Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

FENOMENA SEKULERISASI & MODERNISASI TURKI – INDONESIA


FENOMENA SEKULERISASI & MODERNISASI
 TURKI – INDONESIA
Oleh:  TAZKIYAH BASA'AD
(Mahasiswa S2 Program Pasca Sarjana STAIN Kediri)


A.    Pendahuluan
Perlu kita ketahui bahwa dalam kajian sejarah perkembangan pemikiran Islam modern diperlukan telaah kritis mengenai berbagai permasalahan Dunia Islam dewasa ini. Umat Islam di berbagai belahan dunia, berusaha merumuskan kembali berbagai langkah untuk menghadapi arus sekulerisasi dan modernisasi.
Dalam diskursus sosiologi ada sebuah teori terkenal yang mengatakan bahwa “makin maju suatu masyarakat, maka makin menurun komitmen mereka pada agama”.[1] Maju disini maksudnya modern, modernisasi dipercaya bakal menghalau agama dari ruang dan institusi publik, menurunkan arti dan vitalitasnya bagi kehidupan masyarakat serta menggantikannya dengan “tuhan-tuhan” baru. Dalam proses menuju kemodernan ini, sekulerisasi menjadi sebuah kemestian. Modernisasi tanpa sekulerisasi tak ubahnya bagaikan merokok tanpa menghirup asapnya. Maka menurut teori ini sekulerisasi merupakan akibat yang tak terelakkan dari proses modernisasi.
Dalam beberapa referensi sejarah sekulerisasi dunia Islam, Negara Turki dan Indonesia menjadi topik yang menarik untuk dibahas dikarenakan memiliki latar belakang yang berbeda. Beberapa bahasan yang menarik untuk dibahas dari sekulerisasi dan modernisasi kedua negara tersebut diantaranya :
1.      Kasus yang mencolok dari sekulerisasi ekstrem Republik Turki yang notabene adalah negara Islam
2.      Gerakan-gerakan sekulerisasi dan modernisasi era Imperium Usmani dan Mustafa Kemal Attaturk
3.      Kasus dari sekulerisasi dan modernisasi di Indonesia yang berlangsung secara simultan namun tidak ekstrem, dimana Indonesia bukanlah negara Islam besar dan tak pernah pula menjadi pusat kebudayaan Islam.
4.      Faktor-faktor pendorong sekulerisasi dan modernisasi di Indonesia
5.      Pengalaman dan implikasi yang dihadapi kedua negara tersebut dalam menghadapi arus sekulerisasi & modernisasi
Makalah ini ditulis dengan menggunakan pendekatan fenomenologis dan sosiologis, dengan menelaah wacana perkembangan proses sekulerisasi & modernisasi di Republik Turki dan Indonesia. Beberapa rujukan yang digunakan penulis untuk menelaah kajian ini antara lain:
1.      Dialektika Islam Tafsir Sosiologis atas Sekulerisasi dan Islamisasi di Indonesia, oleh Yudi Latif
2.      Islam dan Sekulerisme di Turki Modern, oleh Mukti Ali
3.      Islam Rasional, Pembaharuan dalam Islam, oleh Harun Nasution
4.      Islam dan Negara Sekuler, oleh Abdullah Ahmed An-Na’im
5.      Islam dalam Sejarah Modern, oleh Wilfred Cantwell Smith dan beberapa literatur yang lainnya.
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari para pembaca untuk perbaikan ke depannya.
B.     Sekulerisasi dan Modernisasi
Berbicara mengenai konsep sekulerisasi dan modernisasi ada baiknya kita mengetahui makna dari kedua kalimat tersebut. Sekulerisme berasal dari bahasa Latin yaitu Saeculum, yang berarti waktu/masa, dan ruang dunia atau ciptaan. Berdasar dua makna tersebut maka berkaitan dengan hal-hal sekarang dan non transendental. Sekulerisasi bisa berarti proses pemisahan urusan-urusan dunia dari urusan keagamaan. Sementara Harvey Cox[2] dalam bukunya The Secular City menyatakan bahwa sekulerisasi adalah upaya penolakan terhadap setiap bentuk kepercayaan agama, dan setiap jenis peribadatan yang bisa mempengaruhi intelektualnya.[3] Sekulerisasi pada aplikasinya tidak hanya meliputi aspek sosial dan politik, tetapi juga pada aspek kultural yang pada prakteknya menghilangkan simbol-simbol keagamaan secara berangsur-angsur.
Sekulerisasi pada intinya adalah membebaskan masyarakat dari kontrol agama dan pandangan alam metafisik yang tertutup. Dan sejatinya sekulerisasi bersifat dinamis dan membawa kepada perubahan dan pembaharuan. Sekulerisasi berakar dari kepercayaan Bibel, dan pada taraf tertentu ia adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bibel terhadap sejarah Barat.[4] Dalam sejarah modern Barat, sekulerisasi muncul di tengah keterasingan gereja-gereja Kristen dari wilayah-wilayah yang sebelumnya berada dalam kendali atau pengaruhnya.
Tiga komponen Bibel yang mendasari sekulerisasi Cox adalah “Disenchantment of Nature (pelepasan alam dari dimensi ruh), Desacralization of Politics (pelepasan politik dari nilai-nilai sakral), deconsecration of Values (pelepasan nilai-nilai pribadi dan sosial manusia dari nilai agama). Dari hal ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa proyek sekulerisasi adalah perkembangan yang membebaskan, dan sekulerisasi yang menggiring kepada sekulerisme memang sesuai dengan pandangan alam Kristen yang selalu berubah-ubah namun, tidak sesuai dengan Islam yang final dan otentik.
Dalam perkembangannya sekulerisasi memiliki beberapa karakteristik yang mendasar. Dengan mengikuti tipologi Smith ada 4 karakteristik sekulerisasi yang bisa diidentifikasi yaitu[5]:
1.      Polity Separation Secularization yakni pemisahan jagad politik dari ideologi dan struktur organisasi keagamaan.
2.      Polity Expansion Secularization yakni perluasan otoritas politik dengan resiko memudarnya otoritas agama dalam bidang kehidupan sosial utama (hukum, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya) bidang-bidang ini lepas dari regulasi agama ke tangan yuridiksi negara.
3.      Polity Transvaluation Secularization yakni sekulerisasi budaya politik yang melibatkan perubahan mendasar dalam tata nilai.[6]
4.      Polity Dominance Secularization yakni dominasi politik atas keyakinan, praktik, serta organisasi keagamaan. Hal ini mengakibatkan ekspansi politik dalam ranah murni keagamaan dalam rangka menghancurkan agama secara radikal.
Respon dari sekulerisasi ini menghasilkan paham sekulerisme, yang terdiri dari 2 macam yaitu moderat dan ekstrem. Sekulerisme moderat mengganggap agama sebagai masalah individu dan tidak ada hubungannya dengan negara, serta tidak merampas agama beserta nilai-nilai yang dikandungnya. [7] Sedangkan sekulerisme ekstrem, sangat memarginalkan bahkan memusuhi agama bahkan puncaknya pada materialisme historis.[8]
Arti modernisasi menurut masyarakat Barat adalah pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat atau institusi-institusi lama agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[9] Pikiran dan aliran ini muncul antara tahun 1650-1800 M, yakni dikenal sebagai The Age of Reason (masa pemujaan akal).
Modernisasi di Barat bertujuan untuk menyesuaikan ajaran Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern. Akhirnya gerakan itu membawa orang Barat pada sekulerisasi (meremehkan agama). Paham ini mempunyai pengaruh besar pada masyarakat Barat, dan memasuki lapangan agama yang dipandang Barat sebagai penghalang kemajuan. Modernisasi bila dihadapkan pada agama Islam, berarti membangkitkan kembali ajarannya yang sudah lama terpendam. Namun, Muhammad Natsir memandang bahwa modernisasi dalam Islam harus diartikan sebagai “kembali kepada yang pokok atau keaslian”, bukan menyimpang dari yang telah ada, tanpa melihat baik dan buruknya”.[10] 
Meminjam ungkapan Steve Bruce[11], sebuah masyarakat disebut modern jika ditemukan 3 ciri sebagai berikut[12]: Pertama, adanya differensiasi fungsi dan struktur sosial, ditandai munculnya tren pluralisme dan relativisme (tidak ada kebenaran tunggal). Kedua, privatisasi agama sebagai konsekuensi dari kehidupan yang terorganisir dan terjamin sehingga agama dianggap tidak lagi relevan. Ketiga, terjadinya rasionalisasi dimana sains dan teknologi tampil dominan menggantikan mistisisme dan perdukunan. Dari 3 ciri ini dapat kita tarik benang merah bahwa sekulerisasi lahir sebagai akibat dari proses modernisasi. Kenyataan ini diperkuat oleh pengamatan bahwa di era modern ini, orang bisa saja merasa beragama tanpa beribadah, mengaku beriman tanpa beramal.
