Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

SEJARAH TEMPAT-TEMPAT PEMBELAJARAN UMAT ISLAM: (Dari Kuttab yang sederhana pada Abad 1 Hijriah Hingga Konsep Madrasah yang Modern pada Abad 7 H)


SEJARAH TEMPAT-TEMPAT PEMBELAJARAN UMAT ISLAM[1]

(Dari Kuttab yang sederhana  pada Abad 1 Hijriah Hingga Konsep Madrasah yang Modern pada Abad 7 H)


      A.    PENDAHULUAN
Terdapat batas yang membedakan antara sejarah pendidikan Islam sebelum tahun 459 H dengan sesudahnya. Terutama mengenai lokasi atau tempat diselenggarakannya pendidikan yang mempunyai perbedaan cukup mencolok. Yang mana sesudah tahun tersebut baru dikenal konsep Madrasah. Pada tahun tersebut, Nizamul Mulk mendirikan Madrasah yang pertama dalam sebuah rangkaian sekumpulan besar dari Madrasah-Madrasah yang teratur. Sejumlah Madrasah telah didirikan sampai ke berbagai pelosok negeri dan desa-desa kecil. Usaha pengembangan dan perluasan jumlah Madrasah ini telah menjadikan raja-raja (kecil) dan pembesar-pembesar mencontohnya yang kemudian juga mendirikan Madrasah-Madrasah. Di antara Madrasah-Madrasah yang telah didirikan oleh Nizamul Mulk adalah Nizamiyahh Baghdad, itulah yang pertama kali beliau dirikan. Pembangunannya dimulai tahun 457 H dan berakhir pada tahun 459 H di tepi sungai Tigris.
Sebelum adanya konsep Madrasah yang digalakkan oleh Nizamul Mulk, guru-guru menyampaikan pelajaran tidak pada satu tempat yang sama jenis dan coraknya. Melainkan proses pembelajaran terjadi di berbagai tempat yang dimungkinkan bisa dilakukan, misalnya: di Masjid, di rumah ‘ilmuwan’ (Ulama), di toko-toko buku, di daerah pedalaman padang pasir, dan lain sebagaiinya. Setelah Madrasah didirikan, para guru dan peserta didik mendapat kesempatan melaksanakan proses pembelajaran dengan kesempatan lebih luas dan mendalam. Terdapat peraturan dan persiapan yang lebih baik sehingga konsep Madrasah tersebut dapat menarik perhatian guru dan peserta didik yang sebelumnya belajar di tempat-tempat ‘jenis lama’ tersebut. Tak ayal terjadilah pergeseran besar-besaran dari tempat-tempat belajar  jenis lama menuju tempat belajar yang menyatu dan lebih modern yaitu Madrasah. Walaupun sesudah adanya Madrasah masih ada sisa-sisa kegiatan pembelajaran di tempat jenis lama yang masih menjalankan fungsinya, namun tidaklah sebesar di masa sebelumnya.

