AL-MAKKĪ
DAN AL-MADANĪ
A.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
sebagai dokumen ajaran Islam memiliki kepastian teks (qaṭ’īyu
al-wurūd),
karena pengodifikasian semua ayatnya harus melalui riwayat yang mutawatir
bahkan tidak cukup hanya dengan hafalan walaupun mutawatir akan tetapi harus
didukung dengan data (tulisan sahabat pada masa Rasulullah saw.). Dalam hal ini, Abī
Khuzaymah al-Anṣārī mempunyai kontribusi yang besar karena walaupun Zayd bin Thābit
dan para sahabat yang lain hafal “laqad jāakum rasūlun min anfusikum...”
sampai akhir surat al-Tawbah, tapi hanya Abī Khuzaymah al-Anṣārī yang mempunyai
catatannya sehingga dua ayat tersebut dapat dimasukkan.[1]
Apabila suatu ayat tidak didukung dengan riwayat yang mutawatir, maka tidak
dapat diakui sebagai al-qur’an seperti “bismillāhi al-raḥmāni al-raḥīmi”,
tidak dapat dinilai sebagai bagian dari surah al-Fātiḥaḥ.[2]
Meskipun
al-Qur’an bersifat qaṭ’īyu al-wurūd namun tidak semuanya bersifat qaṭ’īyu al-dalālah akan tetapi sebagian bersifat ẓannīyu al-dalālah. Oleh karena itu, seseorang yang
hendak mengetahui dan memahami al-Qur’an dengan baik, ia harus menguasai
beberapa hal yang menjadi syaratnya yang di antaranya adalah mengetahui tentang
makkī dan madanī.
Dalam hal ini, Abū al-Qāsim al-Ḥasan bin Muḥammad bin Ḥabīb al-Naysābūrī
berkata bahwa barang siapa yang tidak mengetahui makkī dan madanī,
maka ia tidak boleh berbicara tentang kitab Allah swt.[3]
Makalah ini merupakan usaha penulis untuk
meberikan keterangan tentang makkī dan madanī
yang meliputi: istilah makkī dan madanī,
perhatian para ulama tentang makkī dan madanī,
faedah mengetahui makkī dan madanī,
metode untuk mengetahui makkī dan madanī,
ciri-ciri khas makkī dan madanī,
dan urutan turunnya makkī dan madanī, sebagai bentuk tanggung jawab
penulis atas tugas mata kuliah Studi al-Qur’an yang diamanatkan Bapak Dosen
kepada penulis.
B.
ISTILAH MAKKĪ DAN MADANĪ
Istilah
makkī dan madanī yang dikenal di kalangan ulama memiliki tiga
arti sebagai berikut:[4]
1.
Makkī adalah
yang diturunkan di Mekah (dan sekitarnya seperti Mina, ‘Arafah dan Ḥudaybīyah)
walaupun setelah hijrah sedangkan madanī adalah yang diturunkan di
Madinah (dan sekitarnya seperti Badar dan Uḥud). Pembagian ini berdasar pada
tempat turunnya al-Qur’an. Pembagian ini mempunyai kelemahan karena tidak jāmi‘,
yaitu tidak mencakup yang diturunkan di luar Mekah dan Madinah dan juga bukan
di sekitar Mekah dan Madinah seperti surat al-Tawbah ayat 42 yang turun di Tabūk.
2.
Makkī adalah yang seruannya ditujukan kepada
penduduk Mekah sedangkan madanī adalah yang seruannya ditujukan kepada
penduduk Madinah. Oleh karena itu ayat yang dimulai dengan “ياأيها
الناس” adalah Makkī sedangkan yang dimulai dengan “ياأيها
الذين امنوا” adalah madanī Pembagian ini berdasar pada sasaran
turunnya al-Qur’an. Pembagian ini mempunyai kelemahan karena tidak jāmi‘,
yaitu tidak mencakup yang tidak dimulai dengan “ياأيها
الناس” atau “ياأيها الذين امنوا” seperti pembukaan
surah al-Aḥzāb“يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ
اللَّهَ وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ”
3.
Makkī adalah
yang diturunkansebelum hijrah walaupun turunnya di luar Mekah sedangkan madanī adalah yang diturunkan setelah
hijrah walaupun turunnya di Mekah. Pembagian ini berdasar pada waktu turunnya
al-Qur’an. Pembagian ini shahih dan jāmi‘-māni‘ tidak memiliki
kelemahan seperti dua pembagian yang sebelumnya.
C.
PERHATIAN PARA ULAMA TENTANG MAKKĪ
DAN MADANĪ
Para
ulama telah meneliti al-Qur’an ayat demi ayat dan surah demi surah untuk
ditertibkan sesuai dengan turunya, dengan memperhatikan waktu dan tempat
turunya serta pola kalimatnya. Dari penelitihan ini, para ulama kemudian
merumuskan kaedah-kaedah analogis untuk menentukan apakah suatu seruan itu termasuk
Makkī atau Madanī.[5] Dalam
melakukan penelitiannya, para ulama menggali beberapa data yang bersumber dari
riwayat kemudian menelaah data itu serta mengklasifikasikannya ke dalam
kategori-kategori.
