Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

HAKIKAT IMAN Berbagai pandangan mengenai Iman dan signifikansinya bagi karakter bangsa di zaman modern




 Oleh:
ROUDHOTUL BADI’AH
(Mahasiswa S2 Program Pasca Sarjana STAIN Kediri dan Guru di MA Bilingual Ulul Albab Ngronggot Nganjuk)


PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam pandangan islam, dalam diri manusia terdapat beberapa unsur yang diistimewakan Allah SWT, utamanya terkait dengan keimanan. Sayangnya hal ini tidak mendapat perhatian yang semestinya. Sering dilupakan bahwa perilaku keislaman harus didasari dengan keimanan yang teguh. Karenanya, tindakan manusia yang tidak didasari keimanan yang benar pada akhirnya hanya akan melahirkan dampak buruk.
Memiliki iman dengan peringkat yang mulia dan tinggi bukanlah sesuatu yang tanpa tujuan, tidak perlu diragukan betapa penting menjadikan iman sebagai hal utama pada seluruh aspek kewajiban. Semua kebaikan di dunia dan akhirat kelak sangat tergantung kepada ada dan tidaknya iman dalam diri seseorang dan juga kekuatan serta integritasnya.
Iman menghasilkan berbagai keuntungan bagaikan buah yang ranum, serta menghasilkan sesuatu yang nikmat dan kebaikan yang tak henti-hentinya. Namun terkadang kita sebagai manusia yang mengaku memiliki iman belum mengetahui secara pasti hakikat sesungguhnya dari iman itu sendiri. Sehingga tak sedikit dari kita tidak merasakan keuntungan dan kebaikan dari apa yang dihasilkan iman seperti yang dijelaskan di atas. Berpijak dari hal ini sudah seharusnya iman menjadi landasan seluruh tingkah laku seorang muslim.
Berbicara tentang Iman, rasanya tidak bisa dipisahkan dengan Taqwa. Iman dan taqwa memiliki hubungan yang sangat erat dalam kehidupan seorang muslim. Tinggi rendahnya nilai keimanan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketaqwaan. Sedangkan tinggi rendahnya nilai ketaqwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai Iman yang dimiliki. Perlu kita ingat, bahwa yang membedakan makhluk di depan Allah SWT adalah tingkat ketaqwaannya.
Dengan demikian sangatlah penting untuk kita ketahui tentang pengertian hakikat iman dan taqwa itu sendiri. Makalah ini disusun untuk memberikan pengertian-pengertian mengenai  hakikat iman, Taqwa, Hubungan iman dengan takwa serta signifikansi iman pada zaman modern seperti sekarang ini.



B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan aliran teologi tentang hakikat Iman?
2.      Apakah perbedaan antara Iman dan Takwa?
3.      Bagaimana relevansi iman dewasa ini dengan kehidupan manusia?
C. Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui hakikat iman.
2.      Untuk mengetahui hubungan iman dan taqwa.
3.      Untuk mengetahui signifikansi iman dalam membangun karakter bangsa.



