ORGANISASI
SOSIAL KEAGAMAAN DAN PENDIDIKAN:
Oleh: Ustadz Zaenal Hamam
A.
PENGANTAR
Kemunduran
masyakat Indonesia di bawah pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke-19
akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial tersebut telah mendorong para
pemuka pribumi untuk bangkit memimpin pergerakan
membenahi kepincangan-kepincangan yang ada pada masyarakat. Dalam
mewujudkan tujuannya, para
pemuka pergerakan tersebut mendirikan
organisasi sebagai wadah perjuangannya.
Melalui organisai tersebut, para pemuka pergerakan mengubah keterbelakangan
masyarakat Indonesia melalui penyelenggaraan berbagai kegiatan, hususnya dalam
bidang pendidikan dan pengajaran sehingga banyak bermunculan sekolah-sekolah
pertikelir yang terus berkembang dan telah banyak memberikan kontribusi yang
sangat berharga pada masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Organisasi
dan sekolah tersebut dapat digolongkan kepada dua haluan. Pertama, haluan
politik, seperti: Taman Siswa yang mula-mula didirikan di Yogyakarta, Ksatrian
Institut yang didirikan oleh Dr. Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung,
Perguruan Rakyat di Jakarta dan Bandung, dan Sekolah Sarikat Rakyat di Semarang
yang berhaluan Komunis. Kedua, haluan agama (sesuai dengan tuntutan agama
Islam) seperti Sarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sumatra Tawalib di
Padang Panjang, Persatuan Umat Islam,
al-Irsyad, Normal Islam, Al Jam‘iyatul Washliyah, dan lain-lain.[1]
Al
Jam‘iyatul Washliyah sebagai organisasi yang berhaluan agama mempunyai ciri
khas yang membedakannya dengan yang lain. Organisasi Islam yang mampu bersaing
dengan kalangan misionaris Kristen, yang mendapat dukungan khusus dari
pemerintah Belanda dan Greja Kristen dari Eropa, di daerahnya ini bercorak
tradisoinal-modern. Disebut tradisional karena secara formal organisasi ini
mengikat diri dengan mazhab Syāfi‘ī dan disebut modern karena pengelolaannya
sudah menggunakan sistem serta media-media modern.
Dari
uraian di atas, penulis menfokuskan kajian
pada masalah organisasi Al
Jam’iyatul Washliyah, yaitu (1) sejarah berdirinya, (2) departemantasi dan
badan otonamnya, dan (3) ciri khasnya.
B.
SEJARAH
BERDIRINYA AL JAM’IYATULWASHLIYAH
Berdirinya
Al Jam’iyatul Washliyah merupakan respons para pendiri orgaanisai ini terhadap
keadaan yang terkait dengan fakta-fakta sosial, politik, dan demografis Sumatra
Timur (sekarang Sumatra Utara). Untuk itu, pembahasan sejarah berdirinya Al
Jam‘iyatul Washliyah ini tidak dapat terpisahkan dari konfigurasi sosial,
politik, dan demografis Sumatra Timur.
Konfigurasi
sosial, politik, dan demografis Sumatra Timur mempunyai wajah baru pasca pembukaan
perkebunan besar-besaran oleh pemerintah Belanda di daerah tersebut. Untuk
mengelola perkebunan tersebut, pemerintah kolonial mendatangkan pekerja dari
luar daerah Sumatra Timur dengan pilihan utama etnis Cina dan Jawa.
Keberadaan
perkebunan ini mendorong tumbuhnya perekonomian yang pada gilirannya menarik
perhatian penduduk daerah-daerah yang bertetangga seperti Minangkabau,
Mandailing, Karo, dan Aceh untuk mencari penghidupan di Sumatra Timur. Sensus
penduduk yang dilakukan pada tahun 1930 (tahun berdirinya Al Washliyah)
menunjukkan bahwa 65,5 % dari penduduk Sumatra Timur adalah pendatang, dengan
etnis Jawa (35 %) dan Cina (11,4 %) menempati persentase tertinggi.
Sekilas
keterangan di atas memberikan petunjuk bahwa di Sumatra Timur pada awal abad
ke-20 telah terbentuk satu masyarakat yang heterogen dengan berbagai bangsa dan
suku bangsa dengan latar belakang agama yang beragam. Mozaik ini memberi
kontribusi sendiri dalam pembentukan watak masyarakat Sumatra Timur, hususnya
dalam konteks hubungan antar kelompok, baik kelompok etnis maupun kelompok
agama. Kondisi masyarakat yang beraneka ragam ini menjadikan Al Washliyah
mempunyai tantangan dan pengalaman yang
tidak dimiliki organisai yang lain, khusunya dalam persaingan menghadapi
misionaris Kristen.
Al
Washliyah didirikan pada tahun 1930 oleh para alumni dan santri Maktab
Islamiyah Tapanuli (MIT), suatu institusi pendidikan agama Islam di Medan[2] yang
didirikan pada tahun 1918 oleh masyarakat Mandailing yang berhijrah dari Tapanuli
Selatan dan menetap di Medan.[3] Para pendiri MIT tersebut di antaranya adalah Syekh Ja‘far Hasan (1883-1950) dan Syekh Muhammad Yunus (1889-1950).[4]
Sepuluh
tahun setelah berdirinya MIT, setelah institrusi tersebut mempunyai banyak
alumni, tepatnya pada tahun 1928, para alumni dan murid senior mendirikan ‘Debating
Club’ sebagai wadah untuk mendiskusikan pelajaran maupun
persoalan-persoalan sosial keagamaan yang sedang berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Pendirian ‘Debating Club’ ini berkaitan dengan meluasnya
diskusi-diskusi mengenai nasionalisme dan berbagai paham keagamaan yang
terutama didorong oleh kaum pembaru.