Di dunia Islam sekulerisasi bukan hanya sebuah proses, tetapi juga telah menjadi paradigma, ideologi, dan dogma yang diyakini kebenarannya serta digarap secara sistematis dan terencana. Sekulerisasi dianggap sebagai prasyarat transformasi masyarakat dari tradisional menjadi modern. Akan tetapi untuk mengurangi resistensi, digunakanlah istilah lain yang lebih halus dan mengelabuhi seperti modernisasi, demokratisasi, pembangunan, dsb.  
C.    Sekulerisasi & Modernisasi Republik Turki
Bagi orang yang ingin menulis tentang Turki Modern, yang pertama timbul dalam pikirannya adalah pertanyaan-pertanyaan: bagaimana dan mengapa Turki mendirikan negara nasional sekuler diatas reruntuhan imperium Uthmaniyah yang hidup 6 abad lamanya itu?, apakah isi sekulerisme di Turki itu?, bagaimana kedudukan Islam di Turki sejak pembaharuan yang berupa sekulerisme yang dilancarkan Mustafa Kemal?. Mungkin soal-soal ini merupakan masalah yang banyak dibahas dalam dunia Islam dewasa ini dan menjadi pikiran bagi Muslim terdidik yang menghadapi masalah-masalah modernisasi.
Perlu ditekankan disini bahwa pada awalnya Islam bukanlah agama satu-satunya di imperium Uthmaniyah, pada tahun 1884 Muslim hanya 41,39% dari seluruh penduduknya. Namun, presentasi ini berubah karena berkurangnya wilayah kekuasaan dan gelombang migrasi hingga akhirnya tahun 1897 populasi muslim di wilayah ini menjadi 74%.[13] Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa Turki merupakan negara yang berkembang secara sadar menjadi negara Islam dan mayoritas penduduknya memiliki loyalitas tinggi terhadap Islam.
Sejarah berbicara bahwa imperium Uthmaniyah memiliki kekuasaan di Eropa Timur yang meluas sampai pintu gerbang kota Wina. Maka orang Uthmaniyah sejak awal telah memiliki kontak langsung dengan Eropa. Sampai abad 17 M kerajaan Uthmani senantiasa mengalami kemenangan dalam peperangan melawan Eropa, tetapi mulai abad 18 M keadaan berbalik kerajaan Uthmani mulai mengalami kekalahan.[14] Di sisi lain beberapa hal yang berpengaruh terhadap pemihakan pembentukan negara sekuler Turki era Uthmani adalah: pertama, ketidakmampuan tokoh-tokoh agama Uthmani mengartikulasikan sebuah oposisi Muslim yang efektif, dengan fakta proses hancurnya Jennisari (pasukan khusus) dan lemahnya posisi ulama pada tahun 1826. Kedua, elite militer dan birokrat Uthmani tidak sebanding dengan perwakilan kelas borjuis Muslim, hal ini disebabkan oleh warisan tradisi dominasi negara terhadap masyarakat dan sebagian karena penetrasi ekonomi Eropa terhadap imperium Uthmani.[15]
Dari keadaan ini maka mulai diadakan pembaharuan (modernisasi) di kerajaan Uthmani pada abad 19 M, dimulai dari bidang pranata sosial (militer dan kepemerintahan), dan berkembang pada bidang lainnya. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa proyek sekulerisasi yang terjadi di Turki, bukan hanya pada masa Mustafa Kemal Attaturk namun sudah dimulai sejak zaman Daulah Uthmaniyah terutama ketika Sultan Selim III (1789-1807) dan Mahmud II (1807- 1839) memegang pemerintahan.
Modus perkembangan sekulerisasi dan kecenderungan terhadap Barat yang dilaksanakan di Turki terkait beberapa hal antara lain[16]:
*      Dimulai dengan kebijaksanaan Utmaniyah untuk melihat ke Barat baik untuk ekspansi maupun hubungan perdagangan dan kultural.[17]
*      Kekalahan tentara Uthmaniyah oleh Austria dan Rusia menimbulkan realisasi pengakuan atas superior Barat dalam persenjataan dan teknik perang.