PEMBAHASAN
A.  Hakikat Iman
1.    Definisi Iman
Kata Iman berasal dari bahasa arab امن- يؤمن- ايما نا yang berarti percaya. Terkait dengan aqidah, iman mengandung makna al-Tashdiq yakni pembenaran terhadap suatu hal, yang tidak dapat dipaksakan oleh siapapun karena iman terletak dalam hati yang hanya dapat dikenali secara pribadi[1].
Menurut Syara’, Iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad Saw, yakni beriman kepada Allah SWT, para malaikat, para nabi dan rasul, hari kiamat, qadha’ dan qadar. Sebagaimana penggalan Hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairih Ra.  mengenai pertanyaan malaikat Jibril kepada nabi Muhammad tentang Iman:
فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَر خَيْرِهِ وَشَرِّهِهِ [2]
Artinya: Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“.
2.      Pendapat aliran teologi tentang hakikat Iman
Pembahasan tentang Iman hampir tidak bisa dipisahkan dengan Ikhtilaf. Pemahaman yang berbeda-beda mengenai hakikat iman telah menelurkan berbagai perbedaan pendapat dikalangan aliran-aliran teologi.
Ada empat aliran teologi yang memiliki perbedaan pendapat yaitu:
a.  Khawarij
Iman menurut kaum khawarij pengertian Iman ialah pembenaran dengan hati, berikrar dengan lisan dan menjauhkan diri dari segala dosa. Tidak cukup dengan hanya percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah agama juga merupakan bagian dari iman (al-‘amalu juz’u al-iman[3]).
Menurut kaum Khawarij, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, tetapi tidak melaksanakan shalat, zakat, puasa dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh islam, bahkan melakukan perbuatan dosa maka ia dianggap kafir. Jadi apabila seorang mukmin melakukan dosa besar maupun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh dibunuh. Harta bendanya boleh dirampas sebagai harta ghonimah.
Azariqah, salah satu subsekte dalam Khawarij, memiliki pandangan yang sangat ekstrim yakni dengan menggunakan istilah musyrik. Mereka menganggap siapa saja yang berada diluar barisan mereka sebagai orang musyrik. Hampir sama dengan Azariqah, subsekte Najdah menggunakan predikat musyrik. Mereka menganggap musyrik bagi siapa saja yang secara terus menerus melakukan dosa kecil. Begitu juga dengan dosa besar, bila tidak dilakukan secara terus menerus maka pelakunya hanya dianggap kafir, namun bila dilakukan secara terus menerus maka pelakunya dianggap musyrik.
Kesimpulannya, kelompok Khawarij memaknai Iman adalah dengan mengucapkan dengan lisan serta melaksanakannya dengan anggota badan. Orang yang berbuat dosa besar maupun kecil dianggap kafir dan wajib diperangi.
b.  Murji’ah
Aliran Murji’ah ini dibedakan enjadi dua, yaitu Murji’ah ekstrim (Murji’ah Bid’ah) dan Murji’ah moderat (Murji’ah Sunnah). Murji’ah ekstrim berpendapat bahwa iman terletak di dalam hati karena bagi mereka ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada di dalam hati. Hal ini disebabkan kaum Murji’ah meyakini bahwa iqrar dan ‘amal bukanlah bagian dari Iman. Mereka memiliki prinsip yang terkenal, yaitu:
    لاتضرمع الايمان معصية, كمالاتنفع مع الكفر طاعة. [4]
Artinya: “Perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan tidak akan berarti bagi kekufuran.

Sedangkan Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman adalah  iqrar bi al-lisan, ma’rifah bi al-qalb, tanpa disertai dengan pelaksanaan dengan anggota badan. Pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Oleh Harun Nasution dan Ahmad Amin, Abu Hurairah dan pengikutnya tergolong aliran Murji’ah moderat sebab Abu hanifah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin tetapi bukan berarti dosanya tidak berimplikasi[5].
Inti dari pendapat Murji’ah baik ekstrim maupun moderat ialah mengeluarkan amal perbuatan dari nama iman, dan bahwasanya iman itu tidak bercabang-cabang, tidak bertambah dan berkurang, seluruh orang Mukmin sama keimanannya. Inilah pokok pendapat mereka yang telah disepakati oleh seluruh firqah mereka. baik dosa besar maupun dosa kecil tidak dapat menggugurkan iman seseorang selama dalam hati orang tersebut terdapat iman kepada Allah SWT.
c.  Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman disamping ucapan dan keyakinan, karena mereka memiliki faham al-wa’d dan al-wa’id (janji dan ancaman). Artinya, Allah akan memberi pahala bagi yang berbuat baik dan siksa bagi yang durhaka.
Aliran ini memiliki pengertian yang hampir sama dengan Khawarij, hanya saja bagi Mu’tazilah orang yang berbuat dosa besar dihukumi berada pada satu kedudukan di antara dua kedudukan (al-manzilah bain al-manzilataini), yaitu tidak mukmin dan tidak kafir. Beberapa tokoh Mu’tazilah seperti Washil ibn Atha’ dan ‘Amr ibn ‘Ubaid menyebutnya dengan istilah fasiq.[6]

d. Ahlu Sunah Wal Jama’ah
Para mutakallimun secara umum merumuskan unsur-unsur iman dengan al-tashdiq bi al-qalb, al-iqrar bi al-lisan, al-‘amal bi al-jawarih, yang berarti pembenaran dengan hati, pernyataan dengan lisan dan pelaksanaan dengan anggota badan. [7]
Imam Al- Syafi`i dalam "Al Umm" berkata: "Ijma` para sahabat, tabi`in dan ulama-ulama setelah mereka yang kami ketahui bahwa iman adalah ucapan, perbuatan, dan niat, tidak sah salah satu darinya melainkan berkaitan dengan lainnya.
Al Imam Abul Husain ‘Ali Al Maghribi berkata dalam kitab Syarah Shahih Bukhari: “Dan di antara madzhab Ahlul Hadits bahwa iman adalah perkatan, perbuatan, dan pengetahuan. Bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.” Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya pendapat ulama kaum Muslimin ialah bahwa iman wajib atas seluruh makhluk; yaitu membenarkan dengan hati, menetapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.[8]
Dari berbagai pendapat ulama’ salaf tersebut dapat disimpulkan bahwa, Iman menurut Ahlus Sunnah terdiri dari tiga pokok, yaitu keyakinan hati, perkataan lisan, dan perbuatan anggota badan. Dari tiga pokok inilah bercabangnya cabang-cabang iman.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep iman dari keempat aliran tersebut secara garis besarnya dapat diklasifikan menjadi dua. Pertama, konsep yang mengharuskan adanya ketiga unsur keimanan yaitu al-tashdiq bi al-qalb, al-iqrar bi al-lisan, al-‘amal bi al-jawarih. Pendapat ini diwakili oleh aliran Ahlu Sunnah wal jama’ah, Khawarij dan Mu’tazilah. Sedangkan yang kedua yaitu konsep yang menekankan pada unsur yang pertama saja, yaitu al-tashdiq atau al-ma’rifah bi al-qalb. Pendapat ini diwakili oleh aliran Murji’ah.
B.  Hakikat Taqwa
1.    Definisi Taqwa
Kata Takwa (التَّقْوَى) berasal dari kata bahasa Arab ( يقي- وقاية-وَقَى ) yang berarti menutupi, menjaga, berhati-hati dan berlindung. Sedangkan menurut Syara’, Taqwa ialah memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya[9]. Sebagaimana Imam Jalaluddin Al-Mahally dalam tafsirnya mengatakan bahwa Taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi wajtinabinnawahih”, yakni menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganya[10].
2.    Hubungan Iman dan Taqwa
Iman dan taqwa memiliki hubungan yang sangat erat dalam kehidupan seorang muslim. Bila iman merupakan bentuk ucapan, keyakinan dan perbuatan, maka taqwa adalah sebuah bentuk refleksi dari iman. Tinggi rendahnya nilai keimanan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketaqwaan. Sedangkan tinggi rendahnya nilai ketaqwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai Iman yang dimiliki. Seorang muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam kehidupan ini. Dan hal ini merupakan implementasi dari keimanan seorang mukmin. Sehingga antara iman dan taqwa merupakan hubungan yang saling melengkapi dalam meningkatkan kualitas seorang mukmin. Iman dalam diri seorang muslim harus dibarengi dengan takwa sebab Allah menilai hambanya melalui ketaqwaannya.

C.  Signifikansi Iman Dalam Membangun Karakter Bangsa  Saat Ini.
Dewasa ini, hampir seluruh Negara di dunia terjangkit arus globalisasi yang pada dasarnya lebih mengarah kepada Westernisasi, tak terkecuali Negara kita, Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, bermunculan pula tantangan-tantangan dan problematika dalam segala aspek kehidupan manusia, seperti di bidang Ekonomi (kapitalisme dan materialisme), bidang agama (sekulerisme), bidang keilmuan (positivisme dan falsifikasi), terlebih lagi yang paling memprihatinkan adalah bidang Moral (liberalisme) yang mengakibatkan degradasi moral Bangsa.
Dalam menjawab tantangan dan problematika modernisasi yang terus berkembang seiring zaman tersebut, diperlukan satu jawaban pasti untuk menangkis problem yang cenderung membawa efek negatif bagi karakter bangsa. Dalam hal ini, Iman dan taqwa memiliki peran yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia khususnya umat muslim. jika dalam kehidupan modern yang serba canggih tidak menghiraukan lagi keimanan dan ketaqwaan kepada Allah maka problematika yang dihadapi akan semakin bertambah.
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia di zaman modern sangat besar. Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan signifikansi iman pada kehidupan manusia:
1.    Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kepercayaan dan keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda keramat, mengikis kepercayaan pada khurafat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya.



2.    Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
William James, seorang guru besar dalam ilmu filsafat di Harvard University berpendapat, bahwa pengaruh keimanan menumbuhkan keberanian, semangat, harapan, menghilangkan perasaan takut serta keluh kesah, memberikan perbekalan hidup yang berupa cita-cita dan tujuan hidup, menimbulkan dihadapannya lapangan kebahagiaan dan alam subur ditengah-tengah gurun kehidupan.
3.    Iman menekan sifat keduniawian.
Pada dasarnya, manusia mempunyai kecenderungan keduniaan tanpa suatu pedoman serta keinginan yang tak terbatas. Namun disamping itu keimanan mampu mengendalikan dan menolak kecenderungan itu, karena iman mengandung ajaran tentang batas diperbolehkannya mencintai keduniaan. Dalam hal ini, iman mampu menekan sifat materialisme dan kapitalisme.
4.    Iman melahirkan nilai-nilai luhur.
Iman mampu melahirkan akhlak dan moral yang luhur dalam kehidupan manusia, seperti jujur, adil dalam segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat merugikan dirinya dan keluarganya, bersikap adil terhadap lawan sebagaimana bersikap adil di tengah-tengah kawan, masih banyak lagi norma-norma luhur yang dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena sangat patut sekali apabila dinyatakan bahwa iman dan taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur[11].
5.    Iman memberikan ketenangan dan perdamaian.
Watak dasar manusia adalah egoisme. Watak inilah yang sering menimbulkan permusuhan, perampasan hak orang lain dan lain sebagainya. Namun iman yang mengandung ajaran sosial dan susila serta mengandung ketentraman (mutmainnah) dan ketenangan (sakinah) mampu menumbuhkan perdamaian dan ketenangan di tengah-tengah kehidupan yang saling bermusuhan. Seperti dijelaskan dalam firman Allah surat ar-Ra’d ayat 28:

(ayat tidak dapat ditampilkan di blog ini)


Artinya: “orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”[12]

6.    Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
Kehidupan manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu menekankan kepada kebaikan dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. An- Nahl ayat 97:
(ayat tidak dapat ditampilkan di blog ini)
Artinya:”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”[13].

Demikian pentingnya iman terhadap jiwa seorang muslim bukan suatu hal yang diragukan. Pengaruh iman terhadap perubahan jiwa tidak hanya terjadi pada kehidupan masyarakat dan bangsa, namun juga terjadi terhadap individu, baik pria maupun wanita. Hal ini bisa dicontohkan dengan sahabat nabi yakni Umar bin Khattab. Ternyata pribadinya sebelum dan sesudah beriman jauh berbeda. Berkat pengaruh iman ia menjadi hamba Allah yang penuh taqwa dalam segala situasi dan kondisi.
 Pengaruh dan manfaat iman pada kehidupan manusia disini,  bukan hanya sekedar kepercayaan yang berada dalam hati, melainkan juga menjadi kekuatan yang mendorong dan membentuk sikap dan perilaku hidup.


PENUTUP
Demikian makalah tentang Iman dengan segenap perbedaan pendapat menganai hakikat iman itu sendiri. Ada empat aliran teologi yang berbeda pendapat yaitu Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dari keempat aliran, Khawarij, Mu’tazilah dan Ahlussunah memiliki pengetian yang sama mengenai Iman yakni al-tashdiq bi al-qalb, al-iqrar bi al-lisan, al-‘amal bi al-jawarih. Sedangkan Murji’ah hanya al-tashdiq bi al-qalb.
Berbicara tentang Iman, rasanya tidak bisa dipisahkan dengan Taqwa karena pada dasarnya hubungan antara keduanya sangatlah erat. Taqwa merupakan refleksi dari Iman seseorang. Tinggi rendahnya nilai keimanan berpengaruh besar terhadap tinggi rendahnya nilai ketaqwaan. Sedangkan tinggi rendahnya nilai ketaqwaan sebagai bukti nilai kebenaran nilai Iman yang dimiliki.
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, Iman dan Taqwa seseorang pun serasa diuji. Hal ini disebabkan oleh timbulnya tantangan-tantangan dan problematika di berbagai bidang akibat dari kuatnya arus modernisasi dan globalisasi. Dan yang paling memprihatinkan ialah terjadinya degradasi moral Bangsa. Dalam kondisi demikian, Iman dan Taqwa dapat menjadi solusi untuk memperbaiki moral Bangsa. Hal ini dibuktikan melalui Dalil-dalil Aqli dan Naqli yang mendukung adanya pengaruh dan signifikansi Iman dan Taqwa dalam kehidupan manusia terutama di era modern seperti sekarang ini.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Bahrun. Terjemah Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2004
Glasse, Cyril. Ensiklopedia Islam Ringkas. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 1996
Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Terjemah Al-Qur’an. Jakarta. 2006
Mudlor, Ahmad. Iman dan Taqwa dalam Perspektif Filsafat. Malang: UIN Malang Press. 2008
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI Press. 2008
Rochimah dan A. Rahman dkk.  Ilmu Kalam. Surabaya:IAIN SA Press. 2011
Syahratsani. Al Milal Wa Nihal. Cet. 1. Pen. Aswadi Syakur. Surabaya: Bina Ilmu. 2006
Tim Depag RI. Ensiklopedia Islam. Jakarta: CV. Anda Utama. 1993


[1] Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam Ringkas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996) 137
[2] Lihat kitab Shahih Muslim bab 1 tentang Iman, hal 10
[3] Rochimah dan A. Rahman dkk, Ilmu Kalam, (Surabaya:IAIN SA Press,2011), 134
[4] Lihat buku Ilmu Kalam, Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, hal. 139. Mengutip kitab Al-Milal wa al-Nihal karya Asy-Syahrastani.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI Press, 2008), 26-27
[6] Rochimah, 140.
[7] Rochimah, 132
[8] Lihat terjemah Syarah Sahih Al-Bukhari karya Wawan Djunaedi, hal 284
[9] Tim Depag RI, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993)
[10]Lihat Tafsir Jalalain, Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Mahalli, QS: Ali Imran:133
[11] Ahmad Mudlor, Iman dan Taqwa dalam Perspektif Filsafat, (Malang: UIN Malang Press, 2008), 16
[12] Al-Qur’an, 13 (Al-Ra’d) : 28
[13] Al-Qur’an, 16 (Al-Nahl) : 97



Mencari Hakikat Iman (sumber gambar iniislam)




Baca tulisan menarik lainnya: