TAHAPAN BERTASAWUF
Foto Fajar Nahari (sumber foto: facebook)
Oleh: Fajar Nahari
(Mahasiswa Program Pascasarjana S2 STAIN Kediri)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pasa masa Nabi ataupun khulafaurrasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi SAW. diberi panggilan sahabat. Panggilan ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hiriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada hal yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakal, dan dalam mahabbah, akan tetapi dia adalah pertama kali diberi nama al-sufi.
Dalam bahasa Arab istilah tasawuf terdiri atas empat huruf yaitu Ta’ ( ﺖ ), Shad (ﺺ) Wau (ﻮ), dan Fa’ (ﻑ). Dalam bahasa Arab mempunyai arti yaitu menjadi berbulu yang banyak; dengan arti sebenarnya adalah menjadi Sufi, yang ciri khas pakaiannya selalu terbuat dari bulu domba (wol). Ada beberapa teori tentang asal kata dari tasawuf, salah satunya yaitu berasal dari kata shafw, artinya bersih atau shafaa. Kemungkinan ini dikuatkan, oleh karena tujuan hidup kaum Shufi adalah kebersihan lahir dan batin menuju maghfirah dan ridha Allah. Ada juga yang mengatakan bahwa shufi bukanlah bahasa Arab, tetapi bahsa Yunani kuno yang telah di-Arabkan. Asalnya theoshofie, artinya illmu ke-Tuhanan, kemudian di-Arabkan dan diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi tasawuf.
Sedangkan definisi tasawuf itu sendiri juga ada banyak ragam definisi. Al-Junaid mendefinisikan bahwa tasawuf sebagai “an-Takuna ma’a Allah bi-la ‘alaqah”, hendaknya engkau bersama-sama dengan Allah tanpa adanya hijab. Sedangkan Abu Muhammad al-jariri mengartikan tasawuf dengan: “masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”. Radim bin Ahmad al-Bagdadi mengatakan tasawuf memiliki tiga elemen penting, yaitu faqr, rela berkorban dan meninggalkan kebatillan (ghurur).
Walaupun dari mana kata tasawuf diambil, namun dari asal pengambilan itu jelas bahwa yang dimaksud dengan kaum tasawuf, atau kaum sufi, ialah kaum yang telah mengelompokkan diri dan mengasingkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, supaya laksana kilat kaca terhadap Tuhan, atau memakai pakaian yang sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia agar hidup kelihatan kurus-kering bagai kayu di padang pasir, atau memperdalam penelitian tentang hubungan makhluk dengan Khaliknya. Secara umum, dapatlah diibaratkan bahwa tasawuf itu semakna dengan filsafat kehidupan dan metode khusus sebagai jalan manusia untuk mencapai akhlak sempurna, menyingkap hakikat dan kebahagiaan jiwa. Dan juga tasawuf adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia untuk mengenal Tuhan atau ma’rifat billah.
Untuk mencapai suatu derajat tasawuf maka seseorang haruslah melangkah melauli beberapa tahap. Yakni upaya membersihkan diri (takhalliy = تخلي) dari sifat tercela.Upaya berhias diri (tahalliy = تحلي) dengan sifat terpuji.Kehadiran Allah dalam kepribadian (tajalliy = تجلي). Setelah manusia hal tersebut maka manusia akan mengalami proses perjumpaan dengan Tuhan dan manusia akan mengalami suatu kebahagiaan yang hakiki. Semua itu merupakan langkaha-langkah yang harus dilalui dari bawah. Manusia akan mengalami suatu perjumpaan dengan Tuhan tentu juga membutuhkan hakikat dari seorang guru yang akan membimbingnya ke jalan tersebut. Oleh karena itu disini penulis akan menerangkan tentang tahap-tahap bertasawuf tersebut, kemudian hasil dari sebuah tahap-tahap bertasawuf tersebut, yakni perjumpaan dengan Tuhan dan peran tokoh-tokoh spiritual dalam kehidupan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah tahap-tahap bertasawuf itu?
