REFLEKSI KEIMANAN DALAM KEHIDUPAN
Oleh: TAZKIYAH BASA'AD
A.
Latar
Belakang
Bagi seorang muslim, iman adalah bagian yang paling mendasar dari
kesadaran keagamaannya. Dalam berbagai makna dan tafsirannya, perkataan iman
menjadi bahan pembicaraan di setiap pertemuan keagamaan, yang selalu disebutkan
dalam rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat.
Begitu pula setiap manusia
tidak bisa menjalani kehidupan yang baik atau mencapai sesuatu yang bermanfaat
bagi kemanusiaan dan peradaban manusia, tanpa memiliki keimanan atau keyakinan.
Sebab, manusia yang tidak memiliki keimanan akan menjadi manusia yang
sepenuhnya hanya mementingkan diri sendiri, ragu-ragu, goyah, dan tidak
mengetahui tugas serta kewajibannya sebagai hamba dalam kehidupan ini.
Itulah sebabnya, keimanan
menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi seorang Muslim. Karenanya, ia menjadi
modal utama agar dapat menjalani kehidupan yang lurus, seperti yang telah
ditunjukkan oleh Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW tentang iman yaitu:[1]
فأخبرني عن
الإيمان. قال رسول الله صلى الله عليه
وسلّم: "أن تؤمن بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر, وتؤمن بالقدر
خيره وشره".( رواه البخارى و المسلم )
Seseorang bertanya kepada Rasulullah,
“Kabarkan kepadaku tentang iman” Rasulullah menjawab “Iman itu ialah engkau
beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya,
kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, dan engkau beriman kepada qadha dan
qadar, yang baik dan yang buruk.” (HR Bukhari dan Muslim)
Iman bukanlah sekadar percaya
dan membenarkan saja. Kepercayaan dan pembenaran memerlukan pembuktian yang
menunjukkan sah atau tidaknya iman tersebut. Karena itu, iman yang sekadar
melekat di hati bukanlah iman yang sempurna. Sebab, iman berarti juga
pengungkapan dengan lisan dan pembuktian dengan amal perbuatan.
Sebagaimana telah dijelaskan
di atas, bahwa tiang pokok dari iman itu adalah membenarkan keberadaan Allah,
malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan ketentuan baik atau buruk yang
ditetapkan Allah SWT bagi manusia. Seorang Mukmin adalah yang meyakini semua
informasi, petunjuk, dan bimbingan Allah dan Rasul-Nya, kemudian ia
melaksanakannya dengan berdasar atas iman dan penghambaan kepada Allah SWT. Semua
hal yang diperbuat diperhitungkan dengan nilai ukhrawi yang pasti, dan tidak
akan meleset.
Refleksi keimanan seseorang
idealnya menggambarkan secara utuh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian seseorang dikatakan beriman, apabila pengaruh dan manfaat iman
pada kehidupannya bukan hanya sekedar kepercayaan dalam hati, melainkan juga
menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Dalil-dalil
tanda orang beriman & tidak beriman
2.
Refleksi
iman dalam kehidupan sehari-hari
3.
Standarisasi
perilaku mukmin sejati sesuai keadaan kontemporer Indonesia
C.
Dalil
–dalil dan pencerminan keimanan dalam kehidupan
Secara garis
besar telah banyak kita ketahui iman seorang Muslim adalah kepercayaannya yang
teguh pada Islam, dihayati dalam hatinya (al-Iman bi al-Qolb) dan diucapkan
dengan lisannya ( al-Iman bi
al-Lisan) dan dilaksanakan seluruh perintah dalam Islam (al-Iman bi
al-Jawārih). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Iman adalah keadaan mental
dari pendirian seorang Muslim dalam mengesahkan pengalaman dari apa yang
dipercayainya.
Beberapa dalil naqli
yang menyinggung tentang iman antara lain yaitu:
(ayat al Quran tidak dapat ditampilkan di blog ini)
mereka
yang beriman[2] kepada yang ghaib[3], yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.[4]
فأخبرني عن الإيمان. قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: "أن تؤمن
بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر, وتؤمن بالقدر خيره وشره".
( رواه البخارى و المسلم )[5]
Seseorang bertanya kepada Rasulullah,
“Kabarkan kepadaku tentang iman” Rasulullah menjawab “Iman itu ialah engkau
beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya,
kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, dan engkau beriman kepada qadha dan
qadar, yang baik dan yang buruk.” (HR Bukhari dan Muslim.
