PERKEMBANGAN DINASTI SYAFAWIYAH DI PERSIA
(Mahasiswa S2 Program Pasca Sarjana STAIN Kediri)
A.
Pendahuluan
Syafawi adalah
salah satu dari ketiga kekhilafahan atau kerajaan Islam yang dikategorikan
besar di akhir masa sejarah Islam klasik dan di masa pertengahan. Kekhilafahan
ini berpusat di Persia (Iran). Nama Syafawi diambil dari nama pemimpin tarekat
Safi’uddin yang kemudian mempelopori berdirinya kekhilafahan ini. Kekhilafahan
ini adalah penganut sekte Syi’ah Itsna As’ariyah[1]
(Shi’ah Duabelas), yang dijadikan dasar-dasar doktrin Islam bagi pemerintahan Iran
setelahnya hingga sekarang. Dibanding dengan masa Turki Uthmani, masa
pemerintahan Syafawi tidak terlalu lama, sekitar 2,5 abad kurang sedikit. Yakni
sejak pemerintahan Ismail pada 1501 M hingga akhir pemerintahan Abbas III pada
1736 M.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
Dinasti Syafawi yang mulai diproklamirkan berdirinya pada tahun 1501M oleh Syah
Ismail, memiliki karakteristik dengan konsep Syi’ah Imamiyah (biasa juga
disebut Syia’ah Istna Asyara). Konsepsi Imamiah Syi’ah meyakini bahwa pemimpin
negara (Syah) adalah wakil atau pengganti Imam Mahdi dalam masa kegaibannya
untuk menegakkan hukum Tuhan.
Keyakinan ini tentunya membawa konsekwensi pada
bentuk pemerintahan dinasti Syafawi, sehingga hal ini membuatnya berbeda dengan
sistem atau bentuk pemerintahan pada dinasti/kekhalifaan sunni yang ada
sebelumnya. Jika disandarkan pada konsepsi keyakinan Syi’ah Imamiyah, maka
bentuk dan sistem pemerintahan dinasti Syafawi adalah monarkhi teokrasi,
artinya, bahwa pemerintahan dijalankan secara turun temurun dan dibangun di
atas dasar keyakinan bahwa Syah adalah pengganti Imam selama kegaibannya untuk
menegakkan hukum Allah.
B.
Pembentukan
dan Perkembangan
Ketika Dinasti
Ottoman mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Sulaiman al-Qanuni ( 1520-1566
M), di sebelah timur kerajaan itu, tepatnya di sekitar Laut Tengah hingga Teluk Persia berdiri
sebuah kerajaan baru yang dipimpin oleh Dinasti Syafawiyah.[2]
Penamaan dinasti ini dengan dinasti Syafawi karena kelahiran dinasti ini
berawal dari tarekat Syafawiyah. Mirip dengan asal-usul Dinasti Murabithun dan
Muwahiddun, kekhilafahan Syafawi bermula dari gerakan kelompok tarekat kemudian
berubah menjadi gerakan politik yang dipimpin oleh Safi’uddin (1252-1332M), di
Ardabil sebuah kota di Azarbaijan.
Gerakan tarekat
Syafawiyah yang didirikan oleh Syah Safi’uddin adalah mewakili sebuah
kebangkitan Islam populer yang menentang dominasi militer yang meresahkan dan
bersikap eksploitatif, dan gerakan tarekat ini memprakarsai penaklukan Iran dan
mendirikan sebuah dinasti baru.[3]
Tujuan tarekat, memerangi orang-orang yang ingkar dan kelompok ahli bid’ah.
Karena itu tarekat bersikap fanatik dan menentang kelompok-kelompok selain
Syi’ah. Untuk itu pula gerakan ini merasa perlu memasuki wilayah politik.