2. Bagaimana berjumpa dengan Tuhan dan mencapai suatu kebahagiaan?
3. Bagaimana peran tokoh-tokoh spiritual dalam kehidupan masyarakat?
A. Latar Belakang
Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pasa masa Nabi ataupun khulafaurrasyidin, karena pada masa itu para pengikut Nabi SAW. diberi panggilan sahabat. Panggilan ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat, orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hiriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi di belakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim al-Kufy telah ada hal yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakal, dan dalam mahabbah, akan tetapi dia adalah pertama kali diberi nama al-sufi.
Dalam bahasa Arab istilah tasawuf terdiri atas empat huruf yaitu Ta’ ( ﺖ ), Shad (ﺺ) Wau (ﻮ), dan Fa’ (ﻑ). Dalam bahasa Arab mempunyai arti yaitu menjadi berbulu yang banyak; dengan arti sebenarnya adalah menjadi Sufi, yang ciri khas pakaiannya selalu terbuat dari bulu domba (wol). Ada beberapa teori tentang asal kata dari tasawuf, salah satunya yaitu berasal dari kata shafw, artinya bersih atau shafaa. Kemungkinan ini dikuatkan, oleh karena tujuan hidup kaum Shufi adalah kebersihan lahir dan batin menuju maghfirah dan ridha Allah. Ada juga yang mengatakan bahwa shufi bukanlah bahasa Arab, tetapi bahsa Yunani kuno yang telah di-Arabkan. Asalnya theoshofie, artinya illmu ke-Tuhanan, kemudian di-Arabkan dan diucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi tasawuf.
Sedangkan definisi tasawuf itu sendiri juga ada banyak ragam definisi. Al-Junaid mendefinisikan bahwa tasawuf sebagai “an-Takuna ma’a Allah bi-la ‘alaqah”, hendaknya engkau bersama-sama dengan Allah tanpa adanya hijab. Sedangkan Abu Muhammad al-jariri mengartikan tasawuf dengan: “masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina”. Radim bin Ahmad al-Bagdadi mengatakan tasawuf memiliki tiga elemen penting, yaitu faqr, rela berkorban dan meninggalkan kebatillan (ghurur).
Walaupun dari mana kata tasawuf diambil, namun dari asal pengambilan itu jelas bahwa yang dimaksud dengan kaum tasawuf, atau kaum sufi, ialah kaum yang telah mengelompokkan diri dan mengasingkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, supaya laksana kilat kaca terhadap Tuhan, atau memakai pakaian yang sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia agar hidup kelihatan kurus-kering bagai kayu di padang pasir, atau memperdalam penelitian tentang hubungan makhluk dengan Khaliknya. Secara umum, dapatlah diibaratkan bahwa tasawuf itu semakna dengan filsafat kehidupan dan metode khusus sebagai jalan manusia untuk mencapai akhlak sempurna, menyingkap hakikat dan kebahagiaan jiwa. Dan juga tasawuf adalah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia untuk mengenal Tuhan atau ma’rifat billah.
Untuk mencapai suatu derajat tasawuf maka seseorang haruslah melangkah melauli beberapa tahap. Yakni upaya membersihkan diri (takhalliy = تخلي) dari sifat tercela.Upaya berhias diri (tahalliy = تحلي) dengan sifat terpuji.Kehadiran Allah dalam kepribadian (tajalliy = تجلي). Setelah manusia hal tersebut maka manusia akan mengalami proses perjumpaan dengan Tuhan dan manusia akan mengalami suatu kebahagiaan yang hakiki. Semua itu merupakan langkaha-langkah yang harus dilalui dari bawah. Manusia akan mengalami suatu perjumpaan dengan Tuhan tentu juga membutuhkan hakikat dari seorang guru yang akan membimbingnya ke jalan tersebut. Oleh karena itu disini penulis akan menerangkan tentang tahap-tahap bertasawuf tersebut, kemudian hasil dari sebuah tahap-tahap bertasawuf tersebut, yakni perjumpaan dengan Tuhan dan peran tokoh-tokoh spiritual dalam kehidupan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah tahap-tahap bertasawuf itu?
