Terbaru · Terpilih · Definisi · Inspirasi · Aktualisasi · Hiburan · Download · Menulis · Tips · Info · Akademis · Kesehatan · Medsos · Keuangan · Konseling · Kuliner · Properti · Puisi · Muhasabah · Satwa · Unik · Privacy Policy · Kontributor · Daftar Isi · Tentang Kami·

Tanya Jawab Tentang Agama, Negara, dan Pendidikan Karakter


Topi lain:




Baca tulisan menarik lainnya:

Kemunduran dan Kejatuhan Dinasti (Daulah) Safawiyah

KEMUNDURAN DAN KEJATUHAN SAFAWIYAH
   Oleh: Ustad Zaenal Hamam




Baca tulisan menarik lainnya:

OKSIDENTALISME SEBAGAI RESPONS UMAT ISLAM TERHADAP DOMINASI BARAT


OKSIDENTALISME SEBAGAI RESPONS UMAT ISLAM TERHADAP DOMINASI BARAT 
Oleh: Ustadz Zaenal Hamam
(Penulis adalah Mahasiswa S2 Program Pascasarjana STAIN Kediri)
A.               Pengantar
Oksidentalisme yang digagas oleh Hassan Hanafi merupakan salah satu bentuk respons umat Islam terhadap dominasi Barat sebagaimana Pan-Islam yang digagas oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan gagasan-gagasan lain yang diperjuangkan oleh para Pembaharu Islam. Dominasi Barat atas Islam terbentuk ketika Dunia Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, hususnya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Sejak tiga kerajaan Islam besar (Kerajaan Usmani, Kerajaan Safawi, dan Kerajaan Mughal) mengalami kemunduran karena berbagai serangan, sejak itu pula kekuatan umat Islam mulai menurun. Kekuatan militer, perdagangan, ekonomi dikuasai dan dimonopoli oleh Barat, ilmu pengetahuan Islam yang sebelumnya berjaya mengalami stagnasi, sikap fatalisme semakin merajalela sehingga Dunia Islam mundur dan statis. Dalam pada itu, Barat yang semakin kuat terus menduduki daerah-daerah Islam dan akhirnya Napoleon menduduki Mesir pada tahun 1798 M. Hal tersebut memunculkan sikap superioritas Barat atas Timur hususnya Islam.





