FIQH MUAMALAH DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA
oleh: SAMSUL
HUDA
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Secara bahasa kata muamalah
adalah masdar dari kata 'Amala-Yu'amili-Mu'amalatan yang
berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal. Pengertian fiqh muamalah
yang dimaksud dalam tulisan ini "muamalah adalah aturan Allah yang
mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan
cara yang paling baik" atau " Muamalah adalah tukar-menukar barang
atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan"[1]
Manusia adalah makhluk
dwi-dimensi. Ia diciptakan Tuhan dari debu tanah dan ruh Ilahi. Debu tanah
membentuk jasmaninya dan ruh Ilahi yang dihembuskan-Nya itu melahirkan
daya nalar, daya kalbu, dan daya hidup. Dengan mengasah daya nalar lahir
kemampuan ilmiah; dengan mengasuh daya kalbu lahir antara lain iman dan
moral yang terpuji; dan dengan menempa daya hidup tercipta semangat
menanggulangi setiap tantangan yang dihadapi.
Jati diri manusia sebagai makhluk
sempurna terletak pada pembentukan karakternya berdasar keseimbangan antar
unsur-unsur kejadiannya, yang tercapai melalui pengembangan daya-daya yang
dianugerahkan Tuhan itu. Jati diri yang kuat serta sesuai
dengan kemanusiaan manusia, terbentuk melalui jiwa yang kuat dan konsisten, serta
memiliki integritas, dedikasi, dan loyalitas terhadap Tuhan dan sesama makhluk.
B. Rumusan
Masalah
Dari pemaparan
rumusan masalah di atas, maka dapat diambil rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
- Apa yang dimaksud dengan fiqh muamalah ?
- Apa yang dimaksud dengan membangun karakter bangsa ?
- Bagaimana peran fiqh muamalah dalam membangun karakter bangsa ?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqh Muamalah
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili (dalam
Fiqh Muamalah Perbankan syariah, Team Counterpart Bank Muamalat
Indonesia ,1999) fiqih muamalah merupakan
salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang lainnya yaitu tentang
hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum
perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum
pemerintahan. Semua bentuk persoalan tang dicantumkan dalam kitab fiqih adalah
pertanyaan yang dipertanyakan masyarakat atau persoalan yang muncul
ditengah-tengah masyarakat. Kemudian para ulama memberikan pendapatnya yang
sesuai kaidah-kaidah yang berlaku dan kemudian pendapat tersebut dibukukan berdasarkan
hasil fatwa fatwanya.[2]
Secara bahasa (
etimologi ) Fiqih (فقه ) berasal dari kata faqiha (فقه) yang berarti Paham dan muamalah berasal dari kata ’amila (عامل- يعامل – معاملة ) yang berarti berbuat atau bertindak. Muamalah
adalah hubungan kepentingan antar sesama manusia ( hablun minannas ). Muamalah
tersebut meliputi transaksi-transaksi kehartabendaan seperti jual beli,
perkawinan, dan hal-hal yang berhubungan dengannya, urusan persengketaan (
gugatan, peradilan, dan sebaginya ) dan pembagian warisan.
Fiqih muamalah dalam pengertian
kontemporer sudah mempunyai arti khusus dan lebih sempit apabila dibandingkan
dengan muamalah sebagai bagian dari pengelompokan hukum Islam oleh ulama klasik
(ibadah dan muamalah). Fiqih muamalah merupakan peraturan yang menyangkut
hubungan kebendaan atau yang biasa disebut dikalangan ahli hukum positif dengan
nama hukum Private (hal qanun al madani). Hukum private dalam pengertian
tersebut tidak lain hanya berisi pembicaraan tentang hak manusia dalam
hubungannya satu sama lain, seperti hak penjual untuk menerima uang dari
pembeli dan pembeli menerima barang dari penjual.
Dan menurut Dr. H. Hendi Suhendi,
(dalam Fiqh Muamalah 2002, hal. 1). Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua
segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari segi istilah. Menurut bahasa,
muamalah berasal dari kata : (عامل- يعامل – معاملة) sama dengan wazan : (فاعل – يفاعل – مفاعلة) , artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling
mengamalkan. Sedangkan menurut istilah pengertian muamalah dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti luas dan pengertian muamalah
dalam arti sempit. Definisi muamalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli
sebagai berikut :[3]
Al Dimyati berpendapat bahwa
muamalah adalah :
التحصيل الدنيوي ليكون سببا للاخر
”Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab
suksesnya masalah ukhrawi”.
Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan. Dari pengertian dalam arti luas di atas, kiranya dapat diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan. Dari pengertian dalam arti luas di atas, kiranya dapat diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Sedangkan pengertian muamalah
dalam arti sempit (khas) didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut :
- Menurut Hudlari Byk.المعاملات جميع العقود التي بها يتبادل منافعهم
”
Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.
- Menurut Idris Ahmad ”Muamalah adalah aturan aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaniyah dengan cara yang paling baik”.
- Menurut
Rasyid Ridha, muamalah adalah tukar menukar barang atau suatu yang
bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dari pandangan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqih muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Persamaan pengertian muamalah
dalam arti sempit dan muamalah dalam arti luas adalah sama-sama mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan pemutaran harta.[4]
B.
Pengertian Membangun Karakter Bangsa
Kendati setiap individu memiliki
ego dan kepentingan-kepentingan pribadi yang dapat bertentangan dengan ego
individu lain, namun mereka harus menjalin hubungan kerjasama, sebab manusia
adalah makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri guna memenuhi
kebutuhannya yang demikian banyak dan beragam. Guna langgeng dan harmonisnya
jalinan kerja sama itu, maka harus dibangun atas dasar manfaat dan keuntungan
bersama, bukan bertujuan untuk menang sendiri atau kepentingan kelompok
tertentu. Dari sinilah diperlukan moral, di mana seseorang mengorbankan
sebagian kepentingan egonya demi mencapai tujuannya, bahkan demi membantu yang
lain untuk mencapai tujuannya. Perlu dicatatat bahwa jiwa manusia merasakan
kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani setiap berhasil mengendalikan
dorongan nafsunya, selama kalbunya masih berfungsi dengan baik. Karena itu,
dalam konteks meningkatkan kesadaran moral, perhatian harus banyak tertuju
kepada kalbu. [5]
Karakter berbeda dengan
temperamen. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai
rangsangan dari luar dan dari dalam. Ia berhubungan erat dengan kondisi
biopsikologi seseorang, sehingga sangat sulit diubah karena ia
dipengaruhi oleh unsur hormon yang bersifat biologis. Sedang kakarter terbentuk
melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman,
serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik
merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Dalam bahasa Islam, ia dinamai rusyd.
Ia bukan saja nalar, tetapi gabungan dari nalar, kesadaran moral, dan
kesucian jiwa.
Karakter terpuji merupakan
hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang
yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena itu, ia berkaitan sangat
erat dengan kalbu. Bisa saja seseorang memiliki pengetahuan yang dalam, tetapi
tidak memiliki karakter terpuji. Sebaliknya, bisa juga seseorang yang amat
terbatas pengetahuannya, namun karakternya amat terpuji. "Sesungguhnya
dalam diri manusia ada suatu gumpalan, kalau ia baik, baiklah seluruh
(kegiatan) jasad dan kalau buruk, buruk pula seluruh (kegiatan) jasad. Gumpalan
itu adalah hati”.
Memang ilmu tidak mampu
menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu mengukuhkannya, dan karena itu
pula mengasuh kalbu sambil mengasah nalar, memperkukuh karakter seseorang.[6]
C.
Peran Fiqh Muamalah Dalam Membangun
Karakter Bangsa
Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang besar. Bangsa ini dibangun dari kehendak yang sama untuk mewujudkan
cita-cita sebagai bangsa untuk mewujudkan empat tujuan negara (i) melindungi
segenab bangsa dan tumpah darah Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan umum,
(iii) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (iv) ikut menjaga ketertiban
dunia berdasarkan perdamaian abadi. Tentu saja cita-cita tersebut tidak
mudah direalisasikan.[7]
Bangsa ini memiliki banyak
pengalaman ancaman dan tantangan yang menghambat cita-cita tersebut.
Sungguh beruntung, Pancasila senantiasa menunjukkan nilai-nilai
keluhurannya. Hal ini bukan saja berhasil digali oleh para pendiri bangsa
tetapi juga direalisasikan dalam pembebasan dari penjajahan. Sudah
saatnya, generasi saat ini memantapkan dan mengakualisasikan kembali
nilai-nilai Pancasila; untuk memandu jalannya kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara; dan memecahkan berbagai permasalahannya. Bangsa
ini memerlukan orang-orang berkualitas, orang-orang berkarakter kebangsaan, atau
orang-orang Pancasilais sebagaimana teladan yang diberikan para pendiri bangsa.[8]
Menurut Quraisy Shihab, dalam konteks
membangun moral bangsa, maka diperlukan nilai-nilai dari fiqh muamalah yang
harus disepakati dan dihayati bersama. Disepakati
karena kalau setiap orang diberi kebebasan untuk menentukan nilai
itu, maka seorang perampok misalnya, akan menilai bahwa mengambil hak orang
lain adalah tujuan dan bahwa kekuatan adalah tolok ukur hubungan antar
masyarakat. Ini tentu saja akan merugikan masyarakat bahwa pada akhirnya
merugikan diri yang bersangkutan sendiri.
Tetapi di sisi lain, jika kita
tidak memberi kesempatan kepada manusia untuk memilih, maka ketika itu kita
telah menjadikannya bagaikan mesin bukan lagi manusia yang
memiliki kehendak, tanggung jawab, dan cita-cita. Manusia harus memiliki
pilihan, tetapi pilihan tersebut bukan pilihan orang perorang secara individu,
tetapi pilihan mereka secara kolektif. Dari sini setiap masyarakat secara
kolektif bebas memilih pandangan hidup, nilai-nlai, dan tolok ukur moralnya dan
hasil pilihan itulah yang dinamai Jati diri bangsa. Dengan
demikian, jati diri bangsa terkait erat dengan kesadaran kolektif yang
terbentuk melalui proses yang panjang. Memang rumusannya dicetuskan oleh
kearifan the founding fathers bangsa, tetapi itu
mereka gali dari masyarakat dan karena itu pula maka masyarakat
menyepakatinya. Jati diri bangsa Indonesia yang kita sepakati adalah
Pancasila.
Nilai-nilai yang telah disepakati
itu harus dihayati, karena hanya dengan penghayatan nilai
dapat berfungsi dalam kehidupan ini. Hanya dengan penghayatan karakter
dapat terbentuk. Tidak ada gunanya berteriak sekuat tenaga atau menulis panjang
lebar tentang nilai-nilai dan keindahannya, jika hanya terbatas sampai di sana. Ini bagaikan
seseorang yang memuji-muji kehebatan obat, tetapi obat itu tidak
ditelannya sehingga tidak mengalir ke seluruh tubuhnya dan tidak menjadi bagian
dari dirinya. Ia harus menelannya, lalu membiarkan darah mengalirkan obat itu
ke seluruh tubuhnya, serta menyentuh dan mengobati bagian-bagian dirinya yang
sakit, bahkan lebih memperkuat lagi yang telah kuat.
Selanjutnya, karena nilai-nilai
yang dihayati membentuk karakter, maka nilai-nilai yang dihayati seseorang atau
satu bangsa dapat diukur melalui karakternya. Perubahan yang
terjadi pada karakter, bisa jadi karena perubahan nilai yang dianut atas
dasar kesadaran mereka, dan bisa juga karena terperdaya atau lupa oleh
satu dan lain sebab. Dari sini diperlukan nation and character building.
Membangun kembali karakter bangsa mengandung arti upaya untuk memperkuat
ingatan kita tentang nilai-nilai luhur yang telah kita sepakati bersama dan
yang menjadi landasan pembentukan bangsa, dalam hal fiqh muamalah ini adalah
Pancasila, disamping membuka diri untuk menerima nilai-nilai baru yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pandangan bangsa. Inilah yang
dapat menjamin keuntuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta kelestarian
Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa. [9]
Semakin matang dan dewasa satu
masyarakat, semakin mantap pula pengejewan-tahan nilai-nilai yang mereka anut
dalam kehidupan mereka. Masyarakat yang belum dewasa, adalah yang belum
berhasil dalam pengejewantahannya dan masyarakat yang sakit adalah yang
mengabaikan nilai-nilai tersebut.Penyakit bila berlangsung tanpa diobati akan
mempercepat kematian masyarakat. Bila penyakit masyarakat berlanjut tanpa
pengobatan, maka kematian masyarakat tidak dapat terelakan.
Bila terdapat hal-hal
dalam diri angggota masyarakat yang bertentangan dengan jati diri
dan tujuan itu, maka semestinya masyarakat meluruskan hal tersebut sehingga
terjadi keharmonisan antara ego setiap individu dan kepentingan masyarakat.
Sekali lagi terlihat disini betapa pentingnya melaklukan apa yang diistilahkan
dengan Character and Nation
Building “
Masyarakat melakukan hal tersebut
melalui pendidikan (pengembangan fiqh muamalah). Disinilah terukur
keberhasilan dan kegagalan pendidikan. Karena itu pula ukuran
keberhasilan lembaga pendidikan – khususnya Perguruan Tinggi- bukan
saja melalui kedalaman ilmu dan ketajaman nalar para staf pengajarnya
tetapi juga pada kecerdasan emosi dan spiritual civitas akademikanya.
Kecerdasan intelektual jika tidak dibarengi dengan
kedua kecerdasan di atas, maka manusia bahkan kemanusiaan seluruhnya akan
terjerumus dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya jika kecerdasan intelektual
dibarengi oleh kedua kecerdasan itu, maka keduanya akan membimbing seseorang
untuk menggunakan pengetahuannya menuju kebaikan, yang pada gilirannya
menghasilkan aneka buah segar yang bermanfaat bagi diri, masyarakat bahkan
kemanusiaan seluruhnya.
Pembentukan karakter bangsa harus
bermula dari individu anggota-anggota masyarakat bangsa, karena masyarakat
adalah kumpulan individu yang hidup di satu tempat dengan
nilai-nilai yang merekat mereka. Masyarakat
adalah kumpulan sekian banyak individu yang terbentuk berdasar
tujuan yang hendak mereka capai. Ini karena setiap individu lahir dalam keadaan
hampa budaya, lalu masyarakatnya yang membentuk budaya dan nilai-nilainya, yang
lahir dari pilihan dan kesepakatan mereka .
Membentuk karakter individu
bermula dari pemahaman tentang diri sebagai manusia, potensi positif dan
negatifnya serta tujuan kehadirannya di pentas bumi ini. Selanjutnya
karena masyarakat Indonesia
adalah masyarakat religius, ber-Ketuhan Yang Maha Esa, maka tentu saja
pemahaman tentang tentang hal-hal tersebut harus bersumber dari Tuhan Yang Maha
Esa / ajaran agama.
Untuk mewujudkan karakter yang
dikehendaki diperlukan lingkungan yang kondusif, pelatihan dan
pembiasaan, presepsi terhadap pengalaman hidup dan lain-lain. Disisi lain
katrakter yang baik harus terus diasah dan diasuh, karena ia adalah
proses pendakian tanpa akhir. Dalam bahasa agama penganugerahan hidayat Tuhan
tidak terbatas, sebagaimana tidak bertepinya samudra ilmu “ Tuhan menambah
hidayat-Nya bagi orang yang telah memperoleh hidayat” dan Tuhanpun
memerintahkan manusia pilihannya untuk terus memohon tambahan
pengetahuan. Praktek ibadah yang ditetapkan agama bukan saja cara untuk
meraih karakter yang baik, tetapi juga cara untuk memelihara karakter itu
dari aneka pengaruh negative yang bersumber dari dalam diri manusia
dan dari lingkungan luarnya, sekaligus ia adalah cara untuk mendaki
menuju puncak karakter terbaik, -yang dalam ajaran Islam adalah upaya untuk
meneladani sifat-sifat Tuhan yang tidak terbatas itu. Karena itu ibadah harus
terus berlanjut hingga akhir hayat, dan karena itu pula pembentukan karakter
adalah suatu proses tanpa henti.
Kalau merujuk kepada ajaran agama
dan keberhasilan para nabi serta penganjur kebaikan, maka ditemukan sekian
banyak cara yang mereka tempuh yang akhirnya mengantar kepada keberhasilan
mereka. Tentu tidak mudah hal itu dipaparkan secara utuh
dalam kesempatan ini. Namun yang jelas, mereka tidak sekedar menyampaikan
informasi tentang makna baik dan buruk. Memang ini diperlukan
untuk mewujudkan pemahaman yang mengantar kepada perubahan positif, tetapi jika
terbatas hanya sampai disana, maka ini hanya mengantar kepada
pengetahuan yang menjadikan pemiliknya pandai berargumentasi tentang kebaikan
sesuatu- walau mereka tidak mengerjakannya atau mengeritik keburukan yang
mereka jumpai –walau mereka sendiri melakukannya. Hal serupa inilah yang kini
tidak jarang terjadi dalam masyarakat kita.[10]
Pengetahuan tanpa penghayatan,
tidak dapat menimbulkan apa yang diistilahkan oleh pakar-pakar agama
(tashawwuf) dengan halah yakni kondisi psikologis yang mengantar
seseorang berkeinginan kuat untuk berubah secara positif.
Boleh jadi keinginan berubah itu tidak muncul karena yang
bersangkutan telah puas dengan keadaannya buruk, yang dalam bahasa kitab
suci Al-Qur'an telah diperindah (oleh setan) keburukan amal-amalnya
sehingga memperturutkan nafsunya ( Q.S.Muhammad [47]:14) dan dengan
demikian jangankan menjadi climber - dalam
istilah sementara psikolog – yakni pendaki kepuncak prestasi guna
mengaktualisasikan diri, menjadi camper yakni berkemah
pada pertengahan anak tangga pendakianpun, tidak mampu dilakukannya,
karena ia telah menjadi quiter berhenti
bergerak, menyerah kalah sebelum berusaha. Ini dalam bahasa
Al-Qur'an dilukiskan dengan kalimat istahwaza 'alaihihim Asy-Syaithan (mereka
telah dikuasai oleh setan sehingga setan menjadikan mereka
lupa mengingat Tuhan" ( Q.S. Al-Mujadalah [58]:19)
Para nabi dan penganjur kebaikan
di samping menjelaskan dan mengingatkan tentang baik dan buruk, mereka justeru
lebih banyak melakukan olah jiwa dan pembiasaan, dengan
aneka pengamalan yang kalau perlu pada mulanya dibuat-buat bukan
oleh dorongan kemunafikan tetapi agar menjadi kebiasaan dan watak. Mereka
juga mengemukakan aneka pengalaman sejarah masyarakat dan
tokoh-tokoh masa lampau. Disamping itu, mereka berusaha sekuat
kemampuan untuk mengurangi sedapat mungkin pengaruh negative lingkungan,
karena melalui lingkungan, watak dapat berubah menjadi positif atau
negatif. Hanya saja perlu dicatat bahwa pada umumnya pengaruh negatif
lingkungan lebih mudah diserap daripada pengaruh positifnya. Sedang pendekatan
yang mereka lakukan guna menciptakan watak masyarakat adalah
pendekatan buttom-up, yang mereka tularkan kepada keluarga,
lalu sahabat dan handai tolan dalam lingkungan kecil hingga mencakup seluruh
masyarakat.[11]
Berikut ini adalah pokok-pokok pikiran
fiqh muamalah dan Pancasila membangun karakter bangsa.
- Semangat dan cita-cita kebangsaan telah dideklarasikan para pendiri bangsa (founding fathers). Para pendiri bangsa mampu menggali nilai-nilai budaya luhur bangsa (atau disebut filsafat Pancasila maupun filsafat keagamaan). Pemahaman terhadap falsafah kebangsaan telah menghasilkan semangat juang para pendahulu sehingga membebaskan dari belenggu penjajahan. Falsafah Pancasila yang dilandasi nilai-nilai sejarah, cita-cita dan ideologi, juga berfungsi memandu bangsa Indonesia memandang dinamika kehidupan dan menentukan arah pembangunan menuju masyarakat yang mandiri, maju, adil, dan makmur.[12]
- Fenomena globalisasi berpengaruh kepada pergeseran atau perubahan tata nilai, sikap dan perilaku pada semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perubahan yang positif dapat memantapkan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan mengembangkan kehidupan nasional yang lebih berkualitas. Tuntutan dan aspirasi masyarakat terakomodasi secara positif disertai upaya-upaya pengembangan, peningkatan pemahaman, penjabaran, pemasyarakatan, dan implementasi Pancasila dalam semua aspek kehidupan. Adapun perubahan yang negatif harus diwaspadai sejak dini serta melakukan aksi pencegahan berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI.
- Menurut Noorsyam, filsafat pancasila memberi tempat yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sebagai implementasi sila pertama dan kedua Pancasila). Karenanya setiap manusia seyogyanya mengutamakan asas normatif religius dalam menjalankan kehidupannya. Manusia diberi oleh Tuhan kemampuan berbagai ilmu pengetahuan untuk melaksanakan tugas kekhalifahannya (Al Baqarah : 30 – 34). Manusia diminta untuk mengelola seluruh alam dan seisinya dan diperuntukkan bagi umat manusia.[13]
- Menurut Hasibuan, manusia Indonesia memiliki potensi ²illahiyah², dan bisa merealisasikan potensi illahiyahnya menjadi manfaat seluruh bangsa. Dengan menunaikan kekhalifahan itu manusia senantiasa mengalami pembelajaran. Pembelajaran diperlukan agar bangsa Indonesia dapat melalui tantangan internal maupun global dan berbagai dinamikanya. Proses pembelajaran dan iptek diharapkan menghasilkan kemampuan adaptasi atau justifikasi proses kehidupan dan menjalankan inovasi untuk menciptakan kualitas dan daya saing yang makin baik. Daya saing hanya akan meningkat, seiring dengan proses pembelajaran yang rasional dan kritis serta kreativitas di kalangan masyarakat.[14]
- Nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa perlu diimplementasi untuk membangkitkan semangat juang bangsa. Semangat juang itu bukan saja untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Kualitas itu akan lahir dari manusia yang berkarakter religius, percaya diri, dan memiliki etos kerja yang tinggi (Poespowardojo dan Hardjatno, 2010). Lahirnya SDM yang berkualitas sangat relevan untuk mengantisipasi keadaan dan perubahan lingkungan strategis.
- Bagi bangsa Indonesia, yang dibutuhkan adalah sistem kepemimpin nasional yang dapat menjalankan visi pembangunan nasional dilandasi paradigma nasional dengan kemampuan (i) memantapkan integrasi bangsa dan solidaritas nasional, (ii) mementingkan stabilitas nasional untuk meningkatkan rasa kebangsaan, (iii) memahami perubahan dan melaksanakan pembaharuan dalam manajemen pemerintahan dan (iv) upaya pencarian solusi untuk menangani permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Pemimpin pada berbagai tingkatan dan hirarki, merupakan penggerak dan motivator seluruh komponen bangsa untuk menjalankan kehidupan nasional dalam pembangunan nasional.
- Kepemimpinan nasional membutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, berkemampuan iptek dan seni yang dilandasi nilai-nilai ideologi bangsa, serta dapat berinteraksi dengan komponen bangsa lainnya dalam hidup bersama yang bermanfaat. Kepemimpinan nasional harus dapat mengawal manajemen pembangunan dalam rambu-rambu good governance, mendorong berfungsinya kelembagaan pemerintahan, pembangunan pendidikan, dan pembangunan hukum dan aparatur dalam rangka pembangunan nasional.[15]
Pembangunan pendidikan secara
umum bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan
dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan (masyarakat
dan pemerintahan) dalam prinsip-prinsip keteladanan, moral dan etika sesuai
falsafah hidup bangsa berdasarkan Pancasila. Kepemimpinan dalam keluarga,
sekolah, kemasyarakatan dan pemerintahan wajib menjalankan prinsip-prinsip
pendidikan tersebut, dan menjadi sumber motivasi dan inspirasi lahirnya
kualitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui
pendidikan diharapkan lahir kualitas SDM yang memiliki moral dan akuntabilitas
individu, sosial, institusional dan global (Lemhannas, 2009) yang akan
mengantarkan menjadi Indonesia
yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Karakter multikultur bangsa
merupakan sumber kekayaan iptek nasional, sebagai modal dasar pembangunan
nasional. Potensi tersebut perlu dioptimalkan pemanfaatannya melalui
kepemimpinan yang memiliki kompetensi manajemen pembangunan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.[16]
DAFTAR PUSTAKA
CBI (Carnegie Bosch
Institute). 2009. Leadership and Change Management in a Multicultural
Context. Tepper
School of Business, Carnegie Mellon University,
Pittsburgh, Pennsylvania, USA
Hasibuan, S. 2003.
SDM Indonesia:
Mengubah Kekuatan Potensial Menjadi Kekuatan Riil. Majalah Perencanaan
Pembangunan, Bappenas, Jakarta.
Edisi 31, April-Juni 2003: 2-10.
Lemhannas. 2009. Indeks
Kepemimpinan Nasional Indonesia
(IKNI). Lemhannas
RI. Jakarta.
Noorsyam, H. M.
2009. NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila dalam wawasan
Filosofis Ideologis dan Konstitusional. Jurnal Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dan Pusat kajian konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Wisnuwardhana Malang. 1(2): 59-84.
Poespowardojo, S dan Hardjatno, N.
J. M. T. 2010. Pancasila Sebagai Dasar Negara Dan Pandangan
Hidup Bangsa. Pokja Ideologi. Lemhannas, Jakarta
http://iwanuwg.wordpress.com/2011/09/10/membangun-karakter-bangsa/,
diakses 25 Juni 2012
http://islamwiki.blogspot.com/2009/05/fiqih-muamalah.html#ixzz1zBdEz3wC,
diakses 25 Juni 2012
http://www.scribd.com/doc/75976902/MUAMALAH,
diakses 25 Juni 2012
http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/267-membangun-karakter-bangsa,
diakses 25 Juni 2012
[4] http://www.scribd.com/doc/75976902/MUAMALAH,
diakses 25 Juni 2012
[5] http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/267-membangun-karakter-bangsa,
diakses 25 Juni 2012
[6] http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/267-membangun-karakter-bangsa,
diakses 25 Juni 2012
[7] Poespowardojo, S dan Hardjatno, N.
J. M. T. 2010. Pancasila Sebagai Dasar Negara Dan Pandangan
Hidup Bangsa. Pokja Ideologi. Lemhannas, Jakarta
[8]
http://iwanuwg.wordpress.com/2011/09/10/membangun-karakter-bangsa/,
diakses 25 Juni 2012
[9] http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/267-membangun-karakter-bangsa,
diakses 25 Juni 2012
[10] http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/267-membangun-karakter-bangsa,
diakses 25 Juni 2012
[11]
http://www.psq.or.id/index.php/in/component/content/article/102-artikel/267-membangun-karakter-bangsa,
diakses 25 Juni 2012
[12] CBI (Carnegie Bosch
Institute). 2009. Leadership and Change Management in a Multicultural
Context. Tepper
School of Business, Carnegie Mellon University,
Pittsburgh, Pennsylvania, USA
[13] Noorsyam, H. M.
2009. NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila dalam wawasan
Filosofis Ideologis dan Konstitusional. Jurnal Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dan Pusat kajian konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Wisnuwardhana Malang. 1(2): 59-84
[14] Hasibuan, S. 2003.
SDM Indonesia:
Mengubah Kekuatan Potensial Menjadi Kekuatan Riil. Majalah Perencanaan Pembangunan,
Bappenas, Jakarta.
Edisi 31, April-Juni 2003: 2-10
[16] Hasibuan, S. 2003. SDM Indonesia:
Mengubah Kekuatan Potensial Menjadi Kekuatan Riil. Majalah Perencanaan
Pembangunan, Bappenas, Jakarta.
Edisi 31, April-Juni 2003: 2-10
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "FIQH MUAMALAH DAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*