(Mulai Abad 1 Hijirah sampai 7 Hijriah)
Oleh: A. Rifqi Amin
A.
Perpustakaan
sebagai Tempat Proses Pembelajaran (Pusat Pembelajaran dan Ilmu Pengetahuan)
Perpustakaan sangat erat kaitannya
dengan pendidikan Islam, karena jika seseeorang ingin membicarakan tentang
pendidikan Islam tidak dapat meninggalkan pembicaraan tentang perpustakaan.
Perpustakaan merupakan salah satu cara yang digunakan oleh orang-orang
terdahulu untuk menyiarkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Pada masa dulu
buku adalah sesuatu yang amat sangat mahal harganya, karena pada saat itu belum
ada percetakan dan buku ditulis dengan menggunakan tangan. Maka hanya
orang-orang kaya sajalah yang dapat membeli dan mempunyai buku. Sehingga
perpustaakan adalah jalan satu-satunya untuk transformasih ilmu pengetahuan.
Menurut Kurd Ali orang yang pertama kali mendirikan perpustakaan di dunia Islam
adalah Khalid Ibnu Yazid (wafat pada 85 Hijirah). Menurut Ibnu Nadim, Khalid
Ibnu Yazid telah mencurahkan
perhatiannya pada buku-buku lama, terutama buku ilmu Kimia, kedokteran,
dan ilmu Astronomi.
Buku telah menjadi bibit yang pertama
dalam proses pertumbuhan beberapa Universitas Islam, seperti Universitas Baitul
Hikmah di Baghdad dan Universitas Darul Hikmah di Kairo. Sehingga para ahli
sejarah terjadi perbedaan pendapat mengenai sifat dan fungsi dari kedua lembaga
tersebut, apakah kedua lembaga tersebut termasuk ke dalam katagori lembaga
Madrasah atau termasuk perpustakaan. Yang di kemudian hari konsep lembaga
semacam ini telah menjadi model untuk ditiru bagi lembaga-lembaga yang dibangun
pada zaman sesudahnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perpustakaan di
dunia Islam pada masa itu berfungsi seperti halnya perguruan tinggi di zaman
modern sekarang ini selain berfungsi sebagai perpustakaan. Bahkan ada
perpustakaan yang dibangun secara pribadi oleh perseorangan di mana lebih tepat
lagi jika perpustakaan pribadi itu disebut sebagai Madrasah atau perguruan
tinggi.
Telah diceritakan oleh Yaqut bahwa di
istana Ali Ibnu Yahya yang terletak di Karkar pada bagian Qufsh (dekat Baghdad)
ada sebuah perpustakaan besar yang bernama ‘Khasanatul Hikmah’. Banyak orang
berdatangan dari bermacam-macam negeri untuk belajar berbagai macam ilmu
pengetahuan pada perpustakaan ini. Mereka tinggal sementara di perpustakaan
itu, dengan mendapat buku-buku dan pemeliharaan yang baik. Biaya hidup
sehari-hari ditanggung oleh Ali Ibnu Yahya. Seperti halnya Madrasah,
perpustakaan ini dilengkapi dengan asrama-asrama untuk pelajar, makanan, dan
kebutuhan hidup mereka disediakan. Perpedaan perpustakaan ini dengan Madrasah
adalah bahwa perpustakaan ini tidak ada guru-guru, walaupun ada beberapa
perpustakaan lain terdapat guru. Namun guru tersebut tidak memberikan materi
pelajaran secara teratur dikarenakan pekerjaan utama mereka adalah bukan
sebagai pengajar. Dan karena juga perpustakaan ini sangat kaya dengan buku-buku
yang beranekaragam, maka tak ayal jika pengunjung lebih tertarik membaca dan
mempelajari buku dari pada mendengar pelajaran dari guru.
Selain sebagai tempat membaca
perpustakaan juga berfungsi sebagai tempat mengajarkan ilmu Kalam menurut
mazhab Mu’tazilah, menjadi tempat pertemuan untuk berdiskusi para ilmuwan
(Ulama), dan sebagai tempat bermukim bagi para pujangga yang berkelana.
B.
Buku
sebagai Sumber Pencerahan
Buku di mata bangsa Arab mempunyai nilai
luhur yang sangat tinggi, mereka amat mencintai dan memuliakan buku.