Dalam
hal ini, Abū al-Qāsim al-Ḥasan bin Muḥammad bin Ḥabīb al-Naysābūrī berkata
bahwa diantara ilmu-ilmu al-Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang 1) nuzulul
Qur’an dan daerahnya, 2) urutan turunnya di Mekah, 3) urutan turunnya di
Madinah, 4) yang diturunkan di Mekah tetapi hukumnya Madanī, 5) yang diturunkan di Madinah tetapi hukumnya
Makkī, 6) yang diturunkan di Mekah mengenai penduduk Madinah, 7) yang
diturunkan di Madinah mengenai penduduk Mekah, 8) yang serupa dengan yang
diturunkan di Mekah tetapi termasuk Madanī, 9) yang serupa dengan yang diturunkan
di Madinah
tetapi termasuk Makkī, 10) yang diturunkan di Juḥfah, 11) yang
diturunkan di Bayt al-Maqdis, 12) yang diturunkan di Ṭāif, 13) yang diturunkan
di Ḥudaybiyah, 14) yang diturunkan pada malam hari, 15) yang diturunkan pada
siang hari, 16) yang diturunkan secara bersama-sama, 17) yang diturunkan secara
tersendiri, 18) ayat-ayat Madanīyah dari surah-surah Makkīyah,19)
ayat-ayat Makkīyah dalam surah-surah Madanīyah, 20) yang dibawa
dari Mekah ke Madinah, 21) yang dibawa dari Madinah ke Mekah, 22) yang dibawa
dari Madinah ke tanah Ḥabashah, 23) yang diturunkan dalam bentuk mujmal,
24) yang diturunkan dalam bentuk mufassar, dan 25) yang diperselisihkan,
Makkīyah menurut sebagian ulama dan Madanīyah menurut sebagian
ulama yang lain. Semuanya ini ada dua puluh lima kategori. Barang siapa yang
tidak mengetahui dan tidak dapat membedakan di antara dua puluh lima kategori tersebut,
maka ia tidak berhak berbicara tentang kitab Allah swt.[6]
D.
FAEDAH MENGETAHUI MAKKĪ DAN MADANĪ
Pengetahuan
tentang Makkī dan Madanī memiliki banyak faedah. Di antaranya
adalah sebagai berikut:[7]
1.
Dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam
menafsirkan al-Qur’an. Seorang mufassir membutuhkan data tentang tempat dan
waktu serta kondisi yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat, guna untuk
menafsirkan ayat itu dengan baik dan benar, sekalipun yang menjadi pegangan
adalah umumnya lafal, bukan khususnya sebab. Ketika menafsirkan dua ayat yang
mengandung makna yang kontradiktif, seorang mufassir tidak dapat membedakan
mana yang nasikh dan mana yang mansukh sebelum mendapatkan data tentang waktu turunnya
kedua ayat itu.
2.
Dapat digunakan sebagai pedoman dalam
berdakwah. Seorang dai yang mengetahuan tentang gaya bahasa Makkī dan Madanī
dengan baik dapat menjiwai metode dakwah al-Qur’an dan dapat mengikuti metode
tersebut dalam kegiatan dakwahnya. Setiap tahapan dakwah memiliki pola
penyampaian yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mukhāṭab-nya. Hal
yang demikian nampak jelas dalam gaya bahasa al-Qur’an.
3.
Dapat digunakan sebagai rujukan sejarah
hidup Nabi saw. Sejarah hidup Nabi saw., sejak permulaan turunya wahyu hingga
ayat terakhir diturunkan baik pada periode Mekah maupun periode Madinah, sejalan
dengan perjalanan wahyu Nabi saw. Oleh karena itu, al-Qur’an merupakan rujukan pokok bagi sejarah
kehidupan Nabi saw. Al-Qur’an adalah pemilik otoritas sejarah kehidupan Nabi
saw. sehingga dapat memberikan legitimasi atas apa yang diriwayatkan para ahli
sejarah (yang sesuai dengan al-Qur’an) sekaligus sebagai pemutus ketika terjadi
perbedaan antara para ahli sejarah.
E.
METODE UNTUK MENGETAHUI MAKKĪ DAN
MADANĪ
Ada dua metode
pokok yang digunakan para ulama dalam mengetahui Makkī dan Madanī.
Dua metode pokok dimaksud adalah metode samā‘ī yang bersandar pada naql
dan metode qiyāsī yang berdasar pada akal (ijtihād). Naql
dan akal adalah dua metode pengetahuan yang falid dan metode penelitian yang
ilmiah:[8]
1.
Metode Samā‘ī Naqlī
Metode
ini berdasar pada riwayat yang shahih dari para sahabat Nabi saw. yang hidup
pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu (hadits mawqūf) atau dari para
tabiin yang bertemu dan mendengar dari sahabat bagaimana, di mana dan peristiwa
apa yang berkaitan dengan wahyu itu (hadits maqṭū‘). Dalam hal ini,
tidak ada riwayat dari Nabi saw. (hadits marfū‘) karena kaum muslimin
pada waktu itu mengetahui dengan baik tempat, waktu dan sebab turunnya
ayat-ayat al-Qur’an sehingga mereka tidak memerlukan penjelasan.[9] Sebagian
besar penentuan Makkī dan Madanī
menggunakan metode ini. Jika tidak ditemukan riwayat tentang suatu ayat, maka
penentuannya memakai metode qiyāsī ijtihādī.[10]
2.
Metode Qiyāsī Ijtihādī
Metode
ini berdasar pada ciri-ciri Makkī dan Madanī. Apabila di dalam suatu
surah terdapat ciri-ciri Makkī, maka surat tersebut Makkīyah dan
apabila di dalam suatu surat terdapat ciri-ciri Madanī, maka surat
tersebut Madanīyah.[11]
Apabila di dalam surah Makkīyah terdapat ayat yang mengandung sifat Madanī
atau mengandung peristiwa Madanī, maka dikatakan bahwa ayat itu adalah Madanīyah.
Sebaliknya, apabila di dalam surah Madanīyah terdapat ayat yang
mengandung Makkī atau mengandung peristiwa Makkī, maka dikatakan
bahwa ayat itu adalah Makkīyah.
F.
KETENTUAN MAKKĪ DAN MADANĪ DAN CIRI KHAS TEMENYA
Para ulama telah
meneliti surah-surah Makkīyah dan Madanīyah dan telah menyimpulkan
beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri khas gaya
bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya.
Dari kegiatan ini lalu mereka merumuskan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri
tersebut.
1.