‘Debating
Club’ ini kemudian membutuhkan wadah organisasi yang lebih besar untuk
dapat merespons kondisi masyarakat secara optimal sehingga lahirlah organisasi
yang secara resmi berdiri pada 30 November 1930 bertepatan dengan 9 Rajab 1349
H. yang diberi nama Al Jam‘iyatul Washliyah.[5] Nama
Al Jam’iyatul Washliyah diberikan oleh seorang ulama yang dihormati di Maktab
Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan yaitu Syech H. Muhammad Yunus atas permintaan
murid-muridnya. Setelah melakukan sholat dua rakaat dan berdo’a kepada Allah
Swt, ia mendatangi para muridnya dan mengatakan, ”Menurut saya kita namakan
saja perkumpulan itu dengan Al Jam’iyatul Washliyah”. Kata Al Washliyah, yang
berarti persambungan dan pertalian, dipilih sebagai nama organisasi dengan
maksud supaya organisasi (al-jam‘iyah) ini mampu memelihara hubungan
manusi dengan Tuhannya, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya
dengan alam.
Berdirinya
Al Jam‘iyatul Washliyah yang yang lebih dikenal dengan sebutan Al Washliyah
diawali dengan beberapa pertemuan. Pada awal Oktober 1930 diadakan pertemuan yang
dipimpin Abdurrahman Syihab di kediaman Yusuf Ahmad Lubis, di Jl. Glugur kota
Medan. Hasil rapat tersbut kemudian ditindak lanjuti pada pertemuan kedua di
rumah Abdurrahman Syihab di Petisah, kota Medan yang dihadiri oleh Ismail
Banda, Yusuf Ahmad Lubis, Adnan Nur, Abdul Wahab, dan M. Isa. Disepakati dalam
pertemuan itu untuk mengundang alim ulama, tuan-tuan guru dan para pelajar lainnya
pada pertemuan yang lebih besar yang direncanakan pada 26 Oktober 1930 di
Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan.
Setelah
melakukan pembicaraan yang cukup panjang dan mendalam pada pertemuan di Maktab
Islamiyah Tapanuli (MIT) Medan, maka seluruh peserta yang hadir kala itu
sepakat membentuk sebuah perkumpulan yang bertujuan memajukan, mementingkan dan
menambah tersyiarnya agama Islam. Di Maktab tersebut, Al Jam‘iyatul Washliyah
diresmikan.[6]
Setelah
resmi didirikan, ditetapkan pengurus Al Washliyah yang berkedudukan di Medan,
dengan susunan sebagai berikut: Ismail Banda (Ketua I), A. Rahman Sjihab (Ketua
II), M. Arsjad Thalib Lubis (Penulis I), Adnan Nur (Penulis II), H. M. Ya‘kub
(Bendahara), dan H. Syamsuddin, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. A. Malik, A. Aziz
Efendy (Pembantu-pembantu) serta Sjech H. Muhammad Junus (Penasihat).
Dalam
perjalanan berikutnya, berdasarkan Keputusan Kongres (Muktamar) Al Washliyah ke
X tanggal 10-14 Maret 1956 di Jakarta, disepakati bahwa kedudukan Pengurus Besar
Al Washliyah dipindahkan ke pusat pemerintahan (Jakarta). Hal ini dimaksudkan
agar lebih dekat dengan kekuasaan pemerintah dan memudahkan koordinasi dengan
pengurus di tingkat wilayah seluruh Indonesia.[7]
Keputusan Muktamar tersebut kemudian dapat direalisasikan dan Pengurus Besar Al
Washliyah dipindahkan ke Jakarata pada tahun 1958,[8]
setelah selama 28 tahun berkadudukan di Medan.
C.
DEPARTEMENTASI DAN BADAN OTONOM ORGANISASI AL JAM’IYATUL WASHLIYAH
1.
Departementasi
al-Wasliyah
Untuk
menjalankan program kerja yang disusun pada masa awal berdirinya, Al Washliyah
membentuk majelis-majelis, yaitu:
a.
Majelis
Fatwa
Majelis
ini bertugas membahas dan mengeluarkan fatwa berkenaan dengan masalah sosial
yang belum jelas status hukumnya bagi masyarakat. Majelis ini dibentuk pada
bulan Desember 1933 dengan anggota 15 orang. Mereka terdiri dari qadi kerajaan
(tiga orang), yaitu H. Ilyas, H. Muhammad Ismail Lubis, dan H. Muhammad Syarif;
guru MIT (dua orang), yaitu Syekh H. Muhammad Yunus dan Syekh H. Ja‘far Hasan;
guru madrasah (lima orang), yaitu H. A. Malik, H. Ali Usman, H. Abdul Jalil, H.
Dahlan, dan Sulaiman; dan dari Al
Washliyah sendiri (lima orang), yaitu Abdurrahman Syihab, M. Arsyad Thalib
Lubis, Yusuf Ahmad Lubis, Suhailuddin, dan Abdul Wahab.
Dari
daftar kepengurusan majelis fatwa, yang tidak hanya terdiri dari ulama-ulama
anggota formal Al Washliyah saja tetapi juga mencakup tiga orang qadi kerajaan
dan tujuh guru madrasah dan maktab, tersebut dapat diketahui bahwa Al Washliyah
cukup terbuka dan dapat bekerjasama dengan fihak lain dengan cukup baik.
Sesuai
dengan fungsinya, majelis ini mengeluarkan fatwa hukum berkenaan dengan persoalan
yang meragukan bagi umat Islam, hususnya kalangan jama’ah Al Washliyah. Secara
keseluruhan, fatwa-fatwa yang dikeluarkan mengikuti mazhab Syāfi‘ī yang secara
formal memang dinyatakan sebaagai mazhab organisasi.[9]
b.
Majelis
Tabligh
Majelis
ini mengurus kegiatan dakwah dalam bentuk ceramah. Dalam menjalankan dakwahnya,
Al Washliyah menghadapi tantangan yang cukup berat. Berbagai kegiatan dakwah
dilaksanakan dalam konteks hubungan yang antagonistis dengan pihak Kristen di
satu sisi dan pihak pendukung adat dan agama tradisional di sisi lain.
Tanah
Batak Toba adalah titik awal penyebaran agama Kristen di Sumatra Timur yang
sudah berjalan relatif berhasil sejak abad ke-19. Pada awal abad ke-20,
mayoritas penduduk daerah ini beragama Kristen, sebagian menganut agama lain,
dan hanya sebagian kecil yang memeluk agama Islam. Inti kegiatan Al Washliyah
di daerah ini adalah pengislaman dan pembinaan mereka yang sudah masuk Islam.
Program-program
dakwah yang secara spesifik ditujukan untuk islamisasi daerah ini menempatkan Al
Washliyah berhadapan dengan missi Kristen yang mendapat dukungan khusus dari
pemerintah Belanda maupun Gereja Kristen dari Eropa. Meskipun pada level formal
pemerintah kolonial mengaku netral terhadap agama-agama, namun pada
pelaksanaannya tidak mencerminkan pengakuannya itu. Tantangan yang dihadapi
misalnya perusakan masjid oleh kelompok Kristen, di Tarutung, jenazah muslim
yang dikuburkan secara Kristen, seorang tokoh muslim yang dilempari atas
anjuran seorang pendeta. Sebagai pihak minoritas di tanah Toba, Al Washliyah hanya
bisa mencatat dan memublikasikan kejadian-kejadian tersebut sembari mendesak
pemerintah untuk mengambil tindakan.
Tantangan
yang dihadapi Al Washliyah dalam berdakwah juga datang dari kalangan pemuka
adat yang sangat berpengaruh dalam struktur masyarakat Toba. Sebelum diperkenankan
mengadakan kegiatan di suatu desa, biasanya para pemuka adat menuntut agar Al
Washliyah lebih dahulu mengadakan pesta penghormatan dengan hidangan kepala
babi. Dalam menghadapi tantangan ini tidak jarang tokoh-tokoh Al Washliyah
mengambil sikap pragmatis. Untuk izin pendirian sebuah madrasah biasanya mereka
menyetujui pengadaan hidangan kepala babi asal dikerjakan oleh penduduk non
muslim. Dalam hal ini, Al Washliyah secara terus menerus melakukan protes
kepada perwakilan pemerintah Belanda di Sumatera Timur dan juga kepada
Volksraad di Batavia (sekarang Jakarta), sampai pada akhirnya ada ketentuan
pemerintah kolonial bahwa Al Washliyah cukup memanfaatkan sapi atau kambing
dalam jamuan penghormatan kepada pemuka adat.
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam menjalankan misi dakwahnya, Al Washliyah
dihadapkan dengan tantangan dari luar baik dari pihak Batak Kristen yang
mendapat dukungan pemerintah Belanda maupun dari pihak kaum adat yang sangat
kuat pengaruhnya dalam struktur masyarakat Batak. Namun berbagai tantangan
tersebut mampu dihadapi oleh organisasi ini karena didukung dengan kegigihan
orang-orang yang memahami sosio-kultural masyarakat Batak, karena mayoritas
pengurus Al Washliyah adalah orang Mandailing yang juga merupakan etnis Batak.
Tegasnya, keberhasilan dakwak yang mereka lakukan lebih ditunjang oleh faktor
kesamaan etnis.[10]
c.
Majelis
Tarbiyah
Majelis
ini bertugas mengurus masalah pendidikan dan pengajaran. Lembaga pendidikan
pertama sebagai hasil kerja majelis ini baru berdiri pada tahun 1932 di daerah
Petisah, Medan. Penyebaran informasi tentang sekolah ini sudah menggunakan cara-cara
modern, yaitu dengan membuat selebaran yang berisi tujuan dan tingkatan
pendidikan, seleksi masuk, dan materi pengajaran secara garis besar.
Dalam
upaya memajukan pendidikan, Al Washliyah bersikap terbuka dan belajar dari mana
saja yang dianggap lebih berpengalaman dan berhasil dalam pengelolaan
pendidikan. Pada tahun 1034, Al-Washliayh mengirim tiga orang pengurusnya,
yaitu M. Arsyad Thalib Lubis, Udin Syamsuddin, dan Nukman Sulaeman, untuk
mengadakan studi banding ke Sekolah Adabiyah, Noormal School, dan Diniyah di
Sumatera Barat yang sudah lebih dahulu mengalami proses pembaruan. Setelah
hasil kunjungan tersebut dibahas dalam konferensi guru-guru Madrasah Al
Washliyah, diambil langkah-langkah setrategis seperti pendirian sekolah-sekolah
umum berbasis agama.
