PERTIMBANGAN
HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN IZIN
POLIGAMI(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI TAHUN 2009-2010)
POLIGAMI(STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN KEDIRI TAHUN 2009-2010)
(Mahasiswa S2 Pascasarjana STAIN Kediri dan santri di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Ma'unah-Sari Bandar Kidul Kediri Jawa Timur.)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
Pernikahan
merupakan sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhlukNya, baik pada
manusia , hewan maupun tumbuhan. Hal itu merupakan salah satu cara yang dipilih
oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhlukNya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.
Dengan
pernikahan, Allah menghendaki agar manusia dapat mengarungi samudera dengan
bahtera cinta dan kasih sayangnya. Pernikahan merupakan sarana yang harus
ditempuh oleh manusia untuk menggapai kesempurnaan hidupnya dan memelihara diri
dari kebinasaan hawa nafsunya. Sabda Rasulullah SAW:
يا
معشر
الشباب
من
استطاع
منكم
الباءة
فليتزوج
فإنه
اغض
للبصر
وأحصن
للفرج
ومن
لم
يستطع
فعليه
بالصوم
فإنه
له
وجاء
Artinya: Hai pemuda-pemuda, barang
siapa diantara kamu yang mampu serta berkeinginan menikah maka menikahlah,
karena sesungguhnya pernikahan itu dapat
menundukkan pandangan mata terhadap orang yang tidak halal dan menjaga
kemaluanmu, dan barang siapa tidak mampu menikah, hendaknya berpuasalah, karena
dengan puasa akan menjadi obat bagimu”.(Hadits Riwayat Bukhori Muslim)[1]
Pernikahan akan berperan setelah
masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan
tujuan pernikahan sendiri. Pernikahan juga merupakan persenyawaan antara cinta
dan kasih sayang, perpaduan emosional yang tidak sama, serta peleburan antara
dua keinginan yang berbeda.[2]
Berbicara masalah tujuan pernikahan,
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa manfaat melangsungkan pernikahan dapat dikembangkan
menjadi 5 yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan
syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan, memelihara diri dari kejahatan
dan kesengsaraan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab
menerima hak dan kewajiban serta bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
5. Membawa rumah tangga dan membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.[3]
Pada dasarnya asas dalam pernikahan
adalah monogami, di mana seorang suami tanpa ada alasan yang jelas dan rasional
hanya diperbolehkan beristeri satu. Namun pada kenyataannya tidak sedikit
terjadi di masyarakat, seorang suami memiliki lebih dari seorang
istri/poligami.
Berbicara masalah poligami erat
kaitannya dengan esensi perkawinan. Di mana tujuan perkawinan yang sangat
esensial adalah untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah ,mawaddah, warahmah.[4] Poligami merupakan
permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus
kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi, baik yang
bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan
gender.
Dari sudut pandang terminologi,
poligami berasal dari bahasa Yunani, di mana kata polus berarti banyak dan gamos berarti kawin. Kawin banyak disini berarti seorang pria kawin dengan dengan
beberapa wanita atau sebaliknya seorang wanita kawin dengan lebih dari seorang
pria dalam
waktu yang bersamaan yang mengadakan
transaksi perkawinan.[5]
Dalam pengertian umum yang terjadi
adalah pengertian poligami di mana seorang suami memiliki lebih dari seorang istri.
Dalam prakteknya, awalnya seorang pria kawin dengan seorang wanita seperti
layaknya perkawinan monogami, kemudian setelah berkeluarga dalam beberapa
tahun, pria tersebut kawin lagi dengan istri keduanya tanpa menceraikan istri
pertamanya. Meskipun demikian , sang suami mempunyai alasan atau sebab mengapa
diambil keputusan untuk kawin lagi.
Karena peristiwa tersebut di atas
banyak terjadi di masyarakat, maka muncul beberapa pendapat dan pemahaman
terhadap perkawinan poligami, baik itu dari masyarakat awam maupun kalangan
intelektual. Di mana umumnya masyarakat masih banyak beranggapan bahwa
perkawinan poligami tidak menunjukkan keadilan dan manusiawi. Permasalahan
poligami dewasa ini semakin bertambah rumit karena banyak pertentangan oleh
berbagai pihak dalam menyetujui diperbolehkannya poligami yang berupa
diperketatnya persyaratan pelaksanaan poligami.