Ketentuan Makkī dan Ciri Khas
Temanya
a. Ketentuan
Makkī
1) Setiap
surah yang mengandung “sajdah” adalah Makkīyah.
2) Setiap
surah yang mengandung lafal “kallā” adalah Makkīyah.
3)
Setiap
surah yang mengandung lafal “ياأيها الناس” dan
tidak mengandung lafal “ياأيها الذين امنوا” adalah Makkīyah.
4) Setiap
surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu atau Adam as. dan
Iblis adalah Makkīyah kecuali surah al-Baqarah.
5) Setiap
surah yang dibuka dengan huruf yang dibaca dengan nama hurufnya adalah Makkīyah
kecuali al-Baqarah dan Ali ‘Imran.
b. Ciri
Khas Tema Makkī.
1) Ajakan
kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah,
kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengariannya, neraka dan
siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan
menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.
2) Peletakan
dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak mulia yang menjadi dasar
terbentuknya suatu masyarakat, penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan
darah, memakan harta anak
yatim secara zalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi
buruk lainnya.
3) Menyebutkan
kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi mereka sehingga
mengetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka dan sebagai hiburan Nabi
saw. sehingga tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.
4) Suku
katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan, pernyataan singkat,
menembus telinga, menggetarkan hati, diperkuat dengan sumpah.
2.
Ketentuan Madanī dan ciri khas
temanya
a. Ketentuan
Madanī
1) Setiap
surah yang berisi kewajiban atau ḥad (sangsi) adalah Madanīyah.
2) Setiap
surah yang di dalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah Madanīyah,
kecuali surah al-‘Ankabūt adalah Makkīyah.
3) Setiap
surah yang di dalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah Madanīyah.
b. Ciri
Khas Temanya
1) Menjelaskan
ibadah, muamalah, ḥad, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial,
hubungan internasional, kaidah hukum dan masalah perundang-undanangan.
2) Seruan
terhadap Ahli Kitab dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan
mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan meraka
terhadap kebenaran, perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka
karena rasa dengki.
3) Menyingkap
perilaku orang munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan
menjelaskan bahayanya bagi agama.
4) Suku
kata dan ayatnya panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta
menjelaskan tujuan dan sasarannya.
G.
URUTAN SURAH MAKKĪYAH DAN MADANĪYAH SESUAI DENGAN
URUTAN TURUNNYA
Setelah dijelaskan
ketentuan dan ciri khas Makkī dan Madanī, berikut ini dijelaskan
urutan Makkī dan urutan Madanī tersebut sesuai dengan urutan
turunnya:
1.
Urutan Turunnya Surah di Mekah
Surah al-Qur’an
yang turun di Mekah sesuai dengan urutan turunnya, sebagaimana disebutkan oleh Badr
al-Dīn Muḥammad bin ‘Abdillāh bin Bahādir Turkīy al-Aṣli al-Miṣrī al-Shāf‘ī al-Zarkashī
(W. 794) dalam kitab al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, adalah sebagi berikut:[12]
No
|
Nama Surat
|
No.
surah
dl
Mushaf
|
Keterangan
|
1.
|
Al-‘Alaq
|
96
|
-
|
2.
|
Al-Qalam
|
68
|
-
|
3.
|
Al-Muzzammil
|
73
|
-
|
4.
|
Al-Muddaththir
|
74
|
-
|
5.
|
Al-Lahab
|
111
|
-
|
6.
|
Al-Takwīr
|
81
|
-
|
7.
|
Al-A‘lā
|
87
|
-
|
8.
|
Al-Layl
|
92
|
-
|
9.
|
Al-Fajr
|
89
|
-
|
10.
|
Al-Ḍuḥā
|
93
|
-
|
11.
|
Al-Inshirāḥ
|
94
|
-
|
12.
|
Al-‘Aṣr
|
103
|
-
|
13.
|
Al-‘ādiyāt
|
100
|
-
|
14.
|
Al-Kawthar
|
108
|
-
|
15.
|
Al-Takāthur
|
102
|
-
|
16.
|
Al-Mā’ūn
|
107
|
-
|
17.
|
Al-Kāfirūn
|
109
|
-
|
18.
|
Al-Fīl
|
105
|
-
|
19.
|
Al-Falaq
|
113
|
-
|
20.
|
Al-Nās
|
114
|
-
|
21.
|
Al-Ikhlāṣ
|
112
|
-
|
22.
|
Al-Najm
|
53
|
-
|
23.
|
‘Abasa
|
80
|
-
|
24.
|
Al-Qadr
|
97
|
-
|
25.
|
Al-Shams
|
91
|
-
|
26.
|
Al-Burūj
|
85
|
-
|
27.
|
Al-Tīn
|
95
|
-
|
28.
|
Quraysh
|
106
|
-
|
29.
|
Al-Qāri‘ah
|
101
|
-
|
30.
|
Al-Qiyāmah
|
75
|
-
|
31.
|
Al-Humazah
|
104
|
-
|
32.
|
Al-Mursalāt
|
77
|
-
|
33.
|
Qāf
|
50
|
-
|
34.
|
Al-Balad
|
90
|
-
|
35.
|
Al- Ṭāriq
|
86
|
-
|
36.
|
Al-Qamar
|
54
|
-
|
37.
|
Ṣād
|
38
|
-
|
38.
|
Al-A‘rāf
|
7
|
-
|
39.
|
Al-Jinn
|
72
|
-
|
40.
|
Yāsīn
|
36
|
-
|
41.
|
Al-Fuqān
|
25
|
-
|
42.
|
Malāikah
|
35
|
-
|
43.
|
Maryam
|
19
|
-
|
44.
|
Ṭāhā
|
20
|
-
|
45.
|
Al-Wāqi‘ah
|
56
|
-
|
46.
|
Al-Shu‘arā’
|
26
|
-
|
47.
|
Al-Naml
|
27
|
-
|
48.
|
Al-Qaṣaṣ
|
28
|
-
|
49.