Jatuhnya Mesir ke tangan Barat dan munculnya sikap superioritas Barat atas Islam tersebut menginsafkan Dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan para pemuka Islam untuk mengidentifikasi “penyakit” umat Islam dalam segala aspek kehidupannya, baik dalam bidang agama, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain. Para pemuka Islam tersebut melancarkan “Gerakan Pembaharuan Islam” untuk membebaskan diri dari hegemoni Barat. Di antara gerakan Pembaharuan Islam tersebut adalah Oksidentalisme yang digagas oleh Ḥassan Ḥanafi.
Oksidentalisme yang digagas oleh Ḥassan Ḥanafi tersebut untuk mengimbangi “Orientalisme” yang dilakukan Barat. Kalau Orieantalisme melihat potret kita (Timur) dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme sebaliknya, melihat potret Barat dari kacamata kita (Timur). Dengan Oksidentalisme, Ḥassan Ḥanafi mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat dan meletakkan kembali peradaban Barat pada proporsi geografisnya.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul Oksidentalisme Sebagai Respons Umat Islam Terhadap Dominasi Barat. Penulis memilih Oksidentalisme sebagai kajian, karena Oksidentalisme bersifat konstruktif tidak sebagaimana bentuk respons terhadap dominasi Barat yang lain yang kebanyakan bersifat reaksioner. Kajian ini difokuskan pada dua masalah, yaitu dominasi Barat atas dunia Islam dan Oksidentalisme sebagai respons Ḥassan Ḥanafī terhadap Orientalisme.
kajian tersebut dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dari segi tempat, kajian ini termasuk jenis kajian pustaka (library research), yaitu kajian yang bertempat di perpustakaan,[1] maksudnya kajian dilakukan dengan cara mencari informasi dan data dari karya pustaka. Karya pustakan diharapkan dapat memberikan data yang dibutuhkan dalam kajian ini.
Sumber data yang digunakan sebagai rujukan dalam kajian ini adalah al-Qur’an, Tafsir al-Marāghī karya Aḥmad Muṣṭafā al-Marāghī, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat yang diterjemahkan M. Najib Buckori dari Muqaddimah fī ‘Ilm al-Istighrāb karya Ḥassan Ḥanafī , Islamologi 1 dari Teologi Statis ke Anarkis yang diterjemahkan Miftah Faqih dari Dirāsāt Islāmīyah karya Ḥassan Ḥanafī, Kiri Islam Ḥassan Ḥanafī karya Abad Badruzzaman, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan karya Harun Nasution, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam karya Ahmad Taufiq dkk, Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah karya M. Aunul Abied Shah Dkk, dan buku lain yang dapat mendukung tema ini.
Supaya pembahasan dapat dilakukan secara tererah dan sistematis, pembahasan dalam makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Pertama, pengantar yang meliputi uraian mengenai identifikasi permasalah yang menjadi fokus kajian, pendekatan dan jenis kajian, sumber data yang dijadikan sebagai rujukan, dan sitematika pembahasan. Kedua, kerangka teoritis (grand theory) sebagai landasan dari pembahasan mengenai tema yang dikaji.
Ketiga, dominasi Barat atas Islam, dimulai dari kemunduran Islam, kemajuan Barat, penjajahan Barat atas Dunia Islam, dan Orientalisme. Keempat, Oksidentalisme sebagai respons Ḥassan Ḥanafī terhadap Orientalisme yang meliputi riwayat hidup Ḥassan Ḥanafī, segitiga emas al-turāth wa al-tajdīd, dan gagasan Oksidentalisme.
Kelima, refleksi berupa analisa materi yang telah diuraikan dan kemudian dari materi yang telah diuraikan tersebut dicari poin-poin yang penting yang dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan kajian Islam modern, serta mengungkapkan kekurangan dan kelebihan dari materi yang dikaji. Keenam,  Kesimpulan yang menggambarkan masalah yang menjadi kajian.

B.               Kerangka teoritis
Teori yang digunakan dalam kajian ini adalah teori tentang penguasaan bumi (siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ia mewarisi bumi) sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ[2]
Artinya: dan sungguh telah kami tulis di dalam Zabur[3] sesudah (kami tulis dalam) al-Dhikr (lawḥ Maḥfūẓ) bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.[4]
Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Marāghī mengatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang akhirat[5] akan tetapi berbicara tentang dunia.[6] Ia juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “al-ṣāliḥūn” adalah orang-orang yang cakap memerintah dan menaklukkan bumi serta memanfaatkan isi kandungannya.[7]Jadi dapat disimpulkan bahwa siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (karena dengan keduanya, bumi dapat dikuasai dan dimanfaatkan dengan baik), maka ia menguasai bumi.

C.               Dominasi Barat atas Islam
1.                 Kemunduran Islam
Kemunduran Islam berawal dari kemunduran tiga kerajaan Islam besar, yaitu Kerajaan Safawi yang berpusat di Parsi, Kerajaan Mughal yang berpusat di India, dan Kerajaan Usmani yang berpusat di Turki. Tiga kerajaan Islam besar ini mengalami kejayaan mulai tahun 1500 sampai dengan tahun 1700 M. sebelum akhirnya mengalami kemunduran sejak tahun 1700 hingga kehancurannya.[8]
kerajaan Safawi, Sepeninggal Abbas I berturut-turut diperintah oleh enam Raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.[9]
Kerajaan Mughal berada pada puncak kejayaannya selama satu setengah abad sampai pada masa Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), kerajaan Mughal diperintah oleh raja-raja yang rata-rata lemah hingga pada tahun 1761 M perusahaan Inggris (EIC) yang sudah semakin kuat mengangkat senjata melawan pemerintah kerajaan Mughal. Akhirnya, Syah Alam membuat perjanjian damai. Setelah Syah Alam wafat pada tahun 1806 M. kerajaan diperintah oleh Akbar II (1806-1837 M). Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak benua India sebagaimana  yang diinginkan inggris, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian kekuasaan sudah berada di tangan Ingris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan dipertahankan.




