Topi lain:
Beranda » Arsip untuk Juli 2012
Rabu, 25 Juli 2012
OKSIDENTALISME SEBAGAI RESPONS UMAT ISLAM TERHADAP DOMINASI BARAT
OKSIDENTALISME SEBAGAI RESPONS UMAT ISLAM TERHADAP DOMINASI BARAT
Oleh: Ustadz Zaenal Hamam
(Penulis adalah Mahasiswa S2 Program Pascasarjana STAIN Kediri)
(Penulis adalah Mahasiswa S2 Program Pascasarjana STAIN Kediri)
A.
Pengantar
Oksidentalisme yang digagas oleh Hassan
Hanafi merupakan salah satu bentuk respons umat Islam terhadap dominasi Barat
sebagaimana Pan-Islam yang digagas oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan gagasan-gagasan lain yang
diperjuangkan oleh para Pembaharu Islam. Dominasi Barat atas Islam terbentuk
ketika Dunia Islam mengalami kemunduran dalam berbagai bidang, hususnya dalam bidang
ilmu pengetahuan.
Sejak tiga kerajaan Islam besar
(Kerajaan Usmani, Kerajaan Safawi, dan Kerajaan Mughal) mengalami kemunduran
karena berbagai serangan, sejak itu pula kekuatan umat Islam mulai menurun.
Kekuatan militer, perdagangan, ekonomi dikuasai dan dimonopoli oleh Barat, ilmu
pengetahuan Islam yang sebelumnya berjaya mengalami stagnasi, sikap fatalisme
semakin merajalela sehingga Dunia Islam mundur dan statis. Dalam pada itu,
Barat yang semakin kuat terus menduduki daerah-daerah Islam dan akhirnya
Napoleon menduduki Mesir pada tahun 1798 M. Hal tersebut memunculkan sikap
superioritas Barat atas Timur hususnya Islam.
Jatuhnya Mesir ke
tangan Barat dan
munculnya sikap superioritas Barat atas Islam tersebut menginsafkan Dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan para pemuka Islam untuk mengidentifikasi
“penyakit” umat Islam dalam segala aspek kehidupannya, baik dalam bidang agama,
politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain. Para pemuka Islam tersebut
melancarkan “Gerakan Pembaharuan Islam” untuk membebaskan diri dari hegemoni Barat. Di
antara gerakan Pembaharuan Islam tersebut
adalah Oksidentalisme
yang digagas oleh Ḥassan Ḥanafi.
Oksidentalisme yang digagas oleh Ḥassan Ḥanafi tersebut untuk
mengimbangi “Orientalisme” yang dilakukan Barat. Kalau Orieantalisme melihat
potret kita (Timur) dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme sebaliknya,
melihat potret Barat dari kacamata kita (Timur). Dengan Oksidentalisme, Ḥassan
Ḥanafi mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat dan
meletakkan kembali peradaban Barat pada proporsi geografisnya.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun makalah
dengan judul Oksidentalisme Sebagai Respons Umat Islam Terhadap Dominasi Barat.
Penulis memilih Oksidentalisme sebagai kajian, karena Oksidentalisme bersifat
konstruktif tidak sebagaimana bentuk respons terhadap dominasi Barat yang lain
yang kebanyakan bersifat reaksioner. Kajian ini difokuskan pada dua masalah, yaitu dominasi Barat atas dunia Islam dan Oksidentalisme
sebagai respons Ḥassan Ḥanafī terhadap
Orientalisme.
kajian tersebut dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dari segi tempat, kajian ini termasuk jenis kajian pustaka (library research), yaitu kajian yang bertempat di perpustakaan,[1]
maksudnya kajian dilakukan dengan cara mencari informasi dan data dari
karya pustaka. Karya pustakan diharapkan dapat memberikan data yang dibutuhkan dalam kajian ini.