    B.     TEMPAT-TEMPAT BELAJAR SEBELUM MADRASAH DIDIRIKAN
1.      Kuttab untuk belajar menulis dan membaca
Kuttab adalah sejenis tempat belajar yang mula-mula lahir di dunia Islam. Kata kuttab berasal dari kata ‘taktib’ berarti mengajar menulis, dan mengajar menulis itulah fungsinya kuttab. Yang belajar pada kuttab adalah anak-anak, di satu waktu anak-anak belajar menulis dan membaca, dan di  waktu yang lain (anaknya sama) anak-anak juga belajar pada tempat lain yaitu yang mengajarkan al Quran dan agama, dan tempat belajar agama ini juga di sebut sebagaii kuttab.
Kuttab bisa dikatakan sebagaii tempat pendidikan dasar yaitu untuk belajar membaca dan menulis. Di masa pra Islam ‘konsep’ kuttab sudah ada di jazirah Arab, kendatang belum terkenal. Kuttab dijadikan tempat belajar menulis huruf Arab.  Pada masa itu, orang bisa dikatakan modern jika bisa melakukan tulis-menulis. Ilmu tulis-menulis orang Makkah diperoleh dari proses perniagaan dari negeri-negeri kunjungan perniagaan yang telah maju. Orang yang pertama kali berprofesi mengajarkan cara menulis di jazirah Arab adalah Wadil Qura, ia bekerja mengajar beberapa orang dari penduduk di negeri itu.
Setelah lahirnya Islam, yanga pada kemudian hari terjadi perkembangan sistem politik telah mendorong orang untuk belajar menulis dan membaca dengan gia. Karena pada masa itu masih sangat sedikit orang yang cakap dalam membaca dan menulis. Kepandaian membaca dan menulis harus ada sebagaii salah satu syarat agar cita-cita yang diinginkannya tercapai. Misalnya menjadi pejabat kerajaan, menjadi ilmuwan, dan menjadi penyair atau pujangga. Selain itu kecakapan menulis dan membaca adalah sebuah keharusan bagi orang yang ingin merawikan hadits-hadits Rasul. Gerakan besar-besaran belajar dan membaca telah di mulai sejak permulaan Islam, dan dalam perputaran zaman senantiasa muncul penggia-penggia atau pelopor baru yang memperbagus dan mempertinggi seni menulis dan membaca.
Transformasih ilmu membaca dan menulis juga terjadi pada beberapa saat setelah perang Badar. Para tawanan perang yang berstatus kafir zimmi tersebut diperintahkan untuk mengajari kaum muslim pandai menulis dan membaca. Selain itu proses pembelajaran menulis dan membaca juga dilakukan oleh guru-guru di rumah masing-masing. Yang mana oleh mereka telah disediakan dalam rumahnya ruangan khusus untuk belajar tulis dan baca. Kuttab jenis ini kebanyakannya adalah berdiri sendiri, berbeda, dan terpisah lokasi serta gurunya dari kuttab jenis lain. Yang mana kuttab jenis lain disediakan untuk mengajarkan al Quran dan pokok-pokok ajaran Islam. Sedangkan kuttab jenis ini lebih ditekankan pada ilmu membaca dan menulis secara umum, salah satunya adalah mempelajari syair.

2.      Kuttab untuk belajar al Quran dan pokok-pokok agama Islam
Goldziher menegaskan bahwa kuttab adalah tempat mengajarkan al Quran dan pokok-pokok agama Islam telah didirikan pada masa permulaan Islam. Sedangkan Syalabi kukuh berpendapat bahwa kuttab untuk belajar al Quran dan ajaran Islam baru muncul agak belakangan, karena yang pada awal hadirnya Islam, kuttab masih mengajarkan ilmu membaca dan menulis secara umum. Terbukti masih sedikitnya orang yang hafal al Quran, karena  kuttab tempat mengajarkan al Quran harus direncanakan pelajarannya yang berdasarkan pada pendidik yang hafal al Quran.
Jumlah kuttab dan guru-guru di abad ke-2 H dan abad-abad berikutnya bertambah banyak. Pada tiap-tiap desa berdiri sebuah kuttab, bahkan bisa lebih. Setelah kuttab-kuttab telah didirikan dan orang-orang hafal Quran telah bekerja pada kuttab, maka dijadikanlah al Quran sebagaii titik pusat pendidikan dasar ini, serta ditambahi dengan beberapa mata pelajaran lain salah satunya pelajaran kesusastraan.

3.      Pendidikan dasar di Istana-istana
Tujuan awal diadakannya pendidikan dasar bagi anak-anak Khalifah dan pembesar-pembesar istana yang masih berusia dini adalah untuk mempersiapkan mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat yang akan dibebankan padanya di masa yang akan datang. Pendidikan dasar di istana lebih luas dari pada di kuttab-kuttab, karena di sini juga diajarkan budi pekerti dan juga meriwayatkan cerita-cerita orang terdahulu. Wali peserta didik mempunyai wewenang dan intervensi ‘kurikulum’ dalam perencaan proses pembelajaran. Guru di sini juga tidak disebut sebagaii guru kuttab atau guru anak-anak, namun mendapat sebuahan  muaddib (pendidik).