*      Dimulainya era pembaharuan pembaratan Turki/ pengorganisasian ulang (era Tanzimat), dengan mengambil alih institusi-institusi Barat untuk merubah pola kebudayaan Turki. Pembaharuan Barat diterapkan di luar yuridiksi Syari’ah[18], situasi ini berlanjut hingga rezim Kemalis.
*      Bangkitnya nasionalisme Turki yang dipelopori prinsipnya oleh Ziya Gokalph[19], dan rupanya sebagai pencetus negara nasional sekular di Turki.
 Sebagai respon terhadap tekanan ekternal dan internal, imperium Uthmani mengadakan revormasi dan modernisasi besar-besaran antara lain: Pertama, diprakarsai Ibrahim Mutafarriqa[20] ia memperkenalkan percetakan ke masyarakat Turki dan hal ini mendapat kecaman dari ulama karena dianggap bid’ah. Kedua, pada masa Tanzimat (1839-1876) timbul pemimpin-pemimpin yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat seperti Ziya Gokalph (1875-1924) yang membawa paham fatalisme yang memisahkan antara ibadah dan muamalah, Ahmad Razi (1859-1930) yang membawa paham positivisme August Comte. Dan juga perubahan pokok pergeseran mekanisme sistem kekuasaan negara,  seperti pergeseran pola rekruitmen pegawai yang dulunya direkrut dari keluaran medresse (sekolah agama) beralih merekrut calon pegawai baru yang terdidik dalam ilmu administrasi pemerintahan.[21] Dilanjutkan dengan penghapusan pasukan khusus (janissaries), pembubaran tarekat Bekhtashi, regulasi pajak langsung, hingga undang-undang anti diskriminasi sipil (penghapusan status dzimmi bagi non Muslim 1856), mengadopsi beberapa hukum Eropa (hukum dagang 1850, hukum pidana 1851, hukum acara 1880).  Ketiga, pendirian sekolah kedokteran (1827), Akademi Militer (1834,1846) karena ilmu-ilmu ini dari Eropa, maka Saffet Passa (1814-1883) menekankan perlunya Turki menerapkan seluruh budaya Eropa kemudian mereformasi sistem pendidikan tradisional dan membuka madrasah modern pada tahun 1914.
Sekulerisasi dan modernisasi ini dilanjutkan Mustofa Kemal Attaturk.[22] Setelah berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1923, mesin sekulerisasi mulai disulut dan tersebar dalam seluruh aspek kehidupan. Attaturk melakukan de-islamisasi[23] secara besar-besaran lewat 6 anak panah yaitu:
1.      Prinsip republikanisme bahwa negara Turki modern menerapkan sistem demokrasi parlementer yang dipimpin oleh seorang presiden bukan kekhalifahan.
2.      Nasionalisme bahwa bukan agama atau madhab tertentu yang menentukan kewarganegaran.
3.      Prinsip kenegaraan dimana pemerintah berkuasa penuh dalam pengelolaan ekonomi dan berhak intervensi demi kepentingan rakyat.
4.      Prinsip populisme yang dimaknai sebagai perlindungan hak asasi manusia dan kesetaraan di hadapan hukum.
5.      Prinsip sekulerisme.
6.      Prinsip revolusionisme.
Dari enam sila ini, sekulerisme adalah yang paling berpengaruh.
Ideologi baru yang diimplementasikan oleh Attaturk tentang sekulerisasi Turki memang terkenal radikal diantaranya:
a.       Pembubaran sistem kekhalifahan pada tanggal 1 November 1922.
b.      Pembubaran pengadilan agama (1924) dan pesantren-pesantren.
c.        Penutupan sekolah-sekolah Islam tradisional (madrasah).
d.      Penghapusan institusi-institusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan.
e.       Pembubaran sejumlah tarekat-tarekat sufi.
f.       Pelarangan pemakaian tutup kepala khas Dinasti Uthmani bagi laki-laki dan menghalangi perempuan untuk memakai kerudung.
g.      Pengadopsian kalender Gregorian sebagai satu-satunya kalender resmi.
h.      Pengadopsian hukum sipil model barat (Swiss), hukum pidana model barat (Italia), hukum perdata model barat (Jerman) yang menggantikan undang-undang syari’ah Islam.
i.        Pelarangan poligami
j.        Pelarangan penggunaan huruf Arab untuk bahasa Turki dan diganti dengan huruf latin.
