Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Islam dan Kesetaraan Gender


            ISLAM DAN KESETARAAN GENDER
 Oleh: Eny Faridatunnisa
(Mahasiswa S2 Program Pasca Sarjana STAIN Kediri dan Guru di MTs Sunan Gunung Jati Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri)
A.      PENGANTAR
Perbincangan mengenai keterkaitan Islam, HAM dan keadilan gender sudah dimulai sejak lama. Pada awalnya spektrum pandangan mengarah pada pemahaman bahwa HAM bertentangan dengan nilai-nilai Islam, demikian juga keadilan gender yang menjadi implementasi aktualisasi HAM. HAM dan khususnya keadilan gender dianggap keluar dari  nilai-nilai Islam bahkan berlawanan.
Hakekat keadilan dan kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan dan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bangunan budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki. 




Faktor utama penyebab kesenjangan gender adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (budaya patriarki). Di samping itu, penafsiran ajaran agama yang kurang menyeluruh atau cenderung dipahami menurut teks atau tulisan kurang memahami realitas atau kenyataan, cenderung dipahami secara sepotong-sepotong kurang menyeluruh. Sementara itu, kemampuan, kemauan dan kesiapan kaum perempuan sendiri untuk merubah keadaan tidak secara nyata dilaksanakan. Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti: politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya. 
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki menjadi tanda terwujudnya kesetaran dan keadilan gender, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Tetapi belakangan kajian mengenai HAM dan Keadilan gender kemudian merambah kepada pemeriksaan kembali teks-teks ajaran Islam dengan pertanyaan mendasar, benarkah HAM dan keadilan bertentangan dengan ajaran Islam. Islam sebagai agama, memberikan pedoman tata aturan dan rambu-rambu dalam beberapa aspek kehidupan yang disebut dengan syari’at. Salah satu yang diatur sedemikian rupa  adalah tentang perempuan. Islam memberikan ruang yang khusus terhadap perempuan dengan konsep perempuan yang dimiliki. Atas kepentingan itu lahir banyak tokoh-tokoh feminis muslim yang sangat populer pada akhirnya, sebut saja Asghaar Ali Engineer, Riffat Hasan, Aminah Wadud Muchsin, Fatimah Mernissi dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut menuangkan pikiranya dalam banyak  buku, di antaranya Aminah Wadud Muchsin yang menulis “Quran and Women”, Asghaar Ali Engineer yang menulis “The Right of Women In Islam” yang diterjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Hak-Hak Perempuan dalam Islam”, dan lain sebagainya. Kajian mengenai Islam dan Keadilan gender juga merambah kalangan intelektual Indonesia. Beberapa tulisan penting yang layak menjadi referensi muncul dari berbagai tokoh. Misalnya Nasaruddin Umar yang menerbitkan disertasinya yang berjudul “Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al Quran” dan Irwan Abdullah yang menulis “Sangkan Paran Gender”, muncul juga tokoh seperti Ratna Megawangi yang menulis “Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender”.  Selain tokoh nasional dan internasional tersebut juga masih banyak pemikiran-pemikiran lain yang bisa dikutip.
Asghar Ali Enginer  menyatakan Konsep kesataraan dalam al-Qur’an mengisyaratkan dalam dua hal: Pertama, dalam pengertian yang umum, ini berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui  bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik; keduanya harus memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain; keduanya harus bebas memilih profesi atau cara hidup; keduanya harus setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan.[1]
Banyaknya kajian mengenai Islam dan keadilan Gender, menuai pandangan baru ke arah yang lebih positif,  Setidaknya konfirmasi atas Islam sebagai agama yang menghargai Hak Asasi Manusia dan sangat menjunjung tinggi keadilan gender. Sejarah telah mencatat banyak peristiwa penghargaan Islam terhadap kemanusiaan misalnya, munculnya agama Islam yang dengan gigih menentang perbudakan, juga bukti-bukti dokumentatif tentang penghargaan dunia Islam terhadap pemikiran-pemikiran perempuan.  Munculnya banyak kajian Islam dan gender juga menepis anggapan awal yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang misoginis atau menebarkan kebencian terhadap perempuan. Kajian teks-teks ajaran Islam tersebut terbingkai dalam beberapa topik bahasan, di antaranya adalah penciptaan perempuan, persaksian, waris, dan kepemimpinan perempuan dalam Islam. Kajian tersebut telah memaparkan banyak fakta positif  mengenai topik-topik tersebut. Dengan demikian makalah ini mengidentifikasi persoalan dengan mempertanyakan hal-hal sebagai berikut:
1.         Bagaimana konsep kesetaraan gender secara umum?
2.         Bagaimana konsep kesetaraan gender dalam Islam?
3.         Bagaimana perkembangan gerakan kesetaraan gender dalam Islam di Indonesia?
B.       KERANGKA TEORI
1.         Definisi Gender dan Kesetaraan Gender
a.    Definisi Gender dan Kesetaraan