|
Banī Isrāīl
|
17
|
-
|
50.
|
Yūnus
|
10
|
-
|
51.
|
Hūd
|
11
|
-
|
52.
|
Yūsuf
|
12
|
-
|
53.
|
Al-Ḥijr
|
15
|
-
|
54.
|
Al-An‘ām
|
6
|
-
|
55.
|
Al-Ṣāffāt
|
37
|
-
|
56.
|
Luqmān
|
31
|
-
|
57.
|
Saba’
|
34
|
-
|
58.
|
Al-Zumar
|
39
|
-
|
59.
|
Al-Mu’min
|
40
|
-
|
60.
|
Ḥāmīm al-Sajdah
|
41
|
-
|
61.
|
Al-Syūrā
|
42
|
-
|
62.
|
Al-Zukhruf
|
43
|
-
|
63.
|
Al-Dukhān
|
44
|
-
|
64.
|
Al-Jāthiyah
|
45
|
-
|
65.
|
Al-Aḥqāf
|
46
|
-
|
66.
|
Al-Dhāriyāt
|
51
|
-
|
67.
|
Al-Ghāshiyah
|
88
|
-
|
68.
|
Al-Kahf
|
18
|
-
|
69.
|
Al-Naḥl
|
16
|
-
|
70.
|
Nūḥ
|
71
|
-
|
71.
|
Ibrāhīm
|
14
|
-
|
72.
|
Al-Anbiyā’
|
21
|
-
|
73.
|
Al-Mu’minūn
|
23
|
Al-Ḍaḥāq
dan ‘Aṭā’ berkata bahwa surah al-Mu’minūn ini adalah surat yang turun
terakhir di Mekah sedangkan menurut Mujāhid surah yang terahir turun di Mekah
adalah al-Muṭaffifīn.
|
74.
|
Al-Sadjah
|
32
|
-
|
75.
|
Al-Ṭūr
|
52
|
-
|
76.
|
Al-Mulk
|
67
|
-
|
77.
|
Al-Ḥāqah
|
69
|
-
|
78.
|
Al-Ma‘ārij
|
70
|
-
|
79.
|
Al-Naba’
|
78
|
-
|
80.
|
Al-Nāzi‘āt
|
79
|
-
|
81.
|
Al-Infiṭār
|
82
|
-
|
82.
|
Al-Inshiqāq
|
84
|
-
|
83.
|
Al-Rūm
|
30
|
-
|
84.
|
Al-‘Ankabūt
|
29
|
Ibnu
‘Abbās berkata bahwa surah al-‘ Ankabūt ini adalah surat yang turun terakhir
di Mekah sedangkan menurut Mujāhid surah yang terahir turun di Mekah adalah
al-Muṭaffifīn.
|
85.
|
Al-Muṭaffifīn
|
83
|
Al-Muṭaffifīn
adalah surat yang terakhir turun di Mekah menurut Mujāhid. Menurut Ibnu ‘Abbās,
surat yang terahir turun di Mekah adalah al-‘Ankabūt adapun al-Muṭaffifīn
termasuk Madanīyah. Sedangkan menurut al-Ḍaḥāq, surat yang turun terahir di
Mekah adalah al-Mu’minūn.
|
2.
Urutan Turunnya Surah di Madinah
Surah
al-Qur’an yang turun di Madinah sesuai dengan urutan turunnya sebagaimana
disebutkan oleh Badr al-Dīn Muḥammad bin ‘Abdillāh bin Bahādir al-Zarkashī (W.
794) dalam kitab al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān adalah sebagi berikut:[13]
No
|
Nama Surat
|
No.
surah
dl
Mushaf
|
Keterangan
|
1.
|
Al-Baqarah
|
2
|
-
|
2.
|
Al-Anfāl
|
8
|
-
|
3.
|
Āli ‘Imrān
|
3
|
-
|
4.
|
Al-Aḥzāb
|
33
|
-
|
5.
|
Al-Mumtaḥanah
|
60
|
-
|
6.
|
Al-Nisā’
|
4
|
-
|
7.
|
Al-Zilzāl
|
99
|
-
|
8.
|
Al-Ḥadīd
|
57
|
-
|
9.
M
|
Muḥammad
|
47
|
-
|
10.
|
Al-Ra‘d
|
13
|
-
|
11.
|
Al-Raḥmān
|
55
|
-
|
12.
|
Al-Dahr
|
76
|
-
|
13.
Q
|
Al-Ṭalāq
|
65
|
-
|
14.
|
Al-Bayyinah
|
98
|
-
|
15.
|
Al-Ḥashr
|
59
|
-
|
16.
|
Al-Naṣr
|
110
|
-
|
17.
|
Al-Nūr
|
24
|
-
|
18.
|
Al-Ḥajj
|
22
|
-
|
19.
|
Al-Munāfiqūn
|
63
|
-
|
20.
|
Al-Mujādalah
|
58
|
-
|
21.
|
Al-Ḥujurāt
|
49
|
-
|
22.
|
Al-Taḥrīm
|
66
|
-
|
23.
|
Al-Ṣaff
|
61
|
-
|
24.
|
Al-Jumu’ah
|
62
|
-
|
25.
|
Al-Taghābun
|
64
|
-
|
26.
|
Al-Fatḥ
|
48
|
-
|
27.
|
Al-Tawbah
|
9
|
Sebagian
ulama berpendapat: al-Māidah turun lebih dulu baru kemudian al-Tawbah.
|
28.
|
Al-Māidah
|
5
|
Sebagian
ulama berpendapat: al-Māidah turun lebih dulu baru kemudian al-Tawbah.
|
29.
|
Al-Fātiḥaḥ
|
1
|
Ibnu
‘Abbās, al-Ḍaḥāq, Muqātil dan ‘Aṭā’ mengatakan bahwa al-Fātiḥaḥ adalah Makkīyah.