Hierarki kepemimpinan
tarekat ini diawali oleh Safi’uddin Ishaq al-Ardabily (1252-1334M)[4],
lalu diteruskan putranya Sadr al-Din Musa (1334-1399 M), lalu diteruskan
putranya Khawaja Ali (1399-1427 M), dan diteruskan putranya Ibrahim (1427-1447
M). Pada fase kedua gerakan Syafawi berubah bentuk menjadi gerakan politik pada
masa Junaid bin Ibrahim (1447-1460 M). Sepeninggal Imam Junaid tarekat
diteruskan putranya Haidar, dan putra dari Haidar yaitu Ismail inilah dianggap
sebagai tonggak pemimpin dinasti Syafawi.
Perjalanan
tarekat syafawiyah menuju terbentuknya dinasti Syafawi dibedakan menjadi 2 fase
yaitu[5]:
-
Sebagai
tarekat murni[6]
-
Sebagai
gerakan politik, terjadi pada masa Junaid bin Ibrahim
Beralihnya
sikap gerakan tarekat ini kepada gerakan politik karena gerakan ini mendapat
dukungan luas dari masyarakat Persia yang sudah terpengaruh dengan ajaran
tarekat Syafawiyah. Faktor penting yang mendukung berkembangnya tarekat
Syafawiyah adalah : Pertama, banyaknya orang Persia yang mencari ketenangan
hidup melalui aliran tasawuf. Kedua, bosan dengan suasana hidup yang penuh
dengan peperangan dan perebutan kekuasaan.[7]
Berdirinya Dinasti
Syafawiyah diprakarsai oleh Ismail putra Haidar, selama 5 tahun Ismail
mempersiapkan pasukan Qizilbash[8]
yang bermarkas di Gilan. Qizilbash dapat mengalahkan pasukan musuh beratnya
Aq-Qoyunlu[9]
dan dapat menguasai Tibriz pusat kekuasaan Aq-Qoyunlu. Disini Ismail
memproklamirkan diri sebagai raja pertama dinasti Syafawi.[10]
C.
Politik Pemerintahan
Dilihat dari asal-usulnya, Syafawi dipimpin oleh 2 kekuatan yaitu:
Pertama, kepemimpinan agama (tarekat) sebagai perintisnya dipimpin
oleh Safi’uddin hingga Haidar (1252-1494 M). Kedua, kepemimpinan formal
(dinasti) yaitu sejak kepemimpinan Ismail bin Haidar (1501-1524 M) hingga Abbas
III (1732-1736 M). Masa diantara 2 sultan tersebut Dinasti Syafawiyah dipimpin
oleh: Tahmasp I, Ismail II, Muhammad Khudabanda, Abbas I, Safi Mirza, Abbas II,
Sulaiman, Husein, Tahmasp II. Jadi seluruh sultan Dinasti syafawiyah berjumlah
11 orang.
Dinasti Syafawi
merupakan dinasti agama karena lebih dilandasi oleh praktek Syi’ah Itsna
As’ariyah. Sebagaimana dinasti yang muncul pada masa disintegrasi, seperti
Fatimiyah yang Syi’i dan Ayyubiyah yang Sunni.[11]
Dengan gagasan ideologi Syi’ah yang menjadi perekat konsolidasi, nasionalisme
Syafawi dalam waktu 10 tahun mampu menguasai wilayah-wilayah yang nantinya pada
masa modern menjadi wilayah negara Iran.