Pesan-pesan wali peserta didik kepada muaddib adalah sebagaii berikut:
1.      Muaddib harus menjadi contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari
2.      Mengajarkan al Quran secara inovatif agar anak-anak tidak merasa bosan
3.      Jangan berpindah dari suatu ilmu ke ilmu yang lain sebelum ilmu tersebut telah difahami betul-betul oleh anak-anak.
4.      Mengajarkan ilmu komunikasi, bagimana memulai dan menyusun perkataan.
5.      Mengajarkan adab (budi pekerti)
6.      Metode pembelajaran yang lemah lembut, dan keras bila diperlukan.

Muaddib memiliki posisi yang tinggi dan terhormat, walaupun ada sebagian Ulama yang tidak menyukainya. Corak pendidikan dasar di istana terlihat ekslusif, karena muaddib diperlakukan istemewa yaitu dibangunkan sebuah ruangan khusus (paviliun) bagi mereka untuk bermalam dan mendalami ilmu. Selian itu jamuan makanan lezat serta fasilitas lain yang membuat nyaman. Hal ini agar para muaddib tetap fokus dalam memberikan pelajaran bagi para anak-anak ‘pembesar’ termasuk putra mahkota secara totalitas. Bahkan kadangkala ada yang mengusahakan agar pendidik hidup bersama-sama dengan anak-anak yang diajarnya. Hal ini agar pendidik mampu mendidik secara rohani dan jasmani anak.

4.      Toko-toko (kedai) Pedagangg Buku
Toko atau lapak buku pada awalnya digunakan untuk urusan perdagangan semata yang berada di pasar-pasar. Beriringnya waktu toko buku telah menjadi tempat kajikan ilmiah atau seminar keilmuan, bisa dikatakan hal tersebut terjadi setiap hari. Toko buku telah dijadikan tempat untuk mengadakan sidang-sidang dan pembahasan-pembahasan keilmuan oleh para cendikiawan dan ahli sastra yang telah mengunjunginya.
Toko-toko buku telah lahir sejak permulaan Kerajaan Bani Abbas, setelah itu tersiar dan tersebar toko buku baru di seluruh penjuru negeri wilayah Islam. Bahkan di Mesir pada zaman kerajaan Thuluniah dan Ikhsyidiah ada sebuah pasar besar untuk para pedagangg buku, di toko itu kadang dilangsungkan diskusi-diskusi.
Para pedagang buku tidak semata-mata ingin mencari untung dan materi, karena kebanyakan dari mereka adalah sastrawan yang cerdas, yang menggemari buku untuk membaca serta menelaahnya, dan agar mereka bisa berdiskusi dengan para Ulama dan pujangga yang mengunjungi tokonya. Bahkan tak jarang ada Ulama yang menyewa toko buku beberapa malam untuk meneliti buku-buku yang ada di toko itu. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, maka kegiatan dan diskusi ilmiah tidak hanya terjadi di toko-toko buku, namun sudah menjalar ke tempat jual beli lain seperti jula beli tembikar atau perabotan dari tanah lia dan tempat jual beli ‘celupan’.

5.      Rumah-rumah para ilmuwan (Ulama).
Rumah merupakan bangunan yang ‘tertutup’, tidak semua orang boleh masuk kecuali ada izin dari pemiliknya. Selain itu jika seseorang sudah memasuki rumah, maka para ‘pengunjung’ itu harus terikat pada norma-norma yang ada pada rumah itu. Namun jika pengunjung itu sangat banyak dan mempunyai tujuan yang mulia yaitu untuk belajar, maka hal ini akan sangat mengganggu yang punya rumah. Seperti halnya rumah nabi yang dijadikan tempat belajar.
Ulama sebagaii orang yang berilmu dan terpelajar merupakan orang yang dicari para pencari ilmu. Oleh karena itu wajarlah jika rumah para Ulama dijadikan salah satu tujuan tempat belajar, hal ini disebabkan karena tidak semua Ulama bisa menyampaikan ilmunya di luar rumahnya. Tidak bisa menyampaikan “ajarannya” di luar rumah bisa disebabkan karena adanya tekanan politik dari penguasa, karena mengalami keterbatasan fisik seperti cacat atau sudah tua, dan adanya kesibukan lain sehingga menyebabkan Ulama sangat jarang di rumah. Diantara rumah Ulama yang dijadikan tempat belajar adalah rumah Imam Ghazali. Di rumah beliaulah peserta didik-peserta didik bertaburan datang dari penjuru negeri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rumah para ilmuwan telah ikut andil yang tidak sedikit dalam menyebarkan ilmu pengetahuan terutama sebelum Madrasah didirikan.