Sumber data yang
digunakan sebagai rujukan dalam kajian ini adalah al-Qur’an,
Tafsir al-Marāghī karya Aḥmad Muṣṭafā al-Marāghī, Oksidentalisme:
Sikap Kita terhadap Tradisi Barat yang
diterjemahkan M. Najib Buckori dari Muqaddimah fī ‘Ilm al-Istighrāb karya Ḥassan Ḥanafī , Islamologi
1 dari Teologi Statis ke Anarkis yang
diterjemahkan Miftah Faqih dari Dirāsāt Islāmīyah karya Ḥassan Ḥanafī,
Kiri Islam Ḥassan Ḥanafī
karya Abad Badruzzaman, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan karya Harun Nasution, Sejarah
Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam karya Ahmad Taufiq dkk, Islam Garda
Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah karya M. Aunul Abied Shah Dkk, dan
buku lain yang dapat mendukung
tema ini.
Supaya pembahasan dapat dilakukan secara
tererah dan sistematis, pembahasan dalam makalah ini disusun dengan sistematika
sebagai berikut:
Pertama, pengantar yang meliputi
uraian mengenai identifikasi permasalah yang menjadi fokus kajian, pendekatan dan jenis kajian, sumber data yang dijadikan sebagai
rujukan, dan sitematika pembahasan. Kedua, kerangka teoritis (grand
theory) sebagai landasan dari pembahasan mengenai tema yang dikaji.
Ketiga, dominasi Barat atas Islam, dimulai dari kemunduran
Islam, kemajuan Barat, penjajahan Barat atas Dunia Islam, dan Orientalisme. Keempat, Oksidentalisme
sebagai respons Ḥassan Ḥanafī terhadap
Orientalisme yang meliputi riwayat hidup Ḥassan
Ḥanafī, segitiga emas al-turāth wa al-tajdīd,
dan gagasan Oksidentalisme.
Kelima, refleksi berupa analisa materi
yang telah diuraikan dan kemudian dari materi yang telah diuraikan tersebut dicari
poin-poin yang penting yang dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan
kajian Islam modern, serta mengungkapkan kekurangan dan kelebihan dari materi
yang dikaji. Keenam, Kesimpulan
yang menggambarkan masalah yang menjadi kajian.
B.
Kerangka
teoritis
Teori yang digunakan dalam kajian ini
adalah teori tentang penguasaan bumi (siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka ia
mewarisi bumi)
sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ
أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ[2]
Artinya: dan
sungguh telah kami tulis di dalam Zabur[3]
sesudah (kami tulis dalam) al-Dhikr (lawḥ Maḥfūẓ) bahwasanya bumi
ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.[4]
Dalam menafsirkan ayat tersebut,
al-Marāghī mengatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang akhirat[5]
akan tetapi berbicara tentang dunia.[6]
Ia juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “al-ṣāliḥūn” adalah orang-orang
yang cakap memerintah dan menaklukkan bumi serta memanfaatkan isi kandungannya.[7]Jadi
dapat disimpulkan
bahwa siapa yang menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi (karena dengan keduanya, bumi
dapat dikuasai dan dimanfaatkan dengan baik), maka ia menguasai bumi.
C.
Dominasi Barat
atas Islam
1.
Kemunduran
Islam
Kemunduran Islam berawal dari kemunduran tiga kerajaan Islam besar, yaitu
Kerajaan Safawi yang berpusat di Parsi, Kerajaan Mughal yang berpusat di India,
dan Kerajaan Usmani yang berpusat di Turki. Tiga kerajaan Islam besar ini
mengalami kejayaan mulai tahun 1500 sampai dengan tahun 1700 M. sebelum
akhirnya mengalami kemunduran sejak tahun 1700 hingga kehancurannya.[8]
kerajaan Safawi, Sepeninggal Abbas I berturut-turut diperintah oleh enam Raja, yaitu Safi
Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain
(1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa
tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang,
tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada
kehancuran.[9]
Kerajaan Mughal berada pada puncak
kejayaannya selama satu setengah abad sampai pada masa Aurangzeb yang dengan
keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Sepeninggal Aurangzeb (1707 M),
kerajaan Mughal diperintah oleh raja-raja yang rata-rata lemah hingga pada
tahun 1761 M perusahaan Inggris (EIC) yang sudah semakin kuat mengangkat
senjata melawan pemerintah kerajaan Mughal. Akhirnya, Syah Alam membuat
perjanjian damai. Setelah Syah Alam wafat pada tahun 1806 M. kerajaan
diperintah oleh Akbar II (1806-1837 M). Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak
benua India sebagaimana yang diinginkan
inggris, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga
istana. Dengan demikian kekuasaan sudah berada di tangan Ingris, meskipun
kedudukan dan gelar Sultan dipertahankan.