k.      Pelarangan adzan dengan menggunakan bahasa arab.
Usaha Attaturk mensekulerkan Turki lebih dimotivasi oleh pragmatisme dan keinginan menghilangkan model negara dinasti dan penghapusan syari’ah sebagai alasan intervensi terhadap urusan dalam negri Turki, dan merupakan langkah penting bagi Turki agar bisa menjadi negara yang benar-benar independen. Ia bahkan menganggap reformasi yang dilakukannya sebagai upaya untuk memisahkan agama dari politik yang kotor. Usaha Attaturk ini dilaksanakan oleh para pendukungnya dengan membimbing, mendidik, bahkan jika perlu memaksa masyarakat Turki menjadi masyarakat yang sekular dan modern.
Proyek Attaurk pada intinya bertujuan mencabut islam dari akar-akarnya dan menjadikan bangsa Turki menjadi bangsa Barat[24] bahkan melampaui peradaban Barat.[25] Namun sebagai ideologi negara sekulerisme Turki dinilai oleh banyak pengamat gagal mencapai tujuannya. Dikarenakan banyak juga masyarakat yang menentang ideologi ini, dan tidak terpengaruh oleh upaya sekulerisasi.
Diantara tokoh/ulama Turki yang menentang sekulerisme adalah Badiuzzaman Said Nursi, menurutnya cara memodernisasikan masyarakat bukan dengan sekulerisme. Ia menyarankan pemerintah untuk merubah visinya dengan mencari dukungan mayoritas masyarakat (dengan tidak menghapus syari’at Islam), memberikan kebebasan dalam beragama tanpa intervensi, dan menjadikan agama Islam landasan utama perjuangan bukan sekulerisasi.[26] Dari hal ini dapat kita pahami bahwa sekulerisasi ini tidak bisa dijalankan pada masyarakat Islam. Karena sejatinya Islam tidak sama dengan Kristen yang nota bene dianut oleh masyarakat Eropa.  
Keadaan yang terjadi pasca Attaturk adalah kebangkitan kembali Islam di Turki, Islam dengan gerakan diam-diam namun pasti mulai bangkit melawan kekuatan sekular dan berusaha merebut kembali tampuk kekuasaan dari tangan mereka.[27] Diantara gerakan yang dapat kita baca adalah Partai Demokrat Republik Turki mulai memperkenalkan kembali pelajaran agama yang bebas dipilih oleh siswa sekolah (1950), membuka sekolah-sekolah untuk melatih imam dan da’i (26 sekolah), mendirikan Fakultas Teologi di Universitas Ankara di Istanbul, Konya dan Izmir (1949), pembangunan masjid-masjid yang megah dan indah, azan dikumndangkan kembali dengan bahasa Arab (1950), semakin meningkatnya jama’ah haji Turki.[28] Juga kesediaan Turki menjadi tuan rumah konferensi Puncak Organisasi Konferensi Islam (badan yang membahas soal penanggalan Islam), hal ini merupakan usaha baru untuk mendekati dunia Muslim.
Tanpa harus berpihak pada model reformis Attaturk, kita dapat memberi catatan bahwa experimen Attaturk memang meningkatkan nilai-nilai positif bagi umat Islam di Turki dalam menumbuhkan kepercayaan diri bangsa yang merdeka dan punya andil dalam merubah atau menggeser pola berpikir tradisional. Perubahan itu nyata, jika kita membandingkannya dengan negara-negara Timur tengah yang lain. Namun, tetap gerakan Attaturk ini memiliki kekurangan yang pokok yaitu Kemalism tidak memahami kultur peranan yang diperankan Islam bagi orang Turki di dalam proses pembentukan kepribadian mereka.
Dari rentetan kejadian ini dapat kita pahami Islam Resurgence memang mewarnai masyarakat Islam Turki, kearah mana kebangkitan itu menuju masih harus ditunggu. Tetapi hal ini dapat kita simpulkan bahwa semangat orang-orang Turki modern untuk menjadi suatu bangsa yang modern dan demokratis, selalu disertai dengan kesadarannya yang mendalam tentang watak dan ideal keTurki-an dan keislaman. Jadi kesan umum bahwa bergabungnya Turki dengan peradaban Barat adalah dalam konflik hubungannya dengan bangsa-bangsa Muslim, terbukti salah. Pola-pola Islam dan Turki tampak menonjol di kebudayaan Turki, sekalipun pengaruh kebudayaan Barat juga tampak, bangsa Turki selalu sadar dengan identitas kulturalnya.   