6.      Sanggar-sanggar Kesusastraan
Sanggar muncul dalam bentuk yang bersahaja pada zaman bani Umayyah, dan kemudian berkembang dengan megah pada zaman Bani Abbas. Sanggar merupakan sebuah proses perkembangan dari majelis-majelis Khulafaurashidin. Pada awalnya majelis tersebut  adalah sebuah tempat yang sederhana, bahkan kadang tanpa alas, serta membebaskan bagi siapa yang ingin menghadiri atau meninggalkan majelis itu sewaktu-waktu yang dia kehendaki. Sedangkan pada sanggar-sanggar lebih terlihat adat tradisional,  yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (terutama kebudayaan persia) dari wilayah lain yang telah ditaklukkan oleh kekuasaan kerajaan.
Sanggar-sanggar telah dihiasi dengan perabot yang indah, mewah, serta tidaklah sembarang orang yang dibolehkan untuk menghadiri forum sanggar tersebut. Selain itu para peserta forum sanggar tidak dibebaskan untuk memilih waktu yang disukainya untuk berhadir atau meninggalkan, hanya hadir pada waktu yang telah ditentukan dan pulang ketika sudah mendapat izin dari Khalifah. Dan hanya Khalifahlah yang berhak memulai pembicaraan dan soal tanya jawab di sanggar tersebut. Dengan kata lain semua diskusi sudah diaur oleh Khalifah dan semua hadirin harus menaati semua aturan-aturan yang ada dalam diskusi.
Sanggar tidak hanya berada di istana-istana Khalifah, namun telah meliputi istana-istana pangeran dan pembesar-pembesar. Selain itu sanggar-sanggar kesustraan telah beraneka warna, dia telah melingkupi ilmu pengetahuan dan keseniann di antaranya adalah seni suara dan musik.

7.      Padang pasir (pedalaman)
Ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangsa Arab di masa jahiliyah adalah berpusat pada kesustraan Arab yang meliputi puisi, prosa, dan pidato. Seseorang pada masa itu bisa dikatakan pandai bila ia seorang ahli prosa dan penyair. Inilah bukti bahwa bangsa Arab sangat menjunjung tinggi terhadap nilai-nilai bahasa mereka, bahkan sampai turun menurun hingga bertambah kuatnya dengan lahirnya Islam.
Bahasa Arab sampai di masa permulaan Islam adalah masih fasih dan murni. Sehingga  pada suatu kemudian terjadi pergaulan bangsa Arab dengan bangsa lain karena urusan perniagaan menyebabkan bahasa mereka kemudian menjadi rusak, karena diserapi oleh kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa dari bahasa asing.
Di waktu bahasa Arab telah rusak di kota-kota (karena perniagaan dan komunikasi dengan orang asing secara besar terjadi di kota), tetaplah bahasa Arab itu berada dalam kemurniannya di gurun-gurun pasir (pedalaman) karena gurun pasir terhindar dari bangsa-bangsa asing dan dari orang-orang yang rusak bahasanya. Yang mana sebagian besar penghuni pada pasir itu adalah suku Badui. Dengan demikian kepada bangsa Arab badui tersebut orang-orang kota mengambil dan mempelajari bahasa yang betul dan yang murni. Keadaan seperti itu orang badui manfaatkan. Mereka mulai memasuki negeri-negeri dan kota-kota untuk memberi pelajaran pada mereka yang mempunyai minat.
Padang pasir Arab pada abad I dan II H merupakan Madrasah seperti di zaman sekarang.  Padang pasir Suriah adalah merupakan sekolah bagi pangeran-pangeran Bani Umayyah. Bahkan Muawiyah telah mengirim ke padang pasir Suriah putra mahkotanya yang bernama Yazid untuk mempelajari bahasa yang fasih dan murni. Selain itu dari Khalifah Abbaspun juga melakukan demikian. Harun Rasyid mengirim puteranya Mu’tashim ke padang pasir dengan maksud yang sama.

