Dalam
sejarah surau selain sebagai tempat ibadah, dakwah dan media berkumpul
umat, surau disinyalir sebagai salah satu institusi pendidikan Islam pertama di
Minangkabau Sumatera Barat. Surau memiliki peranan penting dalam gelombang
pertama pembaharuan Islam di Minangkabau sejak akhir abad 18.
Seruan kembali kepada syari’ah yang bergema di kalangan pengikut tarekat di
Timur Tengah dan anak benua India, juga menemukan momentumnya dikalangan surau.
Di Malaysia khususnya Kelantan, surau
adalah pusat ritual Islam pedesaan, tempat sholat jum’at, dan kegiatan-kegiatan
keagamaan termasuk pendidikan. Dan dibedakan fungsinya menjadi surau besar dan
kecil, fungsi dari surau besar sama umumnya dengan masjid di Indonesia
sedangkan sebaliknya surau kecil berfungsi sebagai tempat memberikan pelajaran
dasar agama.
Terlepas
dari arsitekturnya, surau menjadi bangunan keislaman. Istilah surau kemudian mengacu kepada suatu
masjid kecil yang biasanya tidak digunakan untuk sholat Jum’at. Surau bukanlah
masjid dalam pengertian umum, meskipun juga digunakan untuk berbagai kegiatan
keagamaan. Di indonesia, surau seperti juga masjid pada umumnya dikelola
masyarakat, baik dari segi dana pembangunan dan pengembangannya. Juga sangat
mungkin, surau berkaitan erat dengan kebudayaan pedesaan meski dalam
perkembangan lebih akhir surau dapat pula ditemukan di daerah urban.
Terlebih
dari penjelasan diatas pendidikan surau mempunyai reputasi yang cukup besar
terhadap penyebaran agama Islam ke berbagai daerah dan wilayah sekitar
Indonesia. Sebagai sebuah sarana pendidikan agama, surau tetap dapat kita
jumpai sampai sekarang, walaupun eksistensinya kemungkinan tidak lagi
sebagaimana peran di masa lalu, yakni kembali pada fungsi semula sebagai tempat
shalat, i`tikaf dan dzikir
C.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Surau
Sejarah pendidikan Islam
dimulai sejak agama Islam masuk ke Indonesia kira-kira abad ke-12. Menurut
sejarah, agama Islam mula-mula masuk ke pulau Sumatra Utara (Aceh), lalu
Sumatra Barat (Minangkabau), berkembang ke Sulawesi, Ambon, dan sampai ke
Filipina. Kemudian tersiar ke pulau Jawa, Lampung, Palembang dan ke seluruh kepulauan
Indonesia.
Maka tidaklah heran jika cikal bakal surau disandarkan pada daerah Minangkabau.
Istilah surau di Minangkabau
sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau
adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang, dimana anak laki-laki tak punya kamar di
rumah orang tua mereka sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini
menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi
Minangkabau baik dari segi ilmu pengetahuan maupun ketrampilan praktis lainnya.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi
keagamaannya semakin penting. Surau diperkenalkan pertama kali oleh Syekh
Burhannuddin di Ulakan Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping
sebagai tempat shalat juga digunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam,
khususnya tarekat (suluk).
Sehingga pada akhirnya murid-murid Syekh Burhanuddin yang memainkan peranan
penting dalam pengembangan surau sebagai lembaga pendidikan bagi generasi
selanjutnya.
Beberapa masalah dialami oleh
surau-surau di Minangkabau, praktek tarekat yang dikembangkan oleh
masing-masing surau lebih banyak muatan mistisnya daripada syari’at. Gejala
tersebut dapat diketahui, meskipun Islam sudah dianut masyarakat tetapi praktik
mistis masih dilakukan. Melihat kondisi masyarkat tersebut, Syekh Abdurrahman
ulama dari Batu Hampar berusaha menyadarkan umat dengan memberikan pemahaman
mengenai ajaran Islam dan menghilangkan praktik bid’ah khurafat. Untuk usaha tersebut
Syekh Abdurrahman mendirikan surau yang terkenal yaitu “Surau Dagang”.