Bahadur Syah (1837-1858 M), penerus
Akbar, tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga
terjadi konflik antara dua kekuatan terserbut. Pada saat yang bersamaan, pihak
EIC mengalami kerugian, karena penyelenggaraan administrasi perusahaan yang
kurang efisien, sementara mereka harus tetap menjamin kehidupan istana. Untuk
menutupi kerugian dan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan istana, EIC mengadakan
pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat. Karena rakyat merasa
ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan
pemberontakan. Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang
perlawanan rakyat India terhadap kekuatan Ingris pada bulan Mei 1857 M itu.
Perlawanan mereka dapat dipatahkan
dengan mudah. Ingris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para
pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi, rumah-rumah ibadah banyak yang
dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858 M).
dengan demikian, berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan India
dan tinggallah di sana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensi
mereka.[10]
Kerajaan Usmani mengalami kemunduran
setelah wafatnya Sulaiman al-Qanuni (1566 M). kemunduran demi kemunduran itu
bukan hanya disebabkan faktor eksternal saja aakan tetapi juga faktor internal.
Karena gejolak politik dalam negri, Syaikh al-Islam mengeluarkan fatwa agar
Mustafa I (1617-1618 M) turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622
M). pada masa-masa serlanjutnya, wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit
demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh Negara-negara Eropa yang
baru mulai bangun.
Pada tahun 1699
M, terjadi “perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh
hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg dan Hemenietz,
Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada orang-orang Venetia.
Titak lama setelah Sultan Abdul Hamis
(1774-1789 M) menggantikan Sultan Mustafa II, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan
“Perjanjian Kinarja” dengan Caterine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara
lain: (1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut
Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang
menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih, dan (2) Kerajaan Usmani mengakui
kemerdekaan Kirman (Crimea).
Di samping mengalami tekanan dari luar,
kerajaan Usmani juga mengalami tekanan dari dalam berupa
pemberontakan-pemberontakan yang tidak hanya terjadi di daerah-daerah yang
tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk Muslim.
Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut pada masa abad ke-19 dan ke-20 M.
ditambah dengan gerakan pembaharuan politik di pusat pemerintahan, Kerajaan
Usmani berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.[11]
2.
Kemajuan
Barat
Bangsa Barat mulai bangkit dari
ketertinggalannya dengan ditemukannya Benua Amerika oleh Columbus di tahun 1492
M. dan terbukanya jalan ke pusat rempah-rempah dan bahan-bahan mentah di Timur
jauh melalui Afrika.[12]
Kekuatan Barat pada saat itu masih terhitung lemah bila dibandingkan dengan
Islam, tetapi seiring dengan mundurnya Islam pada fase II (1700-1800 M), Barat
mulai maju mengungguli Islam.
Kemajuan Barat bersumber dari khazanah
ilmu pengetahuan dan metode berfikir Islam yang rasional. Di antara saluran masuknya
peradaban Islam ke Barat yang
terpenting adalah Spanyol Islam. Ketika Islam mengalami kejayaan di Spanyol, banyak orang Barat yang datang belajar ke sana, kemudian
menerjemahkan karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini dimulai sejak abad ke 12
M. Setelah mereka pulang ke negri masing-masing, mereka mendirikan universitas
dengan meniru pola Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, keadaan ini melahirkan renaissance, reformasi,
dan rasionalisme di Eropa.
Gerakan-gerakan renaisans melahirkan
perubahan-perubahan besar dalam sejarah dunia. Abad ke16 dan 17 M merupakan
abad yang penting bagi Barat, sementara pada abad ke-17 itu, dunia Islam mulai
mengalami kemunduran. Renaisans menghantarkan Barat bangkit. Mereka menyelidiki
rahasia alam, menaklukkan lautan, dan menjelajahi benua yang belum terjamah
sebelumnya. Banyak penemuan-penemuan dalam lapangan ilmu pengetahuan dan
kehidupan yang mereka peroleh. Seteah Christoper Columbus menemukan Benua
Amerika pada tahun 1492
M dan Vasco da
Gama menemukan jalan ke Timur melalui Tanjung Harapan pada tahun 1498 M, Barat memperoleh kemajuan dalam dunia
perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai
Islam.