Penghargaan yang tinggi terhadap buku terutama disebabkan oleh tulisan-tulisan
karya al Jahizh. Pujangga inilah yang telah menghadapkan perhatian orang-orang
kepada buku dan karya tulis, padahal sebelumnya perhatian orang lebih banyak
tertumpah pada syair dari pada prosa. Diterangkan oleh Al Jahizh berapa
banyaknya ilmu dan pengetahuan yang terdapat dalam lembaran-lembaran buku. Beliau
menulis: “Buku itu diam bila engkau
menghendaki diam, berbicara bila engkau menghendaki dia berbicara. Dia tidak
akan mengganggu kalau engkau sedang bekerja, tetapi bila engkau merasa kesepian
dia akan menjadi temanmu yang baik. Engaku tidak perlu berminyak air
terhadapnya dan juga tidak akan berkecil hati. Dia adalah teman yang tidak
menipu atau bermuka dua.” Tulisan-tulisan dan buah fikir dari al Jahizh
telah mendapat perhatian dan sambutan yang baik. Maka mulailah orang-orang
menumpahkan perhatian kepada buku.
Sering dijumpai dalam sejarah Islam para
menteri yang mengambil alih kekuasaan dari Khalifah-Khalifah. Menteri semacam
ini tidak suka seandainya Khalifah itu dapat membaca buku-buku yang bermutu,
karena buku ini dapat mencerdaskan dan mencerahkan fikiran, meninggikan budi
pekerti, dan membangkitkan semangat heroisme. Diceritakan bahwa Khalifah Al
Muktafi pernah meminta pada Wazirnya untuk mencarikan buku-buku sebagai pengisi
waktu luangnya. Maka Wazir memerintahkan lagi kepada para gubernur untuk
mencarikan buku-buku. Didapatlah dari gubernur-gubernur itu buku-buku sejarah,
pemerintahan, dan buku-buku bermutu lain. Ketika buku tersebut disampaikan pada
hadapan Wazir maka membentaklah Wazir tersebut seraya berkata: “Buku-buku ini
akan membukakan matanya. Carilah buku-buku yang berisi hikayat-hikayat jenaka
atau berisi syair-syair agar dia tetap lengah dan alfa.”
C.
Demam
Perpustakaan di Seluruh Penjuru Negeri
Penghargaan dan kegemaran bangsa Arab
pada buku telah menjadikan mereka lebih mementingkan perpustakaan dan amat
gemar mendirikannya. Kesusastraan Arab penuh dengan cerita yang menggambarakan
kecintaan bangsa Arab pada perpustakaan. Bahkan orang-orang kaya rela
meWakafkan sebagaian hartanya untuk ibadah dengan mendirikan perpustakaan.
Kecintaan terhadap perpustakaan sangat besar, bahkan di mata sebagaian Ulama
dan pejabat lebih baik kehilangan harta benda dan jabatan dari pada kehilangan
perpustakaan. Para pemerhati dan pemilik perpustakaan mencurahkan perhatiannya
yang besar pada perpustakaan. Berlomba-lomba agar koleksi buku yang ada di
perpustakaan bertambah jumlahnya dan lebih bermutu bukunya dari berbagai
penjuru negeri.
Lambat laun penghargaan terhadap
perpustakaan dan kegemaran mendirikan perpustakaan tidak hanya terjangkit pada
lingkungan Ulama dan orang-orang pandai saja, melainkan telah menular pada
kalangan awam. Perpustakaan telah menjadi hiasan rumah, meskipun tuan rumah
tidak ahli untuk menelaah buku-buku dan memahami isinya. Karena perpustakaan
telah menjadikan rumah itu bersemarak (gemerla), dan tuan rumah menjadi orang
yang terpandang dan mulia.
D.
Penataan
Ruangan, Katalog, dan Penyusunan Buku-Buku di Perpustakaan
Olga Pinto menulis tentang
perpustakaan-perpustakaan Islam, ia berkomentar bahwa “Kaum muslimin telah
menumpahkan perhatian yang besar terhadap pembangunan gedung-gedung untuk
perpustakaan-perpustakaan umum.” Untuk perpustakaan Syiraz, Cordova, dan Kairo
didirikan bangunan-bangunan yang khusus, ruangan-ruang dihiasi dan dilengakapi
dengan perabot yang cantik, dihamparkan permadani, tikar-tikar yang bagus, dan
pintu serta jendela yang diselimuti kain khas yang indah. Bangunan-bangunan ini
dilengkapi dengan kamar-kamar dan ruang-ruang yang banyak untuk bermacam-macam
keperluan seperti ruang bacaan, ruang untuk menulis ulang buku-buku, ruang
untuk belajar, dan ruang di mana ada rak-rak untuk buku-buku. Bahkan ada
perpustakaan-perpustakaan yang mempunyai kamar-kamar musik untuk rileksasi agar
terlepas dari ketegangan setelah melakukan kegiatan keilmuan.