Keimanan seorang Muslim meliputi 6 rukun iman yang komprehensif. Dimana
pencerminan dari keimanan ini adalah saling terkait. Diantara pencerminan dari
keimanan ini berpangkal percaya sepenuhnya kepada Allah SWT yang Maha Segalanya
berarti, percaya juga kepada malaikat Allah dan mempercayai
bahwa mereka adalah makhluk yang diagungkan, makhluk yang tidak pernah
membantah terhadap perintah-Nya.[6] Disamping
itu juga wajib mempercayai seluruh kitab suci yang diturunkan oleh Allah kepada
Rasul-Nya melalui malaikat Jibril. Selanjutnya wajib mempercayai bahwa Allah
mengutus Rasul-rasulnya dari manusia pilihan untuk memberi kabar gembira dan
peringatan kepada manusia dengan berbagai mukjizat. Iman itu juga haruslah
dicerminkan dengan tidak membedakan antara satu Rasul dengan yang lainnya.[7]
Ungkapan dari iman kepada Hari akhir dapat juga
dicerminkan dengan mempercayai bahwa umur dunia ini akan ada batasnya, dan akan
berakhir, setelah itu ada masa dihidupkannya kembali manusia-manusia yang telah
mati, dan juga dikumpulkannya kembali dalam padang mahsyar untuk dihisab. Begitu
pula wajib mengimani qadha dan qadar (ketentuan dan hukum Allah) yang berlaku
terhadap segala sesuatu menurut ilmu dan kebijaksanaan-Nya.
Jadi implikasi dan urgensi dari rukun iman yang
6 tersebut bersumber dari Iman kepada Allah SWT, ketika seseorang menyatakan imannya/ kepercayaannya kepada Allah SWT maka
secara otomatis dia mengimani rukun-rukun iman yang lain. Dan sebaliknya
apabila dia mengingkari rukun iman yang pertama (iman kepada Allah SWT) maka
secara otomatis dia mengingkari rukun iman yang lain. Atau apabila seseorang
mengingkari salah satu rukun iman maka sama saja ia tidak beriman kepada Allah
SWT.
Refleksi dari keimanan seorang mu’min harus
tercerminkan dalam kehidupan, karena iman merupakan pondasi yang mendasari
segala aspek kehidupan muslim untuk mencapai tujuan mendapatkan ridha Allah
SWT. Seperti dikatakan dalam al-Qur’an[8]:
öNs9r&
ts?
y#øx.
z>uÑ
ª!$#
WxsWtB
ZpyJÎ=x.
Zpt6ÍhsÛ
;otyft±x.
Bpt7ÍhsÛ
$ygè=ô¹r&
×MÎ/$rO
$ygããösùur
Îû
Ïä!$yJ¡¡9$#
ÇËÍÈ
"Tidakkah kamu
perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik (kalimat
tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit".
Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa implementasi
orang beriman bagai pohon yang besar yakni[9]:
1.
Pohon yang berdiri tegak dan kuat memiliki akar
yang kuat dan tangguh, hal ini merupakan gambaran dari keimanan sebagai
pondasi/akar dari pohon.
2.
ranting-rantingnya adalah menuruti perintah
Allah SWT dan menjauhi larangannya, sedangkan bunganya adalah segala kebaikan
yang dilakukan oleh seorang mukmin, serta daunnya menjadi tempat berteduh yakni
memberi perlindungan kepada sesama.
3.
Buahnya bisa dinikmati orang lain yakni
perilakunya selalu menyenangkan dan menguntungkan sesama manusia.
Adapun tebal tipisnya kadar iman seseorang
memang sulit diketahui, karena iman sebagai sikap batin yang berada pada
tingkat keabstrakan yang tinggi, tapi paling tidak kita mampu melihat refleksi
keimanan dari sepak terjangnya seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Diantaranya adalah nilai-nilai kebajikan dan sejauh mana orang tersebut
mematuhi segenap perintah Allah SWT dan meninggalkan segala larangan-Nya
(taqwa).[10]
Seperti yang termaktub dengan jelas dalam firman Allah SWT:
(ayat al Quran tidak dapat ditampilkan di blog ini)
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa”.
Redaksi ayat diatas menurut tafsir al-Misbah[11],
kebajikan yang sempurna ialah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian
sebenar-benar iman sehingga meresap kedalam jiwa dan membuahkan amal-amal
saleh. Lalu percaya kepada malaikat, kitab-kitab Allah, para nabi yang membawa
wahyu untuk membimbing manusia.
Setelah menyebutkan sisi keimanan yang
hakikatnya tidak tampak, ayat ini juga menjelaskan contoh-contoh kebajikan
sempurna yang lahir dari pencerminan keimanan yaitu mengorbankan kepentingan
pribadi demi orang lain dengan memberikan harta yang dicintai secara tulus
kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan
pertolongan, dan orang yang meminta-minta serta memerdekakan budak.