Terangkatnya perekonomian Barat yang
kemudian disusul dengan penemuan mesin uap melahirkan revolusi industri.
Tehnologi perkapalan dan militer berkembeng dengan pesat. Dengan demikian,
Eropa (Barat) menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan ekonomi dan
perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan berarti dari
lawan-lawan yang masih menggunakan persenjataan tradisional.[13]
3.
Penjajahan
Barat atas Dunia Islam
Setelah Barat memperoleh
kemajuan dan Islam mengalami kemunduran, perimbangan kekuatan antara keduanya
berubah dengan cepat. Dalam perkembangan berikutnya, dengan organisasi dan
persenjataan modern pasukan perang Eropa melancarkan pukulan telak terhadap
daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti kerajaan Mughal di India yang dikalahkan
Ingris, kerajaan Usmani yang tidak berdaya menghadapi serangan-serangan Barat. [14]
Daerah-daerah kekuasaan Islam yang lain juga
ikut berjatuhan ke tangan Barat, seprti Asia Tenggara, bahkan Mesir, salah satu
pusat peradaban Islam yang terpenting berhasil diduduki Napoleon Bonaparte dari
Prancis pada tahun 1798 M. sejak masa itu, Barat menguasai daerah-daerah Islam
dan mendominasi jalur-jalur laut, medan pertempuran, dan jalur-jalur
perdagangan yang strategis. Sebagai akibatnya, para penguasa Muslim menyerahkan
pengawasan wilayah dan penduduk serta system ekonominya ke tangan Barat.[15]
D.
Oksidentalisme Ḥassan Ḥanafī
1.
Riwayat
hiudup Ḥassan Ḥanafī
Ḥassan Ḥanafī dilahirkan di kota Kairo
pada tanggal
13 Februari 1935
M. keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di Mesir bagian selatan, dan berurban
ke Kairo, ibu kota Mesir. Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari
kabilah bani Mur yang di antaranya, menurunkan bani Gamāl ‘Abd al-Naser,
Presiden Mesir ke dua.[16]
Menjelang umur lima tahun, Ḥanafī kecil
mulai menghafal al-Qur’an. Pendidikan dasarnya dimulai di Madrasah Sulaymān
Gāwisy, Bāb al-Futūḥ, komplek perbatasan Benteng Ṣalāḥ al-Dīn al-Ayyūbī,
selama lima tahun kemudian melanjutkan
ke sekolah pendidikan guru, mu‘allimīn (lima tinggkat). Namun setelah
empat tahun ia lalui, ketika mau mau ke tingkat terahir, ia memutuskan untuk
pindak ke Madrasah al-Silaḥdār, yang berada di kompleks masjid al-Ḥākim
bi Amrillāh. Setelah tamat dari Madrasah al-Silaḥdār, ia melanjutkan
ke Madrasah Khaliīl Aghā selama lima tahun.
Setelah memperoleh gelar kesarjanaan
dari Fakultas Adab (Sastra Arab) Unifersitas Kairo Jurusan Filsafat, Ḥassan
Ḥanafī melanjutkan pendidikannya ke Universitas Sorbonne, Prancis Selama kurang
lebih sepuluh tahun ia hidup di tengah-tengah Orientalis Barat sehingga ia
dapat menguasai tradisi, pemikiran dan keilmuan mereka dengan cukup baik. Dalam
satu artikelnya, ia mengatakan “Itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik, aku
cintai, dan akhirnya aku benci.[17]
2.