Buku-buku disusun di atas rak-rak
almari, buku-buku dibagi kepada beberapa bagian-bagian. Masing-masing bagian
mempunyai almari-almari tertentu. Buku disusun menurut isinya. Selain itu ada
perpustakaan yang pada tiap-tiap kamar ada koper bersusun-susun yang berisi
buku. Ada kamar untuk buku-buku yang berhubung dengan bahasa Arab dan syair,
ada kamar untuk buku fiqh, dan tiap-tiap ilmu lain juga mempunyai kamar-kamar
sendiri.
Kaum muslimin pada abad pertengahan
belum mengenal cara menyusun buku pada rak buku yang dipakai pada zaman sekarang
ini yaitu dengan menegakkan buku atau bukunya berdiri. Pada masa itu buku-buku
cara menyusunnya masih ditidurkan yang satu diletakkan di atas yang lain. Oleh
karena itu mereka meletakkan buku yang besar di bagian paling bawah agar tidak
runtuh saat disusun meninggi.
Buku-buku yang berharga mahal atau yang
belum terjilid disimpan dalam koper kecil sebesar buku tersebut. Selain itu ada
juga rak-rak yang tertutup, yaitu rak khusus yang di dalamnya tersimpan
manuskrip-manuskrip yang berharga, atau buku-buku yang sangat sukar didapat.
Untuk mempergunakan manuskrip-manuskrip atau buku semacam ini harus mendapat
izin dari pemimpin perpustakaan.
Untuk memudahkan pemakaian buku-buku
maka tiap perpustakaan menyediakan katalog (daftar buku). Katalog ini sangat
rapi penyusunannya. Buku-buku disusun dalam daftar menurut isinya
masing-masing. Di samping katalog ada juga kertas yang ditempelkan pada
tiap-tiap almari buku. Pada kertas ini dituliskan nama dan nomor buku yang
berada dalam masing-masing almari. Bisa dikatakan bahwa masalah katalog oleh
kaum muslimin sejak awal telah diaur dan
ditertibkan.
E.
Peminjaman
Buku Perpustakaan
Meminjamkan buku pada pelajar dan guru
adalah hal yang diutamakan dan terpuji, karena dengan demikian ilmu pengetahuan
dapat tersebar dengan pesat, yang manfaatnya akan kembali juga kepada
kepentingan umum. Namun adakalanya juga ada orang yang meminjam buku tapi
kurang memelihara buku yang dipinjamnya atau tidak dikembalikan lagi pada
perpustakaan. Oleh karena itu banyak pujangga dan para Ulama yang tidak suka
meminjamkan buku-bukunya. Walaupun itu tidak banyak jumlahnya karena mereka
adakalanya sadar bahwa memberikan ilmu jauh lebih penting dari pada kehilangan
buku.
Dengan mudahnya meminjam buku maka ada
di antara para Ulama yang tidak memerlukan lagi untuk membeli buku. Tetapi
meminjamkan buku bagaimanapun juga bukanlah dilakukan begitu saja, hanya diikat
dengan bermacam-macam syarat, agar teratur dan baik jalannya. Misalnya
perpustakaan di Kairo meminjamkan buku hanya pada pelajar yang berdomisili di
Kairo saja. Sering pula diminta jaminan kepada peminjam buku, kecuali kalau
yang meminjam itu seorang Ulama atau orang yang terkemuka. Selain itu lamanya
peminjaman juga dibatasi, peminjam buku harus mengembalikan buku yang dipinjamnya dalam batas waktu yang
ditentukan. Ketentuan lain adalah seorang peminjam harus memilihara buku yang
dipinjamnya dengan baik. Dia tidak boleh memperbaiki dan membetulkan isi
tulisan atau bentuk fisik buku tanpa seizin yang punya. Perpustakaan di dunia
Islam yang didirikan adakalanya hanya untuk meminjamkan buku di dalam
perpustakaan saja, yakni tidak dibolehkan meminjam buku untuk dibaca di luar
gedung perpustakaan. Sebagaimana yang berlaku di perpustakaan Britania.