D.    Sekulerisasi & Modernisasi Indonesia
Adapun di Indonesia, usaha menciutkan peran agama (sekulerisasi) dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara telah berjalan sejak zaman Belanda dan terus berlangsung sampai zaman Orde Lama maupun Orde Baru.[29]
Pemerintah kolonial melarang keras ekspresi keagamaan, khususnya Islam yang bagi banyak rakyat Indonesia bukan semata-mata agama, melainkan ideologi gerakan bahkan nafas kehidupan. Sesuai petunjuk Snouck Hurgronje[30], Belanda mendukung pengembangan Islam di bidang ritual keagamaan tetapi mencegahnya untuk berperan di bidang politik.[31] Selain itu untuk mengimbangi peran pesantren dan melanggengkan kekuasaan kolonial, dibuatlah sekolah-sekolah sekular untuk pribumi guna mencetak warga yang bukan hanya siap mengisi birokrasi, tapi kooperatif dan loyal.
Hasil sekulerisasi ini tercermin cukup jelas dalam perdebatan menjelang kemerdekaan seputar dasar falsafah negara yang akan dibentuk. Dalam sidangnya BPUPKI terpecah menjadi 2 kubu yang bertentangan (nasionalis sekuler VS nasionalis islamis), yang terjadi adalah saling tarik menarik kehendak bentuk negara yang berasaskan kebangsaan atau dasar negara Islam. Pertentangan 2 kubu ini terjadi lagi saat sidang Konstituante[32], dimana para wakil partai Islam bersikukuh mempertahankan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta[33], dimana terdapat kalimat tambahan berbunyi “ ...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Klimaksnya terjadi pada 1960, Masyumi[34] dilarang dan dibubarkan.
Usaha menciutkan agama (Islam) terus berlangsung selama Orde Lama dan Baru. Diantara gerakan sekulerisasi ini yaitu:
1.      Penggantian kepemimpinan Parmusi (1968), melihat adanya pengaruh yang kuat didalamnya dari tokoh-tokoh Masyumi. Contoh: Ali Moestopo melalui opsusnya menggeser Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun dari ketua partai dan digantikan Jaelani Naro dan Imran Kadir (1969).
2.      Ketua HMI Nurcholish Majid menyerukan sekulerisasi dengan slogan “Islam Yes, Partai Islam No!”[35], serta melontarkan gagasan Islam kultural seraya menolak cita-cita Islam politik.[36] 
3.      Mundurnya Muhammadiyah dan HMI dari Parmusi
4.      Pengangkatan Mukti Ali[37] sebagai menteri agama (1971-1978) yang mulai menggagas reorientasi pendidikan agama.
5.      Pengangkatan Harun Nasution sebagai Rektor IAIN Jakarta, menandai bermulanya reorientasidan penyebaran bibit-bibit pemikiran liberal ala Mu’tazilah (1973).
6.      Menteri Pendidikan Daud Yusuf  memberlakukan kebijakan NKK (normalisasi kehidupan kampus), melarang kegiatan berbau politik dan agama di kampus, mencabut liburan di bulan Ramadhan, serta menolak penambahan muatan pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi ( 1978).
7.      Menteri agama Alamsyah Ratu Prawiranegara mengimbau pemeluk agama agar menerima Pancasila, P4, mendukung seluruh program pemerintah, dan memelihara “tri kerukunan beragama”[38].
8.      Pada 1981 semua pegawai negri diwajibkan memilih Golkar dalam pemilu, dan diadakan program ABRI masuk desa guna mengawasi dan membekukan unsur anti Pancasila di masyarakat.
