DAULAH
ABBASIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Pada
akhir kepemimpinan khalifah Bani Umayyah, yang mengalami kemunduran
dan menyebabkan keruntuhan Daulah tersebut, para keturunan Abbas mengadakan
gerakan revolusi yang berhasil mendapat dukungan masa. Karena banyak kelompok
ummat yang tidak mendukung kekuasaan imperium Bani Umayyah yang korup, sekuler
dan memihak sebagian kelompok, kelompok Syi’ah sejak awal berdirinya Daulah
Bani Umayyah telah memberontak karena merasa hak mereka terhadap kekuasaan
dirampok oleh Mu’awiyah. Kelompok Khawarij juga merasa hak politik umat tidak
boleh dimonopoli oleh keturunan tertentu tetapi merupakan hak setiap Muslim.
Dengan runtuhnya kekuasaan Bani
Umayyah, Bani Abbasiyah memimpin umat Islam dengan format dan ideologi baru.
Khalifah Abbasiyah menganggap kekuasaannya berasal dari Tuhan (Devine origin)
dan menjadi penuntun yang sebenarnya bagi masyarakat Muslim. Gelar al-Manshur,
al-Mahdi, al-Hadi, dan al-Rasyid mengidentifikasikan bahwa mereka mengklaim
diri mendapat tuntunan dari Tuhan di jalan yang lurus untuk membawa pencerahan
dan mengembalikan ummat Islam ke jalan yang benar.[1]
BAB
II
DAULAH
ABBASIYAH
A.
Berdirinya Daulah Abbasiyah
Abbasiyah berasal dari keluarga paman Nabi yang bernama
Al-Abbas dari golongan Hasyim di Makkah dan karena keturunan ini, mereka dapat
mengklaim legitimasi di mata orang-orang saleh. Sesuatu yang tidak dimiliki
Bani Umayyah. Untuk membela diri Bani Abbasiyah segera menggunakan sistem gelar
kehormatan (alqa>b, bentuk jamak dari laqab) agar dapat
mempertahankan jabatan khalifah.[2]
Dalam masa itu berkumpul para seniman di Baghdad seperti
Abu Nawas, diantara karya seni sastranya yang terkenal adalah (Alfu Lailah
wa Lailah)
diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Arabian Nights.39[43]
Sebelum berdirinya Daulah Abbasiyah terdapat 3 poros yang
merupakan pusat kegiatan, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan
tersendiri dalam memainkan perannya untuk menegakkan kekuasaan. Tiga tempat itu
ialah Humaimah, Kufah dan Khurrasan. Humaimah merupakan tempat yang tenteram,
bermukim di kota kecil itu keluarga Bani Hasyim baik dari kalangan pendukung
Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Kufah adalah wilayah yang penduduknya
menganut aliran Syi’ah, pendukung Ali ibn Abi Thalib, yang selalu bergolak dan
ditindas oleh Bani Umayyah, sehingga mudah untuk dipengaruhi agar memberontak
terhadap Umayyah. Khurrasan mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat
fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan
tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang.[3]
Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang
waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M).[4]
untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, di sisi singgasana khalifah tergelar
karpet yang digunakan sebagai tempat eksekusi. Ketika berhasil merebut
kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung konsep sejati
kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan
sekuler (mulk) Daulah Umayyah. Sebagai cirri khas keagamaan dalam istana
kerajaannya, dalam berbagai kesempatan seremonial, seperti ketika dinobatkan
sebagai khalifah dan pada shalat jum’at, khalifah mengenakan jubah yang pernah
dikenakan oleh saudara, Nabi Muhammad.[5]
Dalam perkembangannya Daulah Abbasiyah dibagi menjadi
tiga periode, yakni pertama tahun 132-232 H. di mana para khalifah
Abbasiyah berkuasa penuh, kedua 232-590 H. tat kala kekuasaan para
khalifah Abbasiyah sebenarnya berada di tangan orang lain, dan ketiga
590-656 H. kembalinya kekuasaan Abbasiyah di tangan mereka tetapi hanya di sekitar Baghdad saja.
Dalam periode pertama semua wilayah kekuasaan Islam berada di tangan Abbasiyah
kecuali Andalusia yang ada di bawah Bani Umayyah. Dalam masa ini para khalifah
Abbasiyah kuat, ditopang oleh para ulama besar yang saling bersilaturrahmi dan
mengeluarkan fatwa serta banyak berijtihad. Dalam periode kedua kekuasaan
berada di tangan keluarga lain, yakni di tangan orang-orang Turki (Atrak), Bani
Buwaih dan Bani Saljuk. Dalam periode ketiga kekuasaan berada di tangan para
khalifah Abbasiyah lagi yang wilayahnya telah menyempit, hanya di sekitar ibu
kota, yakni Baghdad saja.[6]
B.
Para Khalifah Abbasiyah
- Abu Al- Abbas Al-Saffah ( 750 – 754 M / 132 – 136 H )
Al-Saffah adalah khalifah pertama dari Bani Abbasiyah.
Dia dikenal dengan sebutan Abu Al-Abbas Abdullah ibn Muhammad ibn Ali ibn
Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hisyam. Dia dilahirkan pada tahun 108
H, ada pula yang mengatakan 104 H. Di al-Humaimah sebuah tempat di dekat
al-Balqa’. Dia dibesarkan dan berkembang di tempat itu. Dia dibaiat sebagai
khalifah pada tanggal 3 Rabiul Awal
tahun 132 H. kemudian dia memimpin shalat jum’at di Kufah setelah
pelantikannya.[7]
Al-Saffah adalah gelar yang diberikan ahli sejarah
disebabkan kebijaksaan yang dijalankannya selama masa pemerintahannya dan
ketika itu beliau masih berusia 27 tahun. Al-Saffah bermakna yang haus darah
atau penumpa darah. Pada masa kepemimpinannya beliau menghabisi semua keturunan
Bani Umayyah. Sebuah tragedi yang merupakan noda hitam bagi sejarah Daulah
Abbasiyah adalah pembunuhan massal yang amat sadis di Damaskus.
Setiap para penguasa pasti memiliki titik kelemahan dan titik kekuatan
dalam sejarah hidupnya. Titik kekuatan dalam sejarah pemerintahannya khalifah
Abul-Abbas yang muda belia itu ialah kemampuannya memadamkan perusuhan dan
pemberontakan yang meluas semenjak penghujung masa kekuasaan Daulah Umayyah dan
masa permulaan kekuasaan daulah Abbasiyah hingga keamanan berangsur pulih
kembali dalam wilayah Islam yang sedemikian luas saat itu. Titik kelemahannya
ialah kebijaksanaan pemerintahannya berdasarkan kekerasan, hingga digelari
dengan al-Shaffah. Untuk pertama kalinya pada masa Daulah Abbasiyah menggunakan
istilah wazi>r (menteri=minister) dan lembaga pemerintahannya disebut
al-wiza>ra>t.[8]
Al-Saffah membangun kediamannya di Hasimia di Anbar,
Baghdad kota tetangga Kufah. Karena khawatir terhadap para pembelot dan para
pendukung Ali di Kufah. Di ibukota kerajaan yang baru ia dirikan, al-Saffah
meninggal dunia karena sakit cacar air.[9]
- Abu Ja’far Al-Mans}ur ( 754 – 775 M / 136 – 185 H )
Abu Ja’far Abdullah ibn Muhammad di usianya yang ke-41
menjabat khalifah ke-2 dari Daulah Abbasiyah. Ahli sejarah menyebutnya dengan empire
builder (pembangun imperium). Disebabkan beliau senantiasa menang di
peperangan dalam memadamkan perusuhan ataupun menghadapi imperium Byzantium,
maka ia pun digelari al-Mans}ur yaitu yang memperoleh pertolongan Allah.[10]
Al-Mans}ur dibaiat sebagai khalifah berkat penobatan
dirinya sebagai putra mahkota oleh saudaranya al-Saffah. Dia adalah orang yang
sangat terpandang dari kalangan Bani Abbas dan terkenal dengan kharisma,
keberanian, tekad yang kuat, pendapatnya yang cemerlang dan kekejamannya. Dia
juga terkenal sebagai orator ulung dengan ungkapan kata yang mempesona. Dia
juga seorang penumpuk harta yang terkenal dan kikir sehingga degelari dengan
Abu al-Dawaniq.
