Memiliki sifat Enggan dan Sombong, Padahal membenarkan.
Firman Allah:
Firman Allah:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلائِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا
إِلا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (٣٤)
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat, ‘Tunduklah kamu
kepada Adam’. Lalu mereka tunduk kecuali iblis, ia enggan dan congkak dan
adalah ia termasuk orang-orang kafir.
(Q.S Al Baqarah : 34)
3. Ragu terhadap dalil al-Qur’an dan Hadits
Allah berfirman dalam
Al Quran:
وَدَخَلَ
جَنَّتَهُ وَهُوَ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ قَالَ مَا أَظُنُّ أَنْ تَبِيدَ هَذِهِ
أَبَدًا (٣٥) وَمَا أَظُنُّ
السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَى رَبِّي لأجِدَنَّ خَيْرًا مِنْهَا
مُنْقَلَبًا (٣٦) قَالَ
لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ
مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلا (٣٧) لَكِنَّا هُوَ اللَّهُ رَبِّي وَلا
أُشْرِكُ بِرَبِّي أَحَدًا (٣٨)
Artinya : Dan ia memasuki kebunnya, sedang ia
aniaya terhadap dirinya sendiri ; ia berkata, “Aku kira kebun ini tidak akan
binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira Hari Kiamat itu akan datang, dan
jika sekiranya aku dikembalikan kepada Rabbku, niscaya akan kudapati tempat
kembali yang baik” Temannya (yang mukmin) berkata kepadanya, ‘Apakah engkau
kafir kepada (Rabb) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air
mani, kemudian Dia menjadikan kamu seorang laki-laki? Tapi aku (percaya bahwa)
Dialah Allah Rabbku dan aku tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun. (Q.S Al Kahfi : 35-38)
4. Berpaling dari Peringatan Allah SWT
Allah menyampaikan lewat wahyunya dalam Al
Quran:
مَا
خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ
مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ (٣)
Artinya
: Dan orang-orang itu berpaling dari peringatan yang disampaikan kepada mereka (Q.S Al Ahqaf : 3)
5.
Nifaq (munafik)
Dalilnya adalah firman Allah dalam surat Al
Munafiqun:
ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لا
يَفْقَهُونَ (٣)
Artinya : Yang demikian itu adalah karena mereka beriman
(secara) lahirnya lalu kafir (secara batinnya), kemudian hati mereka dikunci
mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti (Q.S Al Munafiqun : 3)
6. Kufur Kecil[8]
Seperti kufur nikmat, sebagaimana yang
disebutkan dalam firmanNya. Dalam Al Quran banyak sekali dalil tentang kufur
kecil ini disebutkan diantaranya adalah firman Allah dalam Alquran:
يَعْرِفُونَ
نِعْمَةَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ (٨٣)
Artinya: Mereka
mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkari dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang kafir (Q.S An
Nahl : 83)
B.
Implementasi Dalil tentang Tanda-Tanda
Iman dalam kehidupan sehari-hari
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah
menuturkan: “Hasil usaha jiwa dan kalbu yang terbaik dan penyebab seorang hamba
mendapatkan ketinggian di dunia dan akhirat adalah ilmu dan iman,[9]
oleh karena itu Allah SWT menggabung keduanya dalam firman-Nya yang artinya:
وَقَالَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَالإيمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ
إِلَى يَوْمِ الْبَعْثِ فَهَذَا يَوْمُ الْبَعْثِ وَلَكِنَّكُمْ كُنْتُمْ لا
تَعْلَمُونَ (٥٦)
Artinya: Dan
berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada
orang-orang yang kafir): “Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut
ketetapan Allah, sampai hari berbangkit.” (Qs. Ar-Ruum: 30/56)
Dan firman Allah SWT yang artinya:
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (١١)
Artinya: Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Qs.
Al-Mujaadilah: 58/11)
Dalam Buku Ajar Madrasah Aliyah dan SMA, disebutkan bahwa penerapan
sikap perilaku beriman kepada kitab-kitab allah Semakin dalam seseorang imannya
itu, bila tercermin dari sikap perilaku dalam sehari-hari nampak dari
kehidupannya. Di antara sikap perilaku penerapan sikap perilaku beriman kepada Allah
SWT sebagai berikut: [10]
1. Optimis
dalam beribadah kepada Allah SWT atas segala usaha yang dilakukannya karena
percaya pertolongan Allah SWT sangat dekat kepada orang yang berbuat baik
(Q.S.Al A’raaf (7) : 56)
2. Selalu
bersyukur bila mendapat nikmat (Q.S. Ibrahim (14) : 7)
3. Tabah
dan sabar bila mendapat musibah dan cobaan (Q.S. Al Baqarah (2) : 155-157)
4. Senantiasa
meminta pertolongan kepada Allah dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara (Q.S. Al Fatihah (1) : 5)
5. Sebagai
pedoman dan contoh perilaku di masyarakat (Q.S. Ali ‘Imran (3) : 110)
6. Mendorong
seseorang untuk melakukan hal-hal yang baik bagi masyarakat (Q.S. Ali ‘Imran
(3) : 104)
7. Sebagai
motivator, dinamisator, dan stabilisator dalam kehidupan, sehingga hubungan
terjalin secara serasi, selaras dan seimbang.
8. Membiasakan
dan senang sekali melakukan kegiatan amal saleh, disiplin dan patuh kepada
ajaran Islam
9. Bekerja
keras (berjihad) dan tidak khawatir, karena yakin akan perlindungan Allah SWT
10. Memurnikan
ajaran Islam dengan memantapkan tauhid dalam jiwa, dan menjauhi mempercayai
takhayul dan mistik.
11. Menjauhi
dan mencegah perbuatan-perbuatan tercela yang tidak diridlai Allah SWT.
12. Waspada dan
mawas diri karena merasakan kehadiran malaikat yang senantiasa mengawasinya.
13. Jujur dan
meyakini bahwa kelak akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya yang baik
dan buruk.
Kesempurnaan dari Hak Allah bagi manusia beriman tidak cukup untuk
hanya memikirkan keselamatan dirinya dari segala bahaya dan berbagai musibah
dari segala perkara dunia pada kehidupannya dan dari berbagai kesusahan dan
kesengsaraan hidup berlomba-lomba mencari perbekalan hidup bagi dirinya dan
keturunannya dengan alas an untuk kuat ta’at beribadah, padahal mengikuti hawa
nafsu yang samara pada hati, sehingga merasa butuh pada kehidupan Hubbuddunya
(cinta dunia) sehingga kikir bersedekah karena sangat takutnya menjadi miskin
dan sengsara.
Dan berlomba-lomba pula mencari keselamatan akhirat agar
terbebas dari siksa kubur dan azab neraka dengan melulu atau banyak mengerjakan
berbagai Peribadatan (Ubudiyyah), padahal mengikuti nafsu yang samara
pada hati hingga menghilangkan keikhlasan Kepada-Nya, maka timbulah rasa bangga
hati (ujub) karena merasa telah pahala yang didapat bagi bekal akhirat,
kemudian lupa bahwa; tiadalah amal yang diterima melainkan yang ikhlas
Kepada-Nya pada Rahmat-Nya, jadilah hati terpedaya dan terbelenggu mengandalkan
amal, sehingga tiadalah pada lathifah Bathin Rasa Tawadhu (Merendah)
Kepada-Nya dalam segala Keikhlasan Amal.
Langkah-langkah antisipasi dalam menguatkan keimanan dapat
diwujudkan dalam beberapa aktifitas ibadah yaitu:
1.
Memiliki lidah yang
selalu menjadikannya sibuk berdzikir atau bertasbih kepada Allah dengan membaca
Al-Qur’an dan mempelajari ilmu agama.
2.
Memiliki hati yang
selalu mengeluarkan dari dalam hatinya perasaan tidak bermusuhan, iri, dengki
dan lain sebagainya.
3.
Penglihatan tidak
akan memandang kepada hal-hal yang haram, tidak memandang dunia dengan
keinginan hawa nafsu, tetapi ia memandanginya dengan mengambil i’tibar dan
pelajaran.
4.
Perutnya, dia tidak
memasukkan hal-hal haram kedalamnya, sebab yang demikian itu adalah perbuatan
dosa.
5.
Tangannya, dia tidak
memanjangkan tangannya ke arah hal-hal yang
haram, tetapi memanjangkannya untuk memenuhi ketaatan.
haram, tetapi memanjangkannya untuk memenuhi ketaatan.
6.
Telapak kakinya, dia
tidak berjalan kepada hal-hal yang haram ataukedalam kemaksiatan, tetapi
berjalan di jalan Allah SWT dengan bersahabat atau berteman dengan orang-orang
yang sholeh.
7.
Menjadikan keta’atannya
itu murni dan ikhlas karena Allah SWT.
C.