2. Bagaimana berjumpa dengan Tuhan dan mencapai suatu kebahagiaan?
3. Bagaimana peran tokoh-tokoh spiritual dalam kehidupan masyarakat?
PEMBAHASAN
A. Tahap bertasawuf
Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Taasawuf yang tercakup dalam bagian ini ialah sejarah lahir tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma ilmu yang berdiri sendiri. Termasuk di dalamnya adalah teori-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sisstematis dan filosofis.
Bagian kedua ialah tasawuf amali atau tathbiqi, yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya sekedar teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbanagn dalam kehidupannya, antra material dan spiritual, dunia dan akhirat.
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikassikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenali dengan takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) dan tajalli (terungkapnya Nur Ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan). Menurut kaum sufi, mental yang kotor tidak bisa diterapi dari aspek lahiriah saja. Untuk itu pada tahap awal memasuki kehidupan sufi, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan keruhanian yang cukup berat. Sistem pembinaan akhlak dalam dunia sufi disusun seperti tersebut diatas. Metode yang disusun tersebut bisa juga dinamakan metode mendekati Tuhan. Hal ini bisa dipahami bahwa semua susunan itu adalah untuk mencapai derajat manusia yang mulia dan untuk lebih berdekat diri dengan Allah SWT. Tahap-tahap tersebut juga bisa dinamakan proses poenyucian diri. Seseorang akan lebih mudah untuk berdekat diri dengan Allah SWT. Jika seseorang telah melakukan taubat yang sungguh-sungguh, dirinya terbebas dari dosa (takhliyah), kemudian dengan sendirinya menghioasi diri dengan sifat-sifat terpuji (tahliyah), akhirnya sampai pada terbukanya tabir (hijab) atau disebut tajliyah.
1. Takhalli
Takhalli yaitu langkah membersihklan diri, misalnya dengan taubat. Hati dihiasi dengan rasa ikhlas dan jiwa dengan muhasabah. Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela. Kotoran dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila ini bisda dilaukan dengan sukses, makja seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah SWT. Berfirman, yang artinya:
“sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya”.
Tingkah laku yang tercela (akhlakul madzmumah) merupakan sifat-sifat as sayyiat atau buruk laku, yang ditimbulkan oleh sifat-sifat madzmumah yang disebut juga sebagai sifat-sifat muhlikat, artinya sifat-sifat yang membinasakan dan mencelakakan. Sifat-sifat tercela itu sangat banyak ragamnya, akan tetapi dari sekian sikap tercela yang ada terdapat beberapa yang dinilai oleh ahli sufi sebagai biang sifat-sifat buruk, yaitu loba, nafsu seks, hasad, cinta dunia, bakhil, sombong, dan munafik. Yang oleh mereka dikatakan sebagai sifat yang menjijikkan dii dalam jiwa (khabaits fin nafs), penyakit dalam jiwa (amaradh al qalb), dan sifat yang merusak (shifat muhlikat).
Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, maka perlu dilakukan dengan cara:
a. Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah, sehingga pelaksanannnya tidak sekedar apa yang terlihat secara lahir, tetapi lebih dari itu, yakni memahami makna hakikinya, sehingga semua bentuk akidah dan ibadah itu tidak hanya sekedar formalitas, namun terhayati mana tersiratnya.
b. Muhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri, dan apabila telah menemukan sifat-sifat yang tidak atau kurang baik maka segera meninggalkannya.
c. Riyadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan), yakni berlatih dan berjuang membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu, dan mengendalikan serta tidak memperturutkan keinginannya. Menurut al-Ghazali riyadhah dan Mujahadah itu ialah latihan dan kesunnguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (syahwat) yang negative dengan mengganti sifat-sifat lawannya yang positif.
d. Berupaya mempunyai kemauan dan daya tangkal yang kuat terhadap kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan menggantinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik.
e. Mencari waktu yang tepat untuk merubah sifat-sifat yang jelek-jelek itu, dan
f. Memohon pertolongan kepada Allah SWT. Dari godaan-godaan setan, sebab timbulnya sifat-sifat tercela itu dikarenaka hawa nafsu dan hawa nafsu itu karena desakan setan.