F.
Penanggungjawab
Pengelolaan dan Pengembangan Perpustakaan
1. Kepala
perpustakaan
Kepala
perpustakaan tidak hanya memegang wilayah administratif tugass ketata usahaan,
namun juga bertanggung jawab menangani tugass pengembangan keilmuan. Oleh
karena itu pemangku jabatan ini adalah orang memiliki ilmu pengetahuan,
kecerdasan yang khusus, dan telah memiliki gelar ilmiah. Kepala perpustakaan
mengadakan peninjauan terhadap buku-buku baru, terhadap buku itu dia membuat
resensi terlebih dahulu sebuluh diletakkan di rak perpustakaan. Hal ini wajar karena
sebagaian dari kepala perpustakan adalah seorang penulis buku. Dia yang
berkewajiban mencarikan koleksi baru buku perpustakaan, mengontrol katalog agar
tetap tersusun rapi, memuat seluruh buku yang ada di perpustakaan, dan memberi
petunjuk pada peminjam buku. Menurut kebiasaan sesuatu perpustakaan hanya
dipimpin oleh seorang pemimpin. Akan tetapi ada beberapa perpustakaan yang
karena besarnya dan banyak pengunjungnya, maka seorang pemimpin tidak memadai,
sehingga diangkatlah asisten untuk membantunya.
2. Para
penerjemah
Sebuah
kenyataan yang tidak dapat dihindari bahwa kaum muslimin dalam gerakan ilmiah
mengembangan ilmu pengetahuan umum melibatkan tenaga-tenaga asing. Artinya
tenaga-tenaga yang bukan orang Arab. Begitu pula dalam menerjemahkan buku-buku
asing, para penerjemah menjadi jembatan menghubungkan bangsa Arab dengan ilmu
pengetahuan umum. Dengan perantara penerjemah dapatlah disalin ilmu pengetahuan
dari Yunani, Suryani, Qibthi, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Salah
satu golongan penerjemah adalah yang
bekerja di perpustakaan. Para penerjemah telah mendapat kedudukan tinggi dalam
menekuni penerjemahan semenjak pertama kali perpustakaan di dunia Islam
didirikan (sekitar tahun 85 H). Bahkan pada pemerintahan Khalid ibn Yazid
pernah mendatangkan filosof-filosof Yunani yang berdiam di Mesir yang telah
menguasai bahasa Arab. Kepada filosof-filosof itu diberi tugass menerjemahkan
buku tentang ilmu pengetahuan yang masih dalam bahasa Yunani dan Qibthi ke
dalam bahasa Arab. Ini merupakan gerakan pernjemahan pertama kali dalam sejarah
Islam.
Adapun
puncak penerjemahan ialah pada masa Harun al Rasyid, yaitu di Baitul Hikmah.
Diantara Khalifah-Khalifah lain yang berjasa besar dalam penerjemahan adalah
Khalifah al Ma’mun. Baru pada masa al Wasiq terhentilah gerakan penerjemahan,
sehingga tidak ada lagi orang bekerja menerjemah. Hal ini disebabkan
penerjemahan pada masa sebelumnya telah menerjemahkan seluruh buku yang bermutu
dalam berbagai macam ilmu pengetahuan. Dan karena umat Islam telah mempunyai kemampuan
untuk menulis dalam bahasa Arab. Sehingga kegiatan ilmiah pada masa itu
dipusatkan pada menulis dan mengarang.
3. Para
penulis ulang (pengganda) buku.
Umat
Islam sejak dari Abad pertengahan telah mengetahui pentingnya percetakan dan
penerbitan dalam perpustakaan. Untuk menyukseskan program penggandaan buku maka
dibentuklah tim khusus penulis ulang atau seksi penggandaan buku pada tiap-tiap
perpustakaan. Penggandaan buku-buku dilakukan oleh penulis yang telah terkenal
kerapian kerjanya, dan tulisannya bagus. Hasil penggandaan buku tidak hanya
diperiksa dari segi keindahannya saja, namun dia harus menulis ulang persis
seperti buku-buku yang ia gandakan. Bila perlu ia mendapat pengawasan secara
langsung dari yang punya buku atau pengarang buku tersebut. Karena belum adanya
percetakan maka fungsi pengganda buku sangatlah urgen, dan merekalah yang
berjasa besar dalam melengkapi perpustakaan-perpustakaan dengan buku-buku baru
dan bernilai tinggi. Bahkan seorang Ulama bisa memiliki asisten yang bertugass
untuk menulis ulang buku-buku yang dianggap penting.