Segitiga emas al-turāth wa al-tajdīd
al-Turāth
wa al-tajdīd (tradisi dan pembaruan) adalah gagasan
pokok Ḥassan
Ḥanafī yang mencakup tiga agenda, yaitu: 1) sikap kita terhadap tradisi, 2)
sikap kita terhadap Barat (Oksidentalisme), dan 3) sikap kita terhaadap
realitas (teoei interpretasi). Ketiga sisi tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:[18]
Tiga agenda tersebut masing-masing
memiliki penjelasan teorinya sendiri-sendiri. Agenda pertema (sikap kita
terhadap tradisi) mencakup tujuh bagian, yaitu: 1) dari teologi ke revolusi, 2)
dari transferensi ke inovasi, 3) dari teks ke realita, 4) dari kefanaan menuju
keabadian, 5) dari teks ke rasio, 6) dari akal kea lam, dan 7) manusia dan
sejarah. Agenda kedua (sikap kita terhada tradisi Barat) mencakup tiga bagian,
yaitu: 1) sumber peradaban Eropa, 2) permulaan kesadaran Eropa, dan 3) akhir
kesadaran Eropa. Sedangkan agenda ketiga (sikap kita terhadap realita) mencakup
tiga bagian, yaitu: 1) metodologi, 2) perjanjian baru, dan 3) perjanjian lama.
Dengan demikian, proyek al-turāth wa al-tajdīd (tradisi dan pembaruan) lengkapnya adalah
sebagai berikut:[19]
TRADISI DAN PEMBARUAN
Sikap kita
Terhadap
tradisi
lama
|
1.
dari teologi ke revolusi
2.
dari transferensi ke enovasi
3.
dari teks ke realiat
4.
dari kefanaan menuju kebadian
5.
dari teks ke rasio
6.
akal dan alam
7.
manusia dan sejarah
|
Sikap
kita
Terhadap
Barat
|
1.
Sumber peradaban Eropa
2.
Pemulaan kesadaran Eropa
3.
Akhir kesadaran Eropa
|
Sikap
kita
Terhadap
realitas
|
1.
Metodologi
2.
Perjanjian baru
3.
Perjanjian lama
|
3.
Gagasan
Oksidentalisme
Oksidentalisme yang merupakan agenda kedua al-turāth
wa al-tajdīd
(tradisi dan pembaruan) adalah wajah
lain dan tandingan bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Kalau Orieantalisme melihat
potret kita, umat Islam, dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme sebaliknya,
melihat potret Barat dari kacamata kita. Orientalisme yang memposisikan Barat
sebagai subyek pengkaji menyebabkan munculnya kompleksitas superioritas dalam
diri Barat dan terjadinya kompleksitas inferioritas dalam diri non Barat.
Tugas Oksidentalisme adalah mengurai
inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other, menumbangkan
superioritas the other (Barat) dengan menjadikan sebagai obyek yang
dikaji, dan melenyapkan inferioritas ego[20]
(umat Islam) dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Dengan kata lain
menghilangkan rasa tak percaya diri di hadapan Barat dalam soal bahasa,
kebudayaan, ilmu pengetahuan, madzhab, teori, dan pendapat.[21]
Secara definitif, Oksidentalime baru
dimunculkan Ḥassan Ḥanafī, namun secara operasional, Oksidentalisme sudah dilakukan
semenjak Islam bersentuhan dengan Yunani.
Ketika peradaban Islam berstatus sebagai subyek pengkaji, ia mampu
menjadikan peradaban Yunani sebagai obyek yang dikaji. Kemudian terjadi
dialektika yang benar antara ‘ego’ dan ‘the other’, ego sebagai subyek
pengkaji dan the other sebagai obyek yang dikaji. Hal ini terjadi
melalui beberapa fase dibawah ini:[22]
a.
fase
transferensi (al-naql). Dalam fase ini diberikan prioritas kepada “kata”
sebagai perwujudan keinginan untuk memberikan perhatian kepada bahasa buku
asli, yaitu bahasa Yunani.
b.
Fase
transferensi makna (al-naql al-ma’nawī). Dalam fase ini prioritas
diberikan kepada “makna” sebagai manifestasi keinginan untuk memberikan
perhatian kepada bahasa terjemahan, yaitu bahasa arab.
c.
Ketiga, fase anotasi (al-sharḥ). Dalam fase ini prioritas
diberikan untuk tema atau substansi.
d.
Fase
peringkasan (talkhish), yaitu mempelajari suatu tema dengan memfokuskan
kajian pada inti tema tanpa melakukan perdebatan dan pembuktian.
e.