8.      Masjid
Yang menjadikan Masjid sebagaii pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah karena pelajaran pada tahun-tahun pertama lahirnya agama Islam adalah berupa pelajaran agama, untuk mempelajari agama yang baru lahir. Dan guna mengenal dasar-dasar, hukum-hukum, dan tujuan-tujuannya. Selain itu fungsi Masjid menurut kaum muslimin di masa-masa permulaan Islam adalah sangat luas.  Mereka menjadikan Masjid untuk tempat ibadah, tempat memberi pelajaran, tempat untuk peradilan, tempat tentara berkumpul, dan tempat menerima duta-duta dari luar negeri.
Masjid sangat berbeda dengan rumah, yang mana Masjid  untuk memasukinya tidak perlu meminta izin terlebih dahulu. Masjid yang pertama didirikan adalah Masjid Quba’. Di Masjid Quba’ telah diadakan lingkaran-lingkaran pelajaran untuk urusan agama dan dunia. Sesudah itu banyaklah Masjid didirkan, dan semakin bertambah luasnya agama Islam tersiar maka semakin bertambahnya jumlah Masjid hingga kepelosok-pelosok desa.

Masjid-Masjid besar yang berperan sebagaii tempat belajar:
a.       Masjid al Manshur. Memberi pelajaran tentang ilmu pengetahuan Bahasa.
b.      Masjid Jami Damaskus. Guru yang mengajar mendapat honor. Dan para peserta didik bersinggah dipondok-pondok berhimpitan dengan Masjid.
c.       Masjid Jami Amr. Terdapat delapan buah pojok tempat untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan.
Forum-forum ilmiah di Masjid bukanlah hanya ditentukan hanya mempelajari pelajaran-pelajaran agama saja, melainkan segala macam ilmu pengetahuan yang dikenal di masa lalu. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa pelajaran agamalah yang menarik pelajar-pelajar dan yang dipentingkan oleh para guru. Di antara ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu kalam, tata bahasa dan kesusastraan,  ilmu kedokteran, dan ilmu Hisab.

   C.     LAHIRNYA MADRASAH
1.      Alasan perpindahan tempat belajar dari Masjid ke Madrasah
            Pelajaran-pelajaran Islam telah menarik perhatian umat Islam, semakin bertambahnya pemeluk   Islam menyebabkan membludaknya para pelajar yang ingin mempelajari Islam di Masjid-Masjid. Sehingga Masjid tidak mampu lagi menampung untuk sebagaii tempat belajar. Selain itu dengan adanya proses pembelajaran di Masjid telah membuat keramaian yang mengganggu orang lain saat melaksanakan ibadah di Masjid. Namun bagaimanapun juga, fungsi  Masjid yang utama adalah untuk tempat ibadah.
Oleh karena itu beberapa Masjid telah beralih fungsi, salah satunya Masjid al Azhar telah dikhususkan untuk dipakai sebagaii tempat memberi pelajaran, dan tidak digunakan lagi untuk sholat kecuali sholat jum’at. Selain itu ilmu pengetahuan juga banyak mengalami perkembangan pesat, sehingga Masjid tidak lagi dipandang sebagaii tempat yang cocok untuk belajar. Dan guru sebagaii pendidik yang juga mempunyai keluarga dan tanggung jawab kehidupan bermasyarakat dituntut juga untuk mempunyai kesejahteraan.  Pada awalnya guru mengajar di Masjid murni tanpa untuk mencari nafkah, para guru memenuhi nafkah sehari-hari mereka dengan jadi pengusaha kecil-kecilan. Namun hal tersebut tidak bisa menjadikan mereka ke taraf kehidupan yang layak. Karena itu tidak ada alasan lagi untuk tidak mendirikan Madrasah, karena Madrasah akan menjamin guru-guru  punya penghasilan yang mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