4. Para
penjilid
Para
pengganda (penulis ulang) buku sebenarnya juga terbiasa menjilid buku. Penjilidan
di kalangan umat Islam pada awalnya adalah sangat sederhana sekali. Akan tetapi
segera juga mengalami perkembangan yang sangat cepat, sampai menjadi semacam kesenian
yang rapi dan indah. Kemudian munculnya tempat penyamakan, penyamakan di Kuffah
telah membuat kulit menjadi halus, dan dipakailah kulit yang halus itu untuk
menjilid buku-buku. Inilah awalnya perkembangan penjilidan. Kemudian lahirlah
seni mengukir kulit buku dan menghiasi dengan tinta emas. Dengan demikian
sampailah seni penjilidan buku alam kalangan umat Islam pada puncak keindahan
dan kerapian.
5. Pustakawan
Tugass
pustakawan adalah mununjukkan kepada pengunjung perpustakaan di mana letak buku
yang hendak mereka baca, atau mengambil buku dari rak kepada para pengunjung.
Seorang pustawakan harus mengetahui buku-buku dan tempatnya, tapi ia tidak
sampai mengetahui buku sampai ke tingkatan ilmiah, ia tidak dituntut untuk ide
pokok dari buku-buku tersebut. Baik perpustakaan umum maupun perpustakaan
khusus mempunyai pustakawan.
G.
Sumber
Dana Perpustakaan
Pada umumnya, Wakaf yang menjadi sumber
keuangan untuk memenuhi pembiayaan perpustakaan dan melengkapi segala
kebutuhannya. Uang dari para dermawan digunakan untuk merenovasi
bangunan-bangunan yang telah rusak atau memperbagusnya, mendatangkan buku-buku
baru, pembayaran honor para pegawai, dan kebutuhan administratf dan kebutuhan
teknis lainnya. Pengawas perpustakaan yang mempunyai tanggung jawab untuk
memungut Wakaf, dan dialah yang membelanjakan untuk keperluan-keperluan
perpustakaan. Dengan demikian tidak ada gaji yang tetap bagi para pegawai,
tergantung pada besar kecilnya Wakaf yang telah dipungut oleh pengawas
perpustakaan.
Akan
tetapi ada referensi lain yang menceritakan bahwa pada umumnya para pegawai
diberi gaji yang seimbang dengan jasanya. Tergantung pada kebutuhan yang
mendesak pada waktu itu. Misalnya sangat dibutuhkan penerjemah maka para
penerjemah mendapat gaji yang lebih besar. Tetapi pada dasarnya para pegawai
yang terdiri dari pengganda buku, pemimpin perpustakaan, penjilid, dan untuk
kebutuhan alat-alat dan perabot telah mendapat anggaran pokok tersendiri setiap
bulannya.
H.
Jenis-Jenis
Perpustakaan
Ada tiga jenis perpustakaan,
penggolongan perpustakaan ini didasarkan pada banyak sedikitnya saham
masing-masing dalam orang dalam mengabdi pada ilmu pengetahuan. Apakah
perpustakaan itu terbuka untuk umum ataukah perpustakaan khusus untuk
orang-orang tertentu? Pengabdian yang diberikan oleh perpustakaan pada para
sarjana, pelajar, para pencari ilmu pengetahaun budaya, dan para peneliti untuk
mengembangkan ilmu pengetahuanlah yang menjadi tolak ukur perpustakaan tersebut
ke dalam golongan mana. Jenis-jenis perpustakaan sesuai dengan tata urut adalah
sebagai berikut:
1. Perpustakaan
umum
Perpustakaan
ini didirikan di Masjid-Masjid, sebagaimana fungsi Masjid untuk kepentingan
umum dan ibadah maka perpustakaan di Masjid pun juga berfungsi untuk itu.