Dengan takhalli dalam rangkaian sistem pendidikan mental. Seorang sufi berlatih menguasai nafsu dunia serta akses negatifnya.
2. Tahalli
Tahap selanjutnya ialah Tahalli, yaitu langkah menghiasi diri dengan takwa. Hati dihiasi dengan siddiq dan jiwa dihiasi dengan musyahadah. Tahalli ini menghias diri dengan jalan membiasakan dengan sikap dan sifat serta perbuatan yang baik. Berusaha agar setiap gerak dan perilakunya sejalan di atas ketentuan agama. Langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak karimah dan senantiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam ber-takhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berperilaku yang baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan manusia yang sempurna (insan kamil).
Ada banyak sifat-sifat terpuji, akan tetapi ada beberapa sifat yang menjadi perhatian oleh kaum sufi, yaitu: taubat, khauf (takut kepada Allah), zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakkal (menggantungkan nasib seluruhnya kepada Allah), mahabah (mencintai Allah tanpa batas), ridha (merasa senang dengan apa yang telah ditentukan Allah), dan zikrul maut (mengingat mati).
Sifat-sifat sufi di atas sangatlah perlu diteladani oleh setiap orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keteladanan tersebut dapat ditempuh dengan berbagai cara. Misalnya seseorang yang berakhlak luhur dapat menjadi lebih luhur lagi manakala ia suka bergaul dengan seseorang yang akhlaklnya lebih luhur.
Dengan tahalli seorang sufi menghiasi diri dan mengisi kalbu engan sifat siddiq dengan sifat-sifat luhur lainnya menuju manusia paripurna.
3. Tajalli
Tahap ketiga yaitu tajalli, seseorang hatinya terbebasklan dari tabir (hijab), yaitu sifat-sifat kemanusiaan atau mempoeroleh Nur yang selama ini tersembunyi (ghaib) atau Fana’ segala selain Allah ketika nampak (tajalli) wajah-Nya.
Tuhan pada awalnya adalah “harta” yang bersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakanlah makhluk, melalui makhluklah Ia dikenal. Maka alam sebagai mahkluk adalah penampakan diri (tajalli) dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang di dalamnya terdapat gambar Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak mungkin wujud tanpa adanya wujud Tuhan. Atau dengan kata lain wujud alaam tergantung kepada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan. Inilah ajaran Ibn Arabi dalam wahdat al-wujud. Konsekuensi terhadap adanya paham “kebersatuan” yang diajarkan kaum sufi falsafi membuat mereka melacak asal-usul dirinya dan segala wujud yang ada. Menurut mereka, manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran atau turunan dari Wujud Sejati, yang menurunkan wujud-wujud-Nya dari alam rohani ke dfalam alam materi dalam bentuk manifestasi wujud secara berurutan (gradsi wujud, hirearki wujud). Proses penurunan wujud ini dalam pembendaharaan sufi dinamakan dengan tanazzul, yang dikenal melalui bentuk penyingkapan diri (tajalli), baik tajalli dzati (ghaiub) maupun tajalli syuhudi, seperti yang dikonsepsikan oleh Ibnu Arabi.
Sedangkan Al-Jilli membagi tajalli menjadi empat tingkatan. Pertama Tajalli al-Af’al, yakni Tajalli-Nya pada perbuatan seseorang, artinya segala aktifitas itu disertai Kudrat dan Iradat-Nya, dan ketika itu dia melihat-Nya. Hal ini bisa berarti bahwa gerak dan diam itu adalah atsar (bekas) dari kodrat dan iradat-Nya.