Standarisasi Perilaku Mukmin Sejati dalam
Kehidupan Pribadi dan Keluarga sesuai dengan Keadaan Kontemporer Indonesia
Pendidikan moral dan akhlak menduduki posisi yang sangat
penting dalam pembentukan karakter pendidikan di Indonesia, bahkan bukan hanya
dalam aspek pendidikan saja, melainkan juga bidang kehidupan politik, ekonomi,
sosial budaya, dan ideologi. Arti penting dari pendidikan moral atau akhlak
dapat dilihat dari hasil pendidikan yang sampai saat ini berlangsung. Banyak
pemimpin negara yang lupa akan penderitaan rakyat, hanya mementingkan diri dan
kelompoknya, menindas kaum melarat dan kalah serta tunduk kepada pemilik modal
besar (konglomerat). Bangsa Indonesia akan terus mengalami kemerosotan ekonomi,
politik, dan budaya, ketika pendidikan moral dan akhlak sudah dijadikan sebagai
landasan awal pendidikan nasional. Namun, semua ini tergantung pada political
will para pemimpin negeri ini (Presiden dan DPR atau ekskutif dan
legislatif).
Seperti yang termaktub dalam firman Allah Swt :
إِنَّ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ
آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ
عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani,
dan Shabiin, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah
dan Hari Akhir serta beramal shaleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S Al-Baqarah : 62)
Imam Abu Ja’far al-Thabari kerika mengomentari ayat di atas
beliau berkata :
“Makna kata
Iman yang disandarkan kepada orang mukmin pada ayat ini adalah ketetapan iman
dalam diri mereka dengan tidak menggantinya, adapun Iman yang disandarkan
kepada kaum Yahudi, Nasrani dan Sabiin adalah kepercayaan dan pembenaran mereka
terhadap kenabian Muhammad saw serta seluruh yang datang kepada beliau
(rislah), maka barang siapa diantara mereka yang beriman kepada Muhammad Saw
serta risalah yang dibawa oleh beliau, dan beriman kepada hari Akhirat dan
beramal shaleh, serta tidak menggantinya dan merubahnya hingga ia meninggal,
maka baginya pahala atas segala yang ia kerjakan dan bagi mereka pahala disisi
Allah sebagaiman yang disifatkan oleh Allah tentang mereka dalam ayat ini”[11]
Penjelasan Imam al-Thabary dalam mengomentari ayat di atas
menunjukkan bahwa keimanan yang dapat mengantarkan kepada pahala yang besar dan
rasa aman adalah keimanan dengan mengikuti syariat yang dibawa oleh Muhammad
Saw, karena syriat beliau merupakan syariat penutup dan penyempurna atas
syariat Rasul-rasul terdahulu. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kata iman yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah syriat khatam
an-Nabiyyin Muhammad Saw. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw :
لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به
Artinya: Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga
nafsunya mengikuti apa diutuskan kepadaku.[12]
Begitu pula dalam kehidupan keluarga muslim, prinsip rumah tangga
sakinah mawadah wa rahmah adalah aqidah keimanan Islam dan hukum
kesetaraan derajat perempuan dengan laki-laki (bhs menterengnya kesetaraan
gender). Dan doktrin kesepakatan di antara dua insan dalam berrumahtangga
adalah perjanjian yang tidak boleh dinafikan. Bila kita masuki hakekat dasar
dalam praxis hidup melalui hukum umum gerak akhlaaq kemanusiaan, adalah
interaksi timbal balik di antara dua insan yang berpasangan, yaitu usaha dua
insan yang berpasangan untuk berbuat saling memberikan perhatian, saling
membantu dan saling mencintai.
KESIMPULAN
1.
Dari
cahaya iman yang ada dalam hatinya, jadilah orang-orang beriman melakukan
aktifitas-aktifitas yang mencirikan keimanannya. Adapun tanda-tanda Orang yang
Beriman QS. Al Baqarah
(2) : 177 (Beriman
kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi), memberikan harta yang dicintainya (QS
9:92 ; 3:134 ; 8:3),
memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janjinya apabila ia
berjanji, sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan (QS. Ali Imran (3) : 16-17), berdo'a, sabar,
bertaubat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat
munkar dan memelihara hukum-hukum Allah, menjaga kemaluannya, memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya,
2.
Di antara
Karakteristik (tanda) orang yang beriman adalah:
a.
Orang yang beriman
adalah mereka yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaan mereka
kepada selain Allah, yang ketika nama Allah disebutkan hati mereka bergetar,
dan ketika mereka mendengarkan ayat-ayat Allah di bacakan keyakinan mereka akan
kebenaran Risalah Rasulullah Saw semakin terpatri dalam dirinya.
b.
Orang yang beriman
adalah mereka yang bersegera dalam menjalankan segala bentuk kewajiban syariah
tanpa melakukan penundaan sedikitpun.
c.
Orang yang beriman
adalah mereka yang senantiasa menjaga keutuhan persaudaraan diantara sesama
muslim.
3.
Adapun standarisasi keimanan
seorang mukmin dalam kehidupan pribadi dan keluarga yang sesuai dengan keadaan
kontemporer Indonesia yaitu:
a.
Kemerdekaan dari
kekuasaan orang lain sebagai wujud persamaan hak.
b.
Menimbulkan
keberanian dan ingin terus maju karena membela kebenaran.
c.
Keyakinan bahwa Allah
menjamin kehidupanya dengan limpahan rejeki.
d.
Mendapat ketenangan
jiwa dan ketentraman keluarga.
e.
Kemampuan
mengendalikan diri dari sifat tercela dan melanggar hukum.
f.
Mendapat kedudukan
yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Azra,
Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta:
logos Wacana ilmu, 1998.
Al-Abrasyi,
Athiyah. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1996.
Abidin,
Ibn Rus. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998.
al-Bukhary, Muhammad bin Ismail. Sahih Bukhari Cet. I.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H / 1992 M.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Al-hijazi,
Hasan
Bin Ali. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qoyyim. Jakarta: Pustaka
Al-kausar, 2001.
al-Thabary, Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far. Jami’
al-Bayan fii Ta’wil al-Qur’an, Jld. XIII. Beirut: Muassasah al-Risalah,
1420 H / 2000 M.
al-Qarni, A’aidl Abdullah Kitab 30 Tanda-Tanda Orang Munafiq. Jakarta : Gema Insani. 1993.
al-’Akbary, Ibnu Baththah. al-Ibanah. Kairo: Maktabah
as-Sunnah, T.Th.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadh al-Qur’an, Beirut:
Dar al-Fikr, 1412 H / 1992 M.
Kanwil DEPAG JATIM, Buku paket Akidah Akhlak kelas X MA.
Rohman, Roli Abdul. Akidah Akhlak
MA kelas X (Jakarta: Tiga Serangkai, 2011).
Harrâs, Syaikh Muhammad Khalîl Sharh} Aqî>dah Wâsit}iyah, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul
Qadir as-Saqqâf, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.
Khoirun, Rosyadi, Pendidikan Profetik. Yogyakarta:
Pusataka Pelajar, 2004.
Mulkhan, Abdul Munir, Sufi Pinggiran, menembus batas-batas. Yogyakarta:
Impulse-Kanisius, 2007.
Shihab,
M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2003.
[1] Kata Iman dan perubahannya di dalam Al-Qur’an
terulang sebanyak 43 kali, adapun kata dasarnya yaitu أَمِن dan أَمَنَ dengan
seluruh bentuk perubahannya, maka kita akan menemukan di dalam al-Qur’an akan
terulang sebanyak 913 kali, jadi kata أَمِن dan أَمَنَ digabungkan dengan kata الإيمان dengan segala bentuk perubahannya terulang di
dalam Al-Qur’an sebanyak 956 kali. Lihat Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Al-Fadh al-Qur’an, (Cet.
III; Beirut: Dar al-Fikr, 1412 H / 1992 M), h. 101-118.
[2] Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs, Sharh}
Aqî>dah Wâsit}iyah, takhrîj: ‘Alwi bin Abdul Qadir as-Saqqâf, (Beirut:
Dar Al-Fikr, t.t.), 231.
[3]
Ibid.
[4] Muhammad
bin Ismail al-Bukhary, Sahih Bukhari Cet. I; (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1412 H / 1992 M), 221.
[5] Ibid, 157.
[6] Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far
al-Thabary, Jami’ al-Bayan fii Ta’wil al-Qur’an, Jld. XIII (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1420 H / 2000 M), , h. 385.
[8] Kufur kecil yaitu kufur yang tidak menjadikan
pelakunya keluar dari agama Islam, dan ia adalah kufur amali. Kufur amali ialah
dosa-dosa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dosa-dosa
kufur, tetapi tidak mencapai derajat kufur besar.
[9] Syaikh Muhammad Khalîl Harrâs, Sharh}
Aqî>dah Wâsit}iyah, 232.
[11]
Muhammad bin Jarir bin Yazid Abu Ja’far al-Thabary, Jami’ al-Bayan fii
Ta’wil al-Qur’an Jil II (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1420 H / 2000 M),
143.
[12] Ibnu
Baththah al-’Akbary, al-Ibanah (Kairo: Maktabah as-Sunnah, T.Th), 298.
Terimakasih...barakallah...
BalasHapus