2.      Perbedaan Masjid dengan Madrasah
Secara sekilas hampir sulit membedakan antara Masjid dan Madrasah pada waktu itu, karenaMasjid juga menunjuk guru-guru untuk mengajar di Masjid.  Tapi terdapat perbedaan yang mencolok antara Masjid dan Madrasah, yaitu adanya  ruang kuliah. Ruang kuliah atau belajar merupakan komponen terpenting dalam proses pembelajaran di Madrasah, dan ini tidak dimiliki oleh Masjid. Selain itu di Madrasah juga ada asrama-asrama, dapur, ruang makan, dan rumah-rumah dinas yang berada di dalam lingkungan Madrasah untuk tempat tinggal memenuhi hidup  bagi pelajar dan gurunya.
Namun pada waktu itu seperti halnya Masjid, Madrasah-Madrasah masih menjadi dominasi bagi orang yang meWakafkan hartanya untuk ibadah. Atau bahkan masih ada yang menyebut bahwa sekolah itu dimiliki oleh si Fulan. Dan untuk merekrut guru, mengelola, dan menjalankan kegiatan pembelajaran masih diaur oleh yang punya Madrasah. 
Dari segi jumlah peserta didik, di Madrasah jumlah peserta didiknya dibatasi sedangkan di Masjid dibebaskan jumlahnya. Selain itu peserta didik - peserta didik di Madrasah juga mendapatkan Wakaf beasiswa untuk belajar di Madrasah seperti halnya guru yang mendapatkan Wakaf untuk memenuhi kehidupannya. Dan hal ini tidak terdapat pola pembelajaran di Masjid-Masjid.

3.      Sebab-sebab umat Islam lebih mementingkan ilmu pengetahuan agama daripadi pengetahuan umum
Umat Islam lebih cenderung menggemari dan tertarik untuk mempelajari ilmu pengetahuan agama, hal inilah salah satu yang menyebabkan Masjid tidak dapat lagi menampung jumlah peserta didik-peserta didiknya yang tertarik pada ilmu agama. Pengarahan Madrasah untuk mengutamakan ilmu agama adalah perintah atau tujuan utama pendiri atau peWakaf Madrasah. Selain itu, pada waktu itu negara Irak, Suriah, dan Mesir sebelum Madrasah didirikan adalah diperintah oleh penganut mazhab Syiah yaitu bani Buwaih dan kaum Fatimiyin. Sehingga bisa dikatakan Madrasah didirikan juga untuk menangkal dan membasmi paham-paham Syiah pada masa pemerintahan sebelumnya. Para penguasa bani Saljuk dan Ayubiyin yang menganut mazhab Sunni bermaksud mendirikan Madrasah-Madrasah adalah untuk mengatur dan menyiarkan kepercayaan-kepercayaan yang menurut Ahlu Sunnah berdasarkan pelajaran-pelajaran agama yang benar.
Setelah  gerakan Syiah mulai mereda dan tenggelam oleh aliran sunni, maka lahirlah ilmu pengetahuan umum untuk dipelajari kembali seperti ilmu kedokteran. Kepada dokter dan mahasiswanya diberi gaji sebagaiimana diberikan kepada para ahli fiqh, ahli hadith, dan mahasiswa-mahasiswanya

