HAKIKAT IMAN
Oleh:
Luthfi Damayanti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Iman dan Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki
setiap muslim. Signifikansi iman dan taqwa bagi umat Islam diantaranya adalah
sebagai spesifikasi pembeda dengan umat lain. Keduanya tidak dapat dilepaskan
karena taqwa adalah refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman
tidak ubahnya seperti binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan
keimanannya dengan sikap taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya
dalam arti sederhana beriman kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman
itu sendiri secara sederhana adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya
sikap pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
sekarang adalah bahwa umat Islam berada dalam kehidupan modern yang serba
mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan
umat Islam berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi menarik
naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung.
Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang
kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang berbeda
dengan sekarang.
Pendidikan agama Islam sebagai dasar utama “peningkatan mutu iman takwa
dan akhlak mulia di sekolah” dewasa ini dihadapkan dengan kendala yang cukup
serius, baik internal maupun eksternal. Kendala yang bersifat internal
diarahkan kepada faktor guru, murid, dan lingkungan sekolah tersebut. Sedangkan
kendala yang bersifat eksternal, yaitu terjadinya perubahan tata kehidupan
masyarakat akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat.
Pergaulan hidup antar bangsa semakin terbuka, seolah-olah tidak ada lagi batas
wilayah, pertukaran informasi, budaya, pola hidup antar bangsa terjadi secara
alami tidak dapat dielakan lagi. Perubahan-perubahan tersebut cepat atau lambat
berpotensi mendorong pergeseran nilai dan pola hidup masyarakat. Agama tidak
lagi dijadikan pegangan hidup yang bersifat rutin dan dogmatis, nilai-nilai
agama kurang diyakini dan diterima kebenarannya. Munculnya persoalan merosotnya
moral diduga akibat lemahnya nilai-nilai keimanan dan ketakwaan pada setiap
individu sebagai gagalnya pendidikan agama di sekolah yang sekarang hanya
mengejar kepada pemenuhan kebutuhan pasar global.[1]
Makalah ini mencoba untuk mengurai beberapa permasalahan terkait hakikat
iman dan taqwa serta signifikansi iman dalam membangun karakter bangsa melalui
sekolah sebagai lembaga yang paling kompeten untuk mewujudkan hal tersebut.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan siapapun makalah ini hanya mencoba untuk
melihat problem yang ada secara lebih objektif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
hakikat iman?
2. Bagaimana
hubungan iman dan taqwa terkait persamaan dan perbedaannya?
3. Bagaimanakah
signifikansi iman dalam membangun karakter bangsa?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui hakikat iman.
2. Untuk
mengetahui hubungan iman dan taqwa.
3. Untuk
mengetahui signifikansi iman dalam membangun karakter bangsa.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hakikat
Iman
Sebagai sebuah aliran yang lahir dari peristiwa politik, maka pendirian
sekte Khawarij lebih bertendensi pada masalah politis ketimbang ilmiah
teoritis. Kebenaran ini tidak dapat disangkal, karena seperti yang telah
diungkapkan dalam sejarah Khawarij yang mula-mula memunculkan persoalan seputar
masalah “Apakah Ali dan pendukungnya ialah kafir atau masih tetap mukmin?,
Apakah Mu’awiyah dan pendukungnya masih tetap mukmin atau telah menjadi kufur?”
Jawaban dari pertanyaan ini yang kemudian menjadi pijakan dasar dari theologi
mereka.[2]
Dalam hal ini mereka berpendapat, karena Ali dan Mu’awiyah telah melakukan
tahkim maka mereka telah melakukan dosa besar dan semua pelaku dosa besar (murtakib
al-kabirah), menurut semua sub sekte aliran khawarij adalah kafir dan
disiksa selama-lamanya di dalam neraka kecuali sekte Najdah.[3]
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah.
Akan tetapi mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian
dari keimanan. Tepatnya iman bagi
Khawarij merupakan pembenaran dalam hati, diucapkan dengan lidah dan dilakukan
dengan perbuatan.[4]
Oleh karena itu segala perbuatan yang bersifat keagamaan, adalah merupakan
bagian dari keimanan, Segala perbuatan yang berbau religius, temasuk di
dalamnya masalah kekuasaan adalah bagaian dari keimanan (الأمل جزء من الإيمن). Maka logikanya siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah
dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya tetapi tidak melakukan kewajiban agama
bahkan melakukan perbuatan dosa, oleh Khawarij telah dipandang sebagai kafir.
Najadat tidak jauh berbeda dengan Azariqah kepada umat islam yang tidak
mau bergabung ke dalam kelompok mereka, maka predikat yang sama disandangkan
pula oleh Najdah kepada siapapun umat islam yang secara terus menerus
mengerjakan dosa kecil.[5] Lain halnya dengan sub
sekte Khawarij yang moderat yaitu kelompok Ibadhiyyah memiliki pandangan yang
berbeda dengan kelompok Azariqah dan An-Najdah, baginya setiap pelaku dosa
besar adalah mukmin yaitu sebagai muwabid (yang mengesakan Tuhan),
tetapi bukan mukmin. Pendeknya ia tetap disebut kafir, hanya merupakan kafir
nikmat dan bukan kafir millah (agama).[6] Mengenai perbuatan apa saja yang dapat
dikategorikan sebagai dosa besar dan dapat membawa kekufuran. Agaknya Khawarij
tidak menjelaskan secara konseptual, kecuali sekte sufriyah. Sekte ini memilah
dosa besar menjadi dua bagian. Pertama, dosa yang ada
hukumannya didunia seperti zina. Kedua,
dosa yang tidak ada hukumannya didunia seperti meninggalkan shalat dan puasa.
Pelaku dosa besar yang pertama tidak dipandang kafir, tetapi pelaku dosa besar
yang kedua dengan mereka anggap telah menjadi kafir.[7]
Khawarij cenderung menyamaratakan semua perbuatan dosa sebagai dosa besar yang
menggiring kepada kekufuran. Dalam paham mereka lebih banyak tertuju pada
sangsi langsung bagi seseorang yang melakukan dosa besar. Hal ini dapat dimengerti
karena perbuatan merupakan unsur terpenting dalam konsep iman menurut Khawarij.
Kufur/kafir adalah orang yang
tidak percaya/tidak beriman kepada Allah baik orang tersebut bertuhan selain
Allah maupun tidak bertuhan,
seperti paham komunis (ateis). Kufur ialah mengingkari Tauhid, Kenabian, Ma’ad,
atau ragu terhadap kejadiannya, atau mengingkari pesan dan hukum para nabi yang
sudah diketahui kedatangannya dari sisi Allah SWT. Ciri dari kekufuran adalah
mengingkari secara terang-terangan terhadap suatu hukum Allah SWT yang mereka
tahu tentang kebenarannya dan mereka memiliki tekad untuk memerangi agama yang
hak. Dari sinilah syirik (mengingkari tauhid) termasuk salah satu ciri konkret
dari kekufuran. Oleh karena itu orang-orang kufur/kafir sangatlah dimurkai oleh
Allah SWT karena mereka tidak melaksanakan ketentuan- ketentuan yang telah
digariskan oleh Allah. Adapun kufur/kafir sangatlah erat kaitannya atau
hubungannya dengan keadaan-keadaan yang menyesatkan seperti syirik, nifak,
murtad, tidak mau bersyukur kepada Allah SWT, dan lain sebagainya.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azariqah. Kalau Azariqah memberikan
predikat musyrik kepada umat Islam yang tidak mau bergabung dengan kelompok
mereka, Najdah pun memberikan predikat yang sama kepada siapapun dari umat
Islam yang secara berkesinambungan mengerjakan dosa kecil. Akan halnya dosa
besar, bila tidak dilakukan secara kontinu, pelakunya tidak pandang musyrik,
tetapi kafir. Namun, jika pelakunya melaksanakan terus menerus, ia akan menjadi
musyrik.[8] Lain
halnya dengan subsekte Khawarij yang sangat moderat, yaitu ibadiyah. Subsekte
ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwahhid
(yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebut kafir
tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir milla (agama). Siksaan yang
bakal mereka terima di akhirat nanti adalah kekal di dalam neraka bersama
orang-orang kafir lainnya.
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu Al-Hasan Al-Asy’ari
mengklasifikasikan aliran teologi Murji’ah menjadi 12 subsekte, yaitu
Al-jahmiyah, Ash-Salihiyah, Al-Yunisiyah, Asy-Syimriyah, As-Saubaniyah,
An-Najjariyah, Al-Kailaniyah bin Syabib dan pengikutnya, Abu Hanifa dan
pengikutnya, At-Tumaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karramiyah.[9]
Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrah membedakan Murji’ah menjadi dua
kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah) dan Murji’ah esktrim
(Murji’ah Bid’ah).[10]
Sedangkan Syahrastani membagi Murjiah menjadi enam golongan, Yunusiyyah,
‘Ubaidiyyah, Ghassaniyyah, Tsaubaniyyah, Tuminiyyah, dan Shalihiyyah.[11]
Untuk memilih mana subsekte yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution
menyebutkan bahwa subsekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang
berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan
perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam kalbu. Oleh kerena
itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama
tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih
sempurna dalam pendangan Tuhan.[12]
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah subsekte
Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, dan Al-Yunusiyah, mereka berpendapat bahwa iman
adalah tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah (mengetahui) Allah dengan
kalbu, bukan secara demonstratif, naik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh
kerena itu, jika seseorang telah beriman dalam hatinya, ia tetap dipandang
sebagai seorang mukmin sekalipun menampakkan tingkah laku seperti Yahudi atau
Nasrani.[13] Hal ini
di sebabkan oleh keyakinan Murji’ah bahwa iqrar dan amal bukanlah bagian dari
iman. Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “perbuatan tidak
dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa
kekufuran”. Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa
besar tidak akan disiksa di neraka.
Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat
bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia
tidak kekal di dalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya.[14]
Kendatipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni
dosanya sehingga bebas dari siksa neraka. Ciri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya
iqrar sebagai bagian penting dari iman, disamping tashdiq (ma’rifat).
Di antara subsekte Murji’ah yang dimasukkan Harun Nasution dan Ahmad Amin
dalam ketagori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya,
pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh
berbeda dengan kelompok Murj’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa seorang
pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi bukan bararti bahwa dosa yang
diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena Allah menghendakinya,
ia tidak akan kekal didalamnya. Di samping itu, iman menurut Abu Hanifah adalah
iqrar dan tashdiq. Di tambahkannya pula bahwa iman tidak bertambah dan tidak
berkurang.[15] Agaknya
hal ini merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah, baik ekstrim
maupun moderat seperti Al-Jahmiyah, As-Salihiyah, Asy-Symriyah, dan Al-Gailaniyah.
Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh umat Islam adalah sama
kedudukannya dalam tauhid dan keimanan. Mereka hanya berbeda dari segi
intensitas amal perbutannya.
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ; ikrar dalam
hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi, Iman itu
mencakup tiga hal :ikrar dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan
dengan anggota badan. Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa
bertambah atau bisa saja berkurang.[16] Pendapat ahlussunnah yang dimotori oleh Abu
Hasan Al Asy’ariy ini tidak lain merupakan sebuah nilai turunan dalam konsep khawarij.
Tetapi ternyata ide-ide dari mu’tazilah yang menekankan arti penting dari
kebebasan rasio dalam kehidupan manusia juga dapat terlihat dari sedikit upaya
Abu Hasan dalam merumuskan konsep iman, karena terdapat upaya qudrah manusia
dalam mencapai kesempurnaan iman. Artinya iman seseorang itu tergantung dari
seseorang itu sendiri. Abu Hasan pernah juga berguru kepada beberapa orang
Mu’tazilah.[17] Iman
bisa bertambah maupun berkurang itu menandakan adanya kebebasan dari manusia
untuk memperoleh pengetahuan tentang iman itu sendiri bedasarkan kemampuan akal
fikirannya menangkap makna iman.
Ibrahim ‘Alaihis Sallam pernah berkata seperti yang dicantumkan oleh
Allah dalam Al-Qur’an.
رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ
الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“Ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang mati. Allah berfirman : ‘Apakah
kamu belum percaya’. Ibrahim menjawab : ‘Saya telah percaya, akan tetapi agar
bertambah tetap hati saya”. (Al-Baqarah : 260)
Tentang bertambah atau berkurangnya iman, ini telah
disebutkan di dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلا فِتْنَةً لِلَّذِينَ
كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ
آمَنُوا إِيمَانًا
“Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan
mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang
yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah
imannya”. (Al-Mudatstsir : 31)
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ
سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا
الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ وَأَمَّا
الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ
وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ
“Dan apabila diturunkan
suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata :
‘Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?’ Adapun orang
yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.
Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah
kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati
dalam keadaan kafir”. (At-Taubah : 124-125)
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan iman itu bisa bertambah, di
antaranya pertama, mengenal Allah (Ma’rifatullah) dengan nama-nama (asma’)
dan sifat-sifat-Nya. Setiap kali marifatullahnya seseorang itu bertambah, maka
tak diragukan lagi imannya akan bertambah pula. Oleh karena itu para ahli ilmu
yang mengetahui benar-benar tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya lebih kuat
imannya daripada yang lain.
Kedua, memperlihatkan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah yang berupa
ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah. Seseorang jika mau
memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyah Allah, yaitu seluruh
ciptaan-Nya, maka imannya akan bertambah. Allah Ta’ala berfirman.
وَفِي
الأرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلا تُبْصِرُونَ
“Dan di bumi itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga)
pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan” (Adz-Dzariyat :
20-21).