9.      Tahun 1984 lambang PPP (gambar Ka’bah) diganti dengan gambar bintang.[39]   
10.  Strategi Orde Baru yaitu de-politisasi Islam dan de-Islamisasi politik dengan kebijakan menteri agama (Munawir Syadzali) mengirimkan dosen-dosen IAIN untuk menimba ilmu di Barat, sehingga diharapkan menghasilkan mahasiswa yang moderat dan liberal.
Demikian ide sekular banyak di lontarkan hingga saat ini. Diantara yang sering melontarkan ide sekularisasi di Indonesia adalah Luthfi As-Syaukani, Mun’im A. Sirry, Hamid Basyaib, Ulil Abshar Abdala, dll.[40]  Dari data-data sekulerisasi diatas dapat kita analisa bahwa sekulerisasi di Indonesia termasuk dalam karakter pemisahan jagad politik dari ideologi dan struktur organisasi keagamaan (Polity Separation Secularization), sekulerisasi ekspansi masyarakat dan negara (Polity Ekspansion Secularization), dan sedang berlangsung sekulerisasi budaya politik (polity Transvaluation Secularization) yaitu memudarnya nilai-nilai agama yang eksplisit dalam masyarakat.
Namun sekulerisasi yang berkembang di Indonesia saat ini tidak lebih dari sebuah eksperimen yang gagal ditanamkan untuk menjadi ideologi masyarakat secara umum. Mungkin untuk kalangan tertentu atau sebagai wacana kampus, dia menunjukkan hasil yang siginifikan. Tetapi sebagai pandangan hidup masyarakat muslim Indonesia, itu hanya mimpi di siang bolong. Kalaupun terlihat berhasil, itu hanyalah opini media massa yang terlalu over dalam membesar-besarkan berita. Buktinya, hingga saat ini tidak ada perubahan pandangan masyarakat muslim secara umum terhadap keyakinan dan agama mereka.[41]
Di Indonesia, harapan para pembawa panji sekularisasi mengalami jalan buntu. Keputusan Pemerintah tentang Ahmadiayah, Penangkapan Lia Eden, Penangkapan beberapa pemimpin aliran sesat, gagalnya ide pembubaran Departemen Agama, dll merupakan bukti nyata akan tidak goyahnya negara kita dari serangan para Intelektual Liberal dan Sekularis. Faktor-faktor terpenting yang dianggap sebagai penghalang utama sekulerisasi sehingga menjadikannya mandeg dan stagnan di Indonesia, karena kekokohan lembaga-lembaga keagamaan, khususnya Pondok Pesantren di bawah asuhan para Kyai, Ustaz dan semisalnya.
E.     Kesimpulan
Dari penjelasan sejarah sekulerisasi dan modernisasi 2 negara tersebut beberapa point yang harus kita garis bawahi yaitu:
1.      Sekulerisasi sebagai paradigma ilmu sosial sulit untuk dipertahankan keabsahannya. Karena kelemahan paradigma sekulerisasi terkesan deterministik ( kalau sudah modern pasti sekular, kalau sekular tentu modern, kalau tidak sekular pasti tidak modern padahal masyarakat manusia itu sangat dinamis sulit dipatok arah maupun coraknya).
2.       Sekulerisme sebagai ideologi pada dasarnya incompatible (tidak cocok) dengan ajaran Islam yang haqiqi, yang pada dasarnya menganggap kekuasaan politik sebagai sarana penegakan agama.
3.      Sekulerisme bukanlah monopoli masyarakat zaman sekarang. Dalam arti sebagai falsafah hidup yang mementingkan kekinian sekulerisme pernah, masih dan akan terus berpengaruh sepanjang zaman ( karena dalam arti lain sekulerisme mengingkari adanya kehidupan akhirat).

BIBLIOGRAFY

Ali, Mukti, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, 1994.
Abdullah, Amin, Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Al-Naim, Abdullahi Ahmed, Islam dan Negara Sekular, Bandung: Mizan Pustaka, 2007.

Armas, Adnin, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, Jakarta:Gema Insani, tt.

Latif, Yudi, Dialektika Islam, Yogyakarta: Jalasutra, 2007.
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Masyhur, Kahar, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, Jakarta: Klam Mulia, 1989.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan Pustaka, 1995.

Smith, Wilfred Cantwell, Islam dalam Sejarah Modern, Jakarta: Yayasan Penerbitan Franklin New York, 1964.
Yusuf, M. Asror, Persinggungan Islam dan Barat, Yogyakarta: Sukses Offset, 2009.
Jurnal Tsaqafah, Vol 4, 2008.

Muammar, M. Arfan, Majukah Islam Dengan Menjadi Sekuler?, Gontor ISID:CIOS, 2007.

Syamsuddin Arif, “Kemodernan, Sekulerisasi, dan Agama”, ISLAMIA, Vol III, no-2, Januari, 2007.
Adian Husaini, Makalah Indonesia Masa Depan Perspektif Peradaban Islam, http://insistnet.com/index.php


[1] Syamsuddin Arif, “Kemodernan, Sekulerisasi, dan Agama”, ISLAMIA, Vol III, no-2, Januari, 2007, 34.
[2] Harvey Cox (1929) adalah seorang teolog Protestan kontemporer. Ia menulis buku The Secular City pada pertengahan tahun 1960-an. Buku ini paling banyak didiskusikan oleh kalangan protestan dan paling diminati oleh kalangan Katolik. Pemikiran sekulerisasi Harvey Cox dianggap sangat relevan, sehingga gagasannya menjadi pembahasan hangat dikalangan peserta konsili Vatikan kedua.
[3] Harvey Cox, The Secular City, (New York: The Macmillan Company, 1966) dalam M. Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), 145.
[4] Harvey Cox, The Secular City, (New York: The Macmillan Company, 1966) dikutip dari jurnal ISLAMIA, (Vol 2, Januari, 2007), 29.
[5] Yudi Latif, Dialektika Islam, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), 7.
[6] Di balik sekulerisasi budaya politik ini terkandung isyarat memudarnya nilai-nilai agama secara umum dalam masyarakat. Contohnya ada pertumbuhan skeptisisme berkenaan dengan kebenaran dan validitas doktrin keagamaan tradisional, serta kurangnya kepedulian terhadap transmisi ide-ide keagamaan.
[7] Aliran sekulerisme ini banyak dianut oleh negara Amerika Serikat, juga negara-negara Asia yang terpengaruh sekulerisme.
[8] Sekulerisme ini banyak dianut oleh Uni Sovyet dan Rusia.
[9] Kahar Masyhur, Pemikiran dan Modernisme dalam Islam, (Jakarta: Klam Mulia, 1989), 109.
[10] Adian Husaini, Makalah Indonesia Masa Depan Perspektif Peradaban Islam, http://insistnet.com/index.php, diakses 21 April 2012.
[11] Sosiolog agama dari Universitas Abberden Scotland.
[12] Syamsuddin Arif, “Kemodernan, Sekulerisasi, dan Agama”, 34.
[13] Abdullahi Ahmed Al-Naim, Islam dan Negara Sekular, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), 345.
[14] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), Cet-2, 3.
[15] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), 86
[16] Mukti Ali, Islam dan Sekulerisme di Turki Modern, (Jakarta: Djambatan, 1994), 13.
[17] Hal ini berkembang pada abad 15 M manakala Uthmaniyah berkembang menjadi imperium yang kuat setelah menaklukkan Konstatinopel (1453)
[18] Yaitu kodifikasi syari’ah dengan mengkombinasikan prinsip-prinsip hukum Islam dengan sistem pengaturan ala Barat.
[19] Ahli sosiologi dan penyair serta anggota gerakan Turki Muda. Ia juga sebagai guru besar sosiologi di Universitas Istanbul.
[20] Ia adalah kaum terpelajar barat Turki, bekas tawanan Hongaria, dan pengarang buku-buku ilmu pengetahuan seperti ilmu alam, ilmu politik, ilmu bumi, dan ilmu militer. Ia merupakan pelopor pembaharuan (modernisasi) pada masa Imperium Uthmani.
[21] Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 192.
[22] Presiden pertama republik Turki, dimana Turki diproklamasikan oleh Dewan Nasional Agung pada 29 Oktober 1923.
[23] Penghilangan harkat Islam, contoh: berusaha merusak ajaran Islam dari dalam dengan menggerogoti nilai-nilai Islam.
[24] Alasan ia meniru Barat karena Attaturk beranggapan bahwa bangsa Turki sesungguhnya berada dalam rumpun Eropa sehingga wajar jika harus menjadi seperti Eropa.
[25] Wilfred Cantwell Smith, Islam dalam Sejarah Modern, ( Jakarta: Yayasan Penerbitan Franklin New York, 1964), 245.
[26] M.Asror Yusuf, Persinggungan Islam dan Barat, 156.
[27] Amin Abdullah, Studi Agama, 195.
[28] Tahun 1950 berjumlah 9000 jama’ah dan terus mengalami peningkatan hingga tahun 1988 berjumlah 120.000 jama’ah haji. Jumlah terbesar di dunia.
[29] Yudi Latif, Dialektika Islam, 12.
[30] Seorang orientalis Belanda (1857-1936) meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh. Dianggap sosok kontroversial khususnya bagi kaum muslimin Indonesia, terutama kaum muslimin Aceh.
[31] Ahmad Ibrahim, Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985),61-69 dalam Jurnal ISLAMIA, Vol 3, no 2, 2007, 41.
[32] Lembaga pembuat UUD baru sebagai pengganti UUD 1945.
[33] Rancangan preambule UUD hasil rapat Panitia Sembilan yang ditandatangani di Jakarta pada 22 Juni 1945.
[34] Partai politik yang berdiri 7 November 1945 di Yogyakarta. Sebagai partai politik yang dimiliki umat Islam dan sebagai partai penyatu umat Islam dalam bidang politik.
[35] Gagasan ini mulai diwacanakan secara terbuka pada acara diskusi 12 Januari 1970 di Jakarta, Dalam suatu makalah yang berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.
[36] Harun Nasution, Islam Rasional, 74.
[37] Mantan Menteri Agama Kabinet Pembangunan, lahir di Cepu 1923- Yogyakarta 2004.
[38] Tri kerukunan beragama : kerukunan inter-umat beragama, antar umat beragama, antar umat beragama dengan pemerintah.
[39] M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), dalam Jurnal Tsaqafah, Vol 4, 2008, 29.
[40] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, (Jakarta:Gema Insani, tt), 15.
[41] M. Arfan Muammar, Majukah Islam Dengan Menjadi Sekuler?, (Gontor ISID:CIOS, 2007), 66 - 67




Baca tulisan menarik lainnya:

Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "FENOMENA SEKULERISASI & MODERNISASI TURKI – INDONESIA"

Posting Komentar

Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*