Mengarang
dalam lingkup kebudayaan pendatang dengan melakukan presentasi dan
penyempurnaan, sehingga kata, makna serta tema dalam kebudayaan the other,
dapat dibendung.
f.
Mengarang
dalam lingkup tema kebudayaan pendatang di samping tema tradisi ego. Di
sinilah potret ego menemukan kesempurnaannya dan kebudayaan the other
dapat dipisahkan dari kebudayaan ego.
g.
Kritik
terhadap kebudayaan pendatang dan menjelaskan lokalitas serta keterkaitannya
dengan lingkungan. Dengan kata lain, mengembalikan kebudayaan pendatang ke
batas alaminya dan menjelaskan kesejarahannya bahwa ia merupakan suatu keadaan khusus dan tidak memiliki
univertalitas yang memungkinkan kebudayaan tersebut diwarisi oleh seluruh
peradaban manusia, seperti potensi yang dimiliki kebudayaan ego.
h.
Menolak
total kebudayaan pendatang karena sudah tidak diperlukan lagi, dan kembali pada
teks ego yang masih mentah tanpa ada keinginan untuk meninggalkan
sedikitpun serta melakukan interaksi dengan kebudayaan lain.
Oksidentalisme diharapkan
penggagasnya untuk dipelajari oleh para peneliti dari beberapa generasi, lalu
menjadi arus utama (Ṭayyar ‘ām) pemikiran serta memberikan andil dalam
membentuk kebudayaan. Dengan demikian, akan terdapat hasil-hasil setidaknya sebagai
berikut:[23]
a.
Kesadaran Eropa yang dulunya pengkaji
akan menjadi obyek yang dikaji sehingga kesadaran Eropa tak lagi menjadi pihak
yang berkuasa.
b.
Kesadaran Eropa dipelajari dalam
kapasitas sebagai sejarah bukan sebagai kesadaran yang berada di luar sejarah.
Oksidentalisme membuktikan bahwa kesadaran non Eropa yang dituduh kesadaran
Barat sebagai ahistoris, ternyata mampu mempelajari kesadaran Eropa dan
mengembalikannya dalam lingkup kesejarahannya.
c.
Kebudayaan dan peradaban Barat
dikembalikan ke wilayah geografis dan historisnya.
d.
Muncul berbagai peradaban sentrisme,
dan semua peradaban akan berada satu level, sehingga terjadi hubungan
timbal-balik dan interaksi peradaban tanpa terjadi penghancuran peradaban kecil
oleh peradaban besar dengan mengatasnamakan akulturas.
e.
Muncul kreasi dari pembebasan diri
dari kontrol the other dan muncul inovasi orisinal dari kembali kepada
diri sendiri yang telah terbebas dari keterasingan dalam the other.
f.
Terhapusnya inferioritas yang
terjadi pada bangsa non Eropa ketika berhadapan dengan bangsa Eropa.
g.
Penulisan ulang sejarah dapat
dilakukan agar semaksimal mungkin dapat mewujudkan persamaan bagi seluruh
bangsa di dunia yang sebelumnya menjadi korban perampasan kebudayaan yang
dilakukan bangsa Eropa.
h.
Peradaban manusia yang dulunya
berasal dari Timur dan berpindah ke Barat, akan kembali lagi ke Timur.
E.
Refleksi
Dominasi Barat
sebagaimana digambarkan dalam kajian ini muncul akibat keunggulan Barat atas
Islam dalam bidang ilmu pengrtahuan dan teknologi. Dari kajian ini dapat
diambil pelajaran bahwa siapa yang mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka ia akan mendominasi. Artinya jika Islam ingin maju dan terbebas dari
Hegemoni Barat maka solusinya Islam harus menguasai dua hal tersebut dengan
baik.
al-Turāth
wa al-tajdīd
(tradisi dan pembaruan) yang digagas
Ḥassan Ḥanafī merupakan langkah yang tepat untuk membangkitkan umat Islam, hususnya Oksidentalisme yang membuat umat Islam
bukan saja dikaji dan didefinisikan Barat, tapi umat Islam juga mengkaji dan
mendefinisikan Barat sehingga kedudukan setidaknya menjadi seimbang.