Ketika Imperium
Uthmaniyah yang menjadi rivalnya bergerak ke arah barat untuk merebut Anatolia
Timur dan Imperium Syaibaniyah bergerak ke arah timur untuk mengambil alih kekuasaan
atas wilayah Transoxania sampai sejauh sungai Oxus, ismail berhasil memperkokoh
beberapa wilayah perbatasan yang sampai sekarang ini tetap menjadi wilayah
Iran. Ismail berhasil mengawali perluasan wilayah yang meliputi wilayah Persia,
dan wilayah subur “Bulan Sabit”. Awal mula ia menumpas sisa-sisa kekuatan
Aq-Qoyunlu kemudian menaklukkan provinsi Caspia, Gurgan, Zayd, Diyar Bakr,
Baghdad, dan wilayah barat daya, diteruskan penaklukkan ke Khurasan pada 1508
M.[12]
Namun, kemenangan
dan kemampuan Ismail membendung kekuasaan Syafawi yang Syi’ah ini telah
melalaikannya karena rasa superioritas dan fanatisme. Akibatnya beberapa usaha
penaklukkan berikutnya dan termasuk usaha para penggantinya : Tahmasp I
(1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M), Muhammad Khudabanda (1578-1588 M),
selalu dapat dikalahkan oleh kekuatan Turki Uthmani, sehingga usaha perluasan
wilayah di masa ini mengalami hambatan. Akibat lebih jauh dari kekalahan
tersebut adalah terjadinya persaingan dan perebutan segitiga yaitu antara
pemimpin suku Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia dan pasukan elit
Qizilbash, yang menyebabkan kerajaan Syafawi semakin hari semakin lemah.[13]
Syah kelima, Abbas I
(1588-1628 M) dianggap berhasil memulihkan kekuatan Syafawi untuk kembali
melakukan ekspansi. Kebijakan yang ia ambil, Pertama, mengurangi dominasi
pasukan Qizilbash dengan cara membentuk korp baru yang direkrut dari
budak-budak dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang
telah ada sejak raja Thamasp I. Kedua, sebagai upaya antisipatif dengan
menghilangkan idiologi nasionalisme yang salah, maka Abbas I bersikap lebih
terbuka dan toleran dengan kebijakan politik luar negrinya yaitu mengadakan
perjanjian damai dengan Turki Uthmani dengan melepaskan sebagian wilayah Azarbaijan
dan Georgia. Ketiga, Abbas berjanji untuk tidak mencaci 3 Khalifah al-Rasyidah:
Abu Bakar, Umar, dan Uthman, sebagai jaminan atas perjanjian ia bersedia
menyerahkan saudara sepupunya sebagai sandera di Istanbul.[14]
Syafawi mulai
meneruskan usaha perluasan wilayah setelah memiliki kekuatan militer yang cukup
kuat, sasaran utamanya adalah daerah-daerah yang pernah hilang dari
kekuasaannya. Maka mereka melangkah ke daerah bagian timur, Abbas memindahkan
ibukota kerajaan dari Qiswan ke Isfahan (1597). Lalu melakukan serangan ke
Herat, Marw, dan Balk. Lalu mengalihkan serangan ke barat dan berhadapan dengan
Turki Uthmani[15], dengan
pasukan yang baru Abbas dapat merebut kembali Tibriz, Sirwan, dan Bagdad. Tahun
1605-1606 dapat menguasai kota Nakhchivan,Erivan, Ganja dan Tiflis. Berikutnya
tahun 1622 dapat menguasai kepulauan Hormuz dari tangan Portugis dan pelabuhan
Gumron yang diubah namanya menjadi bandar Abbas.
Demikianlah Syah
Abbas I dinilai sebagai sultan yang paling berhasil dengan usahanya memulai
program rekonstruksi militer yang mana dengan membentuk kekuatan militer baru
dari budak-budak Georgia, Circassia, Armenia dan Turki untuk menandingi
kekuatan pasukan militer Turki dan mengkonsolidasi sejumlah poerbatasan wilayah
kekuasaannya dan mengamankan otoritas internalnya.
D.
Kemajuan
di bidang Peradaban
Di bidang
perekonomian, Hormuz,
merupakan kota pelabuhan sebagai jalur perdagangan timur barat yang berhasil
dikuasai Syafawi, membuat perekonomian Syafawi semakin membaik. Wilayah yang
biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik
Syafawi. Sektor perdagangan akhirnya menjadi salah satu andalan perekonomian
Syafawi, disamping pertani yang mengandalkan kesuburan wilayahnya yaitu Bulan
Sabit Subur. Dengan pencapaian ekonomi maka daerah Syafawi mampu mengembangkan
peradabannya.
Di bidang
pembangunan fisik, kunci dari
program administrasi dan ekonomi Syah Abbas adalah pembentukan sebuah ibukota
baru yang besar yaitu Isfahan.[16]
Syafawi membangun kota Isfahan
dengan mengitari Maydani Syah yakni sebuah alun-alun besar dengan luas 160x500
meter yang berfungsi sebagai pasar, tempat perayaan dan lapangan. Pada sisi
bagian timur dibangun masjid Syaikh Luthfallah (1603-1618) sebagai tempat
peribadatan pribadi Syah. Pada sisi bagian selatan dibangun masjid kerajaan
yaitu masjid Syah (1611-1629), pada sisi bagian barat berdiri istana Ali Qapu
yang merupakan gedung pusat pemerintahan. Pada sisi bagian utara dari Maydani
berdiri bangunan monumental yang menjadi simbol bagi gerbang menuju bazzar
kerajaan dan sejumlah pertokoan, tempat pemandian, caravansaries, masjid, dan
sejumlah perguruan. Dari Maydani terdapat sebuah jalan raya Qushar Bagh sepanjang
2,5 mil menuju istana musim panas, pada sisi lainnya terdapat sejumlah
pertamanan yang luas, tempat tinggal harem-harem Syah, tempat tinggal para
pegawai istana, dan para duta besar asing. Seluruh pembangunan ini merupakan
masterpiece bagi tata kota Timur Tengah.[17]
Pada tahun 1666 menurut keterangan seorang pengunjung Eropa, Isfahan memiliki
162 masjid, 48 perguruan, 162 caravansaries, 1821 losmen, 182 pusat perdagangan
dan 273 tempat pemandian umum yang hampir seluruhnya dibangun masa Abbas I dan penggantinya
Abbas II (1642-1666).
Di bidang seni, kemajuan tampak dalam
gaya arsitektur bangunan masjid-masjid yang ada. Unsur seni lainnya terlihat
dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan,
tembikar dan benda-benda seni lainnya. Syah Abbas I menciptakan sebuah corak
publik tentang Isfahan dan bahkan mengembangkan lukisan-lukisan tentang
peperangan, pemandangan perburuan, dan upacara kerajaan. Juga terdapat sebuah
Shah Name (buku tentang raja-raja) yang memuat karya agama berupa seni
manuskrip bergambar Iran dan Islam.[18]
Pada masa Syah Ismail I juga pernah membawa pelukis timur yang bernama Bizhad
ke Tibris.
Di bidang
intelaktual, walaupun tidak
semaju zaman Abbasiyah, dinasti Syafawiyah telah memberikan kontribusinya dalam
sektor ilmu pengetahuan. Dibanding dengan Turki Uthmani, Syafawi lebih unggul
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya filsafat.[19]
Jika dikalangan Sunni pasca kemajuan Bani Abbas filsafat mengalami kemunduran,
tetapi di kalangan Syi’ah hal demikian tidak terjadi bahkan masa Syafawi
filsafat Islam di kalangan Syi’ah berkembang pesat. Beberapa ilmuan yang
terkenal di masa ini antara lain Zain al-Din ibn Ali Ahmad Jaba’i, Ali ibn Abd
al-Ali Amaly, Baha’uddin al-Syairazi ahli berbagai maam ilmu, Sadr al-Din
al-Syairazi filosof yang menulis al-Hikmah al-Mutawaliyah, Muhammad
Baqir Damad dikenal sebagai ahli sejarah, tekhnologi dan filsafat yang termasuk
peneliti mengenai kehidupan lebah-lebah.
Dan juga
kontribusi Syafawi Persia dalam membangun ilmu pengetahuan adalah banyaknya
teks-teks tradisional yang dipakai madrasah-madrasah Persia. Menurut catatan
Syed Hossein Nashr teks-teks tersebut meliputi: morfologi (shorof), sintaksis
(nahwu), ma’ani wa bayan (retorika), badi’ (metafora). Ma’alimu
al-Din karya Hasan ibn Syaikh Zaini al-Din (16 M) yang dikomentari sejumlah
besar penulis, Zubdat al-Ushul risalah keagamaan karya Baha’ al-Din
Amaly. Adapula risalah Kitab al-Wafiyah karya Mulla Aballah ibn Aj
Muhammad Tho Bushrawi Khurasani (17 M), dan Ensiklopedi Keagamaan (Bihar
al-Anwar) bervolume besar karya Muhammad Bagir Majlisi.
Adanya berbagai
kemajuan ini disamping beberapa faktor pendukung kemajuan peradaban, juga
berperannya ideologi Syi’ah yang mampu merangsang penganutnya untuk
berkreatifitas, sesuai dengan kecerdasan akal yang dimiliki yang konsen dengan
pengembaraan intelektualnya.
E.
Kemunduran
dan Kehancuran
Sepeninggal
Abbas I, Syafawi dipimpin oleh raja-raja yang tidak mampu mempertahankan
kemajuan Syafawi. Akibatnya dinasti mengalami kemunduran yang disebabkan oleh
faktor internal dan eksternal.
Faktor internal antara lain: Pertama, keadaan para Syah (raja) yang tidak cakap
dalam memimpin negara, tidak bersikap bijak terhadap para pembesar kerajaan,
hidup berfoya-foya, Syah memiliki banyak harem-harem di istana, Syah Husein
terlalu mengutamakan ulama’ Syi’ah yang sering memaksakan pendapat pada aliran
Sunni yang berakibat kemarahan dan pemberontakan Sunni Afghanistan dimana akan
berhasil menggulingkan Syafawi di kemudian hari. Kedua, melemahnya semangat
pasukan budak-budak yang direkrut Abbas I (pasukan Gulam) dan generasi
Qizilbash yang barupun tidak memiliki semangat juang yang tinggi seperti
pendahulunya. Dan yang terpenting hampir seluruh penguasa kerajaan Syafawi
tidak menyiapkan kader calon penggantinya dengan baik sehingga mengakibatkan
instabilitas nasional kerajaan.
Faktor
eksternal antara lain:
Pertama, timbulnya kekecewaan Sunni Afghanistan akibat perlakuan Syah Husein
yang berakibat pada pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Syafawi oleh
penguasa Afghanistan Mir Mahmud pada 1722 M. Kedua, ketegangan dan konflik
dengan Turki Uthmani yang keberadaannya jauh lebih besar dan kuat daripada
Syafawi.
Setelah kota
Isfahan diduduki oleh Afghanistan (1722 M), maka tahun 1729 muncul kekuatan
baru oleh Nadir Quli[20],
yang mana berhasil merebut dan menguasai dinasti Syafawi dan pada 24 Syawwal 1148 H/8 Maret 1736 Nadir
Quli secara resmi dinobatkan sebagai Syah Iran.[21]
Dengan demikian berakhir dinasti Syafawiyah yang berkuasa selama 235 tahun.
F.
Penutup
Kehancuran
rezim Iran ini juga disebabkan sejumlah perubahan yang luar biasa dalam hal
hubungan negara dan agama. Pada periode Mongol dan Timuriyah, beberapa gerakan
sufi di perkampungan mengorganisir perlawanan umum terhadap kekejaman rezim
asing. Islam kembali berperan dalam menyatukan masyarakat yang tengah di dalam
perpecahan menjadi gerakan moral dan politik yang lebih besar, sebagaimana yang
pernah dijalankan di masa Nabi SAW.
Syafawiyah semula merupakan sebuah gerakan,
tetapi setelah berkuasa rezim ini justru menekan bentuk-bentuk millenerian
Islam Sufi seraya cenderung kepada pembentukan lembaga ulama negara Syafawiyah
menjadikan Syi’isme “dua belas” sebagai agama resmi bagi pemerintah Iran, dan
mengeleminir pengikut sufi mereka sebagaimana yang dilakukannya terhadap ulama
Sunni.
Demikianlah
rezim Syafawiyah telah meninggalkan warisan kepada Iran modern berupa tradisi
Persia perihal sistem kerajaan yang agung, yakni sebuah rezim yang dibangun
berdasarkan kekuatan unsur-unsur kesukuan yang utama, dan mewariskan sebuah
kewenangan keagamaan Syi’ah yang kohesif, monolitik, dan mandiri.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997).
Daftary, Farhad. Tradisi-tradisi Intelektual Islam, (PT Gelora
Aksara Pratama, 2000).
Lapidus, Ira.M. Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000).