Adapun Mujāhid berpendapat bahwa al-Fātiḥaḥ adalah Madanīyah.
|
Dimasukkannya al-Fātiḥaḥ
ke dalam kelompok surah Madanīyah ini berdasar pada perkataanya Mujāhid,
tokoh mufassir dari kalangan tabiin, (W. 102) sebagaimana di-takhrīj oleh
al-Faryabī dalam kitab tafsirnya dan Abū ‘Ubayd dalam kitab “al-Faḍāil” dengan
sanad yang Shahih.
Al-Husayn bin
al-Faḍl mengatakan bahwa, dimasukkannya al-Fātiḥaḥ ke dalam kelompok surah Madanīyah
tersebut adalah merupakan kesalahan Mujāhid (W. 102) karena berlawanan dengan
pendapat mayoritas. Di antaranya adalah Ibnu ‘Aṭīyah, ‘Alī bin Abī Ṭālib,[14] Ibnu
‘Abbās, al-Ḍaḥāq, Muqātil dan ‘Aṭā’.[15]
Berkaitan dengan
perbedaan pendapat tersebut, penulis memilih pendapat kedua (al-Fātiḥaḥ adalah
Makkīyah) dengan berbagai pertimbangan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Di antara yang mengatakan bahwa al-Fātiḥaḥ
turun
di Mekah adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib dan Ibnu ‘Abbās. Keduanya adalah Sahabat
Nabi saw. yang hidup dan menyaksikan turunnya al-Qur’an sedangkan Mujāhid, yang
mengatakan bahwa al-Fātiḥaḥ turun di Madinah, adalah seorang
tabiin. Apa yang riwayatkan dan disandarkan kepadanya –walaupun melalui sanad
yang shahih sebagaimana diriwayatkan al-Faryabī dalam kitab tafsirnya dan Abū
‘Ubayd dalam kitab “al-Faḍāil”- adalah berstates Maqṭū‘. Tegasnya,
pendapat seorang sahabat lebih kuat dibanding dengan pendapat tabiin.
2.
Solat tanpa al-Fātiḥaḥ tidak dikenal
dalam Islam. Artinya al-Fātiḥaḥ sudah turun setidaknya semenjak diwajibkannya
solat sedangkan salat diwajibkan ketika masih di Mekah (sebelum Nabi saw.
hijrah ke Madinah).
3.
Pemberian “al-Fātiḥaḥ” yang ditafsirkan
dari “al-Sab‘u al-Mathānī” dijelaskan dalam surah al-Ḥijr ayat 87
sedangkan para ulama sepakat bahwa ayat ke 87 dari surah al-Ḥijr tersebut
adalah Makkīyah. Artinya surah al-Fātiḥaḥ sudah diturunkan ketika ayat Makkīyah
tersebut (ayat ke 87 dari surah al-Ḥijr) diturunkan.
Surat al-Ḥijr ayat 87 dimaksud
adalah sebagai berikut:
وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ
الْمَثَانِي وَالْقُرْآَنَ الْعَظِيمَ
Artinya:
Dan Sesungguhnya kami Telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca
berulang-ulang[16]
dan Al Quran yang agung.
Penafsiran
“al-Sab‘u al-Mathānī” dengan “al-Fātiḥaḥ” ini berdasar pada kebanyakan
riwayat hadits yang di antaranya
adalah hadits riwayat al-Bukhārī dari
Abī Sa‘īd bin al-Mu‘allā melalui beberapa gurunya sebagai
berikut:
1.
Hadits riwayat al-Bukhārī dari Abī Sa‘īd bin al-Mu‘allā melalui Mu‘ādh:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ
أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ
حَفْصَ بْنَ عَاصِمٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ الْمُعَلَّى رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أُصَلِّي فَمَرَّ بِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَدَعَانِي فَلَمْ آتِهِ حَتَّى صَلَّيْتُ ثُمَّ أَتَيْتُهُ فَقَالَ مَا
مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَ أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا
لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ ثُمَّ قَالَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ
فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ أَخْرُجَ فَذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِيَخْرُجَ فَذَكَرْتُ لَهُ وَقَالَ مُعَاذٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ خُبَيْبِ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعَ حَفْصًا سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا وَقَالَ هِيَ الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ السَّبْعُ الْمَثَانِي.[17]
Artinya:
Isḥāq memberitahu saya, Rawḥ membritahu kami, Shu‘bah memberitahu kami, (berita
itu berasal) dari Khubayb bin ‘Abdirraḥmān, saya mendengar Ḥafṣ bin ‘Āṣim, ia
memberitahu dari Abī Sa‘īd bin al-Mu‘allā ra, ia berkata, “Ketika saya sedang
salat, Nabi saw. melewati kemudian ia memanggil saya maka aku tidak
menghadapnya sampai aku selesai salat, kemudian aku menghadapnya, maka Nabi
bertanya, ‘kenapa kamu tadi tidak menghadapku bukankah Allah telah berfirman,
(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila
Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu)?’ kemudian
Nabi saw. berkata, ‘Saya akan mengajarimu surah yang paling agung dalam
al-Qur’an sebelum aku keluar dari masjid’. Kemudian Nabi saw. Pergi hendak
keluar maka saya ingatkan dia. Mu’ādh berkata,”Shu‘bah member tahu kami,
(berita itu berasal) dari Khubayb bin ‘Abdirraḥmān, ia mendengar Ḥafṣ, ia
mendengar hal ini dari Abā Sa‘īd, salah seorang sahabat Nabi saw., dan dia
bersabda, bahwasannya (Alḥamdulillāhi Rabbi al-‘Ālamīn) adalah al-Sab‘u
al-Mathānī.
Skema sanad matan yang ke dua dari hadits
tersebut adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw.
|
Abā Sa‘īd
|
Ḥafṣ
|
Khubayb bin ‘Abdirraḥmān
|
Shu‘bah
|
Mu’ādh
|
Al-Bukhārī
|
2.