Tiga, banyak melaksanakan ketaatan. Seseorang yang mau menambah
ketaatannya, maka akan bertambah pula imannya, apakah ketaatan itu berupa qauliyah
maupun fi’liyah. Berdzikir umpamanya akan menambah keimanan secara
kuantitas dan kualitas. Demikian juga shalat, puasa dan haji akan menambah
keimanan secara kuantitas maupun kualitas.
Adapun penyebab berkurangnya iman adalah kebalikan daripada penyebab
bertambahnya iman, yaitu: pertama, jahil terhadap asma’ Allah dan
sifat-sifat-Nya. Ini akan menyebabkan berkurangnya iman. Karena, apabila
mari’fatullah seseorang tentang asma’ dan sifat-sifat-Nya itu berkurang, tentu
akan berkurang juga imannya. Kedua, berpaling dari tafakkur mengenai ayat-ayat
Allah yang kauniyah maupun syar’iyah. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya
iman, atau paling tidak membuat keimanan seseorang menjadi statis tidak pernah
berkembang. Ketiga, berbuat maksiat. Kemaksiatan memiliki pengaruh yang besar
terhadap hati dan keimanan seseorang.
Keempat, meninggalkan ketaatan. Meninggalkan keta’atan akan menyebabkan
berkurangnya keimanan. Jika ketaatan itu berupa kewajiban lalu ditinggalkannya
tanpa udzur, maka ini merupakan kekurangan yang dicela dan dikenai sanksi.
Namun jika ketaatan itu bukan merupakan kewajiban, atau berupa kewajiban namun
ditinggalkannya dengan udzur (alasan), maka ini juga merupakan kekurangan,
namun tidak dicela. Karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menilai kaum wanita sebagai manusia yang kurang akal dan kurang agamanya.
Alasan kurang agamanya adalah karena jika ia sedang haid tidak melakukan shalat
dan puasa. Namun ia tidak dicela karena meninggalkan shalat dan puasa itu
ketika sedang haid, bahkan memang diperintahkan meninggalkannya. Akan tetapi
jika hal ini dilakukan oleh kaum laki-laki, maka jelas akan mengurangi
keimanannya dari sisi yang satu ini.
B. Hubungan Iman dan Taqwa
Pengertian Taqwa, menurut istilah artinya berlindung atau menjaga diri
dari sesuatu yang berbahaya. Kata taqwa (التَّقْوَى) dalam etimologi bahasa Arab
berasal dari kata kerja (وَقَى) yang memiliki pengertian
menutupi, menjaga, berhati-hati dan berlindung. Oleh karena itu imam Al
Ashfahani menyatakan: Takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan
dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’i
adalah menjaga diri dari perbuatan dosa. Takwa
juga berarti takut.[18]
Sedangkan menurut Syeikh Utsaimin sebagaimana dikutip oleh M. Irfan, berkata,
“Taqwa diambil dari kata wiqayah, yaitu upaya seseorang melakukan sesuatu yang
dapat melindungi dirinya dari azab Allah SWT. Dan yang dapat menjaga seseorang
dari azab Allah SWT ialah (dengan) melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan
menjauhi larangan-larangan-Nya.”[19]
Taqwa bisa juga diartikan kumpulan semua kebaikan yang hakikatnya merupakan
tindakan seseorang untuk melindungi dirinya dari hukuman Allah dengan
ketundukan total kepada-Nya. Asal-usul taqwa adalah menjaga dari kemusyrikan,
dosa dari kejahatan dan hal-hal yang meragukan (syubhat).[20]
Arti dari pada Taqwa adalah : Meninggalkan semua larangannya. Taqwa dibagi kedalam empat unsur: Pertama, الخَوْفُ مِنَ الجَلِيْلِ Takut kepada Allah, dalam artian kita menanamkan rasa bahwa Allah itu mutlak adanya, Esa, dimana gerak kita selalu terlihat oleh-Nya. Kedua, العَمَلُ بالتَّنـزِيلِ tahapan yang kedua yaitu menjalankan perintah al-Qur`an dan menjauhi apa yang jelas-jelas di larang dalam kitab-Nya. Ketiga, الإِسْتِعْدَادَ لِيَوْمِ الآخِيْرِ Tingkatan ketiga yaitu mempersiapkan untuk hari Akhir. Tahapan taqwa ini merupakan tolak ukur dimana kita melakukan semua aktifitas di dunia ini dalam rangka mempersiapkan diri untuk bertemu dengan-Nya. Keempat, وَالقَنَاعَةُ بِالقَلِيْلِ Tahapan terakhir, setelah kita melakukan proses taqwa di atas, kita harus menyertakan rasa rela. Rela di sini dalam artian kita sepenuhnya ridha (ikhlas) dengan ketetapan Allah yang digariskan kepada kita baik lahir maupun batin.[21]
Iman dan taqwa
kemudian meskipun memiliki pengertian yang berbeda, tetapi pada hakikatnya
adalah sama-sama sikap jiwa yang berlandaskan pengetahuan yang benar tentang
tuhan itu sendiri. Orang yang memiliki rasa iman selanjutnya akan dituntut
untuk memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai taqwa dalam kehidupannya. Iman
bisa saja dijelaskan bahwa itu adalah keyakinan dalam hati, yang dibenarkan
lesan, serta ditegaskan dengan perbuatan nyata. Sedangkan taqwa dapat pula
disederhanakan menjadi rasa takut kepada tuhan. Hanya saja apakah iman dan
taqwa sedemikian mudah dijelaskan hanya seperti itu atau membutuhkan
interpretasi lain dan cara pandang yang berbeda pula.