Kedua, Tajalli al-Asma’, yakni lenyapnya seseorang dari dirinya dan bebasnya dari genggaman sifat-sifat kebaharuan, dan lepasnya dari ikatan tubuh kasarnya. Pada lingkungan ini tiada yang dilihat kecuali dzat al-Shirfah (hakikat gerak), bukan melihat asma’
Ketiga, Tajallis Sifat, yakni seorang hamba menerima sifat-sifat ketuhanan, artinya Tuhan mengambil tempat padanya tanpa hulu dzat-Nya. Keempat, Tajalli Dzat, yakni apabila Allah SWT. Menghendaki adanya tajalli atas hamba-Nya yang menfana’kan dirinya, maka bertempatlah Dia padanya, yang bisa berupa sifat dan bisa berupa dzat. Apabila berupa dzat, maka disitulah terjadi “:ketunggalan” yang sempurna. Dengan fana’nya seorang hamba, maka yang baqa’ hanyalah Dia. Dalam pada itu, hamba telah berada dalam situasi Ma Suwailah yakni dalam wujud Allah SWT. semata.
Berbeda dengan Al- Jilli, maka al-Kalabadzi membagi Tajalli menjadi tiga macam. Pertama, Tajalli Dzat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya). Kedua, Tajallis Sifatidz Dzat, yakni nampaknya sifat-sifat dzat-Nya sebagai sumber atau tempat cahaya. Ketiga Tajalli Hukmudz Dzat yaitu nampaknya hukum-hukum dzat, atau hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya.
Pencapaian Tajalli tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat al-qalb. Apabila seseorang telah mencapai tajalli, maka dia akan memperoleh ma’rifat, yaitu megetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada atau bisa diartikan lenyapnya segala sesuatu dengan/ketika menyaksikan Tuhan. Dengan tajalli seorang sufi memperdalam rasa ke-Tuhanannya, antara lain dengan munajat, dzikir maut, istiqomah, tuma’ninah dan ma’rifah.
B. Berjumpa dengan Tuhan dan mencapai suatu kebahagiaan
1. Berjumpa dengan Tuhan
Apabila seseorang telah mencapai Tajalli, maka dia akan memperoleh ma’rifat yaitu mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada atau bisa diartikan lenyapnya segala sesuatu dengan/ketika menyaksikan Tuhan. Ma’rifat merupakan pemberian Tuhan, bukan usaha manusia. Ia merupakan ahwal tertinggi, yang datangnya sesuai atau sejalan dengan ketekunan, kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan seseorang. Menurut Ibrahim Basyumi, ma’rifat merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir dari segala pemberian setelah melakukan mujahadah dan riyadhah, dan bisa dicapai ketika telah terpenuhinya qalbu dengan Nur Ilahi. Kita sudah tahu bahwa tujuan dari tasawuf adalah untuk menuntun dalam menyamapikan manusia untuk mengenal Tuhan atau ma’rifah billah (mengenal Allah).
Dari segi bahasa, ma’rifah berasal dari ‘arafa. ya’rifu, irfan dan ma’rifah yang artinya adalah pengetahuan atau pengalaman dan juga berarti mengenal sesuatau. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah ma’rifah di sini berarti mengenal Allah. Ada beberapa Ulama’ Tasawuf yang mendefinisikan tentang ma’rifah, diantaranya adalah Dr. Mustafa Zahri, beliau mengatakan:
“Ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”
Menurut “Zunnun Al-Misrilah” (Bapak paham Ma’rifat) bahwa pengetahuan tentang Tuhan ada tiga macam:
a. Pengetahuan awam
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat
b. Pengetahuan Ulama
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika)
c. Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama di atas belum dapat memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehingga kedua pengetahuan tersebut baru disebut “ilmu” belum dapat dikatakan sebagai “Ma’rifah”. Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifah adalah pengetahuan Sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifah). Sehingga ma’rifah hanya dapat diperoleh pada kaum sufi. Mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya.
Agar bisa berjumpa dengan Tuhan (ma’rifah billah) maka ada suatu jalan untuk menuju kesana. Kaum sufi dalam mendapat ma’rifah melalui jalan yang ditempuh mempergunakan suatu alat diantaranya adalah sir. Menurut Al-Qusyairy ada tiga yaitu:
a. Qalb, fungsinya untuk dapat mengetahui sifat Tuhan
Qalb disini berbeda dengan heart dalam bahasa Inggris. Selain sebagai alat perasa qalb juga menjadi alat untuk berpikir.
b. Ruh, fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan
c. Sir, fungsinya untuk melihat Tuhan.