Melaksanakan shalat secaara benar sesuai syariat, menunaikan zakat sesuai
ketentuan, menepati janji apabila berjanji. Dan adapun yang amat terpuji dari
kebajikan ini adalah orang yang sabar yakni tabah, menahan diri, dan berjuang
mengatasi kesempitan. Termasuk kebajikan yang sempurna adalah orang-orang yang
berbuat benar (jujur) sesuai sikap, ucapan dan perbuatannya dan orang-orang
yang bertaqwa.
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Raudhatu
al-Thālibin[12]
menyebutkan bahwa wujud iman seorang mu’min adalah selalu bersyukur atas segala
ni’mat Allah SWT dan menyandarkan hati kepada Allah SWT[13], tanpa
ada keraguan di dalamnya serta ridha dengan segala ketentuan Allah.
Lain halnya dengan Badi'uzzaman Seid Nursi
menyebutkan dalam kitabnya “Mafātihu al-Nūr”[14], bahwa
refleksi dari keimanan seorang muslim adalah adanya keikhlasan dalam beribadah
sehingga menghasilkan kedekatan kepada sang Pencipta (taqarrub).
Dalam sebuah hadith nabi bersabda [15]:
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
(دعه فإن الحياء من الإيمان) رواه البخارى
(دعه فإن الحياء من الإيمان) رواه البخارى
“ Malu
adalah sebagian dari iman” (Riwayat al-Bukhari)
Dari hadith tersebut menyebutkan sifat penting
yang harus dimiliki seorang mu’min yaitu rasa malu. Yaitu memiliki rasa malu
untuk tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keimanannya.[16] Karena
ada rasa malu maka seorang mu’min sebisa mungkin menghindarkan dirinya dari
menggunakan fasilitas kekayaan umat untuk kepentingan pribadi, tidak
meninggalkan tugas-tugas yang diamanahkan, dan dengan malu dapat memacu
produktifitas kerja.
Di sisi lain
juga disebutkan bahwa refleksi keimanan dalam kehidupan (pribadi &
keluarga), tercermin pada seorang mu’min yang mampu mempraktekkan seluruh
cabang iman dalam kehidupan sehari-hari. Adapun cabang iman tersebut berjumlah
70 cabang lebih[17],
cabangnya yang paling tinggi adalah ucapan kalimat tauhid/syahadat sedangkan
cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan yang terdapat di jalan.
Adapun
tanda-tanda orang yang tidak beriman kepada Allah adalah tidak mengakui sebuah
kebenaran baik yang datang melalui indera dan akalnya maupun melalui Rasul
utusan Allah (wahyu) apalagi melaksanakan perintah Allah SWT. Hal ini merupakan
bentuk pendustaan sebagai akibat dari kesombongan dan kemunafikan mereka. Dalil
naqli yang menjelaskan orang-orang yang tidak beriman antara lain:
(ayat al Quran tidak dapat ditampilkan di blog ini)
Aku akan memalingkan orang-orang
yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari
tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak
beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk,
mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan,
mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan
ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.[18]
(ayat al Quran tidak dapat ditampilkan di blog ini)
Di antara mereka ada orang-orang
yang beriman kepada Al Quran, dan di antaranya ada (pula) orang-orang yang
tidak beriman kepadanya. Tuhanmu lebih mengetahui tentang orang-orang yang
berbuat kerusakan.[19]
Dari beberapa
dalil yang diajukan penulis mengenai orang yang beriman dan yang tidak beriman,
dapat kita ketahui perbedaan yang mendasar dari keduanya yaitu :
1.
Orang
yang benar-benar beriman adalah yang meyakini kebenaran dari rukun iman dengan
sungguh-sungguh tanpa keraguan.
2.
Orang
yang tidak beriman adalah yang menolak dan mendustakan kebenaran yang telah
sampai kepada mereka, sebagai akibat dari kesombongan mereka.
D.
Standarisasi
Perilaku Mu’min Sejati
Berbicara mengenai standarisasi perilaku mu’min sejati maka ada
korelasinya dengan akhlak, karena Islam menghubungkan akhlak dengan keimanan.
Orang yang beriman dengan benar-benar sudah barang tentu keimanan tersebut
membentuk pribadinya sehingga ia berakhlak. Orang yang paling sempurna
keimanannya ialah orang yang paling baik akhlaknya. Dalam hadits juga Rasulullah Saw.
memberikan standarisasi kesempurnaan iman seorang mukmin dengan indikator
akhlak.
قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : أكملُ المؤمنين
إيماناً أحسنُهُم خُلُقاً (رواه أبوداود)
Artinya: “Seorang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah siapa yang paling baik akhlaknya”. (HR. Abu Dawud).
Itulah korelasi antara iman dan akhlak. Iman tidak bisa
dipisahkan dari akhlak. Karena akhlak merupakan indikator baiknya keimanan
seseorang. Seorang mukmin yang sejati pasti memiliki akhlak yang baik. Semakin
sempurna keimanan seseorang maka semakin baik akhlaknya.
Imam Syafi’i menegaskan dalam kitabnya “Tafsir al-Kabir”[20]
dan juga Ibnu Kathir dalam “Tafsir al-Qur’ān al-'Adhīm”[21],
bahwa seorang mu’min yang beriman dengan lisannya, hatinya dan perbuatannya
pasti akan melaksanakan amal Shalih dan menjauhi syahawāt (maksiat). Hal ini
sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Amal shalih yang dilaksanakan seorang
mu’min dalam kehidupannya terintrepretasi dari pembentukan kepribadiannya
(akhlak) sebagai wujud dari iman dan ketaatan kepada Allah SWT. Dari
nilai-nilai amal shalih ini bisa disebut sebagai manifestasi taqwa yaitu dengan
melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Oleh karena itu
terdapat korelasi langsung antara taqwa dan akhlak.
Dari beberapa keterangan diatas dapat kita simpulkan bahwa
standarisasi perilaku mu’min sejati bersumber pada akhlaqul al-karimah yang
mana melahirkan perilaku beramal shalih dan menjauhi maksiat sehingga berujung
pada manifestasi taqwa.
E.
Refleksi
Keimanan dalam Materi PAI
Porsi
pengenalan sekaligus praktek penanaman atau internalisasi iman pada anak didik
menjadi yang utama, ini terkait dengan aqidah, akhlak, ibadah, muamalah,
kemudian Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan urutan substansi pembinaan generasi
oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. “Beliau mengajari iman sebelum
al-Qur’an, dan ketika al-Qur’an diajarkan maka iman semakin bertambah.”
Bagaimana
konkritnya penanaman iman dalam diri siswa ini? Petunjuknya ada di Shahih
Muslim dan Shahih Bukhari dengan narasi berbeda , bahwa “iman itu ada 70 lebih
cabang dan malu adalah termasuk iman”. Disamping itu juga guru PAI harus mampu
menjabarkan dan memberikan aplikasi konkrit daripada keimanan yang mana
pancaran dari keimanan mu’min membentuk pribadi berakhlaq, dari pribadi
berakhlaq pasti akan melaksanakan kebajikan/amal shalih (al-Birru) dan
menghasilkan manifestasi taqwa kepada Allah SWT. Itulah sumber-sumber materi
penananam iman pada para anak didik kita nantinya.
Mungkin reaksi
spontan orang yang mendengarnya rata-rata adalah “berat amat silabus-nya?”
Tentu untuk anak-anak usia 4-12 tahun, materi tersebut harus disampaikan dengan
cara yang sesuai usianya. Bukan hanya dengan teori dan pembahasan yang njlimet,
tetapi juga melalui praktek mencoba, melatih dan membiasakan sehingga seluruh
cabang-cabang iman bener-bener mendarah daging pada anak didik.
Membiasakan
siswa belajar dan merefleksikan bentuk-bentuk keimanan memang bukan hal yang
mudah bagi setiap guru, maka diperlukan adanya peningkatan wawasan guru,
keteladanan secara moral maupun spiritual, kesungguhan hati mengantarkan anak
didik, dan tak yang kalah penting yaitu kontinuitas penerapan pembelajaran (keimanan).
F.
Kesimpulan
Dalam hal ini bersangkutan
dengan materi keimanan dan refleksinya dalam kehidupan mu’min (pribadi &
keluarga), maka penulis mengambil beberapa kesimpulan antara lain:
Orang yang beriman adalah orang yang benar-benar meyakini secara
komprehensif rukun Iman yang 6 tanpa adanya keraguan, sedangkan orang yang
tidak beriman adalah yang menolak dan mendustakan kebenaran yang telah sampai
kepada mereka.
Refleksi dari keimanan dalam
kehidupan yang disesuaikan dengan al-Qur’an surat al-Baqarah 177 antara lain:
-
Keimanan
kita harus sejati dan murni
-
Kita
harus siap untuk memancarkan iman keluar dalam bentuk tindakan kemanusiaan
-
Kita
harus menjadi warga masyarakat yang baik, yang mendukung sendi-sendi kehidupan
kemasyarakatan
-
Jiwa
pribadi kita harus teguh dan tak goyah dalam setiap keadaan.
Standarisasi perilaku seorang mu’min sejati berpangkal dari beriman
Þ
berakhlak Þ beramal
Þ
bertaqwa
Al-Qur’an al-Karim.
Abdul, Hameed Hakeem, Aspek-aspek Pokok Agama Islam,
(Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983).
Bukhori, Imam, Sahih Bukhari, Maktabah Mausū'ah al-Hadith,
(CD-Rom, Maktabah Mausū'ah al-Hadith, tt).
al-Ghazali, Abu Hamid, Raudhātu al-Thālibin, ( Beirut: Dār
al-Kutub al-'ilmiyah, tt).
Khozin, Refleksi Keberagaman dari Kepekaan Teologis Menuju
Kepekaan Sosial, (Malang: UMM Press, 2004).
Kathir Ibnu, al-Tafsir al-Qur’ān al-'Adhīm, (Beirut: Dār al-Kutub
al-'Ilmiyah, tt).
Majid Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 2005).
Rizal Hamid, Syamsul, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor: LPKI
Cahaya Islam, 2008), Cet-2.
Sunarso, Ali, Islam Praparadigma, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2009).
Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati,
2002).
Seid Nursi Badi'uzzaman, Mafātihu al-Nūr, (Maghrib: Jāmi'atu
Sulthan al-Maulā Isma'il,tt).
Syafi’i Imam, al-Tafsīr al-Kabīr, (Beirut: Dār al-Kutub
al-'ilmiyah, tt), jilid 3.
[1]Imam Bukhori, Kitab
al-Iman, Maktabah Mausū'ah al-Hadith, (CD-Rom, Maktabah Mausū'ah al-Hadith,
tt). Untuk riwayat lengkapnya bisa dilihat dalam Sahih Bukhori, Kitab al-Iman,
Mausuah al-Hadith.
[2] Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan
ketundukan dan penyerahan jiwa. Tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa
yang dikehendaki oleh iman itu.
[3] Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh
pancaindera. Percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang
maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang
menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, Malaikat-Malaikat, Hari
akhirat dan sebagainya.
[4] Al-Qur’an
al-Karim, al-Baqarah ayat 3
[5] Imam Bukhari, Sahih
Bukhari, (CD-ROM Mausū’ah Digital), tt.
[6]Hakeem Abdul
Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
1983), 59.
[7] Ali Sunarso, Islam
Praparadigma, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), 110.
[8] Al-Qur’an
al-Karim, Ibrahim ayat 24
[9] Syamsul Rizal
Hamid, Buku Pintar Agama Islam, (Bogor: LPKI Cahaya Islam, 2008), Cet-2,
35.
[10] Nurcholish
Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2005), 43.
[11] M.Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 467.
[12] Abu Hamid
al-Ghazali, Raudhātu al-Thālibin, ( Beirut: Dār al-Kutub al-'ilmiyah,
tt), 83.
[13] Konsep
tawakkal Ghazali dengan menyandarkan segala keputusan kepada Allah SWt setelah
apa yang diikhtiarkan (diusahakan) manusia.
[14] Badi'uzzaman
Seid Nursi, Mafātihu al-Nūr, (Maghrib: Jāmi'atu Sulthan al-Maulā
Isma'il,tt), 59.
[15] Imam Bukhari, Kitab
al-Iman, (CD_ROM, Mausū'ah Digital, tt)
[16] Khozin, Refleksi
Keberagaman dari Kepekaan Teologis Menuju Kepekaan Sosial, (Malang: UMM
Press, 2004), 55.
[17] Selengkapnya
dari cabang-cabang iman dapat dibaca di Buku Pintar Agama Islam oleh Syamsul
Rizal Hamid.
[18] Al-Qur’an
al-Karim, al-A'rāf ayat 146.
[19] Al-Qur’an
al-Karim, Al-Yunus ayat 40
[20] Imam Syafi’i, al-Tafsīr
al-Kabīr, (Beirut: Dār al-Kutub al-'ilmiyah, tt), jilid 3, 31.
[21] Ibnu Kathir, al-Tafsir
al-Qur’ān al-'Adhīm, (Beirut: Dār al-Kutub al-'Ilmiyah, tt), jilid 1, 357.
Buku A. Rifqi Amin (pendiri Banjir Embun) berjudul:
Rincian buku:
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Contoh Kata Pengantar Buku
Contoh Daftar Isi Buku
Contoh Daftar Gambar dan Daftar Tabel
Isi Lengkap Buku
Contoh Glosarium Buku
Contoh Indeks Buku
Al Iimaan (sumber gambar yaakhawati) |