Adakalanya perpustakaan dibangun pada Masjid dengan tujuan agar menjadi cikal
bakal lembaga-lembaga pendidikan yang menampung para pelajar yang datang
mencari ilmu. Yang pada kemudian hari setelah Madrasah-Madrasah sudah
menggejala dan beridiri di mana-mana maka perpustakaan-perpustakaan didirikan
di Madrasah tersebut. Perpustakaan umum sangat amat banyak jumlahnya, hingga
hampir pada setiap Masjid dan Madrasah dilengkapi dengan sekumpulan buku yang
akan diteliti dan tempat untuk diskusi ilmu pengetahuan. Berikut ini salah satu
contoh perpustakaan-perpustakaan yang terbuka untuk umum:
a. Baitul
Hikmah
Baitul
Hikmah adalah perpustakaan yang memiliki kedudukan tinggi dan pertama kali
didirikan untuk umum di kalangan umat Islam. Bahkan Baitul Hikmah juga
merupakan Universitas Islam yang pertama kali menjadi tempat berkumpulnya
ilmuwan dan peneliti, pelajar, dan mahasiswa. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Baitul Hikmah adalah pusat ilmu pengetahuan yang pertama kali dalam
bidang kedokteran, filsafat, hikmah, dan ilmu lainnya.
Baitul
Hikmah dibangun dan didirikan oleh Khalifah Harun Rasyid. Kemudian pada masa
Ma’mun kegiatan Baitul Hikmah sampai pada puncaknya. Khalifah Ma’mun memiliki
kecerdasan yang luas, cinta pada ilmu pengetahuan serta kebudayaan, dan
memiliki fikiran yang merdeka (indipenden). Perhatian Ma’mun yang amat besar
kepada Baitul Hikmah ini membawa perkembangan yang pesat dalam bidang ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan sastra di kalangan kaum muslimin. Ilmu pengetahuan
asing dimasukkan, yang lantas ilmu tersebut dimiliki oleh umat Islam. Sehingga
bisa dikatakan bahwa umat Islam telah menyelamatkan dan menyiarkan ilmu
pengetahuan kepada generasi muda bahkan hingga pada masa sekarang yang modern
ini.
Pada
awal berdirinya Baitul Hikmah perhatian terpusat pada buku-buku dalam bahasa
Persia dan India. Bangsa persia mempunyai hubungan yang erat dengan bangsa
Hindu, dan mereka mempunyai seluk beluk kebudayaan Hindu. Oleh karena itu tidak
mengeherankan dalam catatan sejarah bahwa Yahya Ibnu Khalid pun meminta untuk
mendatangkan ilmuwan-ilmuwan dan orang-orang alim (berilmu) dari bangsa Hindu
di India Ke Baghdad. Mereka ditunjuk Yahya untuk menerjemahkan buku-buku dalam
bahasa Hindu ke dalam bahasa Arab.
Kemudian
hadirlah khasanah referensi keilmuan besar di akhir masa Harun Rasyid, dan di
masa al Ma’mun. Khasanah itu datang dari Yunani, yaitu penerjemahan khasanah
Yunani ke dalam bahasa Arab. Buku-buku lama yang berasal dari Yunani itu
didapat dari Ankara, Ammuriah, dan jajahan-jajahan Romawi lain yang telah
ditaklukkan tentara umat Islam. Semua buku-buku itu dipindahkan ke perpustakaan
Baitul Hikmah. Selain itu al Ma’mun juga memerintahkan memindahkan buku-buku
filsafat dari khasanah buku-buku di pulau Siprus. Yang mana pemerintahan Ma’mun
sudah mengadakan perdamaian dengan penguasa pulau siprus.
Baitul
Hikmah masih tetap hidup hingga bangsa Tartar dari timur memasuki Baghdad.
Sesudah bangsa tartar memasuki Baghdad dan Khalifah terakhir Bani Abbas yaitu
Mu’tashim dibunuh oleh Hulago dan Kota Baghdad dihancurkannya, maka lenyaplah
dan hacur Baitul Hikmah.
b. Perpustakaan
al Haidariyah di an-Najaf
Perpustakaan
al Haidariyah masih ada hingga sampai sekarang. Perpustakaan ini didirikan atas
dasar semangat ‘pembangunan’ oleh kaum Syiah. Para menteri, penguasa, dan
pembesar-pembesar Syiah banyak menumpahkan perhatiannya pada perpustakaan ini.
Di antaranya adalah Adludud Daulah Buwahi (sekitar tahun 350 H). Sehingga tidak
mengherankan jika perpustakaan itu masih ada hingga sampai sekarang sebagai
penghormatan kepada Khulafaur Rosyidin Ali bin Abi Thalib yang dimakamkan di
sana.
.
c. Perpustakaan
Ibnu Sawwar di Basrah
Didirikanoleh
Abu Ali ibnu Sawwar, salah seorang yang dekat dengan Adhudud Dauah.