F.
Kesimpulan
Dominasi Barat atas Timur, khusunya Dunia
Islam, dikarenakan keunggulannya atas Timur dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pada mulannya, Islam lebih unggul bila dibandingkan dengan Barat.
Akan tetapi Islam akhirnya mengalami kemunduran seiring dengan mundurnya tiga
kerajaan besar (Kerajaan Usmani, Syafawi, dan Mughal). Sementara itu, Barat
(Eropa) yang sebelumnya berguru kepada Islam terus berkembang dan melahirkan renaissance.
Gerakan-gerakan renaisans tersebut melahirkan perubahan-perubahan besar dalam
sejarah dunia. Seteah Christoper Columbus menemukan Benua Amerika pada tahun
1492 M dan Vasco da Gama menemukan jalan ke Timur melalui Tanjung Harapan pada
tahun 1498 M, Barat memperoleh kemajuan dalam dunia perdagangan. Terangkatnya
perekonomian Barat yang kemudian disusul dengan penemuan mesin uap melahirkan
revolusi industri. Tehnologi perkapalan dan militer berkembeng dengan pesat.
Dengan demikian, Barat menjadi penguasa lautan dan bebas melakukan kegiatan
ekonomi dan perdagangan dari dan ke seluruh dunia, tanpa mendapat hambatan
berarti dari lawan-lawan yang masih menggunakan persenjataan tradisional.
Keadaan selanjutnya Barat melakukan penjajahan ke berbagai daerah kekuasaan
Islam dan pada akhirnya Barat mendominasi Islam.
Dominasi Barat tersebut menginsafkan
Dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan para pemuka Islam untuk
mengidentifikasi “penyakit” umat Islam dalam segala aspek kehidupannya, baik
dalam bidang agama, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain. Para
pemuka Islam tersebut melancarkan “Gagasan pembaruan Islam” untuk membebaskan
diri dari hegemoni Barat. Di antara gagasan pembaruan Islam tersebut adalah gagasan
al-Turāth
wa al-tajdīd
(tradisi dan pembaruan) yang digagas Ḥassan Ḥanafī.
“Oksidentalisme” yang merupakan
agenda kedua dari gagasan al-Turāth wa al-tajdīd dimaksudkan oleh penggagasnya untuk
mengimbangi “Orientalisme” yang dilakukan Barat. Kalau Orieantalisme melihat
potret kita (Timur) dari kacamata Barat, maka Oksidentalisme sebaliknya,
melihat potret Barat dari kacamata kita (Timur). Dengan Oksidentalisme, Ḥassan
Ḥanafi mengurai dan menetralisasi distorsi sejarah antara Timur dan Barat dan
meletakkan kembali peradaban Barat pada proporsi geografisnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Badruzzaman, Abad. Kiri Islam Ḥassan Ḥanafī
Menggugat Kemapanan Agama dan Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.
Departemaen Agama RI. al-Quran dan terjemahnya.
Bandung: Jumānatul ‘Alī, 2005.
Faqih,
Miftah. “Pengantar Penerjemah” dalam Islamologi 1 dari Teologi Statis ke
Anarkis terj. Miftah Faqih karya Ḥassan Ḥanafī. Yogyakarta: LKis Pelangi
Aksara, 2007.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta:
Andi Offset
Ḥanafī, Ḥassan. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap
Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori Jakarta: Paramadina, 2000.
Ibnu. “Muqaddimah
Oksidentalisme Hassan Hanafi” dalam http://www.mypesantren.com/blogs/item/1554046. diakses 19 Maret 212.
Ibnu Kathīr. Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. tt: Dār
al-Ṭayyibah li al-Naṣri wa al-Tawzī‘, 1999.
Al-Marāghī. Tafsīr alMarāghī. Mesir: Muṣtafā
al-Bābī al-Ḥalabī wa Awlāduhu, tt.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
al-Qurṭubī. al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qur’ān. Qāhirah: Dār
al-Kutub al-Miṣrīyah, 1964.
Shah, M Aunul Abied Shah Dkk. Islam Garda Depan Mosaik
Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan, 2001.
Taufiq, Ahmad Taufiq dkk. Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisme Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.