Pada kedudukan di atas ia (orang sufi) telah berada pada tingkat “ma’rifah”. Sifat dari ma’rifah Tuhan bagi seorang sufi adalah kontinyu (terus-menerus). Semakin banyak mendapat ma’rifah Tuhan semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan. Sehingga seorang sufi semakin dengan Tuhan. Kita sudah tahu bahwa tahapan tasawuf yang terakhir adalah tajalli. Ketika seseorang telah bertajalli maka orang tersebut telah mampu menemukan jalan untuk berma’rifah, dan ini terjadi setelah terjadinya fana’, yakni hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan dan melebur pada sifat-sifat Tuhan.
Setelah seseorang itu mampu berma’rifah, maka seseorang itu akan mendapatkan limpahan cahaya. Dengan limpahan cahaya Tuhan manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh hubungan langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, ia dapat diibaratkan seperti orang yang memiliki antena parabola yang mendapatkan langsung pengetahuan dari Tuhan. Dengan ini manusia akan merasakan perjumpaan dengan Tuhannya, karena manusia sudahlah sangat dekat dengan Tuhannya. Dengan hal ini maka manusia sudah tidak ada hijab yang menghalangi untuk berjumpa dengan Sang Pencipta.
2. Mencapai suatu kebahagiaan
Melalui pelbagai kalimat dan pernyataan, dalam Al-Quran diungkapkan adanya kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, kesejahteraan, kelezatan, kemuliaan dan sebagainya yang merupakan tumpuan cita dan harapan manusia dalam kehidupannya. Pernyataan tersebut mengandung segala problematika yang melukiskan adanya kesenagan yang bersifat sementara, mendorong manusia mencapai kebahagiaan yang kekal dan sejati menerangkan formula kebahagiaan dan jalan-jalan yang perlu ditempuh untuk mendapatkannya.
Ada berbagai ragam yang menerangkan tentang kebahagiaan itu, diantaranya 1). Lazat, lezat, enak atau sedap (surah az-zuhruf: 71). 2) Mata’ , perhiasan (Surah Hud: 3). 3). Ni’mah, yang berarti nikmat atau kesenangan (Surah Luqman: 20). 4). Aflaha, beruntung atau berbahagia (Surah Al-Mukminun: 1). 5). Sakinah, kepuasan, ketenagan atau ketenteraman (Surah Al fath: 26). Dan masih banyak lagi yang lainnya yang menerangkan tentang ungkapan-ungkapan yang berinti pada kebahagiaan.
Dengan ungkapan-ungkapan tersebut nyatalah persesuaiannya dengan fitrah manusia yang diciptakan Allah. Allah menciptakan fitrah kecenderungan manusia mencari kebahagiaan, merasakan kelezatan dan menikmati ketenangan, hidup dan fitrah tersebut ditegaskan pula melalui firman-Nya. Secara garis besar kebagaiaan dapat dibagi menjadi dua, yakni kebahagiaan sementara dan kebahagiaan sejati
Kesenagan atau kebahagiaan yang bersifat sementara dan relatif singkat adalah kesenagan atau kebahagiaan yang ada dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah kebahagiaan yang berada di akhirat nantinya.
“Katakanlah: Kesenangan dunia ini sedikit, dan akhirat itu lebih baik bagi orang yang berbakti….”
(Surah An-Nisa’ :77)
Gambaran-gambaran kebahagiaan didapati di dunia ini hanya bersifat sementara, sifatnya terbatas dan jangka waktrunya relatif singkat. Karena itulah dicari kesenagan atau kebahagiaan yang bernilai abadi dan sejati. Nilai-nilai keabadian dan kebahagiaan hanya didapati pada jalan mardhatillah, jalan yang disukai Allah.
Ada empat perkara yang memastikan manusia terhindar daripada kerugian dan kecelakaan dan itulah menjadi formula kebahagiaan; 1) Iman. 2) Amal saleh atau taqwa. 3) Saling berpesan menjalankan kesabaran. 4) Saling berpesan menjalankan kebenaran.. Dengan demikian orang yang luput dari empat faktor tersebut adalah manusia yang rugi. Sebaliknya orang yang memiliki kempat-empatnya adalah manusia yang beruntung dan berbahagia. Orang yang beriman akan selalu merasa damai dan bahagia di hatinya, jika dia telah melaksanakan prinsip-prinsip tersebut dengan baik, sekalipun dia mengalami tantangan dan penderitaan lahiriah. Itulah kebahagiaannya di dunia karena merasa ridha dan diridhoi Allah. Kesalehan seseorang dan kemuliaan akhlaknya adalah modal utama untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Artinya, jika seseorang telah memilki sifat-sifat baik dan terpuji, maka jalan menuju surga baginya terbuka luas, akan tetapi jika tidak maka di hadapannya telah tersedia siksaan yang amat pedih dan hina. Dalam konteks ini tasawuf dapat dijadikan alternatif jalan penyelamat yang sebaik-baiknya untuk meperbaiki jiwa dan akhlak manusia. Sebab semakin banyak seseorang menghirup percikan ma’rifat yang diperolehnya melalui pengalaman tarekat sufi akan dapat menikmati kehidupan rohaniah yang tenang, merdeka, dan akan mencapai derajat yang tinggi dan mulia di sisi Allah SWT.
C. Peran tokoh-tokoh spiritual dalam kehidupan masyarakat
Dalam ilmu antropologi, masyarakat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu system adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama, atau sejumlah orang dalam kelompok tertentu yang membentuk perikehidupan berbudaya. Menurut Hasan Shadily, dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia yang dengan (atau karena) sendirinya bertalian secara golongan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Orang yang hidup di dunia tanpa mengingat Allah SWT. dengan berdzikir kepada-Nya, tidak heran bila hidup menjadi lalai dan terlena. Tanpa mengingat Allah, dia akan melupakan kematian yang akan menjemputnya kelak. Ketika itu dia merasa dunia masih terlalu panjang, padahal Allah SWT. mengingatkan kita di dalam firman-Nya bahwa ajal manusia lebih dekat daripada urat lehernya. Tasawuf berperan melepaskan kesengsaraan dan kehampaan spiritual untuk memperoleh keteguhan dalam mencari Tuhan. Karena intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memeproleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya berada di hadirat-Nya dan terlepas dari kegundahan dan kesedihan.
Cara yang baik untuk menghidupkan hati ialah dengan menuntut ilmu kepada guru ruhani dan Sufi yang benar, yang dapat menghidupkan hati. Dengan berguru kepada mereka akan membawa ketenangan hidup di dunia dan di akhirat. Mencari guru semacam ini perlu segera dilakukan selagi hayat masih dikandung badan.. Di dalam tasawuf ada yang dinamakan Tasawuf Amali, yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan kepada Allah SWT. Dalam pengertian ini tasawuf amali berkonotasikan tarekat. Thariqah atau thariq berarti jalan (the way). Thariqah, kata jamaknya adalah tharaiq yang berarti kaifiyat (manner); uslub (method, system), mazhab (creed, system of belief). Menurut keyakinan sufi, seseorang tidak akan sampai pada hakikat tujuan ibadah (haqiqah) sebelum menempuh atau melaksanakan jalan kearah itu. Thariqah itu jalan, cara, metode, dan sistem menuju Tuhan. Orang yang menjalankan ini disebut ahl al-thariqah atau salik.
Dalam tarekat ada tiga unsur, yakni guru (Mursyid), murid, dan ajaran. Guru adalah orang yang mempunyai otoritas dan legalitas kesufian, yang berhak mengawasi muridnya dalam setiap langkahnya dan geraknya sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu dia mempunyai keistimewaan khusus, seperti jiwa yang bersih. Dalam buku Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati’Allamial-Ghuyub sebagaimana yang dinukil oleh Abu Bakaar Aceh bahwa seorang Mursyid, adalah orang yang telah sempurna suluk, syari’ah dan hakikatnya sesuai dengan ajaran Islam, dan telah mendapat ijazah untuk mengajarkan suluk kepada orang lain. Sedang murid adalah orang yang menghendaki pengetahuan dan petunjuk dalam amal ibadahnya.
Setelah kita tahu bahwa peran seorang tokoh spiritual sangatlah penting dalam pembinaan diri untuk lebih mendekatkan diri Allah, maka sebaiknya untuk lebih mematangkan kehidupan ibadah kita kepada Allah SWT. Kita tidak boleh lepas dari adanya seorang tokoh spiritual tersebut. Hal ini dikarenakan seornag tokoh spiritual sudah mempunyai cara dan pengalaman dalam ibadah guna mencapai kedekatan diri dengan Sang pencipta. Masyarakat dan tokoh spiritual adalah ibarat Guru dan Murid dalam ilmu tasawuf. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, karena seorang Murid pastilah menginginkan pengetahuan dan juga cara beribadah kepada Allah SWT. Begitu pula sebaliknya seorang Tokoh Spiritual atau Guru mempunyai kewajiban dalam membimbing muridnya untuk menjadi hamba yang ta’at dan berdekatan dengan Sang Pencipta. Karena semua itu adalah jalan (tarekat) untuk lebih mendekat kepada Allah SWT.
Kehidupan masyarakat yang beraneka ragam saat ini dengan berbagai macam perilakunya sudah mulai kehilangan jati diri dalam hidup di dunia. Masyarakat sekarang ini yang telah sibuk dengan urusan duniawi merasa terlena akan kenikmatan duniawi yang sesaat ini. Pentinglah bagi seseorang untuk selalu berinteraksi dengan seorang tokoh spiritual untuk membentengi diri agar kehidupan yang global ini masyarakat tidak terlena. Dan selalu berorientasi untuk selalu mendekatkan diri pada Allah SWT. meskipun hidup dalam dunia tanpa batas sekarang ini.
KESIMPULAN
Seseorang dalam melaksanakan tasawuf ada tahap-tahapannya. Yakni upaya membersihkan diri (takhalliy = تخلي) dari sifat tercela.Upaya berhias diri (tahalliy = تحلي) dengan sifat terpuji.Kehadiran Allah dalam kepribadian (tajalliy = تجلي). Setelah manusia hal tersebut maka manusia akan mengalami proses perjumpaan dengan Tuhan dan manusia akan mengalami suatu kebahagiaan yang hakiki. Semua itu merupakan langkah-langkah yang harus dilalui dari bawah. Manusia juga memerlukan seorang tokoh spiritual dalam melaksanakan bimbingan ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah SWT.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, Yunasril. Pengantar Ilmu Tasawuf .Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
Bahri, Media Zainul. Tasawuf Mendamaikan Dunia .Erlangga: 2010
al-Jailani, Syekh Abdul Qadir. Samudra Sufi. Jogjakarta: Diva Press, 2007.
Kaylani, Qomar. Fi at-Tashawauf al-Islami: Mafhumuhu wa Tathawwuruhu wa A’lamuhu. Beirut: Mathabi’ Samya, 1962.
Mustofa, A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010
Al-Qushayri, Ar-Risalah al-Qushayriyah .Mesir :Bab al-Halaby, 1940
Al-Qushayri, Ar-Risalah al-Qushayriyah .Mesir :Bab al-Halaby, 1959.
Solihin M. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia .Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Suyuti, Achmad. Percik-percik Kesufian .Jakarta: Pustaka Amani, 1996).
Syukur, M.Amin. Menggugat Tasawuf .Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Syukur, M. Amin dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf .Yogyakarrta: LEMBKOTA dan Pustaka Pelajar, 2002.
Syukur, M.Amin.Tasawuf Kontekstual.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Thoriquddin, Moh. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern .Malang: UIN-Malang Press, 2008.
TIM penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf .Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.
Umari, Barmawi. Sistimatik Tasawuf .Solo: Ramadhani, 1991
Ya’qub, Hamzah. Tasawuf dan Taqarrub .Bandung: Pustaka Madya, 1987.
Terima kasih telah membaca tulisan kami berjudul "Tahapan Bertasawuf"
Posting Komentar
Berkomentar dengan bijak adalah ciri manusia bermartabat. Terima kasih atas kunjungannya di *Banjir Embun*