Bahadur Syah (1837-1858 M), penerus Akbar, tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara dua kekuatan terserbut. Pada saat yang bersamaan, pihak EIC mengalami kerugian, karena penyelenggaraan administrasi perusahaan yang kurang efisien, sementara mereka harus tetap menjamin kehidupan istana. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan. Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Ingris pada bulan Mei 1857 M itu.
Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah. Ingris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi, rumah-rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858 M). dengan demikian, berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan India dan tinggallah di sana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.[10]
Kerajaan Usmani mengalami kemunduran setelah wafatnya Sulaiman al-Qanuni (1566 M). kemunduran demi kemunduran itu bukan hanya disebabkan faktor eksternal saja aakan tetapi juga faktor internal. Karena gejolak politik dalam negri, Syaikh al-Islam mengeluarkan fatwa agar Mustafa I (1617-1618 M) turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). pada masa-masa serlanjutnya, wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh Negara-negara Eropa yang baru mulai bangun. Pada tahun 1699 M, terjadi “perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia.
Titak lama setelah Sultan Abdul Hamis (1774-1789 M) menggantikan Sultan Mustafa II, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan “Perjanjian Kinarja” dengan Caterine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain: (1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih, dan (2) Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman (Crimea).
Di samping mengalami tekanan dari luar, kerajaan Usmani juga mengalami tekanan dari dalam berupa pemberontakan-pemberontakan yang tidak hanya terjadi di daerah-daerah yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk Muslim. Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut pada masa abad ke-19 dan ke-20 M. ditambah dengan gerakan pembaharuan politik di pusat pemerintahan, Kerajaan Usmani berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.[11]
2.                 Kemajuan Barat
Bangsa Barat mulai bangkit dari ketertinggalannya dengan ditemukannya Benua Amerika oleh Columbus di tahun 1492 M. dan terbukanya jalan ke pusat rempah-rempah dan bahan-bahan mentah di Timur jauh melalui Afrika.[12] Kekuatan Barat pada saat itu masih terhitung lemah bila dibandingkan dengan Islam, tetapi seiring dengan mundurnya Islam pada fase II (1700-1800 M), Barat mulai maju mengungguli Islam.
Kemajuan Barat bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode berfikir Islam yang rasional. Di antara saluran masuknya peradaban Islam ke Barat yang terpenting adalah Spanyol Islam. Ketika Islam mengalami kejayaan di Spanyol, banyak orang Barat yang datang belajar ke sana, kemudian menerjemahkan karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini dimulai sejak abad ke 12 M. Setelah mereka pulang ke negri masing-masing, mereka mendirikan universitas dengan meniru pola Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, keadaan ini melahirkan renaissance, reformasi, dan rasionalisme di Eropa.
Gerakan-gerakan renaisans melahirkan perubahan-perubahan besar dalam sejarah dunia. Abad ke16 dan 17 M merupakan abad yang penting bagi Barat, sementara pada abad ke-17 itu, dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Renaisans menghantarkan Barat bangkit. Mereka menyelidiki rahasia alam, menaklukkan lautan, dan menjelajahi benua yang belum terjamah sebelumnya. Banyak penemuan-penemuan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan kehidupan yang mereka peroleh. Seteah Christoper Columbus menemukan Benua Amerika pada tahun 1492 M dan Vasco da Gama menemukan jalan ke Timur melalui Tanjung Harapan pada tahun 1498 M, Barat memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai Islam.
Terangkatnya perekonomian Barat yang kemudian disusul dengan penemuan mesin uap melahirkan revolusi industri. Tehnologi perkapalan dan militer berkembeng dengan pesat. Dengan demikian, Eropa (Barat) menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan-lawan yang masih menggunakan persenjataan tradisional.[13]
3.                 Penjajahan Barat atas Dunia Islam
Setelah Barat memperoleh kemajuan dan Islam mengalami kemunduran, perimbangan kekuatan antara keduanya berubah dengan cepat. Dalam perkembangan berikutnya, dengan organisasi dan persenjataan modern pasukan perang Eropa melancarkan pukulan telak terhadap daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti kerajaan Mughal di India yang dikalahkan Ingris, kerajaan Usmani yang tidak berdaya menghadapi serangan-serangan Barat. [14]
Daerah-daerah kekuasaan Islam yang lain juga ikut berjatuhan ke tangan Barat, seprti Asia Tenggara, bahkan Mesir, salah satu pusat peradaban Islam yang terpenting berhasil diduduki Napoleon Bonaparte dari Prancis pada tahun 1798 M. sejak masa itu, Barat menguasai daerah-daerah Islam dan mendominasi jalur-jalur laut, medan pertempuran, dan jalur-jalur perdagangan yang strategis. Sebagai akibatnya, para penguasa Muslim menyerahkan pengawasan wilayah dan penduduk serta system ekonominya ke tangan Barat.[15]