Hadits
riwayat al-Bukhārī dari Abī Sa‘īd bin
al-Mu‘allā melalui Musaddad:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ الْمُعَلَّى قَالَ كُنْتُ أُصَلِّي
فِي الْمَسْجِدِ فَدَعَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ
أُجِبْهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي فَقَالَ أَلَمْ يَقُلْ
اللَّهُ اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ثُمَّ
قَالَ لِي لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ السُّوَرِ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ
أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ
قُلْتُ لَهُ أَلَمْ تَقُلْ لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ
قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ
الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ.[18]
Musaddad
memberitahu kami, Yaḥyā memberitahu kami, (berita itu berasal) dari Shu‘bah, ia
berkata, Khubayb bin ‘Abdirraḥmān memberitahu saya, dari Ḥafṣ bin Āṣim, dari
Abī Sa‘īd bin al-Mu‘llā, ia berkata, “saya sedang salat di dalam masjid
kemudian Rasūlullāh saw, memanggil saya maka saya tidak memenuhi panggilannya,
kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasūlullāh sesungguhnya tadi aku sedang salat,
kemudian ia berkata, bukankah Allah telah berfirman, “(Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu)?” kemudia ia berkata kepada saya, “Sungguh aku akan
mengajarimu surah yang paling agung dalam al-Qur’an sebelum kamu keluar dari
masjid” kemudian ia memegang tangnku. Maka ketika ia hendak keluar, saya bertanya
kepadanya, “bukankah tuan berkata “Sungguh aku akan mengajarimu surah yang
paling agung dalam al-Qur’an”?. Ia bersabda, “alḥamdulillāhi Rabbi al-‘Ālamīn
adalah al-Sab‘u al-Mathānī
dan al-Qur’ān al-‘Adhīm yang diberikan kepada saya.
Skema
sanad hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw.
|
Abā Sa‘īd
|
Ḥafṣ
|
Khubayb bin ‘Abdirraḥmān
|
Shu‘bah
|
Yaḥyā
|
Musaddad
|
Al-Bukhārī
|
3.
Hadits
riwayat al-Bukhārī dari Abī Sa‘īd bin
al-Mu‘allā melalui ‘Alī bin ‘Abdillāh:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنِي
خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي سَعِيدِ بْنِ
الْمُعَلَّى قَالَ كُنْتُ أُصَلِّي فَدَعَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمْ أُجِبْهُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أُصَلِّي قَالَ
أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ ثُمَّ قَالَ
أَلَا أُعَلِّمُكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ
فَأَخَذَ بِيَدِي فَلَمَّا أَرَدْنَا أَنْ نَخْرُجَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ
قُلْتَ لَأُعَلِّمَنَّكَ أَعْظَمَ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ.[19]
Artinya:
‘Alī bin ‘Abdillāh memberitahu kami, Yaḥyā bin Sa‘īd memberitahu kami, Shu‘bah
memberitahu kami, ia berkata Khubayb bin ‘Abdirraḥmān memberitahu kami,(berita
itu berasal) dari Ḥafṣ bin ‘Āṣim, dari Abī Sa‘īd bin al-Mu‘allā, ia berkata,
“Saya sedang salat, kemudian Nabi saw. memanggil saya maka saya tidak memenuhi
panggilannya, kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasūlullāh sesungguhnya tadi aku
sedang salat”. Kemudian Nabi saw. berkata, “Bukankah Allah telah berfirman, “(Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu)?” kemudia Nabi saw. berkata, “Maukah kamu (kiranya)
aku mengajarimu surah yang paling agung dalam al-Qur’an sebelum kamu keluar
dari masjid?” kemudian ia memegang tangnku. Maka ketika kami hendak keluar,
saya bertanya kepadanya, “bukankah tuan berkata “Sungguh aku akan mengajarimu
surah yang paling agung dalam al-Qur’an”?. Nabi saw. bersabda, “Alḥamdulillāhi
Rabbi al-‘Ālamīn adalah al-Sab‘u al-Mathānī
dan al-Qur’ān al-‘Adhīm yang diberikan kepada saya.
Skema
sanad hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw.
|
Abā Sa‘īd
|
Ḥafṣ
|
Khubayb bin ‘Abdirraḥmān
|
Shu‘bah
|
Yaḥyā
|
Musaddad
|
Al-Bukhārī
|
4.
Hadits
riwayat al-Bukhārī dari Abī Sa‘īd bin
al-Mu‘allā melalui Muḥammad bin Bashshār:
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ خبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي
سَعِيدِ بْنِ الْمُعَلَّى قَالَ مَرَّ بِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَنَا أُصَلِّي فَدَعَانِي فَلَمْ آتِهِ حَتَّى صَلَّيْتُ ثُمَّ
أَتَيْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَ فَقُلْتُ كُنْتُ أُصَلِّي فَقَالَ
أَلَمْ يَقُلْ اللَّهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ
وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ثُمَّ قَالَ أَلَا أُعَلِّمُكَ
أَعْظَمَ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ قَبْلَ أَنْ أَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ فَذَهَبَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَخْرُجَ مِنْ الْمَسْجِدِ
فَذَكَّرْتُهُ فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ
الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ.[20]
Artinya:
Muḥammad bin Bashshār memberitahu
kami, Ghundar memberitahu kami, Shu‘bah memberitahu kami, (berita itu berasal)
dari Khubayb bin ‘Abdirraḥmān, dari Ḥafṣ bin ‘Āṣim, dari Abī Sa‘īd bin
al-Mu‘allā, ia berkata, “Nabi saw. Melewati saya sedangkan
saya sedang salat, kemudian ia memanggil saya maka aku tidak menghadapnya sampai aku selesai salat, kemudian aku
menghadapnya, maka Nabi bertanya, ‘kenapa kamu tadi tidak menghadapku?’
kemudian aku menjawab, ‘tadi aku sedang salat’ bukankah Allah telah berfirman,
(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila
Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu)? kemudian Nabi saw. bertanya lagi, ‘Sudikah kamu (kiranya) saya mengajarimu surah yang paling agung dalam al-Qur’an, sebelum aku keluar dari masjid?. Kemudian Nabi saw. Pergi hendak keluar dari masjid,
maka saya ingatkan dia, maka ia bersabda, ‘(Alḥamdulillāhi Rabbi al-‘Ālamīn).
Ia adalah al-Sab‘u al-Mathānī dan al-Qur’ān
al-‘Adhīm yang diberikan kepada saya.
Skema
sanad hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Rasulullah saw.
|
Abā Sa‘īd
|
Ḥafṣ
|
Khubayb bin ‘Abdirraḥmān
|
Shu‘bah
|
Ghundar
|
Muḥammad bin
Bashshār
|
Al-Bukhārī
|
Keempat
sanad hadits, yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Sab‘u al-Mathānī
dan al-Qur’ān al-‘Adhīm sebagaimana
difirmankan dalam surah al-Ḥijr ayat 87 adalah surah al-Fātiḥaḥ, tersebut beserta
Ṣiyagh al-Adā’ wa al-Taḥammul-nya adalah sebagai berikut:
النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
|
|||||||||||||||||||
قَالَ
|
|||||||||||||||||||
أَبِي سَعِيدِ
بْنِ الْمُعَلَّى
|
|||||||||||||||||||
سَمِعَ
|
عَنْ
|
||||||||||||||||||
حَفْصِ بْنِ
عَاصِمٍ
|
حَفْصِ بْنِ
عَاصِمٍ
|
||||||||||||||||||
سَمِعَ
|
عَنْ
|
||||||||||||||||||
خبَيْبِ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
|
خبَيْبِ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
|
||||||||||||||||||
عَنْ
|
حَدَّثَنِي
|
عَنْ
|
|||||||||||||||||
شُعْبَةُ
|
شُعْبَةُ
|
شُعْبَةُ
|
|||||||||||||||||
حَدَّثَنَا
|
عَنْ
|
حَدَّثَنَا
|
حَدَّثَنَا
|
||||||||||||||||
مُعَاذٌ
|
يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ
|
يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ
|
غُنْدَرٌ
|
||||||||||||||||
قَالَ
|
حَدَّثَنَا
|
حَدَّثَنَا
|
حَدَّثَنَا
|
||||||||||||||||
مُسَدَّدٌ
|
عَلِيُّ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ
|
مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ
|
|||||||||||||||||
حَدَّثَنَا
|
حَدَّثَنَا
|
حَدَّثَنِي
|
|||||||||||||||||
البخاري
|
|||||||||||||||||||
Dalam makalah ini tidak dijelaskan kritik sanad karena
kualitas Ṣahīh al-Bukhārī, hususnya dalam hal ketersambungan sanad, sudah tidak
diragukan.[21]
Namun dijelaskan dan dipadukan antar sanad berikut Ṣiyagh al-Adā’ wa al-Taḥammul-nya
dengan maksud untuk menunjukkan kuwalitas ketersambungan sanad. Dalam gabungan
skema sanad tersebut, dapat diketahui bahwa Ṣiyagh al-Adā’ wa al-Taḥammul
yang menggunakan ‘an‘anah, pada sanad lain dijelaskan dengan al-Taḥdīth
dab al-Samā‘.
Sanad lain yang menjelaskan dengan al-Taḥdīth dab
al-Samā‘ dimaksud
adalah “وَقَالَ مُعَاذٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعَ حَفْصًا سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ” . Hadits ini walaupun Mu‘allaq[22] akan
tetapi disandarkan kepada Mu‘ādh dengan Ṣīghat al-Jazmi sehingga dapat
dinyatakan bersambung antara al-Bukhārī dengan Mu‘ādh.[23]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat yang
mengatakan bahwa surah al-Fātiḥaḥ turun di Mekah sebelum Nabi saw. Hijrah ke
Madinah adalah pendapat yang lebih unggul, baik secara kuantitas (jumlah ulama
yang berpendapat demikian) maupun kualitas (berdasar pada argument yang kuat).
H.
PERTANYAAN
Jika pengetahuan tentang Makkī dan Madanī
itu penting, maka logikanya mushaf al-Qur’an ditulis dengan urutan sebagaimana urutan
turunnya. Namun kenyataannya tidak demikian. Lalu apa hikmah ditulisnya
al-Qur’an dengan urutan sebagaimana yang kita ketahui sekarang?
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ān al-Karīm
Al-Qur’an dan
terjemahnya. Bandung:
al-Jumānatu Ālī, 2005.
Al-Bukhārī. Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī. Semarang: Ṭaha Putra, tt.
Ibn Kathīr. al-Bāʻith al-Ḥathīth fī Ikhtiṣār ‘Ulūm
al-Ḥadīth. Bayrūt:Dār
al-Kutub al-‘Ilmīyah, tt.
Ibn al-Ṣalāḥ. Muqaddimat
Ibn al- Ṣalāḥ. Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006.
Al-Nawawī. al-Taqrīb
wa al-Taysīr li Ma‘rifati Sunan al-Bashīr al-Nadhīr. Bayrūt: Dār al-Kitāb
al-‘Arabī, 1985.
Al-Qaṭṭān, Mannā‘. Mabāḥith fī’Ulūm al-Qur’ān. tt.: Manshūrāt al-‘Aṣr al-Ḥadīth, 1973.
Al-Suyūṭī.
al-Itqān fī’Ulūm al-Qur’ān. CD-ROM: al-Maktabah al-Shāmilah, Digital.
---------. Tadrīb
al-Rāwī fī Sharḥ Taqrīb al-Nawawī (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2009.