Kebanyakan orang masih rancu dengan definisi gender. Gender seringkali dianggap sebagai sesuatu yang biologis, kodrati, tidak bisa dipertukarkan, dan memang seharusnya begitu adanya. Padahal terdapat terma lain yang biasanya selalu mengiringi “gender” yaitu “seks”. Gender dan seks sebagai sebuah definisi sangat berbeda. jika menilik kamus bahasa Inggris memang keduanya berarti jenis kelamin, akan tetapi jenis kelamin yang dimaksud keduanya berbeda. seks atau seks merujuk jenis kelamin yang berarti biologis dan kodrati, sedangkan gender merujuk jenis kelamin sosial yang menunjukkan bahwa gender dibentuk oleh lingkungan sosial seseorang dan bukan sesuatu yang biologis dan kodrati.
A Glossary of Terms in Gender and Sexuality menyatakan Seks Mengacu pada sifat-sifat biologis yang mendefinisikan manusia sebagai perempuan atau laki-laki. Sementara himpunan sifat biologis ini tidak saling asing, sebab ada individu yang memiliki kedua-duanya, manusia cenderung dibedakan sebagai laki-laki dan perempuan olehnya. Dalam penggunaan awam, istilah seks kerap kali digunakan dalam arti “kegiatan seksual.”[2]
Sebagai penjabaran dari definisi seks, ciri Perempuan (betina, female) adalah Menghasilkan ovum, Penampilan jasmani (anatomi): klitoris (kelentit) dan vagina (puki), payudara (susu), organ reproduksi, Susunan kromosom: XX. Sementara ciri Laki-laki (jantan, male); Menghasilkan sperma, Penampilan jasmani (anatomi): penis (pelir, zakar) dan skrotum (buah pelir, buah zakar), Susunan kromosom: XY.
Berbeda dengan seks, gender adalah konsep yang merujuk pada perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, dapat berubah-ubah dengan berlalunya waktu, dan amat bervariasi di dalam dan antara budaya. Gender diperlawankan dengan ciri-ciri yang ditentukan secara biologis, gender merujuk pada perilaku yang dipelajari dan tuntutan menaati citra seseorang tentang maskulinitas dan femininitas. Gender juga nampak sebagai variabel sosio-ekonomi dan politik untuk menganalisis peran, tanggung jawab, kendala dan kesempatan, gender mempertimbangkan baik laki-laki maupun perempuan.[3]
b.    Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender di Masyarakat
Ketimpangan anggapan terhadap laki-laki dan perempuan di masyarakat telah membentuk berbagai ekspresi yang menimbulkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender muncu dalam berbagai bentuk, di antaranya subordinasi, marginalisasi, stereotype, kekerasan dan double burden pada perempuan. Kaum perempuan menjadi kelompok yang dirugikan oleh ketidakadilan tersebut. Sehingga perempuan mendapat banyak hambatan ketika ingin mencapai kemajuan.
Mansour Faqih, dalam bukunya Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, menyebutkan lima fenomena ketidak adilan gender, yaitu (1) Marginalisasi perempuan baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam kehidupan bermasyarakat lainya. Marginalisasi ini berakinat pada pemiskinan ekonomi perempuan. (2) subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting; (3) Stereotype yang merugikan kaum perempuan, misalnya asumsi bahwa perempuan bersolek dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label ini. Jika terjadi perkosaan, masyarakat cenderung menyalahkan perempuan; (4) berbagai bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun non fisik karena anggapan bahwa perempuan lemah dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki leuasa melakukan kekerasan pada perempuan; (5) pembagian kerja seksual yang merugikan perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, oleh sebab itu tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Akibatnya perempuan terkungkung dalam ruang dan wawasan yang sempit.[4]
2.         Konsep Kesetaraan Gender dalam Islam
Menurut Amina Wadud, sebenarnya tidak ada suatu metode penafsiran pun yang benar-benar objektif, karena seorang ahli tafsir (mufassir) seringkali terjebak pada prasangka-prasangkanya, sehingga kandungan teks itu menjadi tereduksi dan terdistorsi maknanya. Setiap pemahaman atau penafsiran terhadap suatu teks, termasuk kitab suci Al-Quran, menurut Wadud, sangat dipengaruhi oleh perspektif mufassir, latar belakang budaya, dan prasangka yang melatarbelakanginya. Hal inilah yang disebut oleh Wadud sebagai prior text”. One unique element for reading and understanding any text is the prior text of the individual reader; the language and cultural context in which the text is read. It is inescapable and represents, on the one hand, the rich varieties that naturally occur between readers, and on the other hand, the unique of each.
Prior text adds considerably to the perspective and conclusions of the interpretation. It exposes the individuality of the exegete. This is neither good nor bad in and of itself. However, when one individual reader with a particular world-view and specific prior text assert that his or her reading is the only possible or permissible one, it prevents readers in different contexts to come to terms with their own relationship to the text.[5]