Perpustakaan ini juga berfungsi sebagai lembaga perguruan. Perpustakaan ini ada
seorang Syeh yang mengajarkan Ilmu Kalam menurut Mazhab al Mut’tazilah.
d. Perpustakaan
Sabur
Didirikan
oleh Abu Nasr Sabur Ibnu Ardasyir pada tahun 383 H. Ia adalah Wazir kerajaan
Bani Buwaih di masa Bahaud Daulah. Buku-buku di perpustakaan tersebut berjumlah
10.400 buah dari berbagai macam ilmu pengetahuan, diantaranya 100 al Quran
ditulis dengan tangan oleh Bani Muqlah. Sebagaian besar buku itu adalah tulisan
tangan asli dari pengaranya sendiri bukan dari hasil penggandaan. Atau paling
tidak dari buku-buku itu ada catatan-catatan dari pengarangnya. Perpustakaan ini
telah membentuk badan Wakaf untuk membiayai kebutuhan perpustakaan.
Perpustakaan
Sabur adalah suatu pusat kebudayaan yang istemewa, dia menjadi tempat pertemuan
bagi para Ulama dan para pengkaji ilmu. Dan sudah tidak asing lagi perpustakaan
ini menjadi tempat untuk diskusi. Banyak pula di antara para Ulama yang
mewakafkan buku-buku dan karangannya ke perpustakaan ini.
e. Perpustakaan
Kitab-kitab Wakaf di Masjid az Zaidi.
Az
Zaidi adalah nama lain dari Abul Hassan Ibnu Ahmad yang meninggal di Baghdad
tahun 575 H.
f. Darul
Hikmah di Kairo
Perpustakaan
ini didirkan oleh Khalifah al Hakim bi Amrillah al Fathimi. Dibuka pada 10
Jumadil Akhir tahun 395 H. Tujuan utama didirikan perpustakaan ini di Kairo
adalah untuk memusnahakan dari fikiran masyarakat Islam tentang keagungan
Baitul Hikmah yang didirikan oleh Harun Rasyid di Baghdad. Dan yang pernah
mencapai puncak kejayaannya pada masa Khalifah al Ma’mun putera Harun Rasyid.
Di
perpustakaan ini didirikan sebuah gedung yang besar dan teratur, dihiasi dengan
perabotan yang sangat berharga. Terdapat buku-buku dan manuskrip-manuskrip dari berbagai ilmu
pengetahuan yang belum pernah dikumpulkan sebanyak itu di istana raja-raja di
negeri manapun. Perpustakaan ini dilengkapi dengan alat tulis, pegawai,
pembantu, dan pesuruh yang diberi tugas menjaga dan mengabdi pada perpustakaan.
Untuk proses pembelajaran maka diangkat ahli-ahli al Quran, fiqh, astronom,
bahasa, filosof, dan dokter-dokter sebagai pengajar di perpustakaan itu.
Perpustakaan ini lenyap bersamaan dengan runtuhnya dinasti fatimiyin, dan
munculnya sultann Salahuddin al Ayyubi memegang kekuasaan. Maka oleh sultan
Salahuddin ini diruntuhkanlah Darul Hikmah dan ditempatnya didirikannya sebuah
perguruan untuk memperlajari Mazhab Syafii.
g. Perpustakaan-perpustakaan
di Madrasah
Sebelum
Madrasah-Madrasah didirikan dan menggejala di Masyarakat maka telah ada
kumpulan buku-buku di Masjid-Masjid. Tatkala Nizamul Mulk mendirikan
Madrasah-Madrasahnya di berbagai lokasi, maka masing-masing Madrasah tersebut
dilengkapi dengan perpustakaan yang amat berharga. Adalah Madrasah Nizamiyahh
di Baghdad yang pertama didirikan oleh Nizamul Mulk yang paling terkenal. Oleh
karena itu perpustakaannya pun juga mendapat perhatian istimewa hingga jadilah
perpustakaan Nizamiyahh di Baghdad sebagai perpustakaan yang paling besar di
masanya.
---* Semoga Bisa
Bermanfaat Bagi Anda *---
Ilustrasi Perpustakaan Islam (Sumber gambar UIN Suka) |
[1]Disadur
(diambil sebagaian) dari BAB II dalam bukunya: Ahmad
Sjalabi, SEDJARAH PENDIDIKAN ISLAM, penerjemah Muchtar Jahja dan Sanusi Latif
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973).