D.               Oksidentalisme Ḥassan Ḥanafī
1.                 Riwayat hiudup Ḥassan Ḥanafī
Ḥassan Ḥanafī dilahirkan di kota Kairo pada tanggal 13 Februari 1935 M. keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di Mesir bagian selatan, dan berurban ke Kairo, ibu kota Mesir. Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah bani Mur yang di antaranya, menurunkan bani Gamāl ‘Abd al-Naser, Presiden Mesir ke dua.[16]
Menjelang umur lima tahun, Ḥanafī kecil mulai menghafal al-Qur’an. Pendidikan dasarnya dimulai di Madrasah Sulaymān Gāwisy, Bāb al-Futūḥ, komplek perbatasan Benteng Ṣalāḥ al-Dīn al-Ayyūbī, selama lima tahun kemudian  melanjutkan ke sekolah pendidikan guru, mu‘allimīn (lima tinggkat). Namun setelah empat tahun ia lalui, ketika mau mau ke tingkat terahir, ia memutuskan untuk pindak ke Madrasah al-Silaḥdār, yang berada di kompleks masjid al-Ḥākim bi Amrillāh. Setelah tamat dari Madrasah al-Silaḥdār, ia melanjutkan ke Madrasah Khaliīl Aghā selama lima tahun.
Setelah memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Adab (Sastra Arab) Unifersitas Kairo Jurusan Filsafat, Ḥassan Ḥanafī melanjutkan pendidikannya ke Universitas Sorbonne, Prancis Selama kurang lebih sepuluh tahun ia hidup di tengah-tengah Orientalis Barat sehingga ia dapat menguasai tradisi, pemikiran dan keilmuan mereka dengan cukup baik. Dalam satu artikelnya, ia mengatakan “Itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik, aku cintai, dan akhirnya aku benci.[17]
2.                 Segitiga emas al-turāth wa al-tajdīd
al-Turāth wa al-tajdīd (tradisi dan pembaruan) adalah gagasan pokok Ḥassan Ḥanafī yang mencakup tiga agenda, yaitu: 1) sikap kita terhadap tradisi, 2) sikap kita terhadap Barat (Oksidentalisme), dan 3) sikap kita terhaadap realitas (teoei interpretasi). Ketiga sisi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:[18]



Tiga agenda tersebut masing-masing memiliki penjelasan teorinya sendiri-sendiri. Agenda pertema (sikap kita terhadap tradisi) mencakup tujuh bagian, yaitu: 1) dari teologi ke revolusi, 2) dari transferensi ke inovasi, 3) dari teks ke realita, 4) dari kefanaan menuju keabadian, 5) dari teks ke rasio, 6) dari akal kea lam, dan 7) manusia dan sejarah. Agenda kedua (sikap kita terhada tradisi Barat) mencakup tiga bagian, yaitu: 1) sumber peradaban Eropa, 2) permulaan kesadaran Eropa, dan 3) akhir kesadaran Eropa. Sedangkan agenda ketiga (sikap kita terhadap realita) mencakup tiga bagian, yaitu: 1) metodologi, 2) perjanjian baru, dan 3) perjanjian lama. Dengan demikian, proyek al-turāth wa al-tajdīd (tradisi dan pembaruan) lengkapnya adalah sebagai berikut:[19]
TRADISI DAN PEMBARUAN
Sikap kita
Terhadap
tradisi lama
1.     dari teologi ke revolusi
2.     dari transferensi ke enovasi
3.     dari teks ke realiat
4.     dari kefanaan menuju kebadian
5.     dari teks ke rasio
6.     akal dan alam
7.     manusia dan sejarah
Sikap kita
Terhadap
Barat
1.     Sumber peradaban Eropa
2.     Pemulaan kesadaran Eropa
3.     Akhir kesadaran Eropa
Sikap kita
Terhadap
realitas
1.     Metodologi
2.     Perjanjian baru
3.     Perjanjian lama
3.                 Gagasan Oksidentalisme
Oksidentalisme yang merupakan agenda kedua al-turāth wa al-tajdīd (tradisi dan pembaruan) adalah wajah lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Kalau Orieantalisme melihat potret kita, umat Islam, dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme sebaliknya, melihat potret Barat dari kacamata kita. Orientalisme yang memposisikan Barat sebagai subyek pengkaji menyebabkan munculnya kompleksitas superioritas dalam diri Barat dan terjadinya kompleksitas inferioritas dalam diri non Barat.
Tugas Oksidentalisme adalah mengurai inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other (Barat) dengan menjadikan sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan inferioritas ego[20] (umat Islam) dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Dengan kata lain menghilangkan rasa tak percaya diri di hadapan Barat dalam soal bahasa, kebudayaan, ilmu pengetahuan, madzhab, teori, dan pendapat.[21]
Secara definitif, Oksidentalime baru dimunculkan Ḥassan Ḥanafī, namun secara operasional, Oksidentalisme sudah dilakukan semenjak Islam bersentuhan dengan Yunani.  Ketika peradaban Islam berstatus sebagai subyek pengkaji, ia mampu menjadikan peradaban Yunani sebagai obyek yang dikaji. Kemudian terjadi dialektika yang benar antara ‘ego’ dan ‘the other’, ego sebagai subyek pengkaji dan the other sebagai obyek yang dikaji. Hal ini terjadi melalui beberapa fase dibawah ini:[22]
a.                 fase transferensi (al-naql). Dalam fase ini diberikan prioritas kepada “kata” sebagai perwujudan keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa buku asli, yaitu bahasa Yunani.
b.                 Fase transferensi makna (al-naql al-ma’nawī). Dalam fase ini prioritas diberikan kepada “makna” sebagai manifestasi keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa terjemahan, yaitu bahasa arab.
c.                 Ketiga, fase anotasi (al-sharḥ). Dalam fase ini prioritas diberikan untuk tema atau substansi.
d.                Fase peringkasan (talkhish), yaitu mempelajari suatu tema dengan memfokuskan kajian pada inti tema tanpa melakukan perdebatan dan pembuktian.
e.                 Mengarang dalam lingkup kebudayaan pendatang dengan melakukan presentasi dan penyempurnaan, sehingga kata, makna serta tema dalam kebudayaan the other, dapat dibendung.
f.                  Mengarang dalam lingkup tema kebudayaan pendatang di samping tema tradisi ego. Di sinilah potret ego menemukan kesempurnaannya dan kebudayaan the other dapat dipisahkan dari kebudayaan ego.
g.                 Kritik terhadap kebudayaan pendatang dan menjelaskan lokalitas serta keterkaitannya dengan lingkungan. Dengan kata lain, mengembalikan kebudayaan pendatang ke batas alaminya dan menjelaskan kesejarahannya bahwa ia merupakan suatu keadaan khusus dan tidak memiliki univertalitas yang memungkinkan kebudayaan tersebut diwarisi oleh seluruh peradaban manusia, seperti potensi yang dimiliki kebudayaan ego.
h.                 Menolak total kebudayaan pendatang karena sudah tidak diperlukan lagi, dan kembali pada teks ego yang masih mentah tanpa ada keinginan untuk meninggalkan sedikitpun serta melakukan interaksi dengan kebudayaan lain.
Oksidentalisme diharapkan penggagasnya untuk dipelajari oleh para peneliti dari beberapa generasi, lalu menjadi arus utama (Ṭayyar ‘ām) pemikiran serta memberikan andil dalam membentuk kebudayaan. Dengan demikian, akan terdapat hasil-hasil setidaknya sebagai berikut:[23]
a.                 Kesadaran Eropa yang dulunya pengkaji akan menjadi obyek yang dikaji sehingga kesadaran Eropa tak lagi menjadi pihak yang berkuasa.
b.                 Kesadaran Eropa dipelajari dalam kapasitas sebagai sejarah bukan sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah. Oksidentalisme membuktikan bahwa kesadaran non Eropa yang dituduh kesadaran Barat sebagai ahistoris, ternyata mampu mempelajari kesadaran Eropa dan mengembalikannya dalam lingkup kesejarahannya.
c.                 Kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke wilayah geografis dan historisnya.
d.                Muncul berbagai peradaban sentrisme, dan semua peradaban akan berada satu level, sehingga terjadi hubungan timbal-balik dan interaksi peradaban tanpa terjadi penghancuran peradaban kecil oleh peradaban besar dengan mengatasnamakan akulturas.
e.                 Muncul kreasi dari pembebasan diri dari kontrol the other dan muncul inovasi orisinal dari kembali kepada diri sendiri yang telah terbebas dari keterasingan dalam the other.
f.                  Terhapusnya inferioritas yang terjadi pada bangsa non Eropa ketika berhadapan dengan bangsa Eropa.
g.                 Penulisan ulang sejarah dapat dilakukan agar semaksimal mungkin dapat mewujudkan persamaan bagi seluruh bangsa di dunia yang sebelumnya menjadi korban perampasan kebudayaan yang dilakukan bangsa Eropa.
h.                 Peradaban manusia yang dulunya berasal dari Timur dan berpindah ke Barat, akan kembali lagi ke Timur.