Pembahasan Amina mengenai kedudukan perempuan dalam buku tersebut cukup ringkas dan terkesan simpel. Namun, dalam buku tersebut ia menonjolkan semangat egalitarianisme. Ia tidak menganggap  matriarkisme  adalah  alternatif  bagi  patriarkisme yang selama ini dituding sebagai penyebab ketersudutan  perempuan.  Ia menginginkan suatu keadilan dan kerja sama antara kedua jenis kelamin tidak hanya pada tataran makro (negara, masyarakat), tetapi juga sampai ke tingkat mikro (keluarga). Maka, setiap produk tafsir dari seorang mufassir, tentulah terkait dengan konteks sosiologis dan individualitasnya.
a.    Manusia Setara di Hadapan Allah
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan(QS. Az-Dzariyat/51:56). Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal, yaitu dalam Al-Qur'an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa, dan untuk mencapai derajat bertaqwa ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (Q.S. al-Nahl/16:97).
Nasaruddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Jender mengungkapan setidaknya ada empat konsep kesetaraan gender,[6] yaitu laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah, sama-sama sebagai khalifah, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial, adam dan hawa, terlibat secara  aktif dalam drama  kosmik, dan laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi.  Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba tergambar dalam QS. Surat al Zariyat, 51:56 “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”. Dalam kapasitas manusia sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdianya, sebagaimana dalam QS. An-nahl 16:97 yang berarti “barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan”.
Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah di bumi tergambar dalam Al Quran Surat An-Naml ayat 165, yang berarti “ dan dialah yang menjadikan kaian penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian sangat cepat siksaan-Nya, dan seungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kata khalifah dalam ayat di atas tidak merujuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahanya di bumi, sebagaimana mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.
Laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial tergambar dalam Surat Al-A’raf ayat 172, yang berarti “ dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): bukankah aku ini Tuhanmu?, kami menjadi saksi (kami lakukan yang sesunguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Ayat ini menunjukkan setiap manusai yang lahir pasti melakukan perjanjian atau ikrar akan kekesaan Tuhan ini.[7]
Menurut Riffat Hassan, dalam agama Islam, telah nyata ditunjukkan bahwa perempuan-perempuan seperti Khadijah, Aisyah, dan Rabi’ah Al-Basri, merupakan tokoh-tokoh yang terkemuka dalam Islam. Namun, sampai saat ini pada umumnya tradisi Islam secara kaku tetap bersifat patriarkal. Ia menghalangi tumbuhnya kesarjanaan di kalangan perempuan, khususnya dalam pemikiran keagamaan. Hal itu berarti sumber-sumber dasar Islam yang utama yakni; Al-Quran, Al-Hadist, dan Fiqih, hanya ditafsirkan oleh laki-laki Muslim yang tidak bersedia melakukan tugas-tugas mendefinisikan status ontologis, teologis, sosiologis dan eskatologis perempuan Muslim. Tetapi, hingga kini mayoritas perempuan Muslim menerima keadaan ini secara pasif.[8]
b.    Konsep Islam mengenai kesetaraan Gender
Sejarah perkembangan Islam telah mencatat begitu pentingnya kedudukan perempuan dalam Islam. Hal itu tergambar dalam teks-teks suci baik Al Quran maupun al Hadits. Kisah-kisah perempuan kritis, dinamis, berperan dalam kehidupan bermasyarakat dan perannya dalam pengambilan keputusan banyak diperlihatkan. Sebagaimana yang terjadi pada Aisyah r.a yang menjadi pemimpin perang, di mana peran tersebut biasanya  dilakukan oleh laki-laki.
Sebuah penjelasan positif bisa dikutip dari pemikiran Siti Musdah Mulia dalam bukunya Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, diungkapkan bahwa secara terang benderang al-Quran mengungkapkan tipe perempuan Islam ideal sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan.
“pertama, muslimah harus memiliki kemandirian politik, al istiqlal al-siyasah (QS. Al-mumtahanah, 60:12), seperti figur Ratu Bilqis pemimpin ‘arsyun ‘azhim atau kerajaan super power (QS. An-naml, 27:23). Kemandirian politik dapat juga diwujudkan dalam gerakan oposisi terhadap berbagai kebobrokan dalam masyarakat dengan keberanian menyampaikan kebenaran, dan secara tegas al quran mengizinkan kaum perempuan melakukanya (QS. At-taubah, 9:71). Kedua, muslimah harus memiliki kemadirian secara ekonomi, al-istiqlal al-iqtishadi (QS. An-nahl, 16:97), seperti figur perempuan pengelola peternakan dalam kisah nabi Musa di Madyan (QS. Al Qoshosh, 28:23). Ketiga, muslimah harus memiliki kemandirian individual (al-istiqlal al-syakhsyi), misalnya keberanian menentukan pilihan pribadi yang diyakini kebenaranya sekalipun berhadapan dengan suami bagi perempuan yang sudah menikah (QS. Al-tahrim, 66:11) atau menentang pendapat banyak orang (public opinion) (QS. At-tahrim 66:12).......”[9]

Lebih lanjut Siti Musdah Mulia menjelaskan berbagai posisi perempuan yang dipaparkan dalam Al-Quran. Yaitu posisi perempuan sebagai anak, sebagai istri dan sebagai anggota masyarakat. Menurutnya sebagai anak, Islam memanusiakan perempuan seutuhnya. Hal ini ditandai dengan pelarangan Islam terhadap pembunuhan bayi perempuan seperti yang jamak terjadi pada jaman jahiliyah. Kelahiran perempuan juga harus disambut sebagai berita gembira bukan berita yang memalukan. (QS. An-nahl, 16:58-59). Al-Quran juga dengan tandas menyatakan bahwa anak-anak perempuan dan perempuan-perempuan dewasa lain serta mereka yang terlemahkan oleh struktur sosial, harus mendapat perlakuan yang adil (QS. An-nisa, 4:127).  Selain sebagai anak, al-quran juga menjelaskan posisi perempuan sebagai istri. Islam menjamin kesetaraan pasangan suami istri (QS. Al Baqarah, 2:187). Islam juga menerangkan tentang pilihan pernikahan secara monogami adalah yang paling adil, karena jika seorang laki-laki beristri lebih dari satu akan sulit berbuat adil (QS. An nisa, 4: 3 dan 129). Posisi perempuan sebagai ibu dijamin sangat tinggi dalam teks-teks suci Islam. Bahkan ibu tiga kali lebih terhormat dibanding ayah dihadapan anak. Sedangkan sebagai warga masyarakat jelas terlihat bahwa Allah menilai perbuatan seseorang bukan berdasarkan jenis kelaminya. Islam juga mengajarkan keberpihakan yang nyata kepada para mustadzafin dan orang-orang tertindas, Islam juga dengan tegas menentang tindakan kesewenang-wenangan.[10]




Diskusi mengenai kesetaraan gender dalam Islam, biasanya akan selalu membincangkan bagaimana konsep penciptaan perempuan, kepemimpinan dalam rumah tangga, dan konsep kesaksian dan kewarisan perempuan. Pemahaman mengenai konsep-konsep tersebut biasanya yang menjadi akar perdebatan. Sebuah penelitian menarik dilakukan oleh Yunahar Ilyas, yang diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al Quran Klasik dan Kontemporer. Dalam kajianya, para mufassir muslim tidak sepakat mengenai konsep penciptaan perempuan. Pokok ketidaksepakatan adalah pada kalimat Nafs wahidah dan minha dalam surat an-Nisa ayat 1, serta perbedaan dalam menilai kualitas hadits tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk.[11]
Konsep kepemimpinan dalam rumah tangga disepakati oleh berbagai mufassir dan feminis muslim. Ayat yang menjadi perdebatanya adalah bertumpu pada surat an-Nisa ayat 34 adalah laki-laki sebagai pemimpin atas istri di dalam rumah tangga.[12]
3.      Perkembangan Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam di Indonesia
Merebaknya gerakan perempuan Islam di Indonesia akhir-akhir ini harus diakui banyak terinspirasi oleh feminis Islam dari Timur Tengah seperti Fatima Mernissi, Rifat Hassan dan lain-lain. Tuduhan sebagian kalangan bahwa feminisme banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam tidaklah mengkhawatirkan sebagian dari mereka. Kelompok ini malah berpendapat bahwa ide normatif Islam sesungguhnya mengusung nilai-nilai feminis yang telah dijungkirbalikkan oleh pelaku-pelaku sejarah yang punya watak misoginis. Karena itu tugas penting yang harus dilakukan adalah merekontruksi seluruh tradisi keagamaan patriarkis yang telah berurat berakar dalam tradisi Islam selama berabad-abad.
4.      Menurut kelompok feminis Islam, rekontruksi terhadap teks-teks keagamaan yang selama ini tersimpan rapi dalam 'otoritas' keulamaan tradisional harus lebih diprioritaskan karena merupakan sumber ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam. Ajaran-ajaran tersebut telah menjadi sumber legitimasi peminggiran perempuan dalam wilayah sosial, politik, hukum baik dalam lingkup publik maupun domestik.
5.      Ternyata tidak semua kelompok perempuan setuju dengan ide-ide emansipasi perempuan seperti yang banyak disuarakan kaum feminis Islam. Kelompok ini banyak ditemukan di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) pada perguruan tinggi umum di Indonesia seperti UI, ITB, UGM dan lain-lain. Mereka tidak setuju dengan kecenderungan melakukan perombakan terhadap streotipe perempuan yang telah mapan dalam tradisi Islam selama ini. Menurut mereka, laki-laki memang punya kelebihan dibanding perempuan. Melakukan penyamaan antar mereka berarti menyalahi hukum alam.
6.      Kecurigaan terhadap aura pembaharuan yang ditularkan gerakan feminis Islam sangat kental dalam kelompok ini. Menurut mereka, feminis adalah Barat dan barat harus ditolak. Bahkan ada yang menuduh feminis adalah produk Yahudi yang dianggap punya niat buruk terhadap Islam. Stigma menjadi feminis sangat dikawatirkan perempuan-perempuan yang ada dalam kelompok ini sehingga mereka sangat berhati-hati melakukan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Hal-hal yang dipersoalkan kalangan feminis Islam seperti penafsiran surat An-Nisa tentang ayat arrijalu qawwamu 'alannisa tidak muncul dalam kelompok ini.
        C.    ANALISIS KRITIS
        Dari pembahasan di atas, dapat dilakukan analisa bahwa;
1.      Selama ini telah terjadi kerancuan pemahaman di masyarakat mengenai gender. Masyarakat mengira bahwa gender sama dengan seks, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda
2.      Pada dasarnya memang terjadi perbedaan pemahaman mengenai bagaimana konsep kesetaraan gender dalam Islam. Hal ini berakar pada perbedaan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dan hadits.
3.      Konsep gender tidak bertentangan dengan ajaran Islam terbukti dengan berbagai teks dalam Islam yang sangat menghargai manusia baik laki-laki maupun perempuan.
4.      Gerakan kesetaraan gender dalam Islam mengalami pasang surut, demikian juga dengan yang terjadi di Indonesia.

       D.    KESIMPULAN
Paparan makalah tentang Islam dan Kesetaraan gender ini memberi gambaran riil mengenai definisi gender, konsep kesetaraan gender dalam Islam dan bagaimana perkembangan gerakan kesetaraan gender dalam Islam. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Sedangkan seks (jenis kelamin: laki-laki dan perempuan) tidak berubah dan merupakan kodrat Tuhan.
Dalam ajaran agama Islam tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki,  baik sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai tanggung jawab, sebagai hamba yang terlibat dalam drama kosmis, dan sebagai hamba yang berpotensi meraih prestasi. Perbedaan di dalam Alqur’an ditemukan dalam masalah waris, kesaksian dan kepemimpinan dalam keluarga.
Banyak penyadaran tentang relasi gender yang dilakukan di Indonesia. Banyak perbincangan dan pelatihan dengan tujuan untuk menyadarkan tentang relasi gender. Jadi, yang dilakukan adalah melakukan pelatihan tentang urgensi gender mainstreaming  pada masyarakat negara sedang berkembang. Isu yang sangat mendasar tentang gender adalah meliputi tiga hal, yaitu gender differentiation, gender inequality dan gender oppression. Perbedaan gender di dalam kehidupan memang masih menjadi masalah di negara-negara berkembang. Misalnya, kesamaan di dalam mengakses pendidikan, pekerjaan, politik dan social-ekonomi. Kesamaan akses ini dirasakan sangat penting, sebab selama ini memang ada sebuah anggapan yang sangat kuat bahwa ada perbedaan akses di dalam ranah public antara lelaki dan perempuan.

E.     REFERENSI
“A Glossary of Terms in Gender and Sexuality, http: // www. seaconsortium. net/ autopagev3/fileupload/WedJuly2007-13-25-6.pdf

Ali Engineer, Asghar. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Faqih, Mansour. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Mernissi, Fatima dan Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Terjemahan Team LSPPA. Yogjakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, 1995.

Musdah Mulia, Siti. Islam dan Inspirasi Kesetaraaan Gender. Yogjakarta: Kibar Press, 2006.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran. Jakarta Paramadina, 1999.

Wadud Muchsin, Aminah. Qur’an And Woman. Kuala Lumpur, Penerbit Fajar Bakti SDN BHD, 1992.



[1] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1994), 57.
[2] WHO, definisi kerja, www.seaconsortium.com/coreactivities/download.glossary.doc. diakses 24 Mei 2012.
[3] “A Glossary of Terms in Gender and Sexuality, http:// www. seaconsortium. net/ autopagev3/ fileupload/ WedJuly2007-13-25-6.pdf. Diakses 24 Mei 2012.
[4] Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 11-20.
[5] Aminah Wadud Muchsin, Qur’an And Woman (Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN, BHD, 1992), 5.
[6] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al-Quran (Jakarta : Paramadina, 1999), 149.
[7] Mansour Faqih, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, 247-263.
[8] Fatima Mernissi dan Riffat Hasan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Terj. Team LSPPA, (Yogjakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, 1995), 75.
[9] Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraaan Gender (Yogjakarta: Kibar Press, 2006), 18.
[10] Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraaan Gender, 18-22.

[11] Yunahar Ilyas, Feminisme dalam kajian tafsir Al-Qur’an klasik dan kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 105.

[12] Yunahar Ilyas, Feminisme dalam kajian tafsir Al-Qur’an, 121.





Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Islam dan Kesetaraan Gender"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*