Nurhakim, Mohammad. Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UMM
Pres, 2003).
Rahman, Taufiq. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam,
(Surabaya: Pustaka Islamika, 2003).
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, (Bogor: Kencana,
2003).
Tim Karya Ilmiah Purnasiswa, Sejarah Tasyri’ Islam,
(Lirboyo: Forum Pengembangan Intelektual Islam, 2006).
[1] adalah cabang
dari ajaran Syiah yang memiliki pengikut terbanyak. Mereka yang mengikuti ajaran
yang disebut sebagai Syiah Imamiyah ini mempercayai bahwa mereka mempunyai 12
orang pemimpin, yang pemimpin pertamanya adalah Imam Ali ra. dan pemimpin
terakhir mereka adalah Imam
Mahdi Al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), seorang Imam yang muncul pada tahun 868 dan kemudian
menghilang. Para pengikut Itsna Asyariyyah yakin bahwa Imam Mahdi akan kembali
untuk menghadapi dajjal dan akan
membangun pemerintahan Islam.
[2] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), Cet 4, 193.
[3] Ira.M. Lapidus,
Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet-2, 440.
[4] Mengenai
asal-usul Safi’uddin ada 2 riwayat yakni ia keturunan Musa al-Kazim (imam ke-7
Syi’ah Imamiyah) dan keturunan penduduk asli Iran dari Kurdistan serta seorang Sunni
bermadhab Syafi’i.
[5] Taufiq Rahman,
Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika,
2003), 241.
[6] Pada fase ini
terdapat 2 opsi yang berkembang dalam tarekat yaitu: Sunni (pada masa
Safi’uddin dan Sadr al-Din), Syi’ah (pada masa Khawaja Ali sikap syi’ahnya
sangat toleran namun pada masa Ibrahim bersikap ekstrem pada syi’ah itsna
As’ariyah).
[7] Seperti Hulagu
yang mendirikan Dinasti Ilkhan di Persia, penghancuran Timur Lenk terhadap
dinasti Muzaffariyah di Persia Selatan (1393 M), dan anak cucu Timur Lenk
saling berebut kekuasaan.
[8] Pasukan elit
bentukan Haidar dengan ciri mengenakan atribut serba merah yang bercumbai dua
belas sebagai lambang Syi’ah Itsna Asyarah.
[9] Dinasti dari
bangsa Turki yang berkuasa saat itu di Persia yang beraliran Sunni.
[10] Mohammad Nurhakim,
Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UMM Pres, 2003), 142.
[11] Farhad
Daftary, Tradisi-tradisi Intelektual Islam, (PT Gelora Aksara Pratama,
2000), 215.
[12] Tim Karya
Ilmiah Purnasiswa, Sejarah Tasyri’ Islam, (Lirboyo: Forum Pengembangan
Intelektual Islam, 2006), 323.
[13] Taufiq Rahman,
Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam, 245.
[14] Langkah ini
memang terlihat merugikan kedaulatan negara yang baru bangkit. Namun, konsesi
seperti ini merupakan langkah yang bijaksana demi keutuhan ketahanan nasional
daripada harus bersiteru dengan kekuasaan lain yang lebih kuat.
[15] Perseteruan
antara 2 kerajaan ini disebabkan karena perbedaan ideologi, kerajaan Syafawi
(Syi’ah) sedangkan Turki (Sunni).
[16] Isfahan
merupakan kota yang sangat penting bagi tujuan politik dan ekonomi bagi bangsa
Iran yang memusat dan bagi legitimasi simbolik dinasti Syafawiyah.
[17] Ira.
M.Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, 453.
[18] Ibid, 454.
[19] Muh Nurhakim, Sejarah
Peradaban Islam, 143.
[20] Orang dari
suku Asfar yang tidak menginginkan wilayah Persia di bawah kekuasaan
orang-orang Afghan, Turki dan kekuasaan bangsa-bangsa lain.
[21] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Bogor: Kencana, 2003), 258.
Ilustrasi masa dinasti Safawi (sumber gambar) |
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "PERKEMBANGAN DINASTI SYAFAWIYAH DI PERSIA"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*