Dalam usahanya menegakkan kekuasaannya, al-Mans}ur telah
melakukan pembunuhan besar-besaran. Dialah yang mencambuk Abu Hanifah dan
memenjarakannya sehingga beliau meninggal dalam penjara.[11]
Dalam masa pemerintahannya juga terjadi pembunuhan terhadap orang-orang kuat
yang berjasa dalam merebut kekuasaan dari tangan Bani Umayyah. Tiga pihak yang
dikhawatirkan menjadi saingannya ialah Abdullah ibn Ali, pamannya sendiri.
Kemudian Abu Muslim al-Khurrasani, yang berjasa dalam mendirikan dan menegakkan
daulah Bani Abbas. Dan yang terakhir ialah keturunan Ali ibn Abi Thalib yang
pengikutnya banyak.[12]
Al-Manshur memindahkan ibukota Negara ke kota baru
dibangunnya, Baghdad. Di ibukota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi
dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk
menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan,
dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazi>r sebagai
koordinator departemen. Dia juga membentuk protokol negara, sekretaris negara,
dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata.[13]
Sistem pemerintahan yang digunakan oleh al-Mans}ur adalah
berdasarkan agama. Agama adalah yang mengatur banyak hal yang kemudian diikuti
oleh khalifah.[14]
Al-Mans}ur meninggal karena sakit dalam suatu perjalanan haji bersama rombongan
keluarga dan pembesar Abbasiyah. Pemerintahan Abbasiyah kemudian dipegang oleh
putranya, al-Mahdi.[15]
- Abu Abdullah Muhammad Al-Mahdi ( 775 – 785 M / 158 – 169 H )
Beliau adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Abi Ja’far
al-Mans}ur menjabat khalifah ketiga dari Daulah Abbasiyah di usianya yang ke-33
tahun dengan panggilan al-Mahdi.[16]
Beliau terkenal sebagai sosok yang pemurah dan terpuji, menyenangi rakyatnya,
memiliki akidah yang baik, selalu memburu orang-orang zindiq dan berhasil
membinasakan mereka dalam jumlah yang cukup besar.
Al-Mahdi adalah khalifah pertama yang memerintahkan ulama
untuk mengarang buku-buku dalam rangka menentang orang-orang zindiq dan
orang-orang mulhid (ingkar).[17]
Al-Mahdi sangat populer karena lebih lunak pada lawan politiknya, lebih
dermawan dan lebih berperan dalam membela Islam dibanding ayahnya yang lebih
sekuler. Sebelum menjadi khalifah, dia sudah mempunyai pengalaman politik yang
cukup dan memiliki kontak dengan kebanyakan orang-orang kuat dan berpengaruh di
Abbasiyah. Ketika dia memerintah, pemerintahan Abbasiyah mulai aman dan
kekayaan negara bertambah banyak.[18]
Dalam masa pemerintahan al-Mahdi terjadi
perubahan-perubahan dari sifat keras yang diterapkan oleh ayahnya ke sifat
moderat dan murah hati. Ia mengembalikan harta kekayaan yang disita oleh
ayahnya kepada pemiliknya, dan membebaskan para tawanan politik dari kelompok
Syi’ah serta memerangi kaum kafir yang menyimpang dari ajaran Islam. Ia
membangun gedung-gedung di sepanjang jalan menuju ke Mekkah. Ia membangun kolam
dan sumur untuk kepentingan kafilah di jalur yang dilalui para pedagang itu dan
memberi santunan terhadap tawanan dan penderita penyakit kusta agar tidak
meminta-minta sehingga penyakit tidak menular ke mana-mana. Ia memperluas
masjid Madinah dan menghapus nama Khalifah al-Walid (Umaiyah) pada dinding
masjid itu untuk diganti dengan namanya sendiri. Ia juga memperbaiki sistem
pembayaran pos tiap mil, dan menambah pelayanan pos antara Makkah dan Madinah,
serta Yaman, ia membuat benteng-benteng pertahanan untuk kota-kota, terutama
Rusafah, Baghdad timur.[19]
Sebelum meninggal, al-Mahdi telah mempersiapkan dua
anaknya, al-Hadi dan Harun al-Rasyid, untuk bergiliran menggantikan
kekuasaannya. Mereka dilatih untuk aktif mengurus jalannya pemerintahan dan
sesekali memimpin pasukan di medan pertempuran. Alasan al-Mahdi mengangkat dua
orang putra mahkota adalah agar kekuasaan Abbasiyah tetap di tangan keturunan
al-Abbas. Jika salah seorang putra mahkota meninggal secara mendadak, masih
terdapat satu lagi putrra mahkota pengganti. Al-Mahdi meninggal ketika sedang
berburu dan jatuh dari kuda yang ditunggangi, tetapi ada juga yang mengatakan
ia meninggal karena diracun. Setelah al-Mahdi meninggal maka putra mahkota
pertama al-Hadi naik tahta sebagai penggantinya.[20]
- Musa al-Hadi ( 785 – 786 M / 169 – 170 H )
Al-Hadi Abu Muhammad Musa ibn al-Mahdi ibn al-Mans}ur.