Surau sebagai lembaga
pendidikan Islam mulai surut peranannya karena disebabkan beberapa hal.
Pertama, selama perang Padri banyak surau yang terbakar dan Syekh banyak yang
meninggal. Kedua, Belanda mulai
memperkenalkan sekolah nagari. Ketiga, kaum intelektual muda muslim mulai
mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap
praktik-praktik surau yang penuh dengan bid’ah.
Ekspansi yang dilakukan kaum
intelektual muda mengancam keberadaan surau sebagai lembaga pendidikan. Untuk
menjaga eksistensinya, ulama tradisional dan kaum intelektual muda sepakat
untuk memodernisasikan sistem pendidikan surau dengan mendirikan madrasah
modern sebagai alternatif pendidikan surau.
Dan mereka sukses besar dengan upaya ini, sehingga banyak surau yang
ditransformasikan menjadi madrasah. Akibatnya murid surau merosot hebat. Tahun
1933, surau dilaporkan memiliki murid hanya sekitar 9.285 orang, sementara
madrasah mempunyai 25.292 pelajar. Dalam masa kemerdekaan, hanya beberapa surau
saja yang mampu bertahan, dan di masa akhir ini sebagian surau mulai menamakan
diri sebagai pesantren. Sedangkan surau sendiri lebih sekedar sebagai tempat
belajar membaca al-Qur’an atau arenasosialisasi anak-anak dan remaja.
Terlebih dari perkembangan
dan pertumbuhan surau, posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam mampu
mencetak ulama-ulama besar di tanah air dan menumbuhkan semangat nasionalisme,
terutama mengusir kolonialisme penjajah. Diantara para alumni pendidikan surau
adalah Haji Rasul, AR.At Mansur, Abdullah Ahmad, Hamka.
D.
Karakteristik
Surau
Baik surau, langgar
maupun masjid hampir memiliki karakteristik yang sama dimana mempunyai peranan
sangat urgen tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi difungsikan sebagai pusat
kegiatan pendidikan keislaman. Surau atau langgar sebelumnya merupakan tempat
belajar membaca dan menulis semata-mata dan setelah tersebarnya Islam,
kegunaannya pun bertambah luas menjadi tempat menghafal al-Qur’an dan pelajaran
agama Islam, tulis-menulis, ilmu hitung, tata bahasa, dan juga kesenian.
Sistem pendidikan Islam
di surau bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Hijaiyyah
atau kadang langsung menirukan ucapan
guru membaca al-Qur’an. Pendidikan di surau dan langgar dikelola oleh seorang
yang disebut ‘amil atau modin yang memiliki tugas ganda baik sebagai guru juga
sebagai pihak yang memberikan doa pada waktu upacara keluarga atau desa.
Pelajaran agama biasa diberikan pada pagi atau petang hari antara 1 sampai 2
jam dengan jangka waktu umumnya sekitar setahun.
Metode yang dipakai dalam proses belajar mengajar di surau ada 2 macam yaitu dengan
sistem sorogan yang
mana belum berkelas-kelas seperti sekarang dan sistem halaqah, anak-anak
belajar dengan duduk bersila di hadapan guru.
Pelajaran awal yang
diberikan adalah belajar membaca huruf hijaiyyah (iqra’), setelah itu baru
membaca al-Qur’an. Sementara itu, juga diajarkan tata cara peribadatan (fiqih
qouliyah dan mu’amalah), serta masalah-masalah keimanan. Pendidikan al-Qur’an
pada pendidikan surau/langgar dibedakan kepada dua macam, yaitu:
1.
Tingkatan
rendah, merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf al-Qur’an
sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampung, dan anak-anak hanya
belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat shubuh.
2.
Tingkatan
atas, pelajarannya selain tersebut
diatas ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, barzanji, tajwid dan
mengaji kitab perukunan.
Adapun tujuan
pendidikan di surau adalah agar anak didik dapat membaca al-Qur’an dengan
berirama dan baik tanpa dirasakan keperluan untuk memahami isinya, mampu
mengamalkan tata cara beribadah dengan benar, serta memahami ajaran-ajaran
keimanan sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Pada
penyelenggaraan pendidikan di surau murid tidak dipungut biaya, akan tetapi
tergantung kepada kerelaan orang tua murid memberikan uang kesejahteraan sesuai
dengan kemampuan masing-masing. Dengan hal ini hubungan antara murid dan guru
terus berlanjut walaupun kelak murid tersebut melanjutkan pendidikannya ke
lembaga yang lebih tinggi.
Menariknya
di Minangkabau, fungsi surau dibedakan menurut sejarah pendirinya dan
pengembangan penguasaan ilmu tertentu, seperti contohnya surau pada masa Syekh
Burhanuddin berfungsi sebagi pusat-pusat tarekat terutama Syattariyah yang
diterima Syekh Burhanuddin dari Syekh Abdurrauf. Selain itu juga terdapat
surau- surau yang menganut tarekat Naqsabandiyah. Jika para penuntut ilmu di
pesantren disebut “santri”, maka para pelajar surau disebut “murid” ( sebuah
terminologi sufi), dan dalam perkembangan lanjut mereka disebut “urang siak”
atau “faqih” yang artinya kecenderungan baru penekanan pada fiqih dan syari’ah.
Pada pihak lain, dalam tradisi keulamaan Minangkabau tidak dikenal istilah
kyai, namun ulama yang menjadi pemimpin, dan sekaligus guru agama disebut
syeikh, yaitu gelar yang menunjukkan derajat keulamaan dan kealiman tertinggi.
Kemudian untuk
mendukung keberhasilan pendidikan di surau, maka dirumuskan juga tata tertib
untuk para urang siak. Urang siak yang melanggar tata tertib biasanya
diberi hukuman yaitu dimasukkan kedalam kolam dan disaksikan oleh urang siak
yang lain. Namun, pada perkembangan selanjutnya hukuman rendam tersebut diganti
dengan hukuman pukul.
Dalam pendidikan surau
Minangkabau tidak ada tingkatan atau kelas, namun didasarkan pada kompetensi
penguasaan ilmu tertentu, dan bukan pada jumlah tahun masa belajar di surau.
Metode utama sistem pengajarannya dengan ceramah, pembacaan, dan penghafalan.
Banyak surau yang mengambil spesialisasi dan terkenal dalam bidang ilmu
tertentu, seperti Surau Kamang terkenal dengan kekuatan ilmu alatnya yaitu
bahasa arab, Surau Kota Gedang dalam ilmu mantiq ma’ani, Surau Sumanik dalam
tafsir dan fara’id, Surau Kota Tua dalam bidang tafsir, Surau Talang dan Surau Salayo dalam bidang
nahwu. Serta Surau Ulakan memberikan pelajaran bahasa arab, tafsir bahkan
pengobatan.
Dengan
demikian, sejak awal penyebaran Islam ke Indonesia dengan saluran pendidikan
Islam, surau telah menyumbangkan sebuah corak atau karakteristik sistem
pendidikan tersendiri. Apapun yang di ditemui sekarang, sesungguhnya tidak
serta merta melupakan sama sekali sejarah masa lalu.
E.
Literatur
yang digunakan Surau
Sumber
literatur keagamaan yang dijadikan acuan pembelajaran pendidikan di Surau
adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sebagai sebuah literatur keagamaan yang
otentik, kedua sumber tersebut dapat dikaji sepanjang zaman. Apalagi notabene
pendidikan surau merupakan sebuah permulaan belajar, tentu pondasi yang perlu
ditanamkan terlebih dahulu adalah jiwa dan semangat Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Pendidikan awal
surau yaitu mengajarkan huruf hijaiyyah dan membaca al-Qur’an, maka kitab-kitab
yang dipakai pada waktu itu adalah kitab alif ba ta ( yang kita kenal dengan
iqra’), Juz’amma, kemudian mushaf al-Qur’an.
Setelah murid tamat mengaji al-Qur’an, mereka meneruskan pelajaran dengan
pengajian kitab yang terdiri dari beberapa ilmu yaitu ilmu Shorof-Nahwu, ilmu
Fiqh, Ilmu Tafsir, dan sebagainya.
Kitab
yang dipakai dalam ilmu Shorof pada awal
tahun 1900 adalah Kitab Dhammun yaitu kitab tulisan tangan dan tidak
diketahui siapa pengarangnya dan tahun berapa dikarang. Kitab Dhammun masih
tetap dipakai sehingga sesudah tahun 1900.
Setelah tamat kitab Dhammun barulah diajarkan ilmu nahwu dengan menggunakan Kitab
Al-‘Awamil juga kitab yang masih ditulis tangan dan tidak diketahui siapa
pengarangnya. Sesudah tamat kitab al-‘Awamil barulah diajarkan Kitab al-Kalamu
yaitu Kitab Ajrumiah yang sampai sekarang masih dipakai juga di
pesantren dan madrasah-madrasah di dunia Islam.
Murid
yang telah menamatkan pelajaran ilmu Shorof dan Nahwu, lalau meneruskan
pelajarannya mengaji ilmu Fiqh dengan menggunakan Kitab al-Minhaj,
karangan Imam Nawawi. Kitab ini masih dipelajari juga di pesantren-pesantren
dan madrasah di seluruh dunia Islam yang menganut madhab Syafi’i.
Murid yang telah menamatkan kitab al-Minhaj dan ilmu Fiqh meneruskan
pelajarannya dengan mengaji pada ilmu Tafsir dengan mempelajari Kitab Tafsir
al-Jalalain. Pada tingkat pengajian kitab, pelajaran disampaikan dengan
sistem halaqah dimana murid duduk berlingkaran menghadap syeikh. Syeikh
mengajarkan pengajian kitab tersebut dengan membaca matan kitab dalam bahasa
arab, kemudian menterjemahkannya kata demi kata, lalu barulah diterangkan
maksudnya. Sistem mengajar tersebut masih diikuti oleh guru-guru agama sesudah
tahun 1900, bahkan sampai sekarang.
Memasuki
abad XIX, perkembangan literatur keagamaan ini semakin banyak karena
ditengarahi adanya kontak secara langsung antara ulama’-ulama’ Nusantara dengan
ulama Timur Tengah. Maka dari sinilah
sistem pendidikan Islam mulai dirubah.
Perbedaan yang nyata dalam masa perubahan yaitu dalam mempelajari suatu ilmu
tidak hanya menggunakan satu kitab saja untuk dikaji, namun bermacam-macam
kitab. Untuk ilmu Nahwu mempelajari kitab: Ajrumiah, Asymawi, Syekh Khalid,
Azhari, Qathrun Nada, Alfiah (Ibnu Aqil), dan lainnya. Untuk ilmu Shorof mempelajari
kitab: al-Kailani, Taftazani, dan lainnya. Untuk ilmu Fiqh mempelajari kitab:
Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Iqnak, Fathul Wahab, Mahalli, Waraqat, Jam’ul
Jawami’, kadang-kadang juga kitab Tuhfah dan Nihayah. Untuk ilmu Tafsir
mempelajari kitab: Tafsir Jalālain, Baiḍawi, Khazin, dan lainnya.
Setelah
murid-murid surau menamatkan seluruh kitab-kitab pada ilmu Nahwu-Shorof, ilmu
Fiqh, ilmu Tafsir, maka tingkatan selanjutnya juga diajarkan ilmu Mantiq, ilmu
Balaghah, dan ilmu Tasawuf dan sebagainya dengan menggunakan kitab-kitab:
Sullām, Idlāl-Mubham, Jauhar Maknun/ Talkhis, Ihya’ Ūlūmuddin, ilmu Ma’ani,
Ilmu Badi’ dan lainnya.
F.
Modernisasi
Surau
Sejak awal abad 20 masyarakat Islam di
Indonesia khususnya Minangkabau berada dalam situasi yang semakin terjepit.
Pada satu pihak, ia menghadapi tekanan-tekanan ekonomi dan politik yang semakin
berat dari kolonial Belanda, sedangkan di pihak lain ide-ide pembaharuan
keagamaan dalam segenap aspeknya semakin gencar pula gaungnya.
Di sisi lain modernisasi
terhadap surau banyak disebabkan beberapa faktor diantaranya: tekanan penjajah
terhadap masyarakat khususnya Islam, surau tidak mampu menjawab dinamika
masyarakat (sosial-ekonomi), surau terlalu asyik dengan kajian keagamaannya
(fikih, dan tasawuf) yang kurang applicable, dan lainnya. Graves menyebutkan
bahwa pendidikan Islam pada masa Perang Paderi mulai mengalami kemunduran,
sementara pemerintah Hindia Belanda mulai gencar mendirikan sekolah-sekolah
sekuler.
Perkembangan baru di bidang pendidikan di Minangkabau berdampak langsung terhadap eksistensi surau,
dimana pada perang Paderi banyak syeikh/guru agama yang tewas. Sehingga
mengakibatkan banyak surau yang terlantar karena tidak adanya syeikh/guru
agama.
Mahmud Yunus menjelaskan
bahwa pada dekade Perang Paderi, pendidikan Islam mulai mengalami kemunduran.
Namun demikian, pendidikan Islam yang berlangsung di surau-surau tetap
bertahan. Pendidikan Islam pada masa ini disebut Mahmud Yunus sebagai sistem
lama.
Sistem lama yang dimaksudkan adalah sistem halaqah dengan materi pelajaran
keagamaan yang praktis, seperti membaca al-Qur’an, tata cara ibadah, sifat dua
puluh (akidah) dan akhlak.
Sistem lama pendidikan Islam
itu terlaksana sebelum tahun 1900, namun setelah dekade tersebut sistem
tersebut mengalami pembaharuan yang disebut masa perubahan. Pembaharuan
(modernisasi) sistem tersebut diantaranya:
PERBANDINGAN PENDIDIKAN ISLAM
|
|
Sistem Lama
|
Masa Perubahan
|
1.
|
Pelajaran
ilmu-ilmu tersebut
|
Pelajaran
ilmu-ilmu tersebut
|
diajarkan
satu persatu
|
dihimpun
2-6 ilmu sekaligus
|
2.
|
Pelajaran
ilmu Shorof didahulukan
|
Pelajaran
ilmu Nahwu didahulukan/
|
daripada
ilmu Nahwu
|
disamakan
dengan ilmu Shorof
|
3.
|
Buku
pelajaran yang mula-mula
|
Buku
pelajaran semuanya karangan
|
dikarang
ulama' Indonesia serta
|
ulama
Islam dahulu kala dan dalam
|
diterjemahkan
dengan bahasa
|
bahasa
arab
|
Melayu
|
|
4.
|
Kitab-kitab
itu umumnya tulisan
|
Kitab-kitabnya
semua telah dicetak
|
Tangan
|
|
5.
|
Pelajaran
suatu ilmu umumnya
|
Pelajaran
suatu ilmu diajarkan dari
|
hanya
diajarkan dari satu macam
|
beberapa
macam kitab, dengan tingkatan
|
Kitab
|
rendah,
menengah, tinggi
|
6.
|
Toko
kitab belum ada hanya ada
|
Toko
kitab telah ada yang dapat me-
|
orang
pandai menyalin kitab dengan
|
mesankan
kitab-kitab dari Timur Tengah
|
tulisan
tangan
|
|
7.
|
Ilmu
agama sedikit sekali karena
|
Ilmu
agama telah luas berkembang
|
sedikit
bacaan
|
karena
telah banyak kitab bacaan
|
8.
|
Belum
lahir aliran baru dalam Islam
|
Mulai
lahir aliran baru dalam Islam yang
|
|
dibawa
oleh majalah al-Mannar di Mesir
|
Gerakan
pembaharuan/modernisasi surau ini diprakarsai oleh Kaum Muda,
mereka tidak hanya mengadakan pembaharuan sistem namun juga berusaha memurnikan
kembali ajaran Islam. Tokoh reformasi utama dalam proses modernisasi surau ini
adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabaui. Ulama-ulama lain yang memodernisasikan
surau yaitu: Syeikh Muhammad Thaib Umar, Syeikh Abdul Wahid Tabat Gadang,
Syeikh Abbas Abdullah, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Sa’ad Mungkar,
Syeikh Abdul Karim Amrullah, Syeikh Daud Rasyidin, dan Syeikh Sultan Darap
Pariaman. Semuanya berkiprah dalam dunia pendidikan untuk melakukan pembaharuan
dan modernisasi surau yang telah terbelakang dan tertinggal akibat hadirnya
sekolah-sekolah sekuler yang didirikan oleh Hindia Belanda.
Sejak itu, eksistensi surau
mulai bangkit dengan nuansa baru, meskipun tetap menggunakan sistem halaqah
yang tradisional. Surau yang mendapat sentuhan modernisasi pertama adalah surau
Tanjung Sungai Batusangkar yang didirikan oleh Syeikh HM Tahib Umar tahun 1897,
dan surau Parabek di Bukit Tinggi didirikan oleh Syeikh Ibrahim Musa tahun
1908. Mahmud Yunus menyebutkan bahwa, gerakan pembaharuan pendidikan Islam oleh
para ulama ini merupakan gerakan pembaharuan menjelang kelahiran madrasah
sebagai masa perubahan.
Eksistensi surau sebagai
salah satu institusi pendidikan Islam pertama di Minangkabau sempat melakukan
upaya modernisasi di tengah penetrasi Hindia Belanda. Modernisasi tersebut
menyangkut sistem kelembagaan yang lebih akomodatif terhadap tuntunan
perkembangan masyarakat Muslim. Modernisasi surau ditandai oleh berdirinya
institusi pendidikan Islam yang modern, seperti Sekolah Adabiyah, Sumatra
Thawalib, Madrasah Diniyah dan sebagainya yang cikal bakalnya dari surau
Jembatan Besi. Model-model lembaga pendidikan seperti Sumatra Thawalib,
Adabiyah dan Madrasah Diniyah tersebut adalah menggunakan kurikulum yang tidak
hanya mengajarkan pendidikan agama, tetapi juga memasukkan pelajaran umum.
Selanjutnya perkembangan organisasi-organisasi di bidang pendidikan yang
berasal dari surau ini, semakin memodernkan surau sebagai lembaga pendidikan.
G.
Penutup
Demikian
kajian ini
didesain untuk memberikan pengayaan wawasan historis dan sosiologis tentang
pendidikan Islam pada masa permulaan dan pertumbuhannya di Indonesia. Sebab
jika mengungkap tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia, secara empiris
surau menjadi bukti sejarah yang tidak dapat dilupakan begitu saja.
Proses-proses pendidikan Islam di Nusantara ini telah mengalami perubahan yang
mendasar dari perjalanan kurun waktu ke waktu. Karena itu, mempelajari sejarah
sosial -pendidikan Islam- di sini lebih tepat didefinisikan sebagai
rekonstruksi realitas pada masa lalu, kini dan yang akan datang.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "LEMBAGA PENDIDIKAN SURAU"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*