Keberhasilan
Al Washliyah dalam mengelola sekolah mengundang kekaguman para pengelola
sekolah yang lain di Medan, sehingga tujuh sekolah yang semula dikelola secara
perorangan atau masyarakat bergabung dan menyerahkan pengelolaannya kepada Al
Washliyah. Setelah dikelola oleh Al Washliyah, sekolah-sekolah tersebut
mengalami kemajuan pesat.[11]
Semua
lembaga pendidikan Al Washliyah dikelola dengan sistem yang tersentral pada
pengurus pusat. Sistem yang sentralistis ini memiliki plus-minus. Di antara
kelebihannya adalah dimungkinkannya keseragaman dan kontrol yang teratur,
persoalan di satu tempat dapat dengan segera direspons. Pada permulaan tahun
1933, dibentuk komisi yang bertugas mengadakan inspeksi ke semua madrasah Al
Washliyah setiap enam bulan sekali dan pada tahun 1934 disusun peraturan umum
untuk inspeksi madrasah.[12]
Pada
kongres III tahun 1941, Al Washliyah dilaporkan telah mengelola 242 sekolah
dengan jumlah siswa lebih dari 12.000 orang. Sekolah-sekolah ini terdiri dari Tajhiziyah,
Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Qismul Ali (Aliyah), Muallimin, Muallimat,
Volkschool, Vervolkscool, HIS, dan Schakelschool. Berdasarkan Peraturan/Pedoman
Umum Pelaksanaan Pendidikan majelis Pendidikan dan Kebudayaan Pengurus Besar Al
Washliyah Pasal 9 dijelaskan bahwa jenis madrasah/perguruan Al Washliyah meliputi:
(1) Madrasah, Ibtidaiyah/Tsanawiyah, Al-Qismul Ali dan yang sederajat; (2)
Pesantren, Ibtidaiyah/Tsanawiyah, Al-Qismul Ali dan yang sederajat; (3)
Sekolah, TK, SD, SMTP, SMTA; dan (4) SMTP dan SMTA yang diasramakan.[13]
Berikut
ini diuraikan tingkatan, lama belajar, dan prosentase kurikulum umum dan agama
madrasah dan sekolah Al Washliyah:[14]
1)
Madrasah
a)
Tingkatan
Tajhiziyah dengan lama belajar 2 tahun, diperuntukkan bagi anak yang
belum pandai membaca dan menulis al-Qur’an. Materi pelajarannya adalah membaca
dan menulis al-Qur’an serta praktek ibadah.
b)
Tingkatan
Ibtidaiyah dengan lama belajar 4 tahun bagian pagi dan 6 tahun bagian sore.
Materi pelajarannya berkisar 70% ilmu agama dan 30% ilmu umum. Kitab yang
digunakan antara lain Durūs al-Lughah al-‘Arabīyah (Mahmud Yunus), Ajuūmīyah,
Matn al-Binā’, dan Hidāyat al-Mustafīd.
c)
Tingkatan
Tsanawiyah dengan lama belajar 3 tahun. Materi pelajarannya berkisar 70% ilmu
agama dan 30% ilmu umum. Kitab yang digunakan antara lain Tafsīr
al-Jalālayn, al-Luma‘, Jawāhir al-Balāghah, dan Ilmu Mantiq.
d)
Tingkatan
Qismul ‘Ali dengan lama belajar 3 tahun. Materi pelajarannya berkisar 70
% ilmu agama dan 30 % ilmu umum. Kitab yang digunakan antara lain Tafsīr
al-Bayḍāwī, Jam‘ al-Jawāmi‘, dan al-Ashbāh wa al-Naẓāir.
e)
Tingkatan
Takhaṣṣuṣ yang merupakan lanjutan dari Qismul ‘Ali dengan lama
belajar 2 tahun. Materi pelajarannya adalah khusus memperdalam ilmu agama dan
keahlian tertentu.
f)
Sekolah
Guru Islam (SGI) suatu lembaga pendidikan khusus mempersiapkan guru-guru yang
cakap mengajar pada tingkatan Ibtidaiyah dan Sekolah Rakyat (SR). materi
pelajarannya berkisar 50 % ilmu agama dan 50 % ilmu umum.
2)
Sekolah
a)
Sekolah
Rakyat (SR) Al Washliyah dengan lama belajar 6 tahun. Materi pelajaran 70 %
ilmu umum dan 30 % ilmu agama.
b)
SMP
Al Washliyah dengan lama belajar 3 tahun . Materi pelajaran 70 % ilmu umum dan
30 % ilmu agama.
c)
SMA
Al Washliyah dengan lama belajar 3 tahun . Materi pelajaran 70 % ilmu umum dan
30 % ilmu agama.
d)
Perguruan
Tinggi Agama Islam di Medan dan di Jakarta.
d.
Majelis
Studies Fonds
Majelis
ini mengurusi beasiswa untuk pelajar-pelajar di luar negri. Majelis ini pada
tahun 1936 mengirim Ismail Banda dan Baharuddin Ali untuk studi di Universitas
al-Azhar, Kairo dengan beasiswa. Baharuddin Ali berhasil mencapai diploma Ahlīyah,
sementara Ismail Banda berhasil menyelesaikan diploma Ahlīyah, ‘Alimīyah
dan juga memperoleh diploma dari fakultas ushuluddin al-Azhar. Ismail Banda
diklaim sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh ijazah dari Fakultas
tersebut.[15]
e.
Majelis
Hazanatul Islamiyah
Majelis
ini dibentuk untuk mengurus anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang yang baru
masuk Islam, utamanya di daerah Toba, Tapanuli Utara dan Tanah Karo. Majelis
ini tidak membuahkan hasil yang memadai karena terkendala masalah finansial.[16]
f.
Majelis
Penerbitan
Majelis
ini mulai menerbitkan majalah Medan Islam sejak tahun 1933 dengan teras
mencapai 12.500 eksemplar dan meningkat 14.980 eksemplar pada tahun 1940.
Majalah lain terbitan majelis ini adalah Dewan Islam dan Raudlatul Mu‘allimin. Secara
kumulatif, hingga kongresnya yang ke-3 (1941) telah diterbitkan sejumlah
142.000 eksemplar majalah sebagai media propaganda organisai Al Washliyah.
Majelis
ini juga aktif menerbitkan buku-buku pelajaran agama yang sengaja ditulis dalam
bahasa daerah Batak Toba dan Batak Karo untuk kemudian didistribusikan secara
cuma-cuma kepada ribuan orang yang berhasil diislamkan.[17]
2.
Badan
Otonom Organisasi al-Waṣlīyah
Disamping
memiliki majelis-majelis untuk menjalankan program-programnya, Al Washliyah
juga didukung oleh Badan Otonom Organisasi yang meliputi:
a.
Muslimat
Al Washliyah
Orgaanisasi ini merupaakan wadah bagi wanita Al Washliyah.
b.
Gerakan
Pemuda Al Washliyah
Orgaanisasi ini merupaakan wadah bagi pemuda Al Washliyah
c.
Angkatan
Putri Al Washliyah
Orgaanisasi ini merupaakan wadah bagi putri Al Washliyah.
d.
Ikatan
Putra-Putri Al Washliyah
Orgaanisasi ini merupaakan wadah bagi remaja Al Washliyah.
e.
Himpunan
Mahasiswa Al Washliyah
Orgaanisasi ini merupaakan wadah bagi mahasiswa Al Washliyah.
D.
KEUNIKAN
AL JAM’IYATULWASHLIYAH
Al Washliyah merupakan organisasi sosial keagamaan
yang mengikuti mazhab Syāfi‘ī serta beriktikadkan ahl al-sunnah wa
al-Jamā‘ah. Ciri keterbukaan organisasi ini sangat menonjol sehingga ia
tidak ragu melakukan studi banding ke Sekolah Adabiyah, Noormal School,
dan Diniyah di Sumatera Barat yang sudah lebih dahulu mengalami proses
pembaruan.[18]
Prinsip yang menjadi pegangan, dalam hal ini, adalah al-Muḥāfaẓatu ‘alā al-Qadīm
al-Ṣāliḥ wa al-Akhdhu bi al-Jadīd al-Aṣlaḥ (mempertahankan nilai-nilai
tradisional yang masih relevan dan mengambil pembaruan yang lebih baik).[19] Di
samping sikapnya yang terbuka dan moderat, Al Washliyah juga tidak canggung
mengambil posisi bertentangan dengan paham tarekat Naqsabandiyah.
Berbeda dengan organisasi lain yang pendirian dan pertumbuhan awalnya bergantung pada seorang tokoh sentral karismatik sebagaimana KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah atau Ahmad Soorkati dengan Al-Irsyad, Pendirian dan pertumbuhan awal Al Washliyah lebih merupakan upaya bersama Arsyad Thalib Lubis, Abdurrahman Syihab, dan Udin Syamsuddin.[20] Arsyad Thalib Lubis adalah seorang ulama yang memiliki ilmu dan pengetahuan agama Islam yang mendalam; Abdurrahman Syihab adalah tokoh yang mempunyai kemampuan tinggi dalam rekrutmen anggota; sementara Udin Syamsuddin adalah seorang administrator dan ahli manajemen.[21]
Hal lain yang menjadi keunikan Al Washliyah adalah kemampuannya
dalam bersaing dengan kalangan misionaris Kristen yang mendapat dukungan khusus
dari pemerintah Belanda maupun Gereja Kristen dari Eropa. Keberhasilan ini
kemudian mendorong organisasi Islam lain mendukung sepenuhnya keputusan kongres
ke III Majelis Islam A‘la Indonesia (MIAI) yang mempercayakan kepemimpinan
zending Islam kepada Al Washliyah.[22]
E.
KESIMPULAN
1. Al Washliyah didirikan pada tahun 1930 di Sumatera
Timur (sekarang Sumatera Utara) suatu daerah yang masyarakatnya heterogen pasca
dibukanya perkebunan besar-besaran oleh pemerintah Belanda di daerah tersebut.
Berdirinya organisasi ini didorong kebutuhan “Debating Club”, suatu
wadah diskusi yang didirikan pada tahun 1928 oleh para alumni dan murid senior
Maktab Islamiyah Tapanuli, untuk dapat merespons kondisi masyarakat secara
optimal.
2. Untuk menjalankan program kerja yang disusun pada masa
awal berdirinya, Al Washliyah membentuk majelis-majelis, yaitu: 1) Majelis
Fatwa, 2) Majelis Tabligh, 3) Majelis Tarbiyah, 4) Majelis Studies Fonds,
5) Hazanatul Islamiyah, dan 6) Majelis Penerbitan. Di samping memiliki
majelis-majelis untuk menjalankan program-programnya, Al Washliyah juga
didukung oleh Badan Otonom Organisasi yang meliputi: 1) Muslimat Al Washliyah,
2) Gerakan Pemuda Al Wasliyah, 3) Angkatan Putri Al Washliyah, 3) Ikatan
Putra-Putri Al Washliyah, dan 4) Himpunan Mahasiswa Al Washliyah.