Oleh sebab itu pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang tersebut
mengatur tentang asas monogami, bahwa baik pria ataupun wanita hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama yang mengizinkannya,
seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang. Meskipun hal tersebut dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila memenuhi dari persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
pengadilan.[6]
Untuk kelancaran pelaksanaan
Undang-Undang Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, telah dikeluarkan peraturan
pemerintah No. 9 tahun 1975 yang mengatur ketentuan pelaksanaan dari
Undang-Undang tersebut. Dan dalam hal suami yang bermaksud untuk beristri lebih
dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan
Agama, kemudian di Pengadilan Agama akan memberikan keputusan apakah permohonan
tersebut dikabulkankan atau ditolak.
Pengadilan Agama dalam tugasnya
memberikan putusan tentang permohonan poligami, berpedoman pada aturan yang
berlaku. Yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam pasal 55-59.[7]
Berdasarkan kekuasaan mengadili atau
menangani perkara (Absolute Coupetensial)
Pengadilan Agama berhak untuk menyelesaikan perkara perkawinan poligami, dan
mempunyai pertimbangan serta penafsiran tentang poligami.[8]Dalam
mengajukan perkaranya, bagi para pihak yang mengajukan permohonan poligami harus memenuhi beberapa persyaratan yang ketat dan menunjukkan bukti-bukti serta
alasan-alasan yang kuat yang bisa
diterima oleh hakim Pengadilan Agama. Dalam hal ini hakim Pengadilan Agama
berpedoman kepada Undang-Undang serta Kompilasi Hukum Islam dalam mempertimbangkan
perkara tersebut.
Adapun alasan-alasan berpoligami yang
dapat diterima oleh Pengadilan Agama diantaranya adalah seperti yang tercantum
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
seorang istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak bisa disembuhkan.
Dari kasus-kasus permohonan poligami
yang diterima dan dikabulkan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Kediri ada
beberapa alasan yang melatarbelakangi para pihak mengajukan permohonan izin
poligami. Ada kalanya mereka mengajukan permohonan poligaminya tersebut karena
istri mengalami cacat badan, dan ada pula yang beralasan istri tidak bisa
melahirkan keturunan yang mana dari alasan-alasan tersebut memang sesuai dengan
apa yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
pasal 57 tentang poligami.
Akan tetapi ada juga dari beberapa
kasus yang terjadi di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri di mana para pihak yang
berperkara mengajukan permohonan poligaminya tidak sesuai dari alasan yang
diperbolehkan untuk melakukan poligami dalam Undang-Undang. Seperti contoh
kasus yang terjadi pada tahun 2010 dengan Nomor perkara
1864/Pdt.G/2010/PA.Kab.Kdr. Dalam kasus ini pihak suami mengajukan permohonan
poligami dengan alasan sudah terlanjur menghamili calon istri keduanya,
sedangkan calon istrinya tersebut meminta pertanggung jawaban atas
perbuatannya. Begitu juga pada kasus dengan Nomor perkara
1554/Pdt.G/2010/PA.Kab.Kdr. Dalam kasus ini pihak suami mengajukan permohonan
poligaminya dengan alasan sudah menjalin hubungan dengan wanita lain dan saling
mencintai sejak 10 tahun yang lalu sebelum dia mengajukan permohonan
poligaminya. Bahkan pihak suami sudah berkumpul lama dengan calon istri
keduanya disamping dia juga beralasan kurang puas dengan pelayanan hubungan
biologis istrinya.
Dalam hal ini hakim sebagai pihak yang
berwenang memutuskan perkara izin poligami tentunya mempunyai
pertimbangan-pertimbangan serta kriteria-kriteria tertentu dalam mengabulkan
perkara poligami dengan berbagai alasan yang diajukan kepadanya, karena memang
hakim berwenang untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
di masyarakat dengan tanpa mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang
ada (Undang-Undang Kehakiman Tahun 2004). Disamping itu alasan-alasan yang
menjadi syarat diperbolehkannya poligami yang termaktub dalam Undang-Undang
masih bersifat global. Masih perlu adanya penafsiran-penafsiran hukum oleh hakim
untuk memahaminya.
Dari uraian tersebut di atas, penulis
bermaksud meneliti “Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan Izin Poligami Di
Pengadilan Agama Kabupaten Kediri”.
B.
Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas,
maka penulis menganggap perlu menetapkan fokus penelitian yang nantinya
senantiasa dijadikan kerangka dalam pembahasan selanjutnya. Adapun yang menjadi
fokus penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri?
2. Bagaimanakah tinjauan hukum positif dan hukum Islam
terhadap pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan poligami tersebut?
C.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka
penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui pertimbangan hakim dalam mengabulkan
permohonan izin poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum positif dan hukum
Islam terhadap pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami di
Pengadilan Agama Kabupaten Kediri.
D.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini sangat berguna bagi
penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya, adapun kegunaan penelitian ini
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
a.
Dapat
menambah pengetahuan dalam mempelajari dan mendalami ilmu hukum khususnya
tentang permohonan izin poligami di Pengadilan Agama
b.
Untuk
pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum serta berguna untuk masukan bagi
praktik penyelenggara di bidang Hukum Perkawinan terutama terkait dengan masalah poligami masa
kini dan masa yang akan datang.
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat:
a.
Bagi Hakim
Dapat menerapkan kaidah-kaidah hukum
secara benar dan tepat dalam mempertimbangkan dan menetapkan dasar hukum yang
dipakai dalam permasalahan pemberian izin poligami.
b.
Bagi Para Pihak
Dapat
menambah wawasan dan pengetahuan berkaitan dengan pemberian izin poligami.
Serta dapat menjadi solusi masalah terkait dengan kasus poligami.
E. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ini merupakan
rangkaian pembahasan yang termuat dan tercakup dalam isi penulisan, antara satu
bab dengan bab yang lain saling berkaitan sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Agar penulisan ini dapat dilakukan dengan runtut dan terarah, maka penulisan
ini dibagi menjadi enam bab yang disusun berdasarkan sistematika sebagai
berikut:
Bab pertama merupakan tulang punggung
dari isi skripsi, yaitu pendahuluan yang menjelaskan : Pertama, konteks penelitian
yang menjadi alasan penulisan ini. Kedua,
fokus penelitian agar pembahasan tidak melebar terhadap hal-hal yang
yang berada diluar pembahasan. Ketiga
dan keempat, menjelaskan
tujuan penelitian dan kegunaan penelitian yang menjadi harapan dari akhir penulisan
ini.
Bab kedua merupakan landasan teori. Dalam bab ini diuraikan
mengenai pengertian poligami, poligami
menurut hukum islam dan hukum positif (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974), serta landasan
Hakim dalam memutuskan perkara.
Bab ketiga merupakan metode
penelitian. Memuat tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti dan lokasi penelitian , sumber dan
jenis data penelitian, metode pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan
temuan, dan tahap-tahap penelitian.
Bab keempat merupakan paparan data dan
temuan penelitian. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai gambaran umum tentang Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, paparan data perkara
poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri , dan temuan penelitian.
Bab kelima merupakan pembahasan dari
hasil penelitian. Bab ini membahas mengenai hasil penelitian tentang
pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan izin poligami, serta pandangan
hukum Islam dan hukum positif terhadap pertimbangan Hakim tersebut.
Bab keenam merupakan penutup. Dalam
bab penutup penulisan ini dibagi menjadi dua bagian, kesimpulan yang merupakan
hasil akhir dari penelitian dan saran-saran.
[1]Al-Hafidz Bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram
(Surabaya: Darul ‘Ilm, tt), 200.
[7]Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2005), 241.
[8] Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama, Pedoman Beracara
Pada Pengadilan Agama (Jakarta: t.p, 1980),1.
[9] Undang-Undang Perkawinan di Indonesia (Surabaya:
Arkola,t.t), 196