Dia diangkat sebagai khalifah setelah ayahnya meninggal sesuai dengan wasiat
ayahnya. Dia menjadi khalifah hanya dalam jangka setahun beberapa bulan.
Ayahnya memerintahkannya untuk membunuh para zindiq. Sehingga dia benar-benar
melaksanakan perintah dan wasiat ayahnya itu. Sehingga banyak para zindiq yang
dibunuh pada zamannya.[21]
Sifatnya sangat berbeda dengan ayahnya. Ayahnya adalah
orang yang lembut dan mencintai orang-orang, sedangkan dia adalah orang yang
bengis, keras, dan kaku. dia tidak simpati terhadap orang lain dan tidak
mempedulikan apa yang dikatakan orang lain tentang dirinya. Al-Hadi berlaku
keras, memutuskan hubungan dan bantuan terhadap keluarga Ali, serta mezhalimi
mereka dan para pekerja mereka.[22]
Al-Hadi mengendalikan pemerintahan dengan keras. Ini
sesuai dengan karakternya yang kasar dan mudah tersinggung. Dia kurang
menghargai orang-orang non-Arab (mawali) dan kelompak Syi’ah yang dulu
menjadi tulang punggung kekuatan revolusi Abbasiyah. Ia melanggar keputusan
ayahnya yang mengangkat saudaranya, Harun untuk menggantikan tahtanya setelah
meninggal dengan mengangkat anaknya sendiri, Ja’far, sebagai putra mahkota.
Namun, rencana ini tidak sepenuhnya berjalan. Ketika tiba-tiba dia meninggal,
saudaranya Harun al-Rasyid dibaiat oleh pendukungnya.[23]
Masa pemerintahannya tidak memperlihatkan sesuatu yang istimewa dan bahkan
terpandang suatu kekuasaan yang lemah.[24]
- Harun al-Rasyid ( 786 – 809 M / 170 -193 H )
Sepeninggal al-Hadi tahun 170 H, al-Rasyid secara
otomatis naik tahta, ia adalah seorang khalifah yang murah hati, menggunakan
akal dari pada emosi, berlaku sopan santun, dan dermawan. Ia menyukai syair,
menghormati para ulama, menyantuni para nara pidana dengan memberi makanan yang
cukup, dan memberinya pakaian untuk musim panas dan musim dingin yang
dianggarkan dari dana Baitul Mal. Kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh
para pendahulunya menyebabkan tercapai kemakmuran dan kemewahan di masa
kekuasaannya.[25]
Nama Harun dalam masa sekian lamanya termasyhur sekali
dan menjadi buah bibir, baikpun di timur maupun di barat, mungkin sebagian
besarnya disebabkan dia merupakan tokoh legendaris di dalam sebagian
kisah-kisah seribu satu malam. Khalifah yang mencapai puncak kekuasaan,
kemakmuran, dan kebudayaan pada masanya.[26]Harun
al-Rasyid adalah seorang pendukung kesenian dan kecendikiawanan, dan mengilhami
kebangkitan kembali kebudayaan yang besar. Kritik sastra, filsafat, puisi,
kedokteran, matematika dan astronomi berkembang pesat bukan hanya di Baghdad,
tapi di Kufah, Basrah, Jundayvebar dan Harran. Dhimmi turut serta dalam
gairah kebangkitan itu dengan menerjemahkan teks filsafat dan medis hellenisme
klasik dari Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab.[27]
Pada masa pemerintahannya kondisi terlihat lebih damai
dengan kekayaan yang berlimpah ruah. Perkembangan peradaban juga sangat tinggi.[28]
Sistem administrasi dibuat dalam bentuk kementrian dengan sistem yang rapi. Hal
tersebut telah mencapai target. Aktifitas kementrian menjadi jelas, dan masa
jabatan seorang mentri dibatasi. Administrasi negarapun dicatat dan dikontrol.