Iman dapat dijelaskan sebagai sikap hidup,[22]
mengingat bahwa orang yang beriman tidak hanya sebatas meyakini dihati dan
membenarkan dengan lesan semata. Signifikansi iman adalah ketika seseorang mengaku
beriman, maka ia menunjukkan keyakinannya itu dengan tingkah laku yang nyata.
Banyak terjadi pada zaman Nabi Muhammad bila para orang munafik mengaku beriman
kepada tuhan, tetapi tingkah laku mereka sama sekali jauh dari perbuatan orang
yang beriman. Iman yang baik adalah termanifestasikan dalam perilaku yang
nyata.
Taqwa merupakan sebuah dorongan yang dapat memperkuat rasa keimanan
seseorang, dengan adanya taqwa di dalam diri manusia, maka ia akan dituntut
untuk melahirkan ketakutan-ketakutannya kepada tuhan dalam perbuatan yang
nantinya dapat menghindarkan dirinya dari adzab tuhan. Taqwa ibarat arus
negatif dari sebuah aliran listrik. Sebuah bola lampu tidak akan menyala jika
hanya dialiri arus positif belaka. Demikian juga iman tidak akan mampu memberikan
pelita kepada seseorang jika tidak diimbangi atau disertai dengan rasa taqwa.
Seseorang akan merasa tidak perlu untuk memiliki iman jika ia tidak
memiliki taqwa, banyak sudah kegagalan dari sejarah masa lalu yang menjelaskan
betapa manusia yang tidak memiliki atau tipis rasa taqwanya akan tergelincir ke
arah inkar tuhan. Raja Fir’aun yang memiliki kekuatan sehingga berani mengklaim
dirinya tuhan, Raja Namrudz, Bani Israil yang berani menyatakan sebuah sapi
emas adalah wujud Tuhan, merupakan contoh-contoh dari adanya iman yang tipis
sehingga beralih menuju ingkar tanpa adanya landasan taqwa yang jelas.
Kelahiran sebuah agama dalam perspektif evolusi agama berangkat dari
adanya rasa ingin tahu dan ketakutan terhadap kekuatan besar yang berada di
balik alam semesta. Untuk itu lahirlah faham dinamisme, animisme, polytheisme,
henodeisme, sampai monotheisme.[23]
Ketakutan-ketakutan yang dimaksud adalah ungkapan rasa taqwa, bahwa manusia
jika masih memiliki rasa takut kepada sesuatu yang jauh berada di jangkauan inderanya,
tentu akan memiliki keyakinan terhadapnya apapun itu namanya.
Ketakutan atau taqwa adalah motor penggerak dari seseorang untuk
meyakini, mengimani sesuatu. Tetapi ketika keduanya telah menyublim dalam jiwa
manusia, maka akan sangat sulit dipisahkan mengingat iman dan taqwa memiliki
batasan yang tipis serta tidak dapat berdiri sendiri. Dengan demikian iman dan
taqwa memang berbeda, tetapi jika memisahkannya dalam kehidupan manusia, maka
manusia tersebut akan kehilangan pelita dalam dirinya sendiri.
C. Signifikansi Iman Dalam Membangun
Karakter Bangsa
Negara Indonesia
sebagai satu dari sekian negara dunia ketiga tengah menghadapi masalah pelik
terkait pasar bebas atau globalisasi. Globalisasi ternyata tidak hanya sekedar
membawa masyarakat Indonesia
memandang kemajuan dalam perspektif empirisme belaka, namun ternyata di balik
globalisasi terjadilah benturan-benturan yang sangat mengkhawatirkan.
Pergeseran budaya sebagai akibat tidak terbendungnya arus informasi
semakin membuat bangsa Indonesia
tergerus nilai-nilai lokal geniusnya. Bahkan Islam juga tidak mampu untuk
menghindari kenyataan bahwa generasi muslim sekarang lebih merasa mapan dan
nyaman untuk mengetahui sejarah dan kebudayaan barat daripada mereka mencintai
budaya Islam. Fenomena ini tidak dapat ditolak dengan berbagai argumen yang
seolah memberi harapan bahwa Islam masih jaya dengan seperangkat budaya dan
pengetahuan yang ada. Umat Islam harus menyadari bahwa mereka sekarang ini
kalah dalam sebuah perang budaya. Ketika pintu budaya telah dirusak oleh budaya
yang lain, maka akan timbul pergeseran budaya meskipun sebelum pergeseran
budaya tersebut terjadilah yang dinamakan internalisasi budaya.[24]
Secara tidak langsung barat dengan media komunikasi dan informasi yang ada
menanamkan budaya mereka kepada generasi Islam.
Lambat laun masyarakat kita bergerak dan menjadi cermin dari masyarakat Barat,
berani membuang norma adat, hilangnya tata krama sebab mengatakan bahwa
terdapat pola egalitarian dalam setiap manusia, dan diujung dari pertikaian budaya
tersebut munculah manusia yang mengaku Islam namun betapa sempitnya iman dan
taqwa mereka. Islam kemudian tidak lagi menjadi sebuah pandangan hidup, pedoman
maupun pegangan di kala senang maupun susah, namun Islam hanya sekedar
pelengkap simbol dari sekian perangkat profane kehidupan manusia.
Kegagalan masyarakat modern dalam menjawab tantangan kehidupan diawali
ketika terjadinya renaissance,[25]
yang kemudian para ilmuwan mulai membatasi diri untuk mengesampingkan unsur Ilahi
dalam setiap gejala kenampakan yang ada. Hilangnya kontrol moral tersebut
menandakan bahwa agama kehilangan ruhnya bagi masyarakat modern, sementara ruh
dari agama itu sendiri adalah iman dan taqwa. Ketika iman dan taqwa sudah mati,
otomatis bagi masyarakat modern agama tidak lagi diperlukan sebab sudah tidak
memiliki relevansi dengan keadaan yang ada.
Parahnya kemudian dari penolakan manusia modern atas campur tangan Tuhan,
munculah gejala-gejala dehumanisasi yang menyertai setiap keberhasilan manusia
modern. Puncak dari dehumanisasi tersebut adalah hilangnya kesadaran spiritual
masyarakat modern. Manusia selalu menilai segala sesuatunya dengan parameter
akal pikiran mereka sendiri, mereka membatasi kemungkinan dan pendekatan yang
lain, sehingga ketika akal manusia tidak mampu menjawab sebuah permasalahan
otomatis manusia akan senantiasa gelisah dan murung.
Dampak negatif yang jelas dari kehampaan spiritual ini adalah makin
banyaknya manusia modern yang bertindak jauh dari nilai kemanusiaan ketika ia
dihimpit problem ekonomi, sebagai contoh, orang tua membuang anak, bunuh diri,
perceraian, dan lain sebagainya. Bukti-bukti tersebut mau tidak mau membuat
cemas bahwa dalam era yang dikatakan penuh peradaban ini, manusia ternyata
justru terlempar kembali ke masa kegelapan, menjadi semakin asing dan aneh
untuk mengenal Tuhannya.
Revitalisasi ajaran agama perlu ditingkatkan kembali untuk membangkitkan
iman dan taqwa yang kini mulai melemah. Hanya iman dan taqwa saja bekal yang
paling berharga ketika masyarakat berhadapan dengan globalisasi, sebagai sebuah
pandangan hidup, iman dan taqwa akan mampu membentengi diri dari beberapa
tantangan. Iman dan taqwa diperlukan dan dibutuhkan untuk mengisi kehampaan
spiritual masyarakat modern sekaligus untuk menyelamatkannya dari bahaya
dehumanisasi.
Lembaga pendidikan Islam memiliki peluang penting sebagai wadah yang bisa
menjawab permasalahan tersebut. Lembaga pendidikan Islam akan mampu menjadi
alternatif baru dari pemecahan problem kemanusiaan jika yang mengelola serius
untuk menyelesaikan permasalahan ini. Bukan semata untuk mementingkan kepentingan
pribadi dan golongannya. Ketika lembaga pendidikan Islam bangkit dan kembali
kepada visi misi yang jelas, maka generasi Islam mendatang akan menjadi semakin
kuat dan tangguh dalam menghadapi pertarungan zaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: ikrar dalam
hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan. Jadi, Iman itu
mencakup tiga hal: ikrar dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan
dengan anggota badan. Jika keadaannya demikian, maka iman itu akan bisa
bertambah atau bisa saja berkurang.
Iman dan taqwa kemudian meskipun memiliki pengertian yang berbeda, tetapi
pada hakikatnya adalah sama-sama sikap jiwa yang berlandaskan pengetahuan yang
benar tentang tuhan itu sendiri. Orang yang memiliki rasa iman selanjutnya akan
dituntut untuk memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai taqwa dalam
kehidupannya. Iman bisa saja dijelaskan bahwa itu adalah keyakinan dalam hati, yang
dibenarkan lesan, serta ditegaskan dengan perbuatan nyata. Sedangkan taqwa
dapat pula disederhanakan menjadi rasa takut kepada tuhan. Hanya saja apakah
iman dan taqwa sedemikian mudah dijelaskan hanya seperti itu atau membutuhkan
interpretasi lain dan cara pandang yang berbeda pula.
Lembaga pendidikan Islam memiliki peluang penting sebagai wadah yang bisa
menjawab permasalahan tersebut. Lembaga pendidikan Islam akan mampu menjadi
alternatif baru dari pemecahan problem kemanusiaan jika yang mengelola serius
untuk menyelesaikan permasalahan ini. Bukan semata untuk mementingkan
kepentingan pribadi dan golongannya, ketika lembaga pendidikan Islam bangkit
dan kembali kepada visi misi yang jelas, maka generasi Islam mendatang akan
menjadi semakin kuat dan tangguh dalam menghadapi pertarungan zaman.
B. Saran
Lembaga pendidikan Islam jangan hanya mementingkan keilmuwan yang mengacu
pada kebutuhan pasar, lambat laun bahwa ketika pengetahuan modern gagal
mewujudkan kesejahteraan manusia, maka dibutuhkanlah sebuah tawaran pengetahuan
yang benar-benar mampu menjawab pertanyaan tersebut. Pengetahuan berbasis
epistemology islam perlu dibangkitkan sebagai nilai tawar dan anti tesis dari
dunia barat dengan pengetahuan berbasis empirismenya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Aufah, ‘Pengertian Iman Menurut Ahlussunnah’, dalam, http://aliph.wordpress.com/2007/01/23/pengertian-iman-menurut-ahlus-sunnah-wal-jamaah/,
diakses hari kamis 29 Maret 2012.
Adi Putranto, ‘Konsep Iman Menurut Pandangan Khawarij’, dalam,http://adyputramelayu.blogspot.com/2012/03/konsep-iman-menurut-pandangan-khawarij.html,
diakses hari senin 2 April 2012.
Arif Saputra, ‘Pengertian Taqwa”, dalam, http://aaput.wordpress.com/2011/08/16/makalah-tentang-taqwa/, diakses
hari kamis 29 Maret 2012.
Bahtiar, Amsal, Filsafat Agama,
Jogjakarta : Logos,
2004.
Glasse, Cyril, Ensiklopedia
Islam Ringkas, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
K. Hitti, Philip, History
of the Arabs, cet x, pen. R. Cecep
Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta :
Serambi, 2010.
Madjid, Nurcholis, ‘Islam, Iman dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran
Ilahi’, dalam, soni69 tripod com /artikel/trilogiislam.html, diakses hari senin 2
April 2012.
M. Abduh. Risalah Tauhid, cet. Ketujuh, pen. K.H. Firdaus,
Jakarta : Bulan
Bintang, 1979.
M. Irfan, ‘Makalah Taqwa Kepada Allah’, dalam, http://jawaposting.blogspot.com/2010/06/makalah-takwa-kepada-allah.html,
diakses hari kamis 29 Maret 2012.
Nasution, Harun, Islam Dari
Berbagai Aspeknya, jilid II, Jakarta :
UI Press, 1986.
Nata, Abuddin, Ilmu Kalam,
Filsafat dan Tasawuf, cet. II, Jakarta: PT. Raha Grafindo Persada, 1994.
Ndraha, Talizhidu, Budaya Organisasi, Jakarta : Rineka Cipta, 1997.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, cet. 10, Bandung : Pustaka Setia,
2008.
Syahrastani, Al Milal Wa Nihal, cet.1, pen. Aswadie
Syukur, Surabaya :
Bina Ilmu, 2006.
Tim Depag RI, Ensiklopedia Islam,
Jilid II, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993.
Umiarso dan Haris Fathoni Makmur, Pendidikan
Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern: Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik, Jogjakarta : IRCiSoD, 2010.
[1]
Untuk lebih jelasnya tentang problem dunia pendidikan dewasa ini bisa dilihat
pada buku Darmaningtyas yang berjudul Pendidikan
Rusak-Rusakan, (Yogjakarta: LkiS, 1998). Sedangkan Umiarso dan Haris
Fathoni Makmur lebih tepat membidik problem pendidikan moral sebagai kelemahan
nilai tawar pendidikan Islam dewasa ini, lihat Umiarso dan Haris Fathoni
Makmur, Pendidikan Islam dan Krisis
Moralisme Masyarakat Modern: Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik (Jogjakarta:IRCiSoD,
2010), 71.
[2]
Untuk permasalahan arbitrase antara Ali dan Muawiyyah, lihat Philip K. Hitti, History of
the Arabs, cet x, pen. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi
(Jakarta :Serambi,
2010), 225. Sedangkan untuk mengetahui secara lebih lengkap terkait implikasi
tahkim atau arbitrase tersebut bisa juga dilihat pada Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, cet. 10 (Bandung :Pustaka Setia,
2008), 98.
[3]
Khawarij terdiri dari delapan sub sekte yang masing-masing memiliki
pengembangan gagasan masing-masing. Meskipun demikian terdapat cirri mencolok
yang sama pada semua sekte tersebut. Kedelapan sekte yang ada adalah,
Al-Muhakimiyyah, Al-Azariqoh, Al-Najadaat, Al-Baihasiyyah, Al-‘Ajaridah,
Al-Tsa’alibah, Al-‘Ibadhiyyah, Al-Shufriyyah. Untuk memahami gagasan sekte tersebut
lihat Syahrastani, Al Milal Wa Nihal, cet.1, pen. Aswadie
Syukur, (Surabaya :Bina
Ilmu, 2006), 101.
[4]Adi
Putranto, ‘Konsep Iman Menurut Pandangan Khawarij’, dalam http://adyputramelayu.blogspot.com/2012/03/konsep-iman-menurut-pandangan-khawarij.html,
diakses hari senin 2 April 2012.
[5]
Syahrastani, Al Milal Wa Nihal, 108.
[6] Ibid,
120.
[7] Ibid,
122.
[8]Drs.
Abuddin Nata, M.A, Ilmu Kalam, Filsafat
dan Tasawuf, cet. II, (Jakarta ,
PT. Raha Grafindo Persada, 1994), 67.
[9] Adi
Putranto, ‘Konsep Iman Menurut Pandangan Khawarij’,……
[10] Drs.
Abuddin Nata, M.A, Ilmu Kalam, Filsafat
dan Tasawuf, 71.
[11]
Syahrastani, Al Milal Wa Nihal, 135.
[12] Harun
Nasution, Islam Dari Berbagai Aspeknya,
jilid II (Jakarta:UI Press, 1986), 45.
[13] Cyril
Glasse, Ensiklopedia Islam Ringkas (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 143.
[14] Adi
Putranto, ‘Konsep Iman Menurut Pandangan Khawarij’,…..
[16]Abu
Aufah, ‘Pengertian Iman Menurut Ahlussunnah’, dalam, http://aliph.wordpress.com/2007/01/23/pengertian-iman-menurut-ahlus-sunnah-wal-jamaah/,
diaksses hari kamis 29 Maret 2012.
[17]
Abu Hasan Al-Asyariy awal mulanya murid teolog mu’tazilah bernama Al-Zubbai,
tetapi kemudian ia menjadi penentang Mu’tazilah dengan mempergunakan dalil
logis dan filosofis untuk membantah ide-ide Mu’tazilah. Lihat Philip K. Hitti, History of
the Arabs,……,548. menurut M. Abduh, Abu Hasan Al-Asyariy merupakan
tokoh yang berdiri diantara dua golongan, yaitu keyakinan kaum salaf dan
moderat (memiliki unsur-unsur filosofis), lih. Risalah Tauhid, cet.
Ketujuh, pen. K.H. Firdaus (Jakarta:Bulan Bintang, 1979), 50.
[18] Cyril
Glasse, Ensiklopedia Islam Ringkas, 521.
[19] M.
Irfan, ‘Makalah Taqwa Kepada Allah’, dalam, http://jawaposting.blogspot.com/2010/06/makalah-takwa-kepada-allah.html,
diakses hari Kamis 29 Maret 2012.
[20]
Arif Saputra, ‘Pengertian Taqwa”, dalam, http://aaput.wordpress.com/2011/08/16/makalah-tentang-taqwa/,
diakses hari Kamis 29 Maret 2012.
[21] M.
Irfan, ‘Makalah Taqwa Kepada Allah’,…..
[22]Nurcholis
Madjid, ‘Islam, Iman dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Ilahi’, dalam, soni69 tripod com /artikel/trilogiislam.html,
diakses hari Senin 2 April 2012.
[23] Evolusi
agama diperkenalkan oleh E.B. Taylor, untuk lebih memahami konsep ini lihat Amsal
Bahtiar, Filsafat Agama (Jogjakarta :
Logos, 2004), 92.
[24]Talizhidu
Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 82.