4.      Awal mula populernya Madrasah sebagaii tempat belajar
Orang yang sangat berjasa dalam mendirikan dan memopulerkan Madrasah adalah Perdana menteri yang terkenal bernama Nizamul Mulk. Ia adalah perdana menteri dari Sultann Alep Arslan dan Malik Syah.  Madrasah-Madrasah ini lebih dikenal dengan nama “Madrasah Nizamiah” yang didasarkan pada nama pendirinya. Madrasah tersebut sangat tinggi mutu dan nilainya, terkenal secara luas, tiap-tiap kota dan desa mempunyai Madrasah. Madrasah-Madrasah yang didirkan oleh Nizamul Mulk sangat banyak. Atau bisa dikatakan tidak ada suatu negeripun yang di situ tidak berdiri Madrasah Nizhamul Mulk. Sejak masa Nizamul Mulk inilah kekuasaan bani Saljuk di masa datang mengikuti  jejaknya medirikan Madrasah. Bahkan diikuti oleh Syeh dan Atabik yang mendirikan kesultannan pasca runtuhnya kerajaan bani Saljuk. Sedang pada masa Ayubiyin di Mesir seluruh pangeran, puteri kerajaan, seluruh lapisan rakyat, pelayan, dan pelajar-pelajar mengambil bagian dalam usaha mendirikan dan membangun Madrasah dan menyiarkan dan melindungi ilmu pengetahuan.
Pengelolaan Madrasah-Madrasah Nizamul Mulk sangat terlihat “All Out” dan serius dalam mendanai Madrasah. Apabila di suatu negeri Nizamul Mulk ditemukan seorang yang terkenal, berpengetahuan luas serta mendalam, dan cakap maka didirikanlah sebuah Madrasah, agar orang tersebut mengajar di sana. Kemudian diberi Wakaf, dilengkapi semua kebutuhan Madrasah, dan didirikan perpustakaan di dalamnya. Di antara Madrasah-Madrasah yang didirikan Nizamul Mulk adalah Nizhamiyah Baghdad yang paling penting dan yang paling pertama didirikan olehnya.

5.      Madrasah kedokteran
Madrasah kedokteran amat sedikit didirkan oleh umat Islam. Karena biasanya mempelajari ilmu kedokteran tidaklah di Madrasah, namun dipelajari di rumah sakit agar ilmu yang dipelajari mahasiswa bisa langsung dipraktekan pada pasien-pasien rumah sakit yang mendapat pengawasan dokter atau dosen. Sehingga tidak heran jika beberapa rumah sakit terdapat ruang khusus untuk kuliah.
Pada abad 6 Hijriah Abalmajd Ibn Abil Hakam dengan teratur mengunjungi rumah sakit jiwa yang dibangun oleh Al Malikul ‘Adil Nuruddin Mahmud di Damaskus untuk memberikan kuliah, berdiskusi, dan mengadakan penelitian-penelitian bersama-sama dengan para dokter, mahasiswa, dan pegawai di aula rumah sakit. 

6.      Arsitektur Madrasah
Madrasah An Nuriyah merupakan perguruan yang paling cantik di dunia pada waktu itu. Bangunan-bangunan Madrasah didirikan disisi tepi, sedang di tengahnya merupakan pelataran atau halaman yang berbentuk bujur sangkar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon. Di tengah-tengah pelataran diberi sebuah kolam. Air masuk ke dalam kolam dengan perantaraan sebuah saluran yang membawa air dari kran-kran dan dari pancuran yang berada pada sisi yang berhadapan dengan pintu masuk. Selain itu Madrasah An Nuriyah di sampingnya terdapat makam Nuruddin pendiri dari Madrasah ini. Berikut ini adalah ruang-ruang yang terdapat pada Madrasah di waktu itu, di antaranya adalah ruang kuliah, Masjid, ruang dosen, asrama pelajar, tempat tinggal tukang kebun, toilet, dan gudang peralatan untuk pembelajaran serta urusan administrasi.

---* Semoga Bisa Bermanfaat Bagi Anda *---


[1]Disadur (diambil sebagian) dari BAB I dalam bukunya: Ahmad Sjalabi, SEDJARAH PENDIDIKAN ISLAM, penerjemah Muchtar Jahja dan Sanusi Latif (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "SEJARAH TEMPAT-TEMPAT PEMBELAJARAN UMAT ISLAM: (Dari Kuttab yang sederhana pada Abad 1 Hijriah Hingga Konsep Madrasah yang Modern pada Abad 7 H)"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*