Ia memilih orang-orang yang ahli dan cabang-cabang yang terkoordinasi.[29]
Sebelum mengakhiri jabatannya, Harun al-Rasyid menyiapkan dua anaknya untuk
menjadi putra mahkota yaitu Muhammad (al-Amin) yang dihadiahi wilayah Abbasiyah
bagian barat dan Abdullah (al-Makmun) yang diberi otonomi luas untuk mengatur
wilayah Abbasiyah di bagian timur. Beliau meninggal ketika memimpin ekspedisi
perang di Khurasan.[30]
- Muhammad al-Amin ( 809 – 813 M / 193 – 198 H )
Al-Amin adalah khalifah Abbasiyah yang keturunan Arab.
Al-Amin kurang serius dalam memegang kendali pemerintahan dan lemah, tetapi
kegemaran di bidang sastra menonjol. Terjadi permusuhan dan perebutan kekuasaan
antara khalifah al-Amin dengan saudaranya, al-Makmun yang dimenangkan oleh
al-Makmun. Perselisihan ini terjadi karena al-Amin ingin mengangkat anaknya,
Musa, sebagai putra mahkota sepeninggalnya, yang ditolak al-Makmun karena
menyalahi wasiat ayahnya, Harun.[31]
Perang antara dua orang bersaudara ini terus berlanjut.
Pengaruh dan kekuasaan al-Amin semakin hari semakin melemah. Karena dia selalu
berfoya-foya dan terlena dalam leha-leha serta tindakannya yang bodoh.
Sebaliknya, al-Makmun, pengaruhnya semakin hari semakin besar hingga akhirnya penduduk
Mekkah dan Madinah membaiatnya, demikian juga mayoritas wilayah Irak. Kerusakan
yang ada pada pemerintahan al-Amin parah sekali. Mentalitas kesatuan tentara
menjadi hancur, kas negara bangkrut, kondisi kehidupan penduduk menjadi sangat
buruk, kejahatan menyebar dan kerusakan merayap dimana-mana akibat perang yang
terus menerus dan akibat lemparan manjaniq, hingga akhirnya keindahan dan
keelokan kota Baghdad menjadi suram. Beliau meninggal karena dibunuh.[32]
- Abdullah al-Makmun ( 813 – 833 M / 198 – 218 H )
Al-Makmun Abdullah Abu al-Abbas ibn al-Rasyid, dilahirkan
pada tahun 170 H, pada malam wafatya khalifah al-Hadi pamannya.[33]
Al-Makmun dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan
buku-buku Yunani, Ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu
karya besarnya yang tepenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan
yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada
masa al-Makmun ini lah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.[34]
Ketika al-Makmun memerintah timbul masalah agama yang
pelik, yakni faham apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan. Kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk, dan itu pula lah pendapat
khalifah. Sehingga ia menggunakan kekerasan untuk mempertahankan pendapatnya
itu. Al-Makmun meninggal karena sakit demam yang keras sewaktu masih dalam
peperangan di Tarsus tahun 218 H. Al-Makmun membaiat al-Mu’tashim sebagai putra
mahkota karena dinilainya lebih cerdik dan cocok untuk jabatan tersebut, bukan
kepada saudaranya al-Qasim atau anaknya Abbas.[35]
- Al-Mu’tas}im Billah Abu Ishaq ( 833 – 842 M / 218 – 227 H )
Al-Mu’tas}im dilantik sebagai khalifah setelah
meninggalnya al-Makmun. Dia bertindak seperti yang dilakukan oleh al-Makmun dan
menghabiskan masa-masa akhir hidupnya dengan menguji manusia tentang
kemakhlukan al-Qur’an. Dia menulis surat perintah agar semua penduduk mengakui
hal itu. Dia memerintahkan kepada guru dan pengajar untuk mengajari anak
mendidik mereka dengan paham tersebut. Tindakannya ini membuat banyak orang
menderita kesengsaraan. Banyak ulama yang dibunuh karena mereka menolak
menyatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk. Imam Ahmad sendiri adalah orang yang
menerima peteka ini, dia dihukum cambuk.[36]
Banyak terjadi pertempuran dan pemberontakan orang-orang
Arab terhadap khalifah karena ia cenderung kepada orang-orang Turki yang banyak
diserahi tugas dalam pemerintahannya. Ibu kota pemerintahan pada masanya
dipindahkan dari Baghdad ke Samarra, dari perkataan Arab (surra man ra’a)
yang berarti digemberikanlah orang yang melihatnya. Ia membasmi para
pemberontak Zatti atau Zott ( gypsies ).
Keturunan orang-orang India yang tinggal di pantai Teluk Persia. Khalifah
dengan pasukannya banyak menundukkan wilayah Byzantium, antara lain kota Angura
dan Amora, sehingga banyak penduduknya terbunuh dan tertawan yang menyebabkan
ditebusnya mereka itu dengan tebusan yang tinggi. Setelah khalifah meninggal
maka diganti oleh putranya, al-Wasiq.[37]
- Al-Wasiq Billah Harun ( 842 – 847 M / 227 – 232 H )
Masa pemerintahannya sedemikian singkat akan tetapi ia
terpandang khalifah yang bersikap tegas ke arah ke dalam dan bersikap perkasa
ke arah keluar, terutama dalam berhadapan dengan imperium Byzantium. Al-Wasiq
menaruh minat yang besar terhadap bidang ilmiah dan filsafat. Sejarah mencatat
bahwa ia menghidupkan kembali kemegahan zaman, al-Makmun.[38]
Pada masa al-Wasiq orang-orang Turki menambah kekuatannya
di dalam tubuh pemerintahan. Tindak kejahatan korupsi merajalela pada masa
tersebut. Ia tidak mau menetapkan putra mahkota sebagaimana para khalifah
terdahulu. Dengan wafatnya al-Wasiq berakhirlah masa kejayaan Abbasiyah.[39]
C.
Sistem Pemerintahan
Daulah Abbasiyah menampilkan diri di depan publik sebagai
pemerintahan imamah, yang menekankan karakteristik dan kewibawaan religius.
Khalifah melimpahkan otoritas sipilnya kepada seorang wazir, otoritas pengadilan
kepada seorang hakim (qa>d}i )militer kepada seorang jenderal (ami>r), tetapi
khalifah tetap menjadi pengambil keputusan akhir dalam semua urusan
pemerintahan. Pergantian kepemimpinan secara turun temurun seperti telah
dipraktikkan pada masa Umayyah. Sumber pemasukan negara adalah zakat, pajak
perlindungan dari rakyak non-Muslim (jizyah)
dan pajak tanah (kharaj).
Terdapat juga biro-biro pemerintahan, di antaranya kantor
pengawas (di>wa>n al-dzima>m), dewan korespondensi atau kantor
arsip (di>wa>n al-tauqi’), dewan penyelidik keluhan (di>wa>n
al-naz}ar fi> al-maz}alim), departemen kepolisian (di>wa>n
al-shurt}ah) departemen pos (di>>wa>n al-bari>d). Sistem
organisasi militer pada daulah Abbasiyah pasukan regular terdiri atas pasukan
infanteri (h}arbiyah),
pasukan panah (ra>miyah)
dan kaveleri (fursa>n). Pembagian wilayah ke dalam provinsi dipimpin
oleh seorang gubernur.[40]
D.
Perkembangan Peradaban di Bidang Ilmu Pengetahuan
Setelah jatuhnya Dinasti Umayyah, kekuasaan berpindahnya
kepada Bani abbasiyah. Untuk pertama kalinya dinasti ini dipimpin oleh para
khilafah yang cerdas dan kuat, seperti al-Manshur, al-Rasyid dan al-Makmun,
sehingga dinasti ini mampu bertahan selama berabad-abad. Selama dinasti ini
mereka pimpin, mereka berhasil mengantarkannya ke gerbang kecemerlangan
peradaban Islam. Sebuah peradaban yang mampu memimpin peradaban dunia selama
berabad-abad. Pada waktu itu para ilmuwan yang lahir dari peradaban ini adalah
para ilmuwan yang sangat dikenal di berbagai pelosok dunia. Seperti Ibn Haitsan,
al-Biruni, al-Razi, Ibn Sina, al-Zahrawi, al-Kharizmi, Ibn Nafis, Ibn Rusyd dan
masih banyak yang lainnya. Selain itu, buku-buku karya mereka juga menjadi
acuan utama bagi para ilmuwan lainnya, baik di Barat maupun di Timur. Sebagai
contoh, dalam ilmu kedokteran, buku yang paling dikenal adalah buku al-Hawi
karya al-Razi, al-Qanun karya Ibn Sina, al-Tashrif liman 'Ajiza 'an al-Ta'lif
karya al-Zahrawi dan buku al-Kulliyyat karya Ibn Rusyd. Lalu, saat itu bahasa
Arab digunakan sebagi induk ilmu pengetahuan di dunia. Oleh sebab itu, saat itu
siapa saja yang ingin mendalami ilmu pengetahuan, mereka harus terlebih dahulu
menguasai bahasa Arab dengan baik. Saat itu juga, berbicara dengan menggunakan
bahasa Arab adalah merupakan simbol bahwa yang bersangkutan memiliki pendidikan
yang sangat tinggi.[41]
Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa
daulah Abbasiyah. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju. Kemajuan ilmu
pengetahuan diawali dengan penerjemahan naskah-naskah asing terutama yang
berbahasa Yunani ke dalam bahasa Arab, pendirian pusat pengembangan ilmu dan
perpustakaan Bait al-Hikmah, dan terbentuknya mazhab-mazhab ilmu pengetahuan
dan keagamaan sebagai buah dari kebebasan berpikir. Kemajuan peradaban
Abbasiyah sebagiannya disebabkan oleh stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi
daulah ini. Pusat kekuasaan Abbasiyah berada di Baghdad. Daerah ini bertumpu
pada pertanian dengan sistem irigasi dan kanal di sungai Eufrat dan Tigris yang
mengalir sampai Teluk Persia. Perdagangan juga menjadi tumpuan kehidupan
masyarakat Baghdad yang menjadi kota transit perdagangan antara wilayah timur
seperti Persia, India, China dan Nusantara dan wilayah barat seperti
negara-negara Eropa dan Afrika Utara. Sebelum ditemukan jalan laut menuju timur
melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan.[42]
Kejayaan daulah Abbasiyah terjadi pada masa khalifah
Harun al-Rasyid dan anaknya, al-Makmun. Empat mazhab Fiqih tumbuh dan
berkembang pada masa Abbasiyah. Imam Abu Hanifah yang meninggal di Baghdad
tahun 150 H/677 M adalah pendiri mazhab Hanafi. Imam Malik ibn Anas yang banyak
menulis hadis dan pendiri mazhab Maliki itu wafat di Madinah tahun 179 H/795 M.
Muhammad ibn Idris al-Syafi’I yang meninggal di Mesir tahun 204 H/819 M adalah
pendiri mazhab Syafi’I, dan Ahmad ibn Hanbal pendiri mazhab Hanbali meninggal
dunia tahun 241 H/855 M. Di samping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika,
metafisika, matematika, alam, geografi, aritmatika, mekanika, astronomi, musik,
kedokteran dan kimia.
BAB
III
PENUTUP
Demikian gambaran singkat tentang
daulah Abbasiyah dari sejak berdirinya hingga mencapai masa kejayaannya. Daulah
Abbasiyah pada masa pemerintahannya lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah. Terdapat juga ciri-ciri perbedaan
dengan Daulah Umayyah, diantaranya, Daulah Abbasiyah memindahkan pemerintahan
ke Baghdad yang dahulunya di Damaskus sehingga jauh dari pengaruh Arab.