3. Sebagai suatau organisasi Islam yang dilahirkan oleh
kelompok terpelajar di daerah yang heterogen, Al Washliyah memiliki keunikan
yang antara lain:
a. Pendirian dan perkembangan awalnya tidak tergantung
pada seorang tokoh karismatik, melainkan merupakan upaya bersama beberapa tokoh
dengan peran dan keistimewaannya masing-masing.
b. Organisasi sosial keagamaan, yang mengikuti mazhab al-Syāfi‘ī
serta beriktikadkan ahl al-sunnah wa al-Jamā‘ah, ini memelihara sikap
terbuka dan moderat. Namun demikian, organisasi ini juga tidak canggung
mengambil posisi bertentangan dengan paham tarekat Naqsabandiyah.
c. Organisasi ini dinilai sebagai organisasi Islam yang
mampu bersaing dengan kalangan misionaris Kristen di daerahnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Daulay, Haidar Putra. Sejatah Pertumbuhan dan Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2007.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri
Jejak Sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2007.
Ovied. “Pendidikan Salafi
Tonggak Sejarah Al Washliyah”.
(http://www.al-washliyah.com, diakses 7 April 2012).
Ramadhan,
Shodiq. “Al Jam’iyatul Washliyah: Mendorong Persatuan Umat Islam”. (www. suara-islam. com /news/berita/silaturrahim/831-al-jamiyatul-washliyah-mendorong-persatuan-umat-islam, diaksers 7
April 2012).
Suhartini, Andewi. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama RI, 2009.
g.
Majelis
Tabligh
Majelis
ini mengurus kegiatan dakwah dalam bentuk ceramah. Dalam menjalankan dakwahnya,
Al Washliyah menghadapi tantangan yang cukup berat. Berbagai kegiatan dakwah
dilaksanakan dalam konteks hubungan yang antagonistis dengan pihak Kristen di
satu sisi dan pihak pendukung adat dan agama tradisional di sisi lain.
Tanah
Batak Toba adalah titik awal penyebaran agama Kristen di Sumatra Timur yang
sudah berjalan relatif berhasil sejak abad ke-19. Pada awal abad ke-20,
mayoritas penduduk daerah ini beragama Kristen, sebagian menganut agama lain,
dan hanya sebagian kecil yang memeluk agama Islam. Inti kegiatan Al Washliyah
di daerah ini adalah pengislaman dan pembinaan mereka yang sudah masuk Islam.
Program-program
dakwah yang secara spesifik ditujukan untuk islamisasi daerah ini menempatkan
Al Washliyah berhadapan dengan missi Kristen yang mendapat dukungan khusus dari
pemerintah Belanda maupun Gereja Kristen dari Eropa. Meskipun pada level formal
pemerintah kolonial mengaku netral terhadap agama-agama, namun pada
pelaksanaannya tidak mencerminkan pengakuannya itu. Tantangan yang dihadapi
misalnya perusakan masjid oleh kelompok Kristen, di Tarutung, jenazah muslim
yang dikuburkan secara Kristen, seorang tokoh muslim yang dilempari atas
anjuran seorang pendeta. Sebagai pihak minoritas di tanah Toba, Al Washliyah
hanya bisa mencatat dan memublikasikan kejadian-kejadian tersebut sembari
mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan.
Tantangan
yang dihadapi Al Washliyah dalam berdakwah juga datang dari kalangan pemuka
adat yang sangat berpengaruh dalam struktur masyarakat Toba. Sebelum
diperkenankan mengadakan kegiatan di suatu desa, biasanya para pemuka adat
menuntut agar Al Washliyah lebih dahulu mengadakan pesta penghormatan dengan
hidangan kepala babi. Dalam menghadapi tantangan ini tidak jarang tokoh-tokoh
Al Washliyah mengambil sikap pragmatis. Untuk izin pendirian sebuah madrasah
biasanya mereka menyetujui pengadaan hidangan kepala babi asal dikerjakan oleh
penduduk non muslim. Dalam hal ini, Al Washliyah secara terus menerus melakukan
protes kepada perwakilan pemerintah Belanda di Sumatera Timur dan juga kepada
Volksraad di Batavia (sekarang Jakarta), sampai pada akhirnya ada ketentuan
pemerintah kolonial bahwa Al Washliyah cukup memanfaatkan sapi atau kambing
dalam jamuan penghormatan kepada pemuka adat.
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam menjalankan misi dakwahnya, Al
Washliyah dihadapkan dengan tantangan dari luar baik dari pihak Batak Kristen
yang mendapat dukungan pemerintah Belanda maupun dari pihak kaum adat yang
sangat kuat pengaruhnya dalam struktur masyarakat Batak. Namun berbagai
tantangan tersebut mampu dihadapi oleh organisasi ini karena didukung dengan
kegigihan orang-orang yang memahami sosio-kultural masyarakat Batak, karena
mayoritas pengurus Al Washliyah adalah orang Mandailing yang juga merupakan
etnis Batak. Tegasnya, keberhasilan dakwak yang mereka lakukan lebih ditunjang
oleh faktor kesamaan etnis.
h.
Majelis
Tarbiyah
Majelis
ini bertugas mengurus masalah pendidikan dan pengajaran. Lembaga pendidikan
pertama sebagai hasil kerja majelis ini baru berdiri pada tahun 1932 di daerah
Petisah, Medan. Penyebaran informasi tentang sekolah ini sudah menggunakan
cara-cara modern, yaitu dengan membuat selebaran yang berisi tujuan dan
tingkatan pendidikan, seleksi masuk, dan materi pengajaran secara garis besar.
Dalam
upaya memajukan pendidikan, Al Washliyah bersikap terbuka dan belajar dari mana
saja yang dianggap lebih berpengalaman dan berhasil dalam pengelolaan
pendidikan. Pada tahun 1034, Al-Washliayh mengirim tiga orang pengurusnya,
yaitu M. Arsyad Thalib Lubis, Udin Syamsuddin, dan Nukman Sulaeman, untuk
mengadakan studi banding ke Sekolah Adabiyah, Noormal School, dan Diniyah di
Sumatera Barat yang sudah lebih dahulu mengalami proses pembaruan. Setelah
hasil kunjungan tersebut dibahas dalam konferensi guru-guru Madrasah Al
Washliyah, diambil langkah-langkah setrategis seperti pendirian sekolah-sekolah
umum berbasis agama.
Keberhasilan
Al Washliyah dalam mengelola sekolah mengundang kekaguman para pengelola
sekolah yang lain di Medan, sehingga tujuh sekolah yang semula dikelola secara
perorangan atau masyarakat bergabung dan menyerahkan pengelolaannya kepada Al
Washliyah. Setelah dikelola oleh Al Washliyah, sekolah-sekolah tersebut
mengalami kemajuan pesat.[23]
Semua
lembaga pendidikan Al Washliyah dikelola dengan sistem yang tersentral pada
pengurus pusat. Sistem yang sentralistis ini memiliki plus-minus. Di antara
kelebihannya adalah dimungkinkannya keseragaman dan kontrol yang teratur,
persoalan di satu tempat dapat dengan segera direspons. Pada permulaan tahun
1933, dibentuk komisi yang bertugas mengadakan inspeksi ke semua madrasah Al
Washliyah setiap enam bulan sekali dan pada tahun 1934 disusun peraturan umum
untuk inspeksi madrasah.[24]
Pada
kongres III tahun 1941, Al Washliyah dilaporkan telah mengelola 242 sekolah
dengan jumlah siswa lebih dari 12.000 orang. Sekolah-sekolah ini terdiri dari Tajhiziyah,
Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Qismul Ali (Aliyah), Muallimin, Muallimat,
Volkschool, Vervolkscool, HIS, dan Schakelschool. Berdasarkan
Peraturan/Pedoman Umum Pelaksanaan Pendidikan majelis Pendidikan dan Kebudayaan
Pengurus Besar Al Washliyah Pasal 9 dijelaskan bahwa jenis madrasah/perguruan
Al Washliyah meliputi: (1) Madrasah, Ibtidaiyah/Tsanawiyah, Al-Qismul Ali dan
yang sederajat; (2) Pesantren, Ibtidaiyah/Tsanawiyah, Al-Qismul Ali dan yang
sederajat; (3) Sekolah, TK, SD, SMTP, SMTA; dan (4) SMTP dan SMTA yang
dasramakan.[25]
Berikut
ini diuraikan tingkatan, lama belajar, dan prosentase kurikulum umum dan agama
madrasah dan sekolah Al Washliyah:[26]
3)
Madrasah
g)
Tingkatan
Tajhiziyah dengan lama belajar 2 tahun, diperuntukkan bagi anak yang
belum pandai membaca dan menulis al-Qur’an. Materi pelajarannya adalah membaca
dan menulis al-Qur’an serta praktek ibadah.
h)
Tingkatan
Ibtidaiyah dengan lama belajar 4 tahun bagian pagi dan 6 tahun bagian sore.
Materi pelajarannya berkisar 70% ilmu agama dan 30% ilmu umum. Kitab yang
digunakan antara lain Durūs al-Lughah al-‘Arabīyah (Mahmud Yunus), Ajuūmīyah,
Matn al-Binā’, dan Hidāyat al-Mustafīd.
i)
Tingkatan
Tsanawiyah dengan lama belajar 3 tahun. Materi pelajarannya berkisar 70% ilmu
agama dan 30% ilmu umum. Kitab yang digunakan antara lain Tafsīr
al-Jalālayn, al-Luma‘, Jawāhir al-Balāghah, dan Ilmu Mantiq.
j)
Tingkatan
Qismul ‘Ali dengan lama belajar 3 tahun. Materi pelajarannya berkisar 70
% ilmu agama dan 30 % ilmu umum. Kitab yang digunakan antara lain Tafsīr
al-Bayḍāwī, Jam‘ al-Jawāmi‘, dan al-Ashbāh wa al-Naẓāir.
k)
Tingkatan
Takhaṣṣuṣ yang merupakan lanjutan dari Qismul ‘Ali dengan lama
belajar 2 tahun. Materi pelajarannya adalah khusus memperdalam ilmu agama dan
keahlian tertentu.
l)
Sekolah
Guru Islam (SGI) suatu lembaga pendidikan khusus mempersiapkan guru-guru yang
cakap mengajar pada tingkatan Ibtidaiyah dan Sekolah Rakyat (SR). materi
pelajarannya berkisar 50 % ilmu agama dan 50 % ilmu umum.
4)
Sekolah
e)
Sekolah
Rakyat (SR) Al Washliyah dengan lama belajar 6 tahun. Materi pelajaran 70 %
ilmu umum dan 30 % ilmu agama.
f)
SMP
Al Washliyah dengan lama belajar 3 tahun . Materi pelajaran 70 % ilmu umum dan
30 % ilmu agama.
g)
SMA
Al Washliyah dengan lama belajar 3 tahun . Materi pelajaran 70 % ilmu umum dan
30 % ilmu agama.
h)
Perguruan
Tinggi Agama Islam di Medan dan di Jakarta.
i.
Majelis
Studies Fonds
Majelis
ini mengurusi beasiswa untuk pelajar-pelajar di luar negri. Majelis ini pada
tahun 1936 mengirim Ismail Banda dan Baharuddin Ali untuk studi di Universitas
al-Azhar, Kairo dengan beasiswa. Baharuddin Ali berhasil mencapai diploma Ahlīyah,
sementara Ismail Banda berhasil menyelesaikan diploma Ahlīyah, ‘Alimīyah
dan juga memperoleh diploma dari fakultas ushuluddin al-Azhar. Ismail Banda
diklaim sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh ijazah dari Fakultas
tersebut.[27]
j.
Majelis
Hazanatul Islamiyah
Majelis
ini dibentuk untuk mengurus anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang yang baru
masuk Islam, utamanya di daerah Toba, Tapanuli Utara dan Tanah Karo. Majelis
ini tidak membuahkan hasil yang memadai karena terkendala masalah finansial.[28]
k.
Majelis
Penerbitan
Majelis
ini mulai menerbitkan majalah Medan Islam sejak tahun 1933 dengan teras
mencapai 12.500 eksemplar dan meningkat 14.980 eksemplar pada tahun 1940.
Majalah lain terbitan majelis ini adalah Dewan Islam dan Raudlatul Mu‘allimin.
Secara kumulatif, hingga kongresnya yang ke-3 (1941) telah diterbitkan sejumlah
142.000 eksemplar majalah sebagai media propaganda organisai Al Washliyah.
Majelis
ini juga aktif menerbitkan buku-buku pelajaran agama yang sengaja ditulis dalam
bahasa daerah Batak Toba dan Batak Karo untuk kemudian didistribusikan secara
cuma-cuma kepada ribuan orang yang berhasil diislamkan.[29]
[1] Andewi Suhartini, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen
Agama RI, 2009), 156.
[2] Yaitu di pinggir sungai Deli yang
membelah kota Medan. Lihat Shodiq Ramadhan, “Al Jam’iyatul
Washliyah: Mendorong Persatuan Umat Islam” dalam suara-islam. com/news/berita/silaturrahim/831-al-jamiyatul-washliyah-mendorong-persatuan-umat-islam, diaksers 7 April
2012.
[3] Muhammad Syafiuddin
“Organisasi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Islam; Kasus al-Al Jam’iyatulWashliyah”
dalam Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Era Rasulullah
sampai Indonesia ed. Samsul Nizar (Jakarta: Kencana, 2007), 321-322.
[4] Ovied, “Pendidikan
Salafi Tonggak Sejarah Al Washliyah”, dalam http://www.al-washliyah.com,
diakses 7 April 2012. Syekh Muhammad Yunus inilah yang diminta murid-muridnya
untuk memberi nama organisasi yang mereka gagas kemudian setelah solat dua
rekaat dan berdo’a
kepada Allah Swt, beliau memberikan nama “Al
Jam‘iyatul Washliyah” sebagai nama bagi organisasi tersebut. Lihat Shodiq Ramadhan, “Al Jam’iyatul Washliyah:
Mendorong Persatuan Umat Islam” dalam suara-islam. com/news/berita/silaturrahim/831-al-jamiyatul-washliyah-mendorong- persatuan-umat-islam, diaksers 7 April
2012.
[5] Muhammad
Syafiuddin “Organisasi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Islam” dalam Sejarah
Pendidikan Islam ed. Samsul Nizar, 321-322.
[6] Shodiq Ramadhan, “Al Jam’iyatul
Washliyah: Mendorong Persatuan Umat Islam” dalam suara-islam. com /news/berita/silaturrahim /831-al-jamiyatul-washliyah-mendorong-persatuan-umat-islam, diaksers 7 April
2012.
[7] Ibid., 323-325.
[8] Ibid., 326.
[9] Ibid., 328.
[10] Ibid., 330-333.
[11] Ibid., 334-335.
[12] Haidar
Putra Daulay, Sejatah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2007), 98.
[13] Muhammad
Syafiuddin “Organisasi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Islam; Kasus al-Al
Jam’iyatulWashliyah” dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 336.
[14] Ibi.,
336-337.
[15] Ibid., 338.
[16] Ibid., 330.
[17] Ibid., 338.
[18] Ibid., 335.
[19] Ibid., 333.
[20] Haidar Putra Daulay, Sejatah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam, 98.
[21] Muhammad Syafiuddin
“Organisasi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Islam; Kasus al-Al Jam’iyatulWashliyah”
dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 325. Tokoh lain yang
biasanya dianggap sebagai pendiri Al Washliyah adalah Syekh Muhammad Yunus.
Lihat Ibid.
[22] Ibid., 331.
[23] Ibid., 334-335.
[24] Haidar
Putra Daulay, Sejatah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2007), 98.
[25] Muhammad
Syafiuddin “Organisasi Sosial Keagamaan dan Pendidikan Islam; Kasus al-Al Jam’iyatulWashliyah”
dalam Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, 336.
[26] Ibi.,
336-337.
[27] Ibid., 338.
[28] Ibid., 330.
[29] Ibid., 338.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN DAN PENDIDIKAN: KASUS AL JAM‘IATUL WASHLIYAH"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*