Wahbah al-Zuḥaylī. al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdati
wa al-Sharī‘ati wa al-Manhaji. Dimashqa: Dār al-Fikri al-Mu‘āṣirah, 1418 H.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2008.
[1] Kemungkinan lain suatu penelitihan jika ditinjau dari
segi tempatnya adalah reseach
laboratorium dan research kancah. Lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Research
(Yogyakarta: Andi Offset), I: 3.
[3] Zabur di sini ialah seluruh kitab yang diturunkan Allah
SWT. kepada nabi-nabi-Nya sebagian ahli tafsir mengartikan dengan kitab yang
diturunkan kepada Nabi Dāwūd A.S., dengan demikian al-Dhikr artinya Kitab
Taurat. Lihat Departemaen Agama RI, al-Quran dan terjemahnya (Bandung:
Jumānatul ‘Alī, 2005), 332.
[5] Pendapat al-Marāghī ini adalah salah satu pendapat yang
ada. Adapun pendapat sahabat seperti Abū Abbās, tabi’in seperti Mujāhid dan
Sa’īd bin Jubayr, dan banyak mufassir setelah tabiin termasuk ulama kontemporer
seperti Wahbah bin Muṣṭafā al-Zaḥaylī berpendapat bahwa ayat ini berbicara
tentang akhirat dan yang dimaksud “al-ṣāliḥūn” adalah orang-orang yang
beramal salih yang didasari dengan
keimanan. Sedangkan yang dimaksud dengan
“al-arḍ” adalah “arḍ al-Jannah” sebagaimana penggunaan “al-arḍ”
untuk arti surga dalam surah al-Zumar ayat 74. Riwayat lain dari Ibni ‘Abbās
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “al-ṣāliḥūn” dalam ayat ini adalah
Nabi Muḥammad SAW. dan umatnya yang menguasai bumi yang sebelumnya di kuasai
orang-orang kafir (arḍ al-umam al-kāfirah) dan masih banyak lagi
pendapat yang lain. Lihat al-Qurṭubī, al-Jāmi’ li Aḥkāmi al-Qur’ān (Qāhirah:
Dār al-Kutub al-Miṣrīyah, 1964), XI: 349; Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān
al-‘Aẓīm (tt: Dār al-Ṭayyibah li al-Naṣri wa al-Tawzī‘, 1999), V: 385;
Wahbah al-Zuḥaylī, al-Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdati wa al-Sharī‘ati wa
al-Manhaji (Dimashqa: Dār al-Fikri al-Mu‘āṣirah, 1418 H.), XVII: 135.
[8] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), 14.
[12] Ahmad Taufiq dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh
Modernisme Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), 8.
[16] Abad Badruzzaman, Kiri Islam Ḥassan Ḥanafī
Menggugat Kemapanan Agama dan Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), 41.
[17] M. Aunul Abied Shah Dkk, Islam Garda Depan Mosaik
Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 219-220.
[18] Ḥassan Ḥanafī, Oksidentalisme:
Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori (Jakarta:
Paramadina, 20005),
5. Dalam gagasan pokok Ḥassan Ḥanafī ini terlihat corak pemikirannya yang
berwatak dinamis dan progresif sebagaimana dikatakan Miftah Faqih. Lihat Miftah
Faqih “Pengantar Penerjemah” dalam Islamologi 1 dari Teologi Statis ke
Anarkis terj. Miftah Faqih karya Ḥassan Ḥanafī (Yogyakarta: LKis Pelangi
Aksara, 2007.
[19] Ibid., 3.
[20] Ego di sini merupakan terjemahan dari istilah Arab “anā”
yang secara bahasa berarti “saya”. Tetapi yang dimaksud adalah diri umat Islam.
Sedangkan “the other” merupakan terjemahan dari istilah Arab “al-ākhar”
yang secara bahasa berarti “pihak lain”.
[21] Ḥassan Ḥanafī,
Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchori
(Jakarta: Paramadina, 2000), 25-26.
[22]Ibid; Ibnu, “Muqaddimah Oksidentalisme Hassan
Hanafi” dalam http://www.mypesantren.com/blogs/item/1554046. diakses 19 Maret 212.