Al-Ṭaḥḥān,
Maḥmūd. Taysīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth. tt: al-Ḥaramayn, 1985, 199.
Taqyuddīn. Kifāyat al-Akhyār. Surabaya: Dār al-‘Ilmi, tt.
Al-Zarkashī. al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Baerut:
Dār al-Ma‘rifah, 1957.
Al-Zarqānī,
Muḥammad ‘Abd al-‘Aẓīm. Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. tt: Maṭba‘atu ‘Īsā al-Bābī al-Ḥalabī wa Sharikāhu, tt.
[2] Penetapan “bismillāhi al-rahmāni al-raḥīmi”, sebagai bagian dari surah
al-Fātiḥaḥ tidak bersifat qaṭ’ī sebagaimana “bismillāhi al-rahmāni al-raḥīmi” pada surah
al-Naml akan tetapi bersifat ḥukmī (dalam arti bahwa solat tidak sah kecuali dengan
membacanya pada awal surah al-Fātiḥaḥ). Lihat Taqyuddīn, Kifāyat al-Akhyār. (Surabaya:
Dār al-‘Ilmi, tt), I: 87.
[4] Muḥammad ‘Abd al-‘Aẓīm
Al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (tt: Maṭba‘atu ‘Īsā al-Bābī al-
Ḥalabī wa Sharikāhu,
tt), I: -193-195.
[9] Muḥammad ‘Abd al-‘Aẓīm
Al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (tt: Maṭba‘atu ‘Īsā al-Bābī al-
Ḥalabī wa Sharikāhu,
tt), I: 196.
[11] Ibid., 61. Penentuan
kelompok surat, apakah termasuk Makkīyah atau Madanīyah, mengikuti kebanyakan
ayatnya atau mengikuti pada ayat pembukanya. Lihat Al-Zarqānī, Manāhil al-‘,
I: 199.
[12] Al-Zarkashī, al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Baerut: Dār al-Ma‘rifah, 1957), I: 193-194. Dalam kitab
tersebut, Al-Zarkashī mengatakan bahwa surat yang turun di Mekah ada 85 surat dan surat yang
turun di Madinah ada 29 surat. Disamping itu, ia juga menjelaskan adanya
perkhilafan tentang surah al-Fātiḥaḥ dan surah al-Muṭaffifīn. Surah al-Fātiḥaḥ, sebagaimana
dikatakan Ibnu ‘Abbās, al-Ḍaḥāq, Muqātil dan ‘Aṭā’, adalah Makkīyah akan tetapi Mujāhid mengatakan bahwa al-Fātiḥaḥ adalah Madanīyah. Sedangkan surah al-Muṭaffifīn, sebagaimana dikatakan Ibnu
‘Abbās, adalah Madanīyah akan tetapi Mujāhid mengatakan bahwa surah
al-Muṭaffifīn adalah Makkīyah. Lihat Ibid., I: 194. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa surat Makkīyah ada 84 surat, dan
surat Madanīyah ada 28 surat. Sedangkan yang dua surat (al-Fātiḥaḥ dan al-Muṭaffifīn) diperselisihkan. Keterangan ini berbeda dengan
keterangan yang disebutkan al-Qaṭṭān dalam kitab Mabāḥith fī’Ulūm al-Qur’ān yang mengatakan bahwa surat Makkīyah ada 82 surat dan
surat Madanīyah ada 20 surat. Sedangkan yang diperselisihkan ada 12 surat. Lihat Mannā‘ al-Qaṭṭān, Mabāḥith fī’Ulūm al-Qur’ān, 55.
[16] yang
dimaksud tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang
ialah surat al-Fātiḥaḥ yang terdiri dari tujuh ayat
(karena orang yang solat selalu mengulang bacaan tujuh ayat tersebut setiap
rakaat). sebagian ahli tafsir mengatakan tujuh surat-surat yang panjang yaitu al-Baqarah,
Āli ‘Imrān, al-Māidah, al-Nisā', Al-A‘rāf, al-An'ām dan al-Anfāl atau al-Tawbah.
Lihat Departemen Agama RI, al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung:
al-Jumānatu Ālī, 2005), 269.
[17] Ibid., VI: 77. Dalam hadits tersebut terdapat dua matan namun yang
dimaksud di sini adalah matan ke dua.
[18] Ibid., VI: 20-21.
[19] Ibid., VI: 230-231.
[21] Al-Bukhari, sebagaimana dikutip oleh al-Ṭaḥḥān, mengatakan yang
artinya “saya tidak memasukkan dalam kitabku, al-Jāmi‘ kecuali yang
Sahih dan saya tidak memasukkan sebagian yang sahih supaya tidak panjang”.
Lihat Maḥmūd Al-Ṭaḥḥān,
Taysīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth. (tt: al-Ḥaramayn, 1985), 38.
[22] Hadits Mu‘allaq adalah hadits yang dibuang dari permulaan sanadnya
satu atau lebih. Lihat al-Suyūṭī, Tadrīb al-Rāwī fī Sharḥ Taqrīb al-Nawawī
(Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2009) I: 82.
[23] Al-Nawawī, al-Taqrīb wa al-Taysīr li Ma‘rifati Sunan al-Bashīr al-Nadhīr
(Bayrūt: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1985) 27-28; Ibn Kathīr, al-Bāʻith al-Ḥathīth fī Ikhtiṣār ‘Ulūm al-Ḥadīth
(Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmīyah, tt.), 32; Ibn al-Ṣalāḥ, Muqaddimat Ibn al- Ṣalāḥ. (Bayrūt: Dār
al-Kutub al-‘Ilmīyah, 2006), 41-42. Ketentuan ini
berlaku husus pada kitab yang sedah ditetapkan keshahihannya seperti Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim. Lihat Maḥmūd Al-Ṭaḥḥān, Taysīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīth, 70.
Klasifikasi Ayat al Qur'an (Makkiyah Madaniyah) (sumber gambar dokumentips) |