Pemerintahan Abbasiyah dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa Persia, kemudian
politik dominan dipengaruhi oleh bangsa Turki. Daulah Abbasiyah dalam
penyelenggaraan negara menggunakan wazir yang membawahi kepada kepala
departemen. Kemudian ketentaraan professional terbentuk pada pemerintah
Abbasiyah yang sebelumnya belum ada tentara khusus dan professional.
Puncak perkembangan kebudayaan dan
pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Abbasiyah. Pesatnya perkembangan
peradaban juga didukung oleh kemajuan ekonomi yang menjadi penghubung dunia
timur dan barat dan juga stabilitas politik yang relatif baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. Sejarah Peradaban Islam : dari masa
klasik hingga masa modern. Yogyakarta: Lesfi, 2004.
Al-Isy, Yusuf. Dinasti Abbasiyah. Terj. Arif
Munandar. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007.
Al-Suyuti. Tarikh al-Khulafa’ . Terj. Samson
Rahman, cet.5. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Armstrong, Karen. Islam Sejarah Singkat. Terj.,
Fungky Kusnaedy Timur. Yogyakarta: Jendela, 2002.
Bosworth, C.E. Dinasti-Dinasti Islam. Terj. Ilyas
Hasan, cet.1. Bandung: Mizan, 1993.
Hitti, Philip, K. History of The Arabs. Terj. R.
Cecep Lukman Yasin, dkk, cet.1. Jakarta: Serambi, 2006.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab.
Jakarta: Logos, 1997.
Qardhawi Yusuf. Meluruskan Sejarah Umat Islam.
Terj. Cecep Taufiqurrahman. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Abbasiyah I.
Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Jilid III. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet.14.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
[1] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban
Islam: dari masa klasik hingga modern (Yogyakarta: Lesfi, 2004), 98-100.
[2] C.E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam,
terj Ilyas Hasan, Cet. 1 (Bandung: Mizan, 1993), 29.
[3] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan
Arab (Jakarta: Logos, 1997), 87.
[4] Badri Yatim,, Sejarah Peradaban Islam,
Cet.14 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 49.
[5] Philip K. Hitti, History Of The Arabs,
terj R. Cecep Lukman Yasin, dkk, Cet.1 (Jakarta: Serambi, 2006), 358.
[7] Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, terj.
Samson Rahman, Cet.5 (Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2006), 309-310.
[8] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah
I (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), 23-26.
[9] Philip K. Hitti, History of The Arabs,
36.
[11] Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, 313.
[12] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan
Arab, 211-212.
[13] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam,
51
[15] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: dari masa klasik hingga modern,
101.
[16]
Joesef Sou’yb, Sejarah Daulat
Abbasiyah I, 77.
[17]
Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, 329-330.
[18] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: dari masa klasik hingga modern,
101.
[19]Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 91-92.
[20] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: dari masa klasik hingga modern,
101.
[21]
Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, 334.
[22] Yusuf
Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar, 50.
[23] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: dari masa klasik hingga modern,
102.
[24]
Joesef Sou’yb, Sejarah Daulat
Abbasiyah I, 101.
[25]Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 94.
[26]
Joesef Sou’yb, Sejarah Daulat
Abbasiyah I, 103.
[27] Karen
Armstrong, Islam: A Short History, terj. Fungky Kusnaedy Timur, Cet.1
(Yogyakarta: Jendela, 2002), 80.
[28] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: dari masa klasik hingga modern,
102.
[29] Yusuf
Al-Isy, Dinasti Abbasiyah, terj. Arif Munandar, 53.
[30] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: dari masa klasik hingga modern,
102.
[31] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 95.
[32]
Al-Suyuti, Tarikh al-Khulafa’, 364.
[33] Ibid.,
373.
[34] Badri
Yatim, Sejarah Kebudayaan Islam,
53.
[35] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 97.
[36]Al-Suyuti,
Tarikh al-Khulafa’, 410.
[37] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 98.
[38]
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat
Abbasiyah I, 230.
[39] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 98.
[40] Philip
K. Hitti, History of The Arabs, 395-411.
[41] Yusuf
Qardhawi, Meluruskan Sejarah Umat Islam, Terj Cecep Taufiqurrahman
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 119-120.
[42] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam: dari masa klasik hingga modern,
97.
[43] Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, 103.
Kekhalifahan Abbasiyah (sumber gambar deviantart) |