E.               Refleksi
Dominasi Barat sebagaimana digambarkan dalam kajian ini muncul akibat keunggulan Barat atas Islam dalam bidang ilmu pengrtahuan dan teknologi. Dari kajian ini dapat diambil pelajaran bahwa siapa yang mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ia akan mendominasi. Artinya jika Islam ingin maju dan terbebas dari Hegemoni Barat maka solusinya Islam harus menguasai dua hal tersebut dengan baik.
al-Turāth wa al-tajdīd (tradisi dan pembaruan) yang digagas Ḥassan Ḥanafī merupakan langkah yang tepat untuk membangkitkan umat Islam, hususnya Oksidentalisme yang membuat umat Islam bukan saja dikaji dan didefinisikan Barat, tapi umat Islam juga mengkaji dan mendefinisikan Barat sehingga kedudukan setidaknya menjadi seimbang.

F.                Kesimpulan
Dominasi Barat atas Timur, khusunya Dunia Islam, dikarenakan keunggulannya atas Timur dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada mulannya, Islam lebih unggul bila dibandingkan dengan Barat. Akan tetapi Islam akhirnya mengalami kemunduran seiring dengan mundurnya tiga kerajaan besar (Kerajaan Usmani, Syafawi, dan Mughal). Sementara itu, Barat (Eropa) yang sebelumnya berguru kepada Islam terus berkembang dan melahirkan renaissance. Gerakan-gerakan renaisans tersebut melahirkan perubahan-perubahan besar dalam sejarah dunia. Seteah Christoper Columbus menemukan Benua Amerika pada tahun 1492 M dan Vasco da Gama menemukan jalan ke Timur melalui Tanjung Harapan pada tahun 1498 M, Barat memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan. Terangkatnya perekonomian Barat yang kemudian disusul dengan penemuan mesin uap melahirkan revolusi industri. Tehnologi perkapalan dan militer berkembeng dengan pesat. Dengan demikian, Barat menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari lawan-lawan yang masih menggunakan persenjataan tradisional. Keadaan selanjutnya Barat melakukan penjajahan ke berbagai daerah kekuasaan Islam dan pada akhirnya Barat mendominasi Islam.
Dominasi Barat tersebut menginsafkan Dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan para pemuka Islam untuk mengidentifikasi “penyakit” umat Islam dalam segala aspek kehidupannya, baik dalam bidang agama, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain. Para pemuka Islam tersebut melancarkan “Gagasan pembaruan Islam” untuk membebaskan diri dari hegemoni Barat. Di antara gagasan pembaruan Islam tersebut adalah gagasan  al-Turāth wa al-tajdīd (tradisi dan pembaruan) yang digagas Ḥassan Ḥanafī.
“Oksidentalisme” yang merupakan agenda kedua dari  gagasan  al-Turāth wa al-tajdīd dimaksudkan oleh penggagasnya untuk mengimbangi “Orientalisme” yang dilakukan Barat. Kalau Orieantalisme melihat potret kita (Timur) dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme sebaliknya, melihat potret Barat dari kacamata kita (Timur). Dengan Oksidentalisme, Ḥassan Ḥanafi mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat dan meletakkan kembali peradaban Barat pada proporsi geografisnya.






DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an al-Karim
Badruzzaman, Abad. Kiri Islam Ḥassan Ḥanafī Menggugat Kemapanan Agama dan Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Departemaen Agama RI. al-Quran dan terjemahnya. Bandung: Jumānatul ‘Alī, 2005.
Faqih, Miftah. “Pengantar Penerjemah” dalam Islamologi 1 dari Teologi Statis ke Anarkis terj. Miftah Faqih karya Ḥassan Ḥanafī. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2007.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset
Ḥanafī, Ḥassan. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori Jakarta: Paramadina, 2000.
Ibnu. “Muqaddimah Oksidentalisme Hassan Hanafi” dalam http://www.mypesantren.com/blogs/item/1554046. diakses 19 Maret 212.
Ibnu Kathīr. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. tt: Dār al-Ṭayyibah li al-Naṣri wa al-Tawzī‘, 1999.
Al-Marāghī. Tafsīr alMarāghī. Mesir: Muṣtafā al-Bābī al-Ḥalabī wa Awlāduhu, tt.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam  Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
al-Qurṭubī. al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qur’ān. Qāhirah: Dār al-Kutub al-Miṣrīyah, 1964.
Shah, M Aunul Abied Shah Dkk. Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2001.
Taufiq, Ahmad Taufiq dkk. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.
Wahbah al-Zuḥaylī. al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdati wa al-Sharī‘ati wa al-Manhaji. Dimashqa: Dār al-Fikri al-Mu‘āṣirah, 1418 H.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008.


[1]      Kemungkinan lain suatu penelitihan jika ditinjau dari segi tempatnya adalah reseach laboratorium dan research kancah. Lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset), I: 3.
[2]      QS. Al-Anbiyā’ (21): 105.
[3]      Zabur di sini ialah seluruh kitab yang diturunkan Allah SWT. kepada nabi-nabi-Nya sebagian ahli tafsir mengartikan dengan kitab yang diturunkan kepada Nabi Dāwūd A.S., dengan demikian al-Dhikr artinya Kitab Taurat. Lihat Departemaen Agama RI, al-Quran dan terjemahnya (Bandung: Jumānatul ‘Alī, 2005), 332.
[4]      Departemaen Agama RI, al-Quran dan terjemahnya, 332.
[5]      Pendapat al-Marāghī ini adalah salah satu pendapat yang ada. Adapun pendapat sahabat seperti Abū Abbās, tabi’in seperti Mujāhid dan Sa’īd bin Jubayr, dan banyak mufassir setelah tabiin termasuk ulama kontemporer seperti Wahbah bin Muṣṭafā al-Zaḥaylī berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang akhirat dan yang dimaksud “al-ṣāliḥūn” adalah orang-orang yang beramal salih yang  didasari dengan keimanan. Sedangkan yang dimaksud dengan  “al-arḍ” adalah “arḍ al-Jannah” sebagaimana penggunaan “al-arḍ” untuk arti surga dalam surah al-Zumar ayat 74. Riwayat lain dari Ibni ‘Abbās mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “al-ṣāliḥūn” dalam ayat ini adalah Nabi Muḥammad SAW. dan umatnya yang menguasai bumi yang sebelumnya di kuasai orang-orang kafir (arḍ al-umam al-kāfirah) dan masih banyak lagi pendapat yang lain. Lihat al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qur’ān (Qāhirah: Dār al-Kutub al-Miṣrīyah, 1964), XI: 349; Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (tt: Dār al-Ṭayyibah li al-Naṣri wa al-Tawzī‘, 1999), V: 385; Wahbah al-Zuḥaylī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdati wa al-Sharī‘ati wa al-Manhaji (Dimashqa: Dār al-Fikri al-Mu‘āṣirah, 1418 H.), XVII: 135.
[6]      alMarāghī, Tafsīr alMarāghī  (Mesir: Muṣtafā al-Bābī al-Ḥalabī wa Awlāduhu, tt.), XVII: 76.
[7]      Ibid., IX: 210.
[8]      Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam  Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 14.
[9]      Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008), 156.
[10]     Ibid., 159-162.
[11]     Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 163-166.
[12]     Ahmad Taufiq dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), 8.
[13]     Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 169-170
[14]     Ibid., 170.
[15]     Ahmad Taufiq dkk, Sejarah Pemikiran, 14.
[16]     Abad Badruzzaman, Kiri Islam Ḥassan Ḥanafī Menggugat Kemapanan Agama dan Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 41.
[17]     M. Aunul Abied Shah Dkk, Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 219-220.
[18]     Ḥassan Ḥanafī, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 20005), 5. Dalam gagasan pokok Ḥassan Ḥanafī ini terlihat corak pemikirannya yang berwatak dinamis dan progresif sebagaimana dikatakan Miftah Faqih. Lihat Miftah Faqih “Pengantar Penerjemah” dalam Islamologi 1 dari Teologi Statis ke Anarkis terj. Miftah Faqih karya Ḥassan Ḥanafī (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2007.
[19]     Ibid., 3.
[20]     Ego di sini merupakan terjemahan dari istilah Arab “anā” yang secara bahasa berarti “saya”. Tetapi yang dimaksud adalah diri umat Islam. Sedangkan “the other” merupakan terjemahan dari istilah Arab “al-ākhar” yang secara bahasa berarti “pihak lain”.
[21]     Ḥassan Ḥanafī, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta: Paramadina, 2000), 25-26.
[22]Ibid; Ibnu, “Muqaddimah Oksidentalisme Hassan Hanafi” dalam http://www.mypesantren.com/blogs/item/1554046. diakses 19 Maret 212.
[23]     Ibid., 51-59.










